Anda di halaman 1dari 4

a.

Masa berburu dan mengumpulkan makanan


Masa berburu dan mengumpulkan makanan merupakan awal tahapan kehidupaan manusia.
Pada masa ini manusia menghasilkan alat-alat yang digunakan untung menopang kehidupannya.
Selain itu, manusia telah mengenal sistem kepercayaan. Corak kehidupan dengan cara berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering) dibagi menjadi dua masa yaitu masa berburu dan
mengumpulkan atau meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat lanjut.

1. Sistem kepercayaan

Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan telah memepercayai sesuatu
yang luar biasa atau diluar kehendak manusia. Hal iyu dapat diketahui dari sisa-sisa penguburan
manusia yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, mereka percaya bahwa ada suatu
kehidupan lain setelah mati. Masyarakay pada zaman ini menganggap orang yang telah mati akan
tetap hidup di dunia lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya yang masih hidup.

Adanya seni lukis di gua-gua yang menceritakan tentang kejadian perburuan, patung dewi
kesuburan, dan penguburan mayat bersama alat-alat berburu merupakan bukti adanya kepercayaan
primitif masyarakat purba. Orang yang meninggal saat berburu harus diberi penghergaan bentuk
rasa hormat. Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adana hastrat manusia purba
untuk merasakan suatu kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya, misalnya lukisan kadal di pulau
seram dan papua yang menggambarkn penjelmaan roh nenek moyang serta gamba perahu yang
melambangkan kendaraan bagi roh nenek moyang dalam perjalanan ke alam baka. Ini terjadi pada
masa berburu dan meramu makanan tingkat lanjut

2. Perkembangan ilmu pengetahuan

o Alat alat yang digunakan.

Bahan-bahan yang digunakan oleh manusia purba untuk membuat lat-alat pada umumnya terbuat
dari batu, tulang, dan kayu. Alat-alat yang ditemukan pada masa berburu ini masih dalam bentuk
sederhana. Batu yang digunakan masih kasar. Hasil-hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan sebagai berikut :

1. Kapak perimbas, tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara digenggam. Kapak
parimbas diduga merupakan hasil kebudayaan Pithecanthropus erectus. Kapak perimbas
ditemukan pula di Pakistan, Mnyamar, Cina, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
2. Kapak penetak, bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih besar,
berfungsi untuk membelah kayu, pohon, dan bambu. Kapak penetak ditemukan hampir
diseluruh wilayah indonesia.
3. Kapak genggam, bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan penetak, tetapi
ukurannya lebih kecil, masih sederhana, danbelum diasah. Kapak genggam pada
ujungnya yang lebih ramping. Kapak genggam ditemukan hampir diseluruh wilayah
Indonesia.
4. Alat serpih atau flakes, bentuknya sangat sederhana, berukuran antara 10-20 cm, diduga
digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas memotong dan menggali
tanah.
5. Alat-alat dari tulang, berupa tulang belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat
berfungssi sebagai pisau, mata tombak, belati, dan mata panah. Alat ini banyak
ditemukan di Ngadong.

o Kehidupan sosial ekonomi.

Manusia pada masa ini belum melakukan pengolahan terhadap sumber-sumber daya alam.
Ketergantungan manusia terhadap alam sangat tinggi. Mereka mengkonsumsi makanan yang sudah
disediakan oleh alam. Cara yang mereka lakukan

1. Roh Nenek Moyang

Kepercayaan terhadap nenek moyang ini diduga muncul pada saat masyarakat zaman
pra-aksara masih mengandalkan kehidupan berburu, mengumpulkan, serta meramu makanan.
.Pada masa berburu dan meramu makanan masyarakat Indonesia hidup secara nomaden di
gua-gua atau di tempat-tempat yang memberikan keamanan dari serangan binatang buas atau
gejala-gejala alam seperti gunung meletus ataupun hujan. Kepercayaan pada roh nenek
moyang diawali ketika manusia mulai menemukan perbedaan-perbedaan antara benda hidup
dan benda mati.Benda hidup dapat berberak karena digerakan oleh jiwa, sedangkan benda
mati tidak bergerak karena tidak memiliki jiwa atau roh.

Kepercayaan akan adanya jiwa ini juga diduga berasal dari fenomena mimpi ketika
manusia tertidur. Pada saat itu, manusia melihat dirinya berada di tempat yang berbeda dari
tubuh jasmaninya. Mereka percaya bahwa tubuh yang berada di tempat lain itu adalah jiwa.
Kemudian kepercayaan ini berkembang bahwa jiwa benar-benar telah terlepas dari
jasmaninya. jiwa yang terlepas itu dianggap dapat berbuat sesuai kehendaknya. Pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan masyarakat Indonesia dipimpin oleh kepala suku yang
dipilih menurut sistem primus interpares. Kepala suku dipilih karena memiliki keunggulan-
keunggulan tertentu dibandingkan individu-individu lainnya, misalkan ahli berburu dan kuat
dalam melindungi kelompoknya. Ketika pemimpin tersebut wafat maka anggota-anggota
masyarakatnya percaya bahwa walaupun sosok pemimpin tersebut telah mati, roh
menggerakan pemimpin suku tersebut akan terus ada dan tetap melindungi kelompoknya.
Oleh karenanya roh atau jiwa pemimpin tersebut tetap dihormati dan dipuja-puja. Ketika
masyarakat Indonesia memasuki periode megalitikum bentuk-bentuk pemujaan terhadap roh
nenek moyang diwujudkan dengan bangunan-bangunan khas zamannya yaitu menhir ataupun
punden berundak-undak.

2. Animisme

Animisme adalah perubahan secara perlahan (evolusi) dari kepercayaan kepada roh nenek
moyang. Kata “animisme” berasal dari bahasa Latin “anima” yang berarti roh. Seperti dalam
buku Sejarah Asia Tenggara (2013) karya M.C Ricklefs animism adalah sistem kepercayaan
yang memuja roh nenek moyang atau makhluk halus.

Animisme adalah tahap kelanjutan dari kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka
mulai memahami sebab-sebab gejala alam yang terjadi di sekitarnya seiring dengan
perkembangan daya berfikir manusia purba dalam memikirkan asal usul gejala-gejala alam
seperti hujan, panas, gunung meletus, gempa bumi, tumbuh-tumbuhan, angin dan lain
sebagainya. Ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang terjadi seperti api yang
membakar, air sungai yang mengalir, bencana gunung meletus manusia memerlukan
pemercahan masalah alam tersebut dengan mencari sebab-sebab fenomena alam tersebut.
Setelah mengetahui fenomena sebab gejala alam yang terjadi, mereka kemudian mencari
pemecahan masalah atas fenomena tersebut. atas dasar perkembangan berfikirnya itu,
manusia purba menganggap penyebab terjadinya fenomena-fenomena tersebut adalah roh,
sebagai penentu dan pengatur alam semesta. Agar manusia purba itu dapat beraktifitas
dengan tenang dan aman, mereka melakukan ritual pembacaan doa, pemberian sesaji, bahkan
korban. mereka juga yang selalu memohon perlindungan dan permintaan sesuatu kepada roh
nenek moyang seperti meminta kesehatan, keselamatan, dan lain-lain.

3. Dinamisme

Kata “dinamisme” berasal dari bahasa Inggris “dynamic” yang berarti daya, kekuatan,
dinamis. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau
kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam
mempertahankan hidup. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda
tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan
keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Mereka percaya terhadap
kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam
benda-benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, dan lain sebagainya akan membawa
pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit,
menolak malapetaka, