PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan tuntunanya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
Dinamika Ekonomi Zaman Praaksara (Prapasar), tanpa ada halangan apapun sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini di tulis bertujuan untuk memenuhi tugas
kelompok presentasi mata kuliah Sejarah Perekonomian.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata
penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan. Semoga bermanfaat bagi kami
sendiri dan bagi pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Pada masa pra aksara, manusia sudah melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup nya. Namun tentu caranya tidak sama dengan zaman sekrang di era serba
canggih. Pada masa pra aksara ini perkembangan kehidupan masyarakat berlangsung lambat
termasuk dalam bidang ekonomi.
Manusia pada masa ini berusaha memenihu kebutuhannya dengan tingkat yang paling
sederhana yaitu dengan food gathering. Dan proses ini akhirnya berkembang dikemudian hari
menjadi food producing, dimana manusi sudah memulai usahanya untuk memenhi kebutuhan
dengan cara bercocok tanam, pda makalah ini di bab selanjutnya akan dibahas mengenai
dinamika ekonomi zaman praaksara (prapasar)
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
a. Nomaden
Nomaden adalah cara hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan tidak
tinggal menetap oleh sekelompok orang atau individu. 1 Sistem kehidupan Nomaden sudah ada
sejak zaman batu tua yaitu Palaeolithikum yang berlangsung selama kurang lebih 600.000
tahun.2 Pada jaman tersebut manusia belum bertempat tinggal tetap dan untuk menunjang
kehidupannya mereka mengembara dengan cara berburu dan meramu. Mereka hanya
mengumpulkan bahan makanan, seperti mengumpulkan buah, sayuran, berburu binatang,
menangkap ikan dan lain sebagainya. Mencari dan mencari dalam jumlah banyak bahan
makanan sebagai bahan persediaan adalah survival mereka. Maka kondisi alam yang baik
menjadi harapan bagi kelangsungan hidupnya. Seiring berjalannya waktu manusia terus
mengalami kemajuan seperti jaman-jaman berikutnya yaitu;Palaeolithikum, Mesolithikum,
Neolithikum dan hingga saat ini.
Perlu ditegaskan bahwa Nomaden merupakan salah satu cara efektif yang dilakukan
masyarakat dahulu hingga saat ini untuk melangsungkan kehidupan. Mengumpulkan bahan
makan dengan cara berburu dan mengolah makanan dengan cara meramu Ketika makanan di
wilayah tempat tinggal mereka sudah habis maka mereka harus berpindah dan mencari sumber
makanan di wilayah baru, atau seperti saat ini manusia mengumpulkan uang dengan bekerja, dan
uang yang diperoleh digunakan untuk makan sekaligus memenuhi kebutuhan lainnya. Seperti
itulah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan turun menurun. Atas dasar perilaku
diatas, saat ini sistem Nomaden masih banyak dilakukan oleh sekelompok masyarakat, akan
tetapi penata mengartikan dalam konteks ini bukan Nomaden seperti dahulu melainkan semi
Nomaden. Semi Nomaden artinya berpindah-pindah dari tempat satu ketempat yang lain namun
1
Hendro dermawan, Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Bintang Cemerlang. 2011), 488.
2
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1(Yogyakarta: Kanisius, 1981), 2
bersifat sementara dan kemudian akan menetap pada suatu tempat. Sama halnya dengan
masyarakat urban yang pindah dari kota ke desa mereka akan menetap disuatu desa dan
kemudian menetap dan berbaur dengan masyarakat asli tanpa adanya perpindahan lagi.
Meskipun terdapat perbedaan pada sistem Nomaden dahulu dan sekarang, tetapi esensi dari
Nomaden itu sendiri tetap sama yaitu cara berpindah-pindah demi mempertahankan kehidupan
dan melangsungkan kehidupan.
Berpindah-pindah tempat memang salah satu cara atau pilihan untuk dapat
melangsungkan kehidupan, akan tetapi dalam prosesnya banyak tantagan yang harus dihadapi,
seperti adaptasi dengan lingkungan baru, proses sosialisasi, dan lain sebagainya. Berdasarkan
pola kehidupan nomaden, masa kehidupan masyarakat pra-aksara sering disebut masa
mengumpulkan bahan makanan dan berburu. Pada masa nomaden, masyarakat pra aksara telah
mengenal kehidupan berkelompok. Jumlah anggota dari setiap kelompok sekitar 10-15 orang.
Bahkan, untuk mempermudah hidup dan kehidupannya, mereka telah mampu membuat alat-alat
perlengkapan dari batu dan kayu, meskipun bentuknya masih sangat kasar dan sederhana.
Jika bahan makanan yang akan dikumpulkan telah habis, mereka kemudian berpindah ke
tempat lain yang banyak menyediakan bahan makanan. Disamping itu, tujuan perpindahan
mereka adalah menangkap binatang buruannya. Kehidupan semacam itu berlangsung dalam
waktu yang lama dan berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu, mereka tidak pernah
memikirkan rumah sebagai tempat tinggal yang tetap.3
b. Semi-nomaden
3
Triwuryani, Laporan Penelitian Survai Kepurbakalaan di Kawasan Karst Tuban, Kabupaten Tuban, (Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, 1989), hlm. 52
Kehidupan sosial, masyarakat semi nomaden setingkat lebih baik dari pada masyarakat
nomaden. Jumlah anggota kelompok semakin bertambah besar dan tidak hanya terbatas pada
keluarga tertentu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rasa kebersamaan di antara mereka mulai
dikembangkan. Rasa kebersamaan sangat penting dalam mengembangkan kehidupan yang
harmonis, tenang, aman, tentram, dan damai. Nilai-nilai kehidupan, seperti gotong royong, saling
membantu, saling mencintai sesama manusia, saling menghargai dan menghormati telah
berkembang pada masyarakat pra-aksara. Pada zaman ini, masyarakat diperkirakan telah
memelihara anjing. Pada waktu itu, anjing merupakan binatang yang dapat membantu manusia
dalam berburu binatang. Di Sulawesi Selatan, di dalam sebuah goa ditemukan sisa-sisa gigi
anjing oleh Sarasin bersaudara.
c. Menetap
Kehidupan masyarakat pra aksara terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakatnya. Ternyata, pola kehidupan semi nomaden tidak menguntungkan karena
setiap manusia masih harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Disamping itu, setiap
orang harus membangun tempat tinggal, meskipun hanya untuk sementara waktu. Dengan
demikian, pola kehidupan semi nomaden dapat dikatakan kurang efektif dan efisien. Oleh karena
itu, muncul gagasan untuk mengembangkan pola kehidupan yang menetap. Itulah, konsep dasar
yang mendasari perkembangan kehidupan masyarakat pra-aksara.4
a. food-gathering
Perubahan kehidupan yang terjadi secara lambat sangat dimungkinkan karena di lihat dari
bentuk adaptasinya masih berda-sarkan berburu dan mengumpulkan makanan, walaupun sudah
memasuki tingkat lanjut atau disebut dengan food gathering tingkat lanjut. Kehidupan food
gathering tingkat lanjut terjadi pada saat berlangsungnya zaman Mesolithikum ditandai dengan
kehidupan sebagian masyarakatnya yang bermukim dan berladang (huma). Yang menjadi tempat
mukimnya/menetapnya adalah gua-gua di pedalaman atau tepi-tepi pantai. Dengan kehidupan
menetap tersebut maka terjadilah pertumbuhan dalamkehidupan yang lain yaitu antara lain
mereka sudah tahu menyimpan sisa makanan, mengenal cara penguburan mayat, mengenal
religi/ kepercayaan dan bahkan mengenal kesenian.
