Anda di halaman 1dari 25

Chapter 2

MENELUSURI PERADABAN AWAL DI KEPULAUAN INDONESIA

Sumber: smithonianmag.com

Kompetensi Dasar Tujuan Pembelajaran

3.1 Menganalisa kehodupan manusia purba 1. Mampu menganalisa pengertian


dan asal-usul nenek moyang bangsa dan makna prasejarah.
Indonesia (melanesoid, proto, dan 2. Mampu menjelaskan teori
deutro melayu). pembentukan bumi.
4.1 Menyajikan infornasi mengenai 3. Mampu mengidentifikasi asal usul
kehidupan manusia purba dan asal- dan persebaran nenek moyang.
usul nenek moyang bangsa Indonesia 4. Mampu menjelaskan macam-
(melanesoid, proto, dan deutro macam manusia purba di
melayu) dalam bentuk tulisan. Indonesia dan perbedaan antar
manusia purba.
INTRO
Hobbit pernah ada di Nusantara. Hobbit adalah sosok manusia kerdil
dalam trilogi film The Lord of The Rings. Manusia Hobbit berdiam di
Nusantara sekitar 50.000 ribu tahun yan glalu. Bukti keberadaannya
terekam dalam wujud fosil manusia purba Homo Floresiensis yang
ditemukan di Liang Bua, Flores. Manusia Purba Homo Floresiensis
tingginya sekitar 106 cm. Masih adakah keturunan Homo Floresiensis
sekarang? Selain Homo Floresiensis, adakah jenis manusia purba lain
yang mendiami Nusantara? Berasal dari manakah manusia purba
tersebut? Mari kita pelajari bab berikut untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut.
A. Masa Praaksara
Masa Praaksara berasal dari kata pra yang artinya sebelum dan aksara
yang artinya tulisan . Praaksara dikenal sebagai suatu zaman ketika manusia
belum mengenal tulisan. Praaksara memiliki kesamaan arti dengan kata bahasa
Sanskerta, yakni Nirleka. Nirleka berasal dari kata Nir yang artinya sebelum dan
leka yang artinya tulisan.
Praaksara dimulai dengan permulaan adanya kebudayaan, yaitu
bersamaan dengan jaman geologi quartair atau lebih tepat lagi permulaan
diluvium pada proses pembentukan bumi. Akhir dari masa praaksara sendiri
dimulai dengan ditemukannya keterangan tertulis yang sampai kepada kita.
Maka, praaksara sebagai ilmu adalah ilmu yang mempelajari manusia serta
peradabannya sejak dari zaman permulaan adanya manusia hingga masuknya
zaman sejarah dimana manusia sudah mulai mengenal tulisan.
Zaman praaksara lebih popueler disebut sebagai zaman prasejarah. Hal
ini didukung oleh meluasnya kata prasejarah melalui buku Sejarah Nasional
Indonesia Jilid 1 yang merupakan buku referensi dalam mengkaji mengenai
masa sebelum manusia mengenal tulisan. Namun, dalam perkembangannya,
terjadi perubahan istilah dari prasejarah menjadi praaksara. Hal tersbeut

29 | S e j a r a h I n d o n e s i a
dikarenakan, secara etimologis, istulah praaksara dinilai lebih tepat. Adapun
sejarah merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau atau
adanya kegiatan manusia yang menghasilkan sejarah. Hal ini berarti pada masa
prasejarah, manusia belum melakukan kegiatan atau proses sejarah. Padahal,
pada masa prasejarah telah terjadi proses atau kegiatan tersebut yang
menghasilkan benda-benda hasil kebudayaan yang bernilai sejarah.

B. Teori Pembentukan Bumi


Geologi adalah ilmu yang mempelajari bumis ecara keseluruhan.
Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi kedalam empat
zaman, yaitu:
1. Zaman Arkaekum
Zaman ini berlangsung kira-kira 2.500 juta tahun. Pada saat itu kulit bumi
masih sangat panas dan belum ada kehidupan sama sekali.
2. Zaman Paleozoikum
Zaman ini berlangsung 340 juta tahun. Makhluk hidup yang muncul pada
zaman ini adalah mikroorganisme, ikan, ampibi, reptil, dan binatang yang
tidak bertulang belakang. Zaman ini juga dinamakan zaman primair atau
zaman pertama.
3. Zaman Mesozoikum
Zaman ini berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Pada zaman pertengahan
ini jenis reptil mencapai tingkat yang terbesar sehingga pada zaman ini
sering disebut juga zaman reptil. Contoh hewan repitl adalah dinosaurus.
Setelah berakhir zaman sekunder ini, maka muncul kehidupan yang lain,
yaitu jenis burung dan binatang menyusui yang masih rendah sekali
tingkatannya, sedangkan jenis reptilnya mengalami kepunahan. Bekas-
bekas dari reptil tersebut ditemukan hampir di berbagai tempat di seluruh
dunia. Dinosaurus misalnya sampai 12 meter panjangnya, sedangkan
Atlantosaurus yang ditemukan di Amerika mencapai 30 meter.

30 | S e j a r a h I n d o n e s i a
4. Zaman Neozoikum
Zaman hidup baru, berlangsung sejak kira-kira 60 juta tahun yang lalu
sampai kini. Zaman ini dibagi atas zaman tertiair (ketiga) dan quartair
(keempat).
a. Zaman Tersier
Zaman ini berlangsung sekitar 60 juta tahun. Yang terpenting pada
zaman ini ditandai dengan berkembangnya binatang menyusui seperti
jenis primat, misalnya kera.
b. Zaman Kuarter
Zaman ini ditandai dengan adanya kehidupan manusia sehingga
merupakan zaman terpenting. Zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman,
yaitu zaman plestosen (dilluvium) dan holosen (alluvium). Zaman
plestosen (dilluvium) berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu yang
ditandai dengan adanya manusia purba. Sedangkan zaman holosen
(alluvium) berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu dan terus
berkembang hingga saat ini. Pada zaman ini ditandai dengan manusia
jenis Homo Sapiens yang memiliki ciri-ciri seperti manusia sekarang.

Bagan 1. Pembagian Zaman pada Proses Pembentukan Bumi

ARKAEKUM

PALAEOZOIKUM

PRAAKSARA

MESOZOIKUM

TEERSIER DILLUVIUM

NEOZOIKUM
ALLUVIUM
KUARTIER

31 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Tabel 1. Pembagian Zaman Purba

Zaman Subzaman Masa Skala Waktu


Neozoikum Tersier Paleosen 65 juta tahun
Eosen 58 juta tahun
Oligosen 38 juta tahun
Miosen 26 juta tahun
Pliosen 16 juta tahun
Kuarter Plestosen 1 juta tahun
Holosen 25.000 tahun

Awal kehidupan manusia dibumi ini diperkirakan mulai ada sejak zaman
Kala Plestosen atau zaman Dilluvium. Zaman Kala Plestosen atau Dilluvium
berlangsung kira-kira antara 3.000.000 sampai 10.000 tahun yang lalu. Zaman
ini disebut juga zaman es (zaman glasial). Disebut zaman es karena pada masa
itu suhu bumi sangat rendah gletser es dari daerah Kutub Utara mencair hingga
menutupi sebagian benua Eropa, benua Asia, dan benua Amerika. Selanjutnya,
pecahan es tersebut menyebar ke daerah-daerah di sekelilingnya.
Keadaan yang melatarbelakangi kehidupan masa Kala Plestosen
ditandai oleh beberapa peristiwa alam yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Misalny, meluasnya permukaan es disebagian permukaan bumi, perubahan
iklim, naik-turunnya permukaan air laut, letusan gunung berapi, dan timbulnya
sungai dan danau. Meluasnya permukaan es pada masa plestosen menyebabkan
turunnya permukaan air laut. Surutnya air laut disebabkan selama masa
perluasan es, bagian terbesar dari wilayah perairan di dunia membeku.
Persitiwa tersebut mengakibatkan permukaan air laut turun 100-150
meter dari permukaan semula dan munculnya daratan baru akibat pendangkalan
laut. Daratan baru ini kemudian menjadi jembatan darat bagi manusia dan
hewan untuk berpindah tempat dalam usahanya mencari makanan atau

32 | S e j a r a h I n d o n e s i a
menghindari bencana alam. Turunnya permukaan air laut tersebut menimbulkan
daratan baru yang berbentuk daratan rendah dan perbukitan. Pada masa Kala
Plestosen, bagian barat kepulauan Indonesia yang sudah mulai stabil pernah
terhubung dengan daratan Asia Tenggara.
Kepulauan Indonesia bagian timur belum stabil seperti pulau Papua dan
sekitarnya pernah terhubung dengan daratan Australia. Daratan yang
menghubungkan Indonesia bagian barat dengan Asia Tenggara Kontinental
disebut Paparan Sunda (Sunda Shelf). Daratan yang menghubungkan Papua
dengan Australia disebut dengan Paparan Sahul (Sahul Shelf). Namun, ketika
terjadi kenaikan suhu, maka es dari kutub utara mencair sehingga membentuk
lautan yang luas dan menenggelamkan sebagian daratan-daratan rendah yang
telah terbentuk sebelumnya.
Akhirnya, wilayah Indonesia bagian barat terpisah kembali dengan
wilayah Asia daratan dan wilayah Indonesia Timur. Perubahan-perubahan alam
tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan manusia
purba di Indonesia. Terjadinya perubahan-perubahan alam di dunia
memunculkan beberapa teori dan penemuan tentang asal mula manusia purba di
Indonesia. Seorang sarjana bangsa Belanda, yatu Eugene Dubois menyatakan
bahwa manusia purba hidup di daerah tropis karena iklim di daerah tropis stabil.
Hal itu dibuktikan dengan penemuannya berupa fosil Pithcanthropus Erectus
(manusia kera berjalan tegak) di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Setelah
penemuan yang cukup penting bagi ilmu sejarah oleh Eugene Dubois tersebut,
muncullah penemuan fosil Meganthropus Palaeojavanicus (manusia raksasa
dari Jawa) dan fosil manusia homo oleh sarjana Belanda bernama Von
Koenigswald.

33 | S e j a r a h I n d o n e s i a
C. Jenis Manusia Purba di Indonesia
1. Aktivitas Penelitian Manusia Purba di Indonesia
Manusia yang hidup pada zaman praaksara sekarang sudah berubah
menjadi fosil. Fosil manusia yang ditemukan di Indonesia dalam
perkembangannya terdiri dari beberapa jenis. Hal ini diketahui dari
kedatangan beberapa ahli dari Eropa pada abad ke-19, dimana mereka
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai keberadaan fosil manusia
purba di Indonesia. Fosil yang pertama kali ditemukan berada di Trinil,
Jawa Timur oleh Eugene Dubois, sehingga menarik bagi ahli lain untuk
datang ke Pulau Jawa mengadakan penelitian serupa. Selanjutnya penelitian
fosil manusia purba dilakukan oleh Von Koenigswald, Ter Har, dan
Oppenoorth serta F. Weidenrech. Mereka berhasil menemukan fosil
manusia purba di Sangiran, Ngandong, di lembah sungai Bengawan Solo.
Atas temuan fosil tersebut, Von Koenigswald membagi zaman
Dilluvium atau Plestosen di Indonesia menjadi 3 lapisan, yaitu Plestosen
bawah (lapisan Jetis), Plestosen tengah (lapisan Trinil), dan Plestosen atas
(lapisan Ngandong). Penyelidikan manusia purba selain dilakukan oleh para
ahli dari Indonesia seperti, Prof. Dr. Sartono, Prof. Dr. Teuku Jacob, Dr.
Otto Sudarmadji, dan Prof. Dr. Soejono. Lokasi penyelidikan adalah lembah
sungai Bengawan Solo. Dari hasil penyelidikan tersebut dapat diketahui
jenis manusia purba yang hidup di Indonesia.
2. Jenis-Jenis Manusia Purba di Indonesia
Dalam penelitian kehidupan masyarakat praaksara, Pulau Jawa
menduduki tempat yang penting dalam penemuan fosil-fosil manusia purba.
Penemuan pertama fosil Phitencanthropus Erectus oleh eugene Dubois dan
penemuan fosil-fosil lainnya di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo
menyebabkan pulau Jawa terkenal di kalangan ahli kepurbakalaan di dunia.
Fosil-fosil yang ditemukan di berbagai situs arkeologi yang tersebar di pulau

34 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Jawa tersebut terdapat di semua lapisan Plestosen sehingga dapat
menunjukkan perkembangan fisik (evolusi) manusia purba. Jenis-jenis
manusia purba yang banyak ditemukan di pulau Jawa, antara lain sebagai
berikut:
a. Pithecanthropus (Manusia Kera)

Sumber: M useum Sangiran

Gambar 1: Patung Pithecanthropus di Museum Sangiran


Fosil Pithecanthropus merupakan jenis fosil manusia purba yang
paling banyak ditemukan di Indonesia. Fosil-fosilnya banyak ditemukan
di lapisan Plestosen bawah (di daerah Jetis) dan Plestosen tengah (di
daerah Trinil). Pithecanthropus hidup secara berkelompok dan
diperkirakan hidup dengan cara berburu, menangkap ikan, dan
mengumpulkan makanan (hunting and food gathering). Untuk
mendapatkan makanan tersebut, mereka msaih menggunakan perlatan
35 | S e j a r a h I n d o n e s i a
hidup dari batu berupa kapak genggam, kapak perimbas, kapak penetak,
pahat genggam, dan alat-alat serpih.
Mereka telah banyak menggunakan peralatan hidup dari batu
serta memakan segala jenis makanan. Namum tidak ditemukan adanya
tanda-tanda bahwa makanan tersbeut telah diolah dan dimasak sebelum
dimakan. Oleh karena itu, makanan Pithecanthropus masih dimakan
secara mentah.
Di Inonesia, jenis Pithecanthropus diperkirakan hidup di pulau
Sumatra dan Kalimantan. Di luar Indonesia, Pithecanthropus
diperkirakan juga hidup di daratan Asia, Afrika, dan Eropa. Di daratan
Asia, fosil Pithecanthropus ditemukan pada gua di daerah Chou Kou Tien
dan dikenal dengan nama Pithecanthropus Pekinensis (manusia kera dari
Peking). Fosil Pithecanthropus yang ditemukan di daerah Kenya dikenal
dengan nama Pithecanthropus Africanus, adapun fosil Pithecanthropus
yang ditemukan di Eropa Barat dan Eropa Tengah dinamakan manusia
Piltdown atau Heidelberg.
Menurut Eugene Dubois, Pithecanthropus memiliki volume otak
sekitar 900 cc. Sebagai perbandingan, volume otak manusia berukuran di
atas 1.000 cc dan volume otak kera rata-rata berukuran 600 cc. Dengan
demikian volume otak makhluk tersebut berada diantara volume otak
manusia dan volume otak kera, sehingga dinamakan Pithecanthropus
(manusia kera). Penemuan Pithecanthropus disamping jumlahnya paling
banyak juga bervariasi, antara lain:
1) Pithecanthropu Erectus
Penelitian pertama tentang manusia purba di Indonesia
dilakukan oleh seorang dokter militer Belanda bernama Eugene
Dubois. Dalam penelitiannya di pulau Jawa tahun 1890, Ia berhasil
menemukan fosil tengkorak manusia purba. Fosil-fosil manusia purba

36 | S e j a r a h I n d o n e s i a
tersebut ditemukan di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Berdasarkan
penelitiannya, Dubois berkesimpulan bahwa makhluk tersebut berada
di antara manusia dan kera yang berjalan tegak (erectus). Oleh karena
itu makhluk tersebut dinamakan Pithecanthropus Erectus (manusia
kera yang berjalan tegak).
2) Pithecanthropu Mojokertensis
Pada tahun 1936 Von Koenigswald berhasil menemukan
sebuah fosil tengkorak pada lapisan Plestosen bawah (lapisan Jetis)
di Perning Mojokerto. Fosil temuan tersebut berupa fosil tengkorak
anak-anak berusia kira-kira lima tahun yang diperkirakan keturunan
Pithecanthropus. Karena diduga berasal dari keturunan
Pithecanthropus, fosil tersebut diberi nama Pithecanthropus
Mojokertensis (manusia kera dari Mojokerto). Berdasarkan penelitian
Dubois, ciri-ciri Pithecanthropus Mojokertensis adalah berbadan
tegak, muka menonjol ke depan, kening tebal, dan memiliki tulang
pipi yang kuat.
3) Pithecanthropu Robustus
Dalam penelitian berikutnya, Von Koenigswald masih
menemukan lagi beberapa jenis fosil manusia purba di desa Trinil,
Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1939. Dalam penelitian bersama
Weidenrich di daerah Trinil, Ia menemukan fosil manusia purba
sejenis Pithecanthropus yang ditemukan di daerah Mojokerto.
Karena ukuran tubuhnya lebih besar dan lebih kuat maka fosil
tersebut dinamakan Pithecanthropus Robustus (manusia kera yang
kuat). Fosil Pithecanthropus Robustus tersebut ditemukan pada
lapisan plestosen bawah (Jetis) yang seusia dengan Pithecanthropus
Mojokertensis.

37 | S e j a r a h I n d o n e s i a
4) Pithecanthropu Soloensis
Disamping beberapa penemuan di atas, sejumlah fosil
Pithecanthropus yang diperkirakan berusia lebih muda, yang hidup
antara 900 sampai 200 ribu tahun yang lalu juga ditemukan di daerah
di lembah sungai Bengawan Solo seperti Sambungmacan dan
Sangiran, Sragen, Jawa Tengah. Di daerah tersebut, Teuku Jacob
meneliti fosil sejenis Pithecanthropus dan diberi nama
Pithecanthropus Soloensis (manusia kera dari Solo) pada tahun 1967.
b. Meganthropus Palaeojavanicus (Manusia Raksasa Tertua dari Jawa)
Mengikuti kesuksesan Eugene Dubois dalam penelitiannya di
pulau Jawa, pada tahun 1936 sampai tahun 1941, seorang arkeolog
bernama G. H. R. Von Koenigswald mengadakan penelitian di lembah
sungai Bengawan Solo. Kemudian di daerah Perning, Mojokerto pada
tahun 1936, di daerah Trinil, Ngawi pada tahun 1939, dan di daerah
Sangiran, Solo pada tahun 1941.
Dalam penelitiannya di Sangiran, Ia berhasil menemukan fosil
manusia purba pada lapisan Plestosen bawah. Manusia purba tertua
tersebut memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan manusia
purba lain yang pernah ditemukan, sehingga dinamakan Meganthropus
Palaeojavanicus (manusia kera tertua dari Jawa). Namun, para ahli
beranggapan bahwa Meganthropus Palaeojavanicus sebenarnya
hanyalah manusia purba jenis Pithecanthropus yang memiliki ukuran
badan yang lebih besar.
Berdasarkan analisis para ahli, Meganthropus Palaeojavanicus
diperkirakan hidup dengan cara mengumpulkan makanan berupa
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Mereka belum mengenal api
sehingga makanan mereka masih dimakan secara mentah. Manusia

38 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Meganthropus Palaeojavanicus diperkirakan hidup pada masa antara 2
juta tahun sampai dengan 1 juta tahun yang lalu.
c. Homo
Secara fisik dan kualitatif manusia purba jenis Homo ini sudah
lebih maju dan sempurna jika dibandingkan dengan jenis manusia purba
Meganthropus dan pithecanthropus. Secara fisik, ciri-ciri manusia
Homo sudah mirip dengan manusia modern sekarang, seperti bentuk
kepalanya yang sudah tidak lonjong. Secara kualitatif, tingkat
kecerdasannya sudah lebih tinggi karena sudah mampu menggunakan
alat-alat dari batu dan tulang.
Di samping itu, dalam berburu, mereka sudah menggunakan alat-
alat perburuan. Mereka juga telah mengenal api karena biantang hasil
buruannya dikuliti dahulu sebelum dibakar. Demikian juga jenis umbi-
umbian yang menjadi makanan mereka juga telah dimasak terlebih
dahulu sebelum dimakan. Meskipun demikian, manusia purba jenis
homo ini masih hidup secara berpindah-pindah (nomaden).
Mereka hidup berpindah tergantung persediaan makanan yang
ditemukan di alam sekitar (food gathering). Manusia purba jenis homo
dalam mencari makan denagn cara berburu menggunakan alat-alat dari
batu dan tulang serta dari tandung binatang. Contoh alat-alat perkakas
yang mereka gunakan dari batu berupa berbagai jenis kapak, alat-alat
serpih (flakes). Mereka juga menggunakan alat-alat yang terbuat dari
tulang, seperti alat penusuk (belati), ujung tombak, dan alat pengorek ubi
serta keladi. Disamping itu, ada alat-alat berburu berupa mata tombak
yang terbuat dari tulang ikan pari.
Adapun alat-alat yang terbuat dari tanduk berupa tanduk
menjangan atau rusa yang diruncingkan. Alat perkakas peninggalan
makhluk homo tersebut ditemukan di daerah-daerah sekitar Ngandong

39 | S e j a r a h I n d o n e s i a
dan Sidoarjo (Ngawi), yaitu berupa berbagai jenis kapak batu, alat
pelempar dari batu, dan alat perimbas daru tulang atau tanduk. Di daerah
Sangiran banyak ditemukan perkakas hidup yang pernah digunakan oleh
makhluk sejenis Homo Soloensis berupa alat serpih (flake).
Alat alat serpih (flake) dari Sangiran yang berasal dari masa
Palaeolithikum Muda tersebut dikenal dengan nama Industri Sangiran
(Sangiran Flakes Industry). Alat-alat perkakas tersebut dibuat dari batu
chalcedon dan jaspis. Jenis perkakas hidup yang paling banyak
dihasilkan manusia purba jenis homo adalah yang ditemukan di daerah
Ngandong. Oleh karena itu hasil kebudayaannya disebut sebagai
kebudayaan Ngandong. Pendukung kebudayannya adalah Homo
Soloensis dan Homo Wajakensis. Di luar Jawa, alat-alat serpih (flakes)
yang berasal dari masa sezaman dengan makhluk purba jenis homo
banyak diketemukan di daerah Cabenge, Sulawesi Selatan. Berikut
adalah macam-macam manusia purba jenis homo:
1) Homo Soloensis (Manusia dari Solo)
Menurut para ahli, Pithecanthropus mulai lenyap dan
makhluk Homo Soloensis muncul pada zaman es yang ketiga. Di
lembah sungai Bengawan Solo dekat desa Ngandong (Blora) telah
ditemukan 11 buah tengkorak serta dua buah tulang kering Homo
Soloensis. Fosil Homos Soloensis ditemukan pada lapisan Plestosen
Atas oleh Ter Harr dan Oppenoorth pada tahun 1931-1933.
Berdasarkan penemuan tulang Homo Soloensis dalam situs
tersebut, para ahli menduga bahwa mereka hidup berkumpul di tepi
sungai. Menurut ahli purbakala Von Koenigswald, Homo Soloensis
memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada
Pithecanthropus Erectus. Volume otaknya diperkirakan mencapai
1.000-1.200 cc. Bahkan sebagian para ahli menggolongkan ke

