Masa Perundagian
Alat-Alat Pertanian
a.Gerabah
Dalam masa peundagian, pembuatan barang-barang gerabah makin
maju dan kegunaan gerabah semakin meningkat. Walaupun masa
perundagian peranan perunggu dan besi sangat penting, namun peranan
gerabah pun dalam kehidupan masyarakat masih sangat penting dan
fungsinya tidak dapat dengan mudah digantikan oleh alat-alat yang
terbuat dari logam.
b.Kapak Corong
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia adalah kapak corong dan
nekara. Kapak corong banyak sekali jenisnya, ada yang kecil bersahaja,
ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, bulat dan
ada pula yang panjang serta sisinya atau disebut candrana. Di lihat dari
bentuknya, kapak-kapak corong tersebut tentunya tidak digunakan
sebagaimana kapak, melainkan sebagai alat kebesaran atau benda
upacara. Hal ini menunjukkan bahwa kapak corong yang ditemukan di
Indonesia peninggalan zaman perunggu memiliki nilai-nilai sakral atau
nilai religi. Bentuk-bentuk corong tersebut ditemukan di Irian Barat dan
sekarang disimpan di Belanda. Sedangkan kapak upacara yang
ditemukan pada tahun 1903 oleh ekspedisi Wichman di Sentani
disimpan di musium lembaga kebudayaan Indonesia di Jakarta.
c. Kapak perunggu
Di Indonesia kapak perunggu yang ditemukan memiliki bentuk tersendiri.
Kapak perunggu memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran. Di lihat
dari pengggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi sebagai
alat
upacara atau benda pusaka dan sebagai pekakas atau alat untuk
bekerja. Secara Tipologik, kapak perunggu digolongkan ke dalam dua
golongan, yaitu: kapak corong dan kapak upacara. Umumnya kapak
perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong
untuk memasukan kayu tangkai. Oleh karena bentuknya menyerupai
kaki orang yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”. Kapak
perunggu tersebut ada yang diberi hiasan dan tanpa hiasan. Pada
candrasa yang ditemukan di daerah Yogyakarta, di dekat tungkainya
terdapat lukisan yang sangat menarik yaitu seekor burung terbang
memegang sebuah candrasa yang tangkainya sangat pendek.
d. Bejana perunggu
Temuan bejana perunggu di Indonesia hanya sedikit. Daerah tempat
penemuannya tidak tersebar. Penemuan bejana perunggu ini hanya
ditemukan di daerah Sumatera dan Madura. Bejana perunggu ini
memiliki bentuk yang bulat panjang, seperti keranjang tempat ikan yang
biasa digunakan oleh para pencari ikan di sungai (kepis) atau
menyerupai bentuk gitar model Spanyol tanpa tangkai. Bejana yang di
temukan di Kerinci (Sumatera) memiliki panjang 50,8 cm dan lebar 37
cm. Sedang bejana yang di temukan di Sampang lebih tinggi dan lebar
ukurannya yaitu tingginya 90 cm dan lebar 54 cm.
e . Nekara perunggu
Nekara pun dianggap sebagai benda suci yang digunakan pada saat
upacara saja. Hal ini diperjelas dengan ditemukannya nekara di
berbagai daerah dan diantaranya sampai sekarang masih tersimpan di
Bali dengan
ukuran 1,86 meter disimpan di sebuah pura di desa Intaran yaitu pure
penataran sasil. Nekara merupakan benda-benda atau alat-alat yang
ada dalam kegiatan upacara yang berfungsi untuk genderang waktu
perang, waktu upacara pemakamam, untuk upacara minta hujan, dan
sebagai benda pusaka (benda keramat).
f. Patung-patung perunggu
Bentuk patung perunggu bermacam-macam bentuknya. Ada yang
berbentuk orang atau hewan. Patung yang berbentuk orang
menggambarkan orang yang sedang menari, orang yang sedang berdiri,
sedang naik kuda dan ada yang memegang panah. Patung perunggu ini
tenyata banyak juga ditemukan di Indonesia. Arcaraca yang berbentuk
orang atau hewan telah ditemukan di daerah Bangkinan (propinsi Riau),
Lumajang (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat), dan Palembang (Sumatera
Selatan) Jenis patung ada dua, yakni patung orang dan patung
binatang, berupa kerbau. Patung orang atau boneka perunggu ini
ditemukan di Bangkinang daerah provinsi Riau daratan. Sedangkan
yang berbentuk hewan ditemukan di Limbangan daerah Bogor.
i. Manik-manik
Manik-manik sebagai hasil hiasan sesungguhnya sudah lama di kenal
masyarakat Indonesia. Manik-manik di Indonesia memegang peranan
penting. Manik-manik digunakan sebagai bekal kubur, benda pusaka,
juga dipergunakan sebagai alat tukar. Manik-manik ditemukan hampir di
setiap penggalian, terutama di daerah-daerah penemuan kubur
prasejarah seperti Pasemah, Jawa Barat, Gunung Kidul (Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Besuki (Jawa Timur), dan Gilimanuk (Bali). Manik-manik
di Indonesia yang pernah ditemukan bermacam-macam bentuk dan
ukurannya. Ukuran yang biasa adalah bulat, silinder, bulat panjang,
lonjong telor, persegi enam, dan sebagainya. Warna-warna yang umum
pada manik-manik tersebut adalah biru, merah. Kuning, hujau atau
merupakan kombinasi dari warna-warna itu. Beberapa manik-manik
yang berwarna hitam ditemukan di Sangir, yang terbuat dari batu
andesit.
j. Benda-benda besi
Berbeda dengan penemuan benda-benda perunggu, maka penemuan
benda-benda besi terbatas jumlahnya. Benda-benda besi di gunakan
sebagai bekal kubur, misalnya yang ditemukan di kubur-kubur
prasejarah di
Wonosari (Jawa Tengah) dan Besuki (Jawa Timur). Jenis-jenis alat besi
dapat digolongkan sebagai prkakas kerja sehari-hari dan sebagai
senjata. Sebagian temuan hanya berupa fragmen-fragmen yang sukar
ditentukan macam bendanya dan sebagian lagi memperlihatkan bentuk-
bentuk yang belum jelas fungsinya. Alat-alat besi yang banyak
ditemukan berbentuk:
• Mata kapak atau sejenis beliung yang dikaitkan secara melintang pada
tangkai kayu. Alat ini banyak ditemukan di daerah Gunung Kidul (Jawa
Tengah). Alat yang temukan tersebut diperkirakan dipergunakan
untuk menatah batu padas.
• Mata pisau dalam berbagai ukuran
• Mata sabit dalam bentuk melingkar
• Mata tembilang atau tajak
• Mata alat penyiang rumput
• Mata pedang, yang antara lain ditemukan dalam kubur peti di
• Gunung Kidul
• Mata tombak
• Tongkat dengan ujungnya berbentuk kepala orang
• Gelang-gelang besi ditemukan antara lain di daerah Banyumas dan
Punung (Pacitan Jawa Tengah)
Secara kegunaannya, kapak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
kapak corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Masyarakat Nusantara mengenal
logam skitar 3000-200 SM, bertepatan dengan zaman perundagian.
Cara pembuatan
Teknik pembuatan dengan cara cetakan setangkup, yaitu menuangkan cairan logam
pada cetakan dari batu. Cetakannya terdiri dari dua bagian batu yang dapat di
tangkupkan (dikatupkan) seperti kulit tiram. Teknik ini dilakukan untuk benda-benda
yang tidak memiliki bagian-bagian yang menonjol. Cetakan setangkup dapat
dipergunakan hingga beberapa kali.
b. Seluruh model dari lilin itu kemudian dilapisi dengan tanah liat yang tahan api
c. Pada bagian atas lapisan tanah liat tersebut dibuat semacam corong dan diberi
lubang pada bagian bawahnya
d. Seluruh model yang berlapis tanah liat itu kemudian dibakar sampai lilin di
dalamnya meleleh dan mengalir melalui lubang pada bagian bawahnya.
e. Kemudian dari corong pada bagian atas tadi dituangkan cairan perunggu
f. Setelah cairan perunggu membeku dan dingin, maka lapisan tanah liat itu padat
dan pecah, sehingga kita memperoleh benda cetakan dari perunggu.
Secara tipologi, kapak perunggu dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu
kapak corong dan kapak upaca. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di
Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukan kayu tangkai. Oleh
karena bentunya menyerupai kaki yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”.
Namun lebih tepatnya disebut kapak corong.
Berdasarkan hasil temuan, kapak perunggu ternyata ada yang diberi hiasan dan ada
yang tidak berhias. Adapun daerah penemuan dari kapak perunggu adalah Sumatra
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Bali, Flores, Pulau Roti, dan Papua dekat danau Sentani.
Pada zaman bercocok tanam, manusia sudah tinggal menetap di desa-desa atau
perkampungan serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan bersama. Dengan
menghasilkan makanan sendiri terutama dari sektor pertanian dan peternakan, tidak
lagi menggantugkan kehidupannya dari pemberian alam. Selama masa bertempat
tinggal menetap ini, manusia berupaya untuk meningkatkan kegiatannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang terpenting dari peningkatan cara bertahan
hidup tersebut antara lain dengan membuat benda-benda dari logam seperti kapak
perunggu.
Khusus dalam pembuatan alat dari logam, diperlukan orang-orang yang terampil.
Sehingga dalam masa perundagian terdapat kelompok orang yang memiliki keahian
khusus, yaitu golongan undagi (tenaga ahli) atau golongan orang-orang yang
terampil. Golongan undagi tersebut misalnya dalam pembuatan rumah dari kayu,
pembuatan barang-barang gerabah, pembuatan barang dari logam dan sebagainya.
Walapun pada zaman itu sudah mengenal peralatan dari logam, tetapi karena bahan
baku logam dan teknologi pembuatan yang masih terbatas, sehingga peralatan dari
dari zaman sebelumnya masih dipergunakan. Hal ini didasarkan atas penemuan
peralatan dari batu di lokasi penemuan peninggalan zaman perundagian. Peralatan
dari batu kemungkinan masih dipergunakan oleh golongan orang biasa, sedangkan
peralatan dari logam hanya digunakan oleh golongan tertentu.
Hal ini disebabkan oleh bahan baku dan kemampuan teknologi yang terbatas
sehingga peralatan dari logam hanya dipergunakan oleh golongan masyarakat
tertentu. Mengingat bahan baku untuk pembuatan peralatan perunggu masih
terbatas, dan tidak terdapat di sembarangan tempat. Sehingga barang-barang
tersebut harus didatangkan dari daerah lain, hal ini berarti adanya sebuah
perdagangan. Adanya perdagangan ini berarti adanya sebuah interaksi budaya.
Peninggalan prasejarah masa perundagian menunjukkan kekayaan dan
keanekaragaman budaya yang tumbuh dan berkembang pada masa itu. Benda-
benda hasil penemuan menunjukan adanya sebuah perkembangan kemahiran
dalam pembuatan peralatan hidup.
Susunan masyarakat dalam masa perundagian tidak dapat diketahui dengan pasti.
Untuk memperoleh gambaran sedikit tentang hasil kehidupan sosial budaya pada
masa itu, kita peroleh dari hasil penelitian peninggalan-peninggalan yang berupa
kuburan-kuburan yang berasal dari zaman perundagian. Dari kuburan-kuburan
tersebut dapat diketahui adanya orang-orang tertentu yang dikuburkan melalui suatu
upacara khusus. Cara penguburan yang khusus dapat dilihat dari cara penempatan
mayat dalam kuburan peti batu, sarkofagus atau tempayan khusus dan sebaginya.
Upacara khusus dapat dilihat dari berbagai jenis bekal kubur yang terdapat dalam
kuburan-kuburan itu.sarkofagus: adalah peti mayat yang dibuat dari batu (spt yg
biasa digunakan pd zaman Yunani, Romawi, dan Mesir Purba)
Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa ada orang-orang yang
diperlakukan secara khusus setelah mereka meninggal. Dapat diduga bahwa
mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Maka bisa dikatakan bahwa masyarakat pada masa itu telah memiliki strata sosial
serta norma-norma dalam kehidupan, terutama sikap menghargai kepemimpinan
seseorang. Walaupun dapat kita pastikan bahwa masyarakat pada masa itu
didasarkan atas gotong royong, namun telah berkembang norma-norma yang
mengatur hubungan antara yang dipimpin dan yang memimpin. Norma-norma
tersebut tentunya telah tumbuh dan berkembang pada masa berabad-abad
sebelumnya.
Selain itu, diyakini pula bahwa orang yang sudah meninggal memerlukan barang-
barang seperti semasa hidupnya. Maka bagi orang yang terpandang atau
mempunyai kedudukan dalam masyarakat, diadakan upacara-upacara penguburan
dengan pemberian bekal kubur lengkap. Bekal kubur itu dapat berupa macam-
macam barang seperti periuk, benda dari perunggu dan besi, manik-manik dan
perhiasan lain serta jenis unggas.
Beberapa contoh pola hias topeng atau muka pada beberapa benda prasejarah di
Indonesia |Foto dari Hoop
Pada masa itu ada kultus kepemimpinan dan pemujaan kepada suatu yang suci di
luar diri manusia dan hal ini dikuasai oleh suatu yang lebih tinggi. Dalam masyarakat
mulai jelas ada pembedaan golongan-golongan tertentu, seperti; golongan-golongan
pengatur upacara atau berhubungan dengan kepercayaan, golongan petani,
golongan pedagang dan para pembuat benda dari logam atau gerabah.
Kemahiran mengarungi laut telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak masa
prasejarah, dengan demikian pengetahuan mengenai astronomi untuk mengetahui
arah pelayaran telah mereka miliki. Pengetahuan tentang perbintangan ini kemudian
sangat berguna pada waktu mereka mengembangkan cara bercocok tanam dengan
mempergunakan pengetahuan astronomi. Bentuk kepercayaan masa perundagian
dapat kita ketahui melalui benda-benda peninggalan yang kita temukan dari masa
itu.
Secara tipologis kepak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak
corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Kemudian Heekeren mengklasifikasikan
kapak ini menjadi kapak corong, kapak upacara dan tembilang atau tajak.
Pembagian ini diperluas lagi oleh Soejono dengan mengadakan penelitian lebih
cermat tentang bentuk-bentuk kapak dan membagi kapak perunggu menjadi
delapan tipe pokok dengan menentukan daerah persebarannya.
Tipe I atau tipe umum merupakan tipe dasar. Kapak jenis ini berbentuk lebar dengan
penampang lonjong, garis puncak (pangkal tangkainya cekung atau kadang-kadang
lurus), dan bagian tajaman cembung. Tipe ini terbagi lagi ke dalam beberapa
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Subtipe A
Tangkai panjang, tajaman berbentuk setengah bulatan atau hampir cembung, dan
memiliki berbagai ukuran. Ukuran terbesar 19,8 x 12,4 x 2,8 cm sedangkan yang
kecil berukuran 4,6 x 4,4 x 13 cm. Sebuah kapak yang besar dengan hiasan, yang
dikenal sebagai “Kapak Makassar” merupakan kapak upacara. Kapak ini
sesungguhnya lebih tepat disebut dengan bejana perunggu karena bentuk dan
ukurannya menyerupai bejana perunggu yang ditemukan di Indonesia. Daerah
persebaran dari kapak subtipe ini adalah; Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Selayar,
Bali, Flores, Timor dan Maluku.
b. Subtipe B
Kedua sisi kapak melengkung ke dalam. Tangkai dan mata kapak sama panjang.
Tipe ini terdiri dari beberapa ukuran. Ukuran paling besar 12,6 x 9,2 x 2,4 cm dan
yang terkecil 4,6 x 4,3 x 9 cm. Kapak-kapak subtipe ini ditemukan di Jawa Barat,
Jawa Timur dan Madura.
c.Subtipe C
Tangkai panjang dan cekung di pangkal. Kedua ujung tajam melengkung ke dalam,
membentuk lingkaran. Sebuah kapak yang besar disebut “Kapak Sentani” bentuk
kapak seperti ini didapatkan di Jawa Barat dan Papua.
Tipe II atau tipe ekor burung seriti mempunyai bentuk tangkai dengan ujung yang
membelah seperti ekor seriti. Ujung tajaman biasanya berbentuk cembung atau
seperti kipas. Belahan pada ujung tangkai ada yang dalam, dan ada yang dangkal.
Kapak-kapak tipe ini ada yang dihias, ada pula yang tidak memperlihatkan hiasan.
Pada kapak perunggu yang ditemukan di Jawa Barat, bagian tangkainya dihias
dengan pola topeng yang disamarkan dalam garis-garis, mata atau geometris
berupa pola tangga dan lingkaran. Yang terbesar di antara kapak-kapak tipe ini
berukuran 24,5 x 13,6 x 5,5 cm dan yang terkecil 5,4 x 4,3 x 3,5 cm. Daerah
temuannya adalah; Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, Bali dan Flores.
Tipe III atau tipe pahat memiliki tangkai yang pada umumnya lebih panjang daripada
tajamannya. Bentuk tangkai ini ada yang menyempit dan lurus, ada yang pendek
dan lebar. Bentuk tajaman cembung atau lurus (datar). Kapak dari tipe ini berukuran
12,2 x 5,8 x 1,7 cm dan yang terkecil 5,4 x 3,6 x 1,3 cm. Daerah penemuannya
adalah di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.
Tipe V atau tipe bulan sabit memiliki mata kapak berbentuk bulan sabit. Bagian
tengahnya lebar yang kemudian menyempit ke kedua sisi, serta sudut-sudut
tajamannya membulat. Tangkai lebar di pangkal kemudian menyempit di bagian
tajamannya. Pada jenis yang kecil, kedua sudut pangkal tangkainya berakhir
sebagai sapu lidi, sedangkan mata kapaknya sangat pipih. Jenis yang besar
berukuran 16,5 x 15, 6 x 3,4 cm dan yang terkecil 7,2 x 5,2 x 4,5 cm. Kapak-kapak
tipe ini ditemukan di Bali dan Papua.
Tipe VI atau tipe jantung. Memiliki mata kapak seperti jantung, tangkainya panjang
dengan pangkal yang cekung, bagian bahu melengkung, pada ujungnya. Kapak tipe
ini ditemukan dalam berbagai ukuran; yang terbesar 39,7 x 16,2 x 1,5 cm dan
terkecil 13 x 7,2 x 0,6 cm. Kedua sudut pangkal tangkainya pada jenis yang kecil
juga seperti tangkai sapu lidi. Kapak tipe ini hanya ditemukan di Bali.
Tipe VII atau tipe candrasa. Bertangkai pendek dan melebar pada pangkalnya. Mata
kapak tipis dengan kedua ujungnya melebar dan melengkung ke arah dalam.
Pelebaran ini tidak sama sehingga membentuk bidang mata yang asimetris. kapak
ini sangat besar dan pipih; yang terbesar memiliki lebar tajaman 133,7 cm, yang
terkecil 37 cm. Kapak ini kadang-kadang dihias dengan pola burung berparuh
runcing dan kakinya digambarkan mencengkram sebuah kapak tipe candrasa dalam
bentuk kecil. Pola-pola geometris berupa pilin, garis-garis, dan tangga menghiasi
tangkai candrasa. Kapak dari tipe ini ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur.
Tipe VIII atau tipe kapak Rote berbentuk khusus dan hanya ada tiga buah ditemukan
di Rote; satu di antaranya musnah dalam kebakaran pada waktu mengikuti pameran
di Paris pada tahun 1931. Tangkai kapak yang lengkung serta panjang dituang
menjadi satu dengan kapaknya. Keseluruhannya gepeng dan berukuran panjang
lebih kurang 90 cm. Puncak (pangkal) tangkai berbentuk cakram, tempat perletakan
kapaknya. Cakram ini dihias dengan pola roda atau pusaran. Kapak yang menempel
pada cakram ada yang bermata melebar berbentuk kipas, dan ada yang kedua
sudut tajamannya melengkung ke dalam hingga seluruh mata kapak membentuk
bulatan yang berlubang di kedua belah sisi. Pola hias utama pada mata kapak
adalah topeng dengan tutup kepala yang menyerupai kipas. Sebuah fragmen kapak
perunggu yang memperlihatkan mata kapak berbentuk bulat dengan pola hias
semacam pusaran yang disederhanakan mungkin sekali merupakan bagian dari
jenis kapak upacara tipe kapak Rote ini. Fragmen tersebut ditemukan di Papua.
Sebuah kapak perunggu yang berbentuk khas telah ditemukan di Liang Bua (Flores)
pada ekskavasi tahun 1978. Kapak ini berukuran maksimal panjang 8,1 cm, lebar 8
cm dan tebal 0,6 cm, serta tidak bercorong. Sisi kiri dan kanan tangkai kapak melipat
ke dalam sehingga membentuk ruang untuk memasukan tangkai kayunya. Tipe
kapak ini merupakan bentuk pendahulu dari kapak corong dan sementara ini
merupakan satu-satunya temuan di Indonesia. Kapak ini ditemukan sebagai liang
kubur di Liang Bua yang diduga berasal dari masa perundagian, berdasarkan
temuan-temuan lainnya, yaitu jenis-jenis gerabah dari tipe yang telah maju.
Pada tahun 1971, ditemukan sebuah kapak perunggu di Dusun Kabila. Berdasarkan
klasifikasi Soejono, kapak ini dapat digolongkan ke dalam tipe Soedjono, VII. Bagian
ini berbentuk oval dan seperti dibagi-bagi ke dalam sejumlah jari-jari. Bagian
tengahnya menggambarkan pola topeng. Bagian tengahnya hanya digambarkan
seperti duri-duri.
Sebuah kapak perunggu yang memiliki bentuk hampir sama dengan kapak Kabila
ditemukan pula di Pulau Rote. Kapak ini akan diselundupkan melalui Bandara
Juanda di Surabaya, tetapi berhasil digagalkan dan diserahkan ke Museum Mpu
Tantular Surabaya. Kapak ini berukuran panjang 150 cm dan bagian tajamannya
juga memiliki pola hias topeng.