Anda di halaman 1dari 15

Hasil Kebudayaan Manusia Purba Pada

Masa Perundagian

Alat-Alat Pertanian

a.Gerabah
Dalam masa peundagian, pembuatan barang-barang gerabah makin
maju dan kegunaan gerabah semakin meningkat. Walaupun masa
perundagian peranan perunggu dan besi sangat penting, namun peranan
gerabah pun dalam kehidupan masyarakat masih sangat penting dan
fungsinya tidak dapat dengan mudah digantikan oleh alat-alat yang
terbuat dari logam.

Pada umumnya gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga sehari-


hari. Dalam upacara keagamaan gerabah digunakan sebagai tempayan
kubur, tempat bekal kubur atau tempat sesaji. Cara pembuatan gerabah
pada masa perundagian lebih maju dari pada masa bercocok tanam.
Pada masa perundagian ada adat kebiasaan untuk menempatkan tulang-
tulang mayat dalam tempayan-tempayan besar. Dengan adanya
kebiasaan ini menunjukan bahwa teknik pembuatan gerabah lebih tinggi.

Bukti-bukti peninggalan benda-benda gerabah ditemukan di


Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang),
Kalumpang dan Minanga Sapakka (Sulawesi Tengah) dan sekitar bekas
danau Bandung. Di Indonesia penggunaan roda putar dan tatap batu
dalam pembuatan barang gerabah berkembang lebih pesat dalam masa
perundagian (logam), bahkan di beberapa tempat masih dilanjutkan
sampai sekarang. Dari temuan benda-benda gerabah di Kendenglembu
dapat diketahui tentang bentuk-bentuk periuk yang kebulat-bulatan
dengan bibir yang melipat ke luar. Menurut dugaan para ahli, gerabah
semacam itu dibuat oleh kelompok petani yang selalu terikat dalam
hubungan sosial ekonomi dan kegiatan ritual. Dalam pembuatan gerabah
karena lebih mudah memberi bentuk, maka dapat berkembang seni hias
maupun bentuknya.

Di samping barang-barang gerabah di Kalimantan Tenggara (Ampah) dan


di Sulawesi Tengah (Kalumpang dan Minanga Sipakka) ditemukan alat
pemukul kulit kayu dari batu. Kagunaan alat ini ialah untuk menyiapkan
bahan pakaian dengan cara memukul-mukul kulit kayu sampai halus. Alat
pemukul kulit kayu sekarang masih digunakan di Sulawesi. Gerabah pada
masa perundagian banyak sekali ditemukan di Buni (Bekasi, Jawa Barat).
Di tempat ini telah dilakukan penggalian percobaan yang dikerjakan oleh
R.P.Suyono dan Basuki pada tahun 1961.

Di tempat ini gerabah ditemukan bersama-sama dengan tulang-tulang


manusia. Sistem penguburan di sini adalah sistem penguburan langsung
(tanpa tempayan kubur untuk tempat tulang-tulang mayat). Selain
gerabah ditemukan pula beliung persegi, barang-barang dari logam dan
besi. Warna gerabah yang ditemukan adalah kemerah-merahan dan
keabu-abuan. Selain di Bekasi, gerabah juga ditemukan di Bogor (Jawa
Barat), Gilimanuk (ujung barat pulau Bali), Kalumpang (Sulawesi
Tengah), Melolo (Sumba), dan Anyer (Jawa Barat).

b.Kapak Corong
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia adalah kapak corong dan
nekara. Kapak corong banyak sekali jenisnya, ada yang kecil bersahaja,
ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, bulat dan
ada pula yang panjang serta sisinya atau disebut candrana. Di lihat dari
bentuknya, kapak-kapak corong tersebut tentunya tidak digunakan
sebagaimana kapak, melainkan sebagai alat kebesaran atau benda
upacara. Hal ini menunjukkan bahwa kapak corong yang ditemukan di
Indonesia peninggalan zaman perunggu memiliki nilai-nilai sakral atau
nilai religi. Bentuk-bentuk corong tersebut ditemukan di Irian Barat dan
sekarang disimpan di Belanda. Sedangkan kapak upacara yang
ditemukan pada tahun 1903 oleh ekspedisi Wichman di Sentani
disimpan di musium lembaga kebudayaan Indonesia di Jakarta.

c. Kapak perunggu
Di Indonesia kapak perunggu yang ditemukan memiliki bentuk tersendiri.
Kapak perunggu memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran. Di lihat
dari pengggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi sebagai
alat
upacara atau benda pusaka dan sebagai pekakas atau alat untuk
bekerja. Secara Tipologik, kapak perunggu digolongkan ke dalam dua
golongan, yaitu: kapak corong dan kapak upacara. Umumnya kapak
perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong
untuk memasukan kayu tangkai. Oleh karena bentuknya menyerupai
kaki orang yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”. Kapak
perunggu tersebut ada yang diberi hiasan dan tanpa hiasan. Pada
candrasa yang ditemukan di daerah Yogyakarta, di dekat tungkainya
terdapat lukisan yang sangat menarik yaitu seekor burung terbang
memegang sebuah candrasa yang tangkainya sangat pendek.

Adapun cara pembuatan kapak-kapak perunggu atau corong, banyak


tanda-tanda yang menunjukan teknik a cire perdue. Di dekat Bandung
ditemukan cetakan-cetakan dari tanah bakar untuk menuangkan kapak
corong. Penyelidikan menyatakan bahwa yang dicetak adalah bukan
logamnya, melainkan tentunya kapak yang dibuat dari lilin, ialah yang
menjadi model dari kapak logamnya. Kapak perunggu untuk pertama
kalinya ditemukan oleh G. E. Rumpius pada awal abad ke-18. Penelitian
yang lebih cermat dilakukan oleh R.P.Soejono dengan mengadakan
klasifikasi jenis kapak menjadi delapan tipe.

Daerah-daerah temuan kapak perunggu di Indonesia adalah Sumatera


Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan
Selatan, Bali, Flores, pulau Roti dan Irian Jaya dekat Danau Sentani.
Kapak perunggu atau corong yang ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa,
Bali, sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat Danau
Sentani memiliki beragam jenis. Ada yang kecil dan bersahaja; ada yang
besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar; ada yang bulat, dan
adapula yang panjang satu sisinya. Yang panjang satu sisinya disebut
Candrasa.

d. Bejana perunggu
Temuan bejana perunggu di Indonesia hanya sedikit. Daerah tempat
penemuannya tidak tersebar. Penemuan bejana perunggu ini hanya
ditemukan di daerah Sumatera dan Madura. Bejana perunggu ini
memiliki bentuk yang bulat panjang, seperti keranjang tempat ikan yang
biasa digunakan oleh para pencari ikan di sungai (kepis) atau
menyerupai bentuk gitar model Spanyol tanpa tangkai. Bejana yang di
temukan di Kerinci (Sumatera) memiliki panjang 50,8 cm dan lebar 37
cm. Sedang bejana yang di temukan di Sampang lebih tinggi dan lebar
ukurannya yaitu tingginya 90 cm dan lebar 54 cm.
e . Nekara perunggu
Nekara pun dianggap sebagai benda suci yang digunakan pada saat
upacara saja. Hal ini diperjelas dengan ditemukannya nekara di
berbagai daerah dan diantaranya sampai sekarang masih tersimpan di
Bali dengan
ukuran 1,86 meter disimpan di sebuah pura di desa Intaran yaitu pure
penataran sasil. Nekara merupakan benda-benda atau alat-alat yang
ada dalam kegiatan upacara yang berfungsi untuk genderang waktu
perang, waktu upacara pemakamam, untuk upacara minta hujan, dan
sebagai benda pusaka (benda keramat).

Nekara perunggu banyak sekali ditemukan di daerah Nusantara. Di pulau


Bima dan Sumbawa, nekara-nekara perunggu memakai pola hiasan
berupa orang-orang yang sedang menari dengan memakai hiasan bulu
burung dan terdapat hiasan perahu. Hiasan perahu tersebut diduga
merupakan perahu jenazah yang membawa arwah orang yang telah
meninggal. Di Pulau Alor banyak nekara berukuran lebih kecil dan
ramping dari pada yang ditemukan di tempat-tempat lain. Nekara yang
ditemukan di Alor diberi nama Moko. Menurut penelitian dikatakan bahwa
moko itu dibuat di Gresik dan kemudian di bawa oleh orang-orang Bugis
ke daerahnya. Di bawa ke Nusa Tenggara sebagai barang dagangan.

Di daerah Manggarai (Flores) orang menanamakan Moko dengan


sebutan “gendang gelang” atau “tambur”. Biasanya Moko merupakan
benda pusaka yang dimiliki oleh seorang kepala suku yang kemudian
diturunkan
kepada salah seorang anak laki-lakinya. Di Jawa Moko disebut “tamra”
atau “tambra”. Di Pulau Roti Moko ini disebut “Moko malai” yang artinya
pulau besar dari malai (Malaya), dan di Maluku Moko disebut “tifa
guntur”. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa daera-daerah
penyebaran moko terutama di Indonesia, meliputi daerah: pulau-pulau
Alor, Flores, Jawa, pulau Roti dan Maluku. Nekara yang paling besar
adalah sebuah nekara yang ditemukan di dekat Manuaba, daerah
Pejeng (Bali). Karena itu nekara yang ditemukan tersebut diberi nama
“Nekara Pejeng” atau “Bulan Pejeng”. Nekara di Pejeng (Gianjar Bali)
berukuran sangat besar, yaitu tinggi 1,98 meter dan bidang pukulnya
1,60 meter.

Nekara tersebut disimpan di puara penataran Sasih dan masih dipandang


keramat oleh penduduk setempat. Pada tahun 1704, G.E. Rumpius telah
melaporkan hasil penelitiannya dengan mengemukakan tentang nekara
dari Bali, yang kemudian dikenal dengan nama Bulan Pejeng. Kemudian
E.C. Barehewitz menghasilkan hasil penelitiannya nekara dari Nusa
Tenggara Timur pada tahun 1930. Sebelum itu, A.B. Meyer telah
menemukan beberapa nekara dari Jawa, Salayar, Luang, Roti dan Leti.
Bersama-sama dengan W. Fox, A.B. Meyer mengadakan perbandingan
tentang benda-benda nekara yang ditemukan di Asia Tenggara dan
mengambil kesimpulan, bahwa nekara-nekara perunggu itu pada
dasarnya berpusat di Khemer dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara
termasuk penyebaran selanjutnya ke Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian yang sistematis dilakukan oleh R.P. Soejono


pada akhir-akhir ini telah menghasilkan benda-benda perunggu dari
Gilimanuk di Bali, Leuwi Liang di Bogor. Di tempat lain juga didapatkan
benda-benda perunggu seperti hasil penelitian di Prajekan antara
Bondowoso dan Situbudondo. Kemudian dari daerah antara Tangerang
sampai Karawang di Jawa Barat dan di aliran sungai Cisadane, Bekasi,
Citarum, Ciparage dan Cikarang.

f. Patung-patung perunggu
Bentuk patung perunggu bermacam-macam bentuknya. Ada yang
berbentuk orang atau hewan. Patung yang berbentuk orang
menggambarkan orang yang sedang menari, orang yang sedang berdiri,
sedang naik kuda dan ada yang memegang panah. Patung perunggu ini
tenyata banyak juga ditemukan di Indonesia. Arcaraca yang berbentuk
orang atau hewan telah ditemukan di daerah Bangkinan (propinsi Riau),
Lumajang (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat), dan Palembang (Sumatera
Selatan) Jenis patung ada dua, yakni patung orang dan patung
binatang, berupa kerbau. Patung orang atau boneka perunggu ini
ditemukan di Bangkinang daerah provinsi Riau daratan. Sedangkan
yang berbentuk hewan ditemukan di Limbangan daerah Bogor.

g. Gelang dan cincin perunggu


Gelang perunggu dan cincin perunggu pada umumnya tanpa hiasan.
Tetapi ada juga yang dihias dengan pola geometrik atau pola binatang.
Bentuk-bentuk hiasa yang kecil mungkin dipergunakan sebagai alat
tukar atau
benda puasaka. Ada juga mata cincin yang bernetuk seekor kambing
jantan yang ditemukan di Kedu (Jawa Tengah). Bandul (mata) kalung
yang berbentuk kepala orang ditemukan di Bogor. Ada pula kelintingan
perunggu berukuran kecil yang berbentuk kerucut, silinder-silinder kecil
dari perunggu, yang tiap ujung silinder ada yang berbentuk kepala kuda,
burung, kijang. Kelintingan perunggu banyak ditemukan di Malang
(Jawa Timur). Di samping perhiasan dari perunggu juga ada yang
berbentuk belati, ujung tombak, ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur, serta Flores.

h. Benda-benda perunggu lainnya


Benda-benda yang terbuat dari perunggu mempunyai nilai seni yang
tinggi seperti yang ditemukan berupa jelang kaki atau benggel, gelang,
antinganting, kalung, dan cincin. Di samping itu, seni menuang patung
sudah ada dengan ditemukannya patung-patung, juga memiliki nilai
ekonomi dengan ditemukannya cincin dengan lubang kecil yang
diperkirakan sebagai alat tukar. Untuk menetapkan benda-benda yang
terbuat dari perunggu diperlukan suatu teknologi. Dengan menempa
logam untuk dijadikan sebuah benda yang didinginkan terlebih dahulu
harus melebur bijih menjadi lempengan logam, sedangkan proses
peleburan diperlukan panas dengan suhu yang tinggi. Kesemuanya
meliputi jenis :

• Ujung tombak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa


Timur.
• Pisau belati, ditemukan di Jawa Timur dan Flores.
• Mata pancing ditemukan di Gilimanuk di Bali.
• Ikat pinggang berpola hias geometris ditemukan di Prajekan di Jawa
Timur.
• Penutup lengan ditemukan di Bangkinang dan Bali.
• Bandul kalung berbentuk manusia ditemukan di Bogor.
• Silinder-silinder kecil bagian dari kalung ditemukan di Malang.
• Kelintingan kecil berbentuk kerucut, ditemukan di Bali.

i. Manik-manik
Manik-manik sebagai hasil hiasan sesungguhnya sudah lama di kenal
masyarakat Indonesia. Manik-manik di Indonesia memegang peranan
penting. Manik-manik digunakan sebagai bekal kubur, benda pusaka,
juga dipergunakan sebagai alat tukar. Manik-manik ditemukan hampir di
setiap penggalian, terutama di daerah-daerah penemuan kubur
prasejarah seperti Pasemah, Jawa Barat, Gunung Kidul (Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Besuki (Jawa Timur), dan Gilimanuk (Bali). Manik-manik
di Indonesia yang pernah ditemukan bermacam-macam bentuk dan
ukurannya. Ukuran yang biasa adalah bulat, silinder, bulat panjang,
lonjong telor, persegi enam, dan sebagainya. Warna-warna yang umum
pada manik-manik tersebut adalah biru, merah. Kuning, hujau atau
merupakan kombinasi dari warna-warna itu. Beberapa manik-manik
yang berwarna hitam ditemukan di Sangir, yang terbuat dari batu
andesit.

j. Benda-benda besi
Berbeda dengan penemuan benda-benda perunggu, maka penemuan
benda-benda besi terbatas jumlahnya. Benda-benda besi di gunakan
sebagai bekal kubur, misalnya yang ditemukan di kubur-kubur
prasejarah di
Wonosari (Jawa Tengah) dan Besuki (Jawa Timur). Jenis-jenis alat besi
dapat digolongkan sebagai prkakas kerja sehari-hari dan sebagai
senjata. Sebagian temuan hanya berupa fragmen-fragmen yang sukar
ditentukan macam bendanya dan sebagian lagi memperlihatkan bentuk-
bentuk yang belum jelas fungsinya. Alat-alat besi yang banyak
ditemukan berbentuk:

• Mata kapak atau sejenis beliung yang dikaitkan secara melintang pada
tangkai kayu. Alat ini banyak ditemukan di daerah Gunung Kidul (Jawa
Tengah). Alat yang temukan tersebut diperkirakan dipergunakan
untuk menatah batu padas.
• Mata pisau dalam berbagai ukuran
• Mata sabit dalam bentuk melingkar
• Mata tembilang atau tajak
• Mata alat penyiang rumput
• Mata pedang, yang antara lain ditemukan dalam kubur peti di
• Gunung Kidul
• Mata tombak
• Tongkat dengan ujungnya berbentuk kepala orang
• Gelang-gelang besi ditemukan antara lain di daerah Banyumas dan
Punung (Pacitan Jawa Tengah)

Setelah kalian mempelajari dan memahami materi tentang Periodisasi


Kebudayaan Pada Masyarakat Awal Indonesia, coba kalian isi tabel di
bawah ini yang berhubungan dengan jenis manusia purba dan hasil
kebudayaannya dari setiap periodisasi tersebut.

Secara kegunaannya, kapak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
kapak corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Masyarakat Nusantara mengenal
logam skitar 3000-200 SM, bertepatan dengan zaman perundagian.

Perundagian; adalah tahap terakhir dari masa prasejarah di Indonesia. Ditandai


dengan mulainya pembuatan alat-alat dari logam seperti dari besi, perunggu dan
tembaga.Pada masa perundagian kemahiran manusia untuk membuat alat-alat atau
perkakas semakin berkembang. Hal ini disebabkan oleh adanya penggolongan
masyarakat berdasarkan keahliannya masing-masing. Adanya bagian dari
masyarakat yang bertugas secara khusus untuk membuat alat-alat. Teknologi
pembuat benda-benda semakin meningkat, terutama setelah ditemukannya suatu
campuran antara timah dan tembaga yang kemudian menghasilkan logam
perunggu. Di Asia Tenggara logam mulai dikenal sejak kira-kira 3000-2000 SM.

Berdasarkan hasil penemuan arkeologi, Indonesia hanya mengenal alat-alat atau


perkakas yang terbuat dari perunggu dan besi. Sedangkan untuk perhiasan,
masyarakat Indonesia di masa itu sudah mengenal bahan dari emas, jauh sebelum
perunggu ditemukan. Benda-benda perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki
kesamaan dengan yang ada di Dongson (Vietnam), baik bentuk maupun pola
hiasnya. Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya hubungan budaya yang
berkembang antara Dongson dengan Indonesia.

Cara pembuatan

Suatu kemahiran baru pada masa perundagian adalah kemampuan menuang


logam. Teknik melebur logam merupakan teknik yang tinggi, karena pengetahuan
semacam itu belum dikenal dalam masa sebelumnya. Logam harus dipanaskan
hingga mencapai titik lebur, kemudian baru dicetak menjadi bermacam-macam jenis
perkakas atau benda lain yang diperlukan. Teknik pembuatan benda perunggu ada
dua macam yaitu dengan cetak setangkup (bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue).

Teknik pembuatan dengan cara cetakan setangkup, yaitu menuangkan cairan logam
pada cetakan dari batu. Cetakannya terdiri dari dua bagian batu yang dapat di
tangkupkan (dikatupkan) seperti kulit tiram. Teknik ini dilakukan untuk benda-benda
yang tidak memiliki bagian-bagian yang menonjol. Cetakan setangkup dapat
dipergunakan hingga beberapa kali.

Sedangkan teknik a cire perdue dipergunakan untuk mencetak benda-benda yang


berbentuk dan memiliki bagian yang menonjol. Misalnya; arca, kapak perunggu. Dan
teknik cetakan ini hanya untuk sekali pakai. Berikut adalah cara membuat dan
menggunakan cetakan teknik a cire perdue:

a. Mula-mula dibuat model benda yang diinginkan dari lilin

b. Seluruh model dari lilin itu kemudian dilapisi dengan tanah liat yang tahan api

c. Pada bagian atas lapisan tanah liat tersebut dibuat semacam corong dan diberi
lubang pada bagian bawahnya

d. Seluruh model yang berlapis tanah liat itu kemudian dibakar sampai lilin di
dalamnya meleleh dan mengalir melalui lubang pada bagian bawahnya.

e. Kemudian dari corong pada bagian atas tadi dituangkan cairan perunggu

f. Setelah cairan perunggu membeku dan dingin, maka lapisan tanah liat itu padat
dan pecah, sehingga kita memperoleh benda cetakan dari perunggu.

Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Dilihat dari


penggunaannya, kapak perunggu dapat berfungsi dua macam yaitu:
1. Sebagai alat upacara atau benda pusaka

2. Sebagai perkakas atau alat untuk bekerja

Secara tipologi, kapak perunggu dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu
kapak corong dan kapak upaca. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di
Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukan kayu tangkai. Oleh
karena bentunya menyerupai kaki yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”.
Namun lebih tepatnya disebut kapak corong.

Berdasarkan hasil temuan, kapak perunggu ternyata ada yang diberi hiasan dan ada
yang tidak berhias. Adapun daerah penemuan dari kapak perunggu adalah Sumatra
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Bali, Flores, Pulau Roti, dan Papua dekat danau Sentani.

Kehidupan Sosial Ekonomi

Kebudayaan kapak perunggu berkembang pada zaman perundagian. Pada zaman


perundagian manusia tinggal di daerah pegunungan, daerah rendah dan tepi pantai.
Pada zaman perundagian kehidupan manusia telah mengalami peningkatan cara
untuk bertahan hidup, dari pada kehidupan manusia pada zaman sebelumnya.

Pada zaman bercocok tanam, manusia sudah tinggal menetap di desa-desa atau
perkampungan serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan bersama. Dengan
menghasilkan makanan sendiri terutama dari sektor pertanian dan peternakan, tidak
lagi menggantugkan kehidupannya dari pemberian alam. Selama masa bertempat
tinggal menetap ini, manusia berupaya untuk meningkatkan kegiatannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang terpenting dari peningkatan cara bertahan
hidup tersebut antara lain dengan membuat benda-benda dari logam seperti kapak
perunggu.

Khusus dalam pembuatan alat dari logam, diperlukan orang-orang yang terampil.
Sehingga dalam masa perundagian terdapat kelompok orang yang memiliki keahian
khusus, yaitu golongan undagi (tenaga ahli) atau golongan orang-orang yang
terampil. Golongan undagi tersebut misalnya dalam pembuatan rumah dari kayu,
pembuatan barang-barang gerabah, pembuatan barang dari logam dan sebagainya.

Walapun pada zaman itu sudah mengenal peralatan dari logam, tetapi karena bahan
baku logam dan teknologi pembuatan yang masih terbatas, sehingga peralatan dari
dari zaman sebelumnya masih dipergunakan. Hal ini didasarkan atas penemuan
peralatan dari batu di lokasi penemuan peninggalan zaman perundagian. Peralatan
dari batu kemungkinan masih dipergunakan oleh golongan orang biasa, sedangkan
peralatan dari logam hanya digunakan oleh golongan tertentu.

Hal ini disebabkan oleh bahan baku dan kemampuan teknologi yang terbatas
sehingga peralatan dari logam hanya dipergunakan oleh golongan masyarakat
tertentu. Mengingat bahan baku untuk pembuatan peralatan perunggu masih
terbatas, dan tidak terdapat di sembarangan tempat. Sehingga barang-barang
tersebut harus didatangkan dari daerah lain, hal ini berarti adanya sebuah
perdagangan. Adanya perdagangan ini berarti adanya sebuah interaksi budaya.
Peninggalan prasejarah masa perundagian menunjukkan kekayaan dan
keanekaragaman budaya yang tumbuh dan berkembang pada masa itu. Benda-
benda hasil penemuan menunjukan adanya sebuah perkembangan kemahiran
dalam pembuatan peralatan hidup.

Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang akhirnya


memengaruhi terhadap kesejahteraan hidup. Sehingga berpengaruh pula terhadap
perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang sebelumnya bertempat
tinggal secara berkelompok telah membentuk sebuah perkampungan. Gabungan
dari beberapa perkampungan terdekat akhirnya membentuk sebuah desa.

Kebanyakan tempat penemuan yang meninggalkan sisa-sisa kehidupan kelompok


manusia tersebut terletak di daerah dekat pantai. Perpindahan penduduk atau
pelayaran lebih banyak terjadi pada masa perundagian dari pada masa sebelumnya.
Bentuk mata pencaharian yang berkembang adalah pertanian dalam bentuk
perladagangan atau persawahan, nelayan dan perdagangan.

Kehidupan Sosial Budaya

Susunan masyarakat dalam masa perundagian tidak dapat diketahui dengan pasti.
Untuk memperoleh gambaran sedikit tentang hasil kehidupan sosial budaya pada
masa itu, kita peroleh dari hasil penelitian peninggalan-peninggalan yang berupa
kuburan-kuburan yang berasal dari zaman perundagian. Dari kuburan-kuburan
tersebut dapat diketahui adanya orang-orang tertentu yang dikuburkan melalui suatu
upacara khusus. Cara penguburan yang khusus dapat dilihat dari cara penempatan
mayat dalam kuburan peti batu, sarkofagus atau tempayan khusus dan sebaginya.
Upacara khusus dapat dilihat dari berbagai jenis bekal kubur yang terdapat dalam
kuburan-kuburan itu.sarkofagus: adalah peti mayat yang dibuat dari batu (spt yg
biasa digunakan pd zaman Yunani, Romawi, dan Mesir Purba)

Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa ada orang-orang yang
diperlakukan secara khusus setelah mereka meninggal. Dapat diduga bahwa
mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Maka bisa dikatakan bahwa masyarakat pada masa itu telah memiliki strata sosial
serta norma-norma dalam kehidupan, terutama sikap menghargai kepemimpinan
seseorang. Walaupun dapat kita pastikan bahwa masyarakat pada masa itu
didasarkan atas gotong royong, namun telah berkembang norma-norma yang
mengatur hubungan antara yang dipimpin dan yang memimpin. Norma-norma
tersebut tentunya telah tumbuh dan berkembang pada masa berabad-abad
sebelumnya.

Sistem kepercayaan pada masa perundagian di Indonesia sebenarnya tidak


berbeda dengan sistem kepercayaan pada masa bercocok tanam, yaitu; pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Saat itu orang-orang beranggapan bahwa roh nenek
moyang bisa mempengaruhi perjalanan hidup manusia dan lingkungan
masyarakatnya. Karena itu arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan dan
dihormati dengan mengadakan upacara-upacara dan memberikan sesaji-sesaji.

Selain itu, diyakini pula bahwa orang yang sudah meninggal memerlukan barang-
barang seperti semasa hidupnya. Maka bagi orang yang terpandang atau
mempunyai kedudukan dalam masyarakat, diadakan upacara-upacara penguburan
dengan pemberian bekal kubur lengkap. Bekal kubur itu dapat berupa macam-
macam barang seperti periuk, benda dari perunggu dan besi, manik-manik dan
perhiasan lain serta jenis unggas.

Beberapa contoh pola hias topeng atau muka pada beberapa benda prasejarah di
Indonesia |Foto dari Hoop

Kehidupan pada masa perundagian diliputi perasaan solidaritas yang tertanam


dalam sanubari tiap warga masyarakat sebagai warisan nenek moyang. Sebagai
akibat adat kebiasaan dan kepercayaan yang kuat, maka kebebasan individu agak
terbatas, karena jika terjadi pelanggaran akan dianggap membahayakan
masyarakat. Kalau ada orang memiliki kekayaan lebih dari orang lain, kebanyakan ia
adalah seorang kepala suku atau mereka adalah orang-orang yang berkedudukan
penting dalam masyarakat. Tetapi kekayaan itu pun dipergunakan untuk
kepentingan masyarakat. Penguasaan dan pengambilan sumber penghidupan diatur
menurut tata tertib dan kebiasaan masyarakat. Pemakaian barang-barang untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari didasarkan atas sifat magis dari barang-
barang tersebut.

Pada masa itu ada kultus kepemimpinan dan pemujaan kepada suatu yang suci di
luar diri manusia dan hal ini dikuasai oleh suatu yang lebih tinggi. Dalam masyarakat
mulai jelas ada pembedaan golongan-golongan tertentu, seperti; golongan-golongan
pengatur upacara atau berhubungan dengan kepercayaan, golongan petani,
golongan pedagang dan para pembuat benda dari logam atau gerabah.

Upacara-upacara bersifat pemujaan ada juga yang berhubungan dengan peranan


laut. Sebagai bangsa yang telah lama mengarungi laut, maka masyarakat Indonesia
pada masa perundagian pun memosisikan laut sebagai pemegang peranan penting
dalam sistem kepercayaan masa itu. Di samping pemujaan leluhur yang telah
dilakukan pada punden-punden batu berundak. Punden Berundak; bangunan
pemujaan tradisi megalitik yang bentuknya persegi empat dan tersusun bertingkat-
tingkat.
Bagaimana bentuk upacara laut pada masa itu, belum bisa diketahui dengan pasti
karena belum ditemukan peninggalan-peninggalan yang memberikan petunjuk
dengan pasti. Mungkin upacara yang sekarang masih dilakukan oleh para nelayan
yang berhubungan dengan laut masih mengandung unsur yang menggambarkan
keadaan masa lampau. Misalnya selamatan yang berhubungan dengan pembuatan
perahu, sedekah laut dan sebagainya.

Kemahiran mengarungi laut telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak masa
prasejarah, dengan demikian pengetahuan mengenai astronomi untuk mengetahui
arah pelayaran telah mereka miliki. Pengetahuan tentang perbintangan ini kemudian
sangat berguna pada waktu mereka mengembangkan cara bercocok tanam dengan
mempergunakan pengetahuan astronomi. Bentuk kepercayaan masa perundagian
dapat kita ketahui melalui benda-benda peninggalan yang kita temukan dari masa
itu.

Tipologi; ilmu watak tt bagian manusia dl golongan-golongan menurut corak watak


masing-masingKeterangan pertama tentang kapak perunggu diberitakan Ramphius
pada awal abad ke-18. Sejak pertengahan abah ke-19 mulai dilakukan pengumpulan
dan pencatatan asal-usulnya oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Kemudian
penelitian ditingkatkan ke arah tipologi dan uraian tentang distribusi dan konsep
religius mulai dicoba berdasarkan bentuk dan pola hiasannya.

Klasifikasi kapak perunggu di Indonesia oleh R.P. Soejono, 1971

Secara tipologis kepak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak
corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Kemudian Heekeren mengklasifikasikan
kapak ini menjadi kapak corong, kapak upacara dan tembilang atau tajak.
Pembagian ini diperluas lagi oleh Soejono dengan mengadakan penelitian lebih
cermat tentang bentuk-bentuk kapak dan membagi kapak perunggu menjadi
delapan tipe pokok dengan menentukan daerah persebarannya.

Tipe I atau tipe umum merupakan tipe dasar. Kapak jenis ini berbentuk lebar dengan
penampang lonjong, garis puncak (pangkal tangkainya cekung atau kadang-kadang
lurus), dan bagian tajaman cembung. Tipe ini terbagi lagi ke dalam beberapa
macam, yaitu sebagai berikut:

a. Subtipe A

Tangkai panjang, tajaman berbentuk setengah bulatan atau hampir cembung, dan
memiliki berbagai ukuran. Ukuran terbesar 19,8 x 12,4 x 2,8 cm sedangkan yang
kecil berukuran 4,6 x 4,4 x 13 cm. Sebuah kapak yang besar dengan hiasan, yang
dikenal sebagai “Kapak Makassar” merupakan kapak upacara. Kapak ini
sesungguhnya lebih tepat disebut dengan bejana perunggu karena bentuk dan
ukurannya menyerupai bejana perunggu yang ditemukan di Indonesia. Daerah
persebaran dari kapak subtipe ini adalah; Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Selayar,
Bali, Flores, Timor dan Maluku.

b. Subtipe B

Kedua sisi kapak melengkung ke dalam. Tangkai dan mata kapak sama panjang.
Tipe ini terdiri dari beberapa ukuran. Ukuran paling besar 12,6 x 9,2 x 2,4 cm dan
yang terkecil 4,6 x 4,3 x 9 cm. Kapak-kapak subtipe ini ditemukan di Jawa Barat,
Jawa Timur dan Madura.

c.Subtipe C

Tangkai panjang dan cekung di pangkal. Kedua ujung tajam melengkung ke dalam,
membentuk lingkaran. Sebuah kapak yang besar disebut “Kapak Sentani” bentuk
kapak seperti ini didapatkan di Jawa Barat dan Papua.

Tipe II atau tipe ekor burung seriti mempunyai bentuk tangkai dengan ujung yang
membelah seperti ekor seriti. Ujung tajaman biasanya berbentuk cembung atau
seperti kipas. Belahan pada ujung tangkai ada yang dalam, dan ada yang dangkal.
Kapak-kapak tipe ini ada yang dihias, ada pula yang tidak memperlihatkan hiasan.
Pada kapak perunggu yang ditemukan di Jawa Barat, bagian tangkainya dihias
dengan pola topeng yang disamarkan dalam garis-garis, mata atau geometris
berupa pola tangga dan lingkaran. Yang terbesar di antara kapak-kapak tipe ini
berukuran 24,5 x 13,6 x 5,5 cm dan yang terkecil 5,4 x 4,3 x 3,5 cm. Daerah
temuannya adalah; Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, Bali dan Flores.

Tipe III atau tipe pahat memiliki tangkai yang pada umumnya lebih panjang daripada
tajamannya. Bentuk tangkai ini ada yang menyempit dan lurus, ada yang pendek
dan lebar. Bentuk tajaman cembung atau lurus (datar). Kapak dari tipe ini berukuran
12,2 x 5,8 x 1,7 cm dan yang terkecil 5,4 x 3,6 x 1,3 cm. Daerah penemuannya
adalah di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.

Tipe IV atau tipe tembilang berbentuk seperti tembilang zaman sekarang.


Tangkainya pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus ke arah sisi-sisinya.
Mata kapak berbentuk trapesioda atau setengah lingkaran. Jenis mata kapak
dengan bentuk setengah lingkaran rata-rata berukuran 13,5 x 10,8 x 3,5 cm. Ukuran
paling besar dengan jenis mata kapak berbentuk trapesioda adalah 15,7 x 9,6 x 2
cm dan yang terkecil 13,4 x 6,5 x 1,6 cm. Kapak-kapak ini ditemukan di Jawa Timur,
Bali dan Sulawesi Selatan.

Tipe V atau tipe bulan sabit memiliki mata kapak berbentuk bulan sabit. Bagian
tengahnya lebar yang kemudian menyempit ke kedua sisi, serta sudut-sudut
tajamannya membulat. Tangkai lebar di pangkal kemudian menyempit di bagian
tajamannya. Pada jenis yang kecil, kedua sudut pangkal tangkainya berakhir
sebagai sapu lidi, sedangkan mata kapaknya sangat pipih. Jenis yang besar
berukuran 16,5 x 15, 6 x 3,4 cm dan yang terkecil 7,2 x 5,2 x 4,5 cm. Kapak-kapak
tipe ini ditemukan di Bali dan Papua.

Tipe VI atau tipe jantung. Memiliki mata kapak seperti jantung, tangkainya panjang
dengan pangkal yang cekung, bagian bahu melengkung, pada ujungnya. Kapak tipe
ini ditemukan dalam berbagai ukuran; yang terbesar 39,7 x 16,2 x 1,5 cm dan
terkecil 13 x 7,2 x 0,6 cm. Kedua sudut pangkal tangkainya pada jenis yang kecil
juga seperti tangkai sapu lidi. Kapak tipe ini hanya ditemukan di Bali.

Tipe VII atau tipe candrasa. Bertangkai pendek dan melebar pada pangkalnya. Mata
kapak tipis dengan kedua ujungnya melebar dan melengkung ke arah dalam.
Pelebaran ini tidak sama sehingga membentuk bidang mata yang asimetris. kapak
ini sangat besar dan pipih; yang terbesar memiliki lebar tajaman 133,7 cm, yang
terkecil 37 cm. Kapak ini kadang-kadang dihias dengan pola burung berparuh
runcing dan kakinya digambarkan mencengkram sebuah kapak tipe candrasa dalam
bentuk kecil. Pola-pola geometris berupa pilin, garis-garis, dan tangga menghiasi
tangkai candrasa. Kapak dari tipe ini ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur.

Tipe VIII atau tipe kapak Rote berbentuk khusus dan hanya ada tiga buah ditemukan
di Rote; satu di antaranya musnah dalam kebakaran pada waktu mengikuti pameran
di Paris pada tahun 1931. Tangkai kapak yang lengkung serta panjang dituang
menjadi satu dengan kapaknya. Keseluruhannya gepeng dan berukuran panjang
lebih kurang 90 cm. Puncak (pangkal) tangkai berbentuk cakram, tempat perletakan
kapaknya. Cakram ini dihias dengan pola roda atau pusaran. Kapak yang menempel
pada cakram ada yang bermata melebar berbentuk kipas, dan ada yang kedua
sudut tajamannya melengkung ke dalam hingga seluruh mata kapak membentuk
bulatan yang berlubang di kedua belah sisi. Pola hias utama pada mata kapak
adalah topeng dengan tutup kepala yang menyerupai kipas. Sebuah fragmen kapak
perunggu yang memperlihatkan mata kapak berbentuk bulat dengan pola hias
semacam pusaran yang disederhanakan mungkin sekali merupakan bagian dari
jenis kapak upacara tipe kapak Rote ini. Fragmen tersebut ditemukan di Papua.

Sebuah kapak perunggu yang berbentuk khas telah ditemukan di Liang Bua (Flores)
pada ekskavasi tahun 1978. Kapak ini berukuran maksimal panjang 8,1 cm, lebar 8
cm dan tebal 0,6 cm, serta tidak bercorong. Sisi kiri dan kanan tangkai kapak melipat
ke dalam sehingga membentuk ruang untuk memasukan tangkai kayunya. Tipe
kapak ini merupakan bentuk pendahulu dari kapak corong dan sementara ini
merupakan satu-satunya temuan di Indonesia. Kapak ini ditemukan sebagai liang
kubur di Liang Bua yang diduga berasal dari masa perundagian, berdasarkan
temuan-temuan lainnya, yaitu jenis-jenis gerabah dari tipe yang telah maju.
Pada tahun 1971, ditemukan sebuah kapak perunggu di Dusun Kabila. Berdasarkan
klasifikasi Soejono, kapak ini dapat digolongkan ke dalam tipe Soedjono, VII. Bagian
ini berbentuk oval dan seperti dibagi-bagi ke dalam sejumlah jari-jari. Bagian
tengahnya menggambarkan pola topeng. Bagian tengahnya hanya digambarkan
seperti duri-duri.

Sebuah kapak perunggu yang memiliki bentuk hampir sama dengan kapak Kabila
ditemukan pula di Pulau Rote. Kapak ini akan diselundupkan melalui Bandara
Juanda di Surabaya, tetapi berhasil digagalkan dan diserahkan ke Museum Mpu
Tantular Surabaya. Kapak ini berukuran panjang 150 cm dan bagian tajamannya
juga memiliki pola hias topeng.

Anda mungkin juga menyukai