40 | S e j a r a h I n d o n e s i a
dalam kelompok Homo Neanderthalensis, manusia purba jenis
Homo Sapiens dari daratan Asia, Eropa, dan Afrika yang terdapat
pada lapisan Plestoses Atas. Menurut para ahli, Homo Soloensis dan
Homo Neanderthalensis merupakan hasil evolusi dari
Pthecanthropus Mojokertensis.
2) Homo Wajakensis (Manusia dari Wajak)
Makhluk Homo Wajakenis dipekirakan muncul pada zaman
es keepat. Dari jenis makhluk ini, ditemukan dua buah tengkorak
fosil Homo Wajakensis di daerah Wajak, Tulungagung pada tahun
1889 oleh Van Tietschoten. Fosil tersebut kemudian diteliti oleh
Eugene Dubois. Temuan fosil ini merupakan temuan fosil manusia
purba pertama dari Indonesia. Jika dibandingkan dengan jenis
makhluk purba sebelumnya, Homo Wajakensis menunjukkan
tingkat peradaban yang lebih maju karena makanannya sudah
dimasak secara sederhana.
Menurut para ahli tengkorak Homo Wajakensis suadh
termasuk tipe Neoanthropis dan volume otaknya jauh lebih besar
daripada ukurna manusia sekarang. Tinggi Homo Wajakensis
mencapai 130-210 cm. Meksipun ukuran mereka lebih besar,
ternyata mereka masih memiliki ciri-ciri fisik manusia primitif,
seperti bentuk rahang, langit-langit mulut, dan gerahamnya.
Tengorak-tengkorak tersebut juga mendekati bentuk tengkorak
Keilor dari Australia. Oleh karena itu, Eugene Dubois menduga
Homo Wajakensis merupakan ras Asutroloide yang merupakan
nenek moyang Homo Soloensis yang menurunkan bangsa Aborigin.
3) Homo Floresiensis (Manusia dari Flores)
Jenis manusia purba homo yang ketiga adalah Homo
Floresiensis. Menurut Marwati Joenoed Pusponegoro, fosil ini baru

41 | S e j a r a h I n d o n e s i a
ditemukan pada tahun 1965 pada sebuah gua (Gua Liang Bua) di
Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, oleh seorang pastur
bernama Verhoeven. Makhluk purba ini termasuk jenis kerdil karena
diperkirakan ukuran tubuhnya hanya sekitar 1 meter dengan volum
otak 380 cc, dan ukuran tengkoraknya seperti anak kecil. Karena
ukurannya yang kecil, maka Homo Floresiensis disebut juga dengan
Hobbit. Fosil manusia purba yang baru dipublikasikan secara resmi
pada tahun 2004 itu diperkirakan hidup antara 30.000-18.000 tahun
yang lalu. Menurut para ahli, Homo Floresiensis telah mampu
membuat peralatan dan batu, berburu, memasak dengan api, namun
ukuran tangannya masih panjang.

Sumber: M useum Sangiran


Gambar 2: Patung Homo Floresiensis atau manusia kerdil dari
Flores

42 | S e j a r a h I n d o n e s i a
4) Homo Sapiens (Manusia Cerdas)
Setelah zaman es berakhir, Paparan Sunda (Indonesia Barat)
terbagi menjadi beberapa pulau. Selanjutnya, makhluk Homo
Soloensis lenyap dan muncul manusia baru dari tipe Homo
Ssapiens. Manusia jenis Homo Sapiens (manusia cerdas) tersebut
dapat mencapai pulau-pulau di Indonesia menggunakan perahu.
Bebrapa contoh makhluk yang termasuk kelompok Homo Sapiens
adalah ras Mongoloid, Australoid, Negroid, Melanesoid,
Kaukasoid, Weddoid, dan Kausanoid.
Makhluk Homo Sapiens diperkirakan muncul sekitar 20.000
tahun yang lalu. Mereka hidup dengan cara berburu dan
mengumpulkan makanan, seperti akar-akaran, buah, dan sayur-
sayuran liar serta kering. Dalam pengembaraanya, mereka
diperkirakan hidup berkelompok yang terdiri dari 40-70 orang.
Meskipun hidupnya masih mengembara, mereka mulai mempunyai
keinginan untuk hidup menetap. Hal tersebut dibuktikan dengan
ditemukannya bukit-bukit kerang (kjokkenmoddinger) pada bekas
tempat tinggal mereka di sepanjang daerah pantai timur wilayah
Sumatra.
Di daerah bukit-bukit kerang tersebut diperkirakan mereka
telah membangun tempat tinggal berupa gubuk-gubuk sederhana
yang memungkinkan mereka untuk tinggal lebih lama atau menetap
di tempat tersebut. Selain membangun tempat tinggal tetap di
sepanjang pantai, kelompok manusia primitif tersebut juga
membangun tempat tinggal di gua-gua (abris sous roche). Hal
tersebut dibuktikan dengan penemuan bekas-bekas kerangka
manusia dan sisa-sisa perkakas di gua-gua di daerah Sampung, Jawa
Timur, dan di Sulawesi Selatan.

43 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Sumber: M useum Sangiran
Gambar 3: Tengkorak Homo Sapiens
3. Ciri-Ciri Kebudayaan Homo Sapiens
Manusia purba juga belum mengenal cara menyimpan bahan
makanan sehingga saat persediaan makanan habis akan terjadi paceklik
karena kekurangan makanan. Dalam masa transisi dari kehidupan
mengembara ke kehdupan menetap tersebut sudah dikenal pembagian kerja
antara pria dan wanita. Tugas para wanita adalah mengurus anak-anak,
memasak, dan mengumpulkan makanan. Para lelaki bertugas berburu dan
menjaga kelompok dari serangan binatang buas.
Homo Sapiens adalah jenis manusia baru yang muncul pada masa
Mesolithikum atau zaman Batu Pertengahan. Pada saat itu terdapat 3 jenis
kebudayaan yang didukung oleh manusia Homo Sapiens. Ketiga macam
kebudayan tersebut adalah Kapak Sumatra (Pabble Culture), Kebudayaan
Toala (Flakes Cuulture), dan Kebudayaan Tulang Sampung (Bone Culture).

44 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Ketiga kebudayaan tersebut datang ke Indonesia dari daerah Asia secara
bersamaan atau berturut turut dalam waktu singkat.
Para pendukung kebudayaan tersebut diperkirakan menyebarkan
kebudayaan dengan menggunakan biduk atau rakit-rakit yang masih sangat
sederhana ke seluruh Kepulauan Nusantara. Adapun jenis makhluk Homo
Sapiens yang akhirnya membawa dan menyebarkan kebudayaan-
kebudayaan tersebut ke Kepulauan Indonesia adalah ras Papua Melanesoid.
4. Perkembangan Homo Sapiens
Secara biologis, Homo Sapiens telah berkembang ke dalam lima
subspesies, antara lain sebagai berikut:
a. Ras Mongoloid, dengan ciri-ciri fisik berkulit kuning, dan berhidung
pesek. Mereka telah menyebar ke Asia Tenggara dan Timur serta
sebagian Asia Selatan.
b. Ras Kaukasoid, dengan ciri-ciri berkulit putih, hidung mancung, dan
tubuh jangkung. Mereka hidup menyebar di daratan Eropa dan Timur
Tengah.
c. Ras Negroid, yang memiliki ciri-ciri fisik berkulit hitam, berbibir tebal,
beramput keriting, dan saat ini hidup menyebar mendiami wialayah
Afrika, Australia, dan Papua.
d. Ras Austro Melanesoid, yairu jenis ras yang saat ini menjadi penduduk
di Kepulauan Pasifik dan pulau-pulau di antara benua Australia dan
Asia.
e. Ras Kaosanoid (Ras Indian), merupakan jenis ras berkulit merah yang
saat ini menjadi penduduk asli di wilayah Amerika (Suku Indian).

D. Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Asal-Usul Nenek Moyang bangsa Indonesia masih belum dapat
dipastikan. Banyak teori yang mengatakan asal-usul nenek moyang bangsa

45 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Indonesia berasal dari wilayah-wilayah tertentu di sekitar Indonesia. Teori-teori
tersebut juga didukung oleh bukti yang dikemukakan para ahli. Berikut adalah
beberapa teori asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia yang dikemukakan
para ahli.
1. Teori Out of Afrika
Teori ini memandang Homo Sapiens berasal dari satu tempat di
Afrika. Sekitar 1000.0000-70.000 tahun yang lalu. Manusia modern ini
mulai meninggalkan Benua Afrika dan menyebar atau bermigrasi ke
berbagai daerah di dunia. Salah satu kelompok migrasi Homo Sapiens
tersebut sampai ke Indonesia kemudian berlanjut ke Australia. Di
Indonesia, fosil Manusia Wajak (Homo Wajakensis) merupakan spesimen
tertua Homo Sapiens yang pernah ditemukan, sekitar 40.000-6.500 tahun
yang lalu. Hal tersebut menandakan wilayah Nusantara telah dihuni oleh
manusia modern awal pada kurun waktu tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian arkeologis, gelombang migrasi Homo
Sapiens awal yang datang dari Afrika masuk ke wilayah Nusantara
diperkirakan pada 60.000 tahun yang lalu. Ras yang sekarang disebut
sebagai Milanesia dan menjadi nenek moyang sebagian masyarakat
Indonesia bagian timur. Selanjutnya kembali terjadi migrasi manusia ke
kepulauan Nusantara dari Asia Selatan yang kemudian berdiaspora ke
berbagai arah, termasuk Indonesia. Manusia tersebut bercirikan ras
Austalomelanesoid, sekarang lebih dikenal sebagai populasi Melanesia,
mengelompok di bagian Indonesia Timur.
2. Teori Out of Yunnan
Teori ini mengemukakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
berasal dari Yunnan, sebuah profinsi di sebelah barat daya Tiongkok.
Mohammad Ali, R.H. Geldern, J.H.C Kern, dan Slamet Muljana adalah
pendukung teori ini yang didasari oleh dua hal, yaitu kemiripan kapak tua

46 | S e j a r a h I n d o n e s i a
di wilayah Asia Tengah dengan di Nusantara, dan kemiripan bahasa
Champa di kamboja dengan bahasa Melayu di Nusantara. Manusia dari
Yunnan diyakini bermigrasi menyusuri sungai Mekong yang kmeudian
menyeberang ke berbagai daerah, salah satunya adalah Nusantara.
Ada tiga gelombang migrasi manusia dari Yunna ke Indonesia, yaitu
sebagai berikut:
a. Bangsa Negrito pada 10.000 tahun yang lalu. Mereka diyakini sebagai
keturunan Proto-Australoid yang berpindah dari sekitar Laut Tengah
dan tinggal di India. Ketika bangsa Dravida datang, mereka menyingkir
ke Timur (Tiongkok), kemudian menyebar ke berbagai daerah, salah
satunya Nusantara.
b. Bangsa proto-Melayu masuk ke wilayah Nusantara melalui dua jalan,
yaitu jalur barat (melalui Semenanjung Melayu kemudian ke Sumatra
dan selanjutnya tersebar ke seluruh Nusantara) dan jalur timur (melalui
Filipina kemudian ke Sulawesi dan selanjutnya tersebar ke seluruh
Nusantara). Kedatangan bangsa Proto-Melayu ini diperkirakan terjadi
pada 1500 SM. Mereka membawa kebudayaan baru bercocok tanam
dan keterampilan dalam membuat kapak yang sudah halus.
c. Bangsa Deutro-Melayu diperkirakan memasuki wilayah Nusantara
sejak 300 SM. Mereka masuk ke wilayah Nusantara melalui jalur barat,
yaitu melalui daerah Semenanjung Malaya terus ke Sumatra dan
seluruh wilayah Nusantara. Mereka diyakini berasal dari Dong Son,
Vietnam, dikenal sebagai pelaut-pelaut handal serta ahli membuat
barang dari perunggu –Nusantara kemudian memasuki Masa
Perundagian.
3. Teori Out of Taiwan
Teori ini mengemukakan bahwa gelombang diaspora manusia
modern awal datang ke Indonesia dan diyakini berasal dari Taiwan.

47 | S e j a r a h I n d o n e s i a
Diaspora yang ketiga ini berasal dari naiknya permukaan air laut secara
cepat sebagai dampak dari pemanasan bumi. Hal tersebut berdampak
pada terjadinya perubahan iklim dan diduga telah mendorong tersebarnya
padi liar, terutama di daerah lembang sungai Yang Tse. Padi tersebut
kemudian dibudidayakan oleh petani di daerah tersebut yang berasal dari
penutur bahasa Austranesia. Para penutur bahasa Austronesia kemudian
berdiaspora ke berbagai daerah, termasuk Nusantara, membawa
kebudayaan bercocok tanam.
Rumpun bahasa Austronesia kini mencakup suku bangsa yang ada
di Madagaskar, Asia Tenggara, Mikronesia, Melanesia, hingga Polinesia.
Sebagian besar penuturnya ada di kepulauan Nusantara. Pendapat adanya
migrasi penutur bahasa Austronesia sebenarnya telah dilontarkan oleh
beberapa pengamat, salah satunya adalah James Cook. Pada 1776 hinga
1780, Ia menjelajah kawasan Pasifik dan mencatat adanya kesamaan
budaya, rupa, dan bahasa orang di Semenanjung Malaya. Ia menduga
bahwa orang Malaysia adalah nenek moyang penduduk Polinesia tersebut.
Pada 1889, Hendrik Kern mengkaji kemiripan tersebut dengan
lebih ilmiah. Ia mengkaji dari segi linguistik yang sampai pada
kesimpulan bahwa bahasa-bahasa di Kepulauan Nusantara dan Pasifik
memang berasal dari satu induk bahasa, yaitu Malayo-Polinesia. Penutur
bahasa tersebut berasal dari Asia, kemungkinan Vietnam atau Annam.
Peneliti lain, R. Von Heine-Geldern, melakukan pelacakan migrasi
Austronesia dengan mengamati ciri-ciri budaya para migran tersebut. Ia
berkesimpulan bahwa penutur Asutronesia tersebut berasal dari Tiongkok
yang bermigrasi melalui jalur darat ke Indo-Tiongkok, kemudian ke
Semenanjung Malaya, dan ke timur menuju Melanesia dan Polinesia.
Mereka membawa budaya Beliung Persegi dengan ciri-cirinya, yakni
bercocok tanam padi, beternak sapi, babi, dan kerbau untuk upacara,

48 | S e j a r a h I n d o n e s i a
membuat tembikar dan gerabah, menghuni rumah panggung, dan
mendirikan bangunan megalitik. Selain itu mereka ahli dalam berlayar di
laut lepas karena telah mengerti teknologi pembuatan perahu. Gagasan
mengenai asal-usul penutur bahasa Austronesia dikemukakan pertama
kali oleh arkeolog K.C. Chang, berdasarkan kesamaan tinggalan
arkeologis di daerah penelitiannya.
Pada 4.000 tahun yang lalu, penutur Austronesia yang berkaitan
erat dengan ras Mongoloid memasuki wilayah Nusantara. Ras Monogoild
ini termasuk Mongoloid selatan yang memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda
dengan Mongoloid utara dan berkembang di Tiongkok dan Jepang. Ciri-
ciri Mongoloid Selatan yaitu muka rata dan lebar, kapasitas tengkorak
sekitar 1.400 cc, atap tengkorak tinggi dan bundar, orbit mata bebentuk
persegi yang lebar dan rendah, dan postur yang lebih kecil dari ras
Austromelanesoid. Jalur mograsi Austronesi adalah sebagai berikut:
a. Tahap I : Sekitar 5000 tahun SM, para petani dari Tiongkok Selatan
bermigrasi ke Taiwan. Bahasa Austronesia baru muncul 4000 SM
bersamaan dengan munculnya budaya Ta-Pen-Keng di Taiwan Utara.
b. Tahap II : pada 2500 tahun SM, merek bermirasi ke Filipina.
c. Tahap III : Menjelang 2000 tahun SM, mereka bermigrasi ke arah
selatan dan tenggara. Mereka kemudian berpencar ada yang dari
Filipina utara menuju selatan hingga Kalimantan, Sulawesi, serta
Maluku Utara.
d. Tahap IV : Dalam waktu relatif singkat, mereka yang ada di Maluku
Utara bermigrasi ke selatan (mencapai Nusa Tenggara) dan timur
(mencapai pantai utara Papua Barat). Selain itu, ada yang bermigrasi
ke Jawa dan Sumatra.

49 | S e j a r a h I n d o n e s i a
e. Tahap V : Pada 2000-1200 tahun SM, mereka bermigrasi dari Papua
utara ke barat hingga Oseania. Adapun yang ada di bagian barat
menyebar dari Kalimantan hingga ke Madagaskar.
Teori hasil gabungan antara linguistik dan arkeologi ini sering
disebut sebagai Teori Out of Taiwan. Penutur bahasa Austranesia ini
berasal dari ras Mongoloid. Kedatangan mereka membuat masyarakat
Austromelanesid (kelompok pemburu dan peramu) yang telah tinggal
terlebih dahulu di Asia Tenggara dan Oseania, terdesak. Sisa-sisa
penduduk berciri Austromelanesid yang masih bertahan hingga kini
diantaranya orang Agta dari Filipina dan Semang di Semenanjung
Malaya.
Migrasi penutur Austranesia itu tidak sampai ke pedalaman
Papua. Hal ini karena kemungkinan sudah ada peradaban kuat di daerah
tesebut. Selain itu, penutur Austronesia terbiasa hidup di pantaidan tidak
terbiasa hidup di pedalaman. Meski demikian ada interaksi yang rukun
antara dua ras ini, baik interaksi fisik (Kawin-mawin) maupun budaya.
Hal ini terlihat dari penutur Austalomelanesid yang meminjam budaya
dari Austronesia, diantaranya tradisi menginang, teknologi pembuatan
kapak bundar, dan pembuatan tembikar. Sebaliknya, arsitektur rumah
penutur Austronesia di Wae Rebo menunjukkan peminajaman
kebudayaan Austrpmelanesid.
Kebudayaan para penutur Austronesia memberikan pengaruh
yang besar, baik kepada masyarakat yang serumpun maupun tidak.
Besarnya pengaruh kebudayaan pada masa itu dapat disamakan dengan
proses globalisasi pada masa kini. Bdaya bangsa ini seolah menjadi
panutan sehingga berdampak pada adanya keseragaman budaya di
kawasan yang dipengaruhinya.

50 | S e j a r a h I n d o n e s i a
4. Teori Nusantara
Menurut teori ini, bangsa Indonesia berasal dari wilayah Indonesia
sendiri, buka dari daerah lainnya. Teori ini dikemukakan oleh Muhammad
yamin. Menurutnya, penemuan fosil dan artefak lebih banyak dan lebih
lengkap di Indoensia daripada daerah lainnya di Asia. Kemungkinan
justru bangsa Indonesialah yang menyebar ke luar wilayahnya, menjadi
nenek moyang di daerah tersebut.

E. Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Proses persebaran nenek moyang bangsa Indonesia dimulai pada Zaman
Pleistosen, ketika terjadinya Zaman Es (Glasial). Hal tersebut mengakibatkan
kepulauan Indonesia bersatu dengan daratan Asia. Laut dangkal yang ada di
pulau-pulau Indonesia bagian barat surut sehingga meembentuk Paparan Sunda,
menyatukan Indonesia bagian barat dengan daratan Asia. Sementara itu,
dibagian timur, terbentuklah paparan Sahul yang menyatukan Indonesia bagian
timur dengan Australia. Hal tersebut memungkinkan terjadnya perpindahan
manusia dan hewan dari Asia ke Indonesia bagian barat dan sebaliknya. Begitu
juga di bagian timur, memungkinkan perpindahan dari daratan Asutralia ke
Indonesia bagian timur dan sebaliknya. Kedatangan nenek moyang bangsa
Indonesia terjadi secara bertahap. Berikut adalah tahapan kedatangan nenek
moyang bangsa Indonesia.
a. Proto –Melayu (Melayu Tua)
Sekitar tahun 1500 SM, gelombang migrasi pertama bangsa Melayu
Austronesia dari ras Mongoliod datang ke Nusantara. Mereka membawa
peradaban batu ke Nusantara. Rombongan imigran ini dikenal juga bangsa
Proto-Melayu 9Melayu Tua). Gelombang migrasi ini datang dari Yunan
dan bermigrasi di Indonesia melalui dua jalur, yakni jalur barat dan jalur
timur.

51 | S e j a r a h I n d o n e s i a
1) Jalur barat, gelombang migrasi datang dari Yunan menuju Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan Flores.
2) Jalur Timur, gelombang imigrasi datang dari Yunan melalui Vietnam,
Taiwan, Filipina, Maluku, Halmahera, dan Papua.
3) Keturuna Proto-Melayu adalah suku dayak, Toraja, dan Batak
b. Deutero Melayu (Melayu Muda)
Sekitar tahun 300 SM gelombang migrasi kedua bangsa Melayu
Austronesia tiba di Nusantara. Mereka lazim disebut bangsa Deutero-
Melayu (Melayu Muda). Seperti halnya bangsa Proto Melayu, mereka juga
berasal dari Yunan. Mereka membawa peradaban logam (perunggu).
Migrasi melalui jalur barat, yaitu Semenanjung Melayu- Sumatra- wilayah
Indonesia. Bangsa Deutero-Melayu berkembang menjadi suku Melayu,
Jawa, Sunda, dan Bugis.
c. Weddoid
Ras Weddoid datang ke Indonesia sebelum bangsa Proto-Melayu
dan Deutero-Melayu. Mereka berkembang di Sumatra, Palembang, Jambi,
Sulawesi tenggara (Toala), dan Siak. Mereka datang pada masa
Palaeolitikum akhir.
d. Papua Melanesoid
Papua Melanesoid merupakan nenek moyang bangsa Papua dan
Melanesia. Mereka berkembang menjadi suku Semang (Malaysia) dan suku
Negrito (Filipina).

52 | S e j a r a h I n d o n e s i a

Anda mungkin juga menyukai