5
G.TH. Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, Seri Pustaka Sarjana, terj. Anas Makruf, (Jakarta:
Pembangunan, 1980), hlm.43.
b. Foodproducting
Adanya perubahan kehidupan dari semi sedenter menjadi kehidupan yang menetap maka
sistem huma/perladangan yang sudah dikenal oleh masyarakat mengalami penyempurnaan
menjadi sistem bercocok tanam. Sistem bercocok tanam atau dikenal dengan sistem persawahan
dapat menggunakan lahan yang terbatas dan kesuburan tanahnya dapat dijaga melalui
pengolahan tanah, irigasi dan pemu-pukan. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak lagi
berpindah-pindah temapt dan selalu berusaha untuk menghasilkan makanan atau dikenal dengan
istilah food producing system.6
Jenis tanaman pada saat bercocok tanam sebagian besar adalah tumbuhan liar, namun
juga ada beberapa tanaman yang memang sengaja ditanam untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Penjinakan hewan kerbau sebagai hewan ternak, babi liar sebagai hewan buruan dan
juga anjing liar untuk membantu mereka saat berburu di hutan.
6
Ibid, hlm.23.
banyaknya anggota dalam sebuah desa membuat kian meningkatnya kebutuhan hidup mereka.
Bila ditelaah manusia masa bercocok tanam telah banyak melakukan hubungan dengan manusia
di desa lain yang berada ditempat berbeda karena telah adanya sistem bertukar barang (barter).
Didukung dengan keahlian manusia bercocok tanam yang telah mampu membuat perahu dan
rakit. Pembuatan perahu dilakukan dengan menebang pohon dan menguliti kulitnya dengan hasil
yakni sebuah perahu bercardik .7
Kemajuan dalam pembuatan perahu berperan penting dalam proses barter, yakni dari segi
pengangkutan barang maupun sebagai barang yang ditukarkan. Adapun barang yang digunakan
dalam barter yakni barang hasil bercocok tanam, karena setiap desa memiliki hasil bercocok
tanam yang berbeda-beda tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan lokasi geografisnya. Lalu
ada barang dari hasil kerajinan tangan yakni gerabah, beliung, dan perhiasan karena pada masa
tersebut manusia telah berbudaya dan telah mampu membuat sebuah kesenian yang bernilai
tinggi. Perlu juga diketahui bahwa manusia pada masa bercocok tanam ini telah mengenal sistem
kepercayaan, sehingga beberapa benda seperti kapak dan pacul hanya dibuat sekali pakai yakni
untuk upacara atau seperti beberapa jenis batu yang mereka simpan untuk dijadikan jimat 8 .
Garam dan ikan laut tentu berasal dari golongan manusia yang bertempat di wilayah didekat laut
dan ditukarkan kepada manusia desa pedalaman yang membutuhkan.
Kemampuan food producing membawa perubahan yang besar, dalam arti membawa
akibat yang mendalam dan meluas bagi seluruh kehidupan masyarakat pada masa tersebut,
karena masyarakat yang sudah menetap maka akan tercipta kehidupan yang teratur. Dengan
kehidupan teratur berarti kehidupan masyarakatnya terorganisir dan bahkan membentuk
semacam desa, dan masyarakat tersebut sudah memilih pemimpinya (kepala suku) dengan cara
musyawarah. Pemilihan pemimpin berdasarkan prinsip primus inter pares menandakan bahwa
pemimpin tersebut dipilih diantara mereka yang memiliki kelebihan baik fisik (kuat) maupun
spiritual (keahlian).
7
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Prasejarah di Indonesia (Jilid
I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 244).
8
Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 52).
Disamping adanya perkembangan dalam kehidupan sosial, juga mumcul sistem
perekonomian dalam kehidupan masyarakat. Hal ini karena dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidup, maka dikenal sistem pertukaran barang dengan barang (perdagangan barter). Kemajuan
yang dicapai oleh masyarakat pada masa bercocok tanam dapat dilihat dari alat-alat
kehidupannya yang dibuat oleh masyarakat tersebut, dimana alat-alat kehidupannya sudah dibuat
halus/ diasah, sempurna serta mempunyai nilai seni bahkan fungsi beraneka ragam9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
G.TH. Fischer. 1980. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, Seri Pustaka Sarjana, terj.
Anas Makruf. Jakarta: Pembangunan
Peter Bellwood. 2005. First Farmers: The Origins of Agricultural Societies. U.K.:Blackwell
Publishing
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Prasejarah
di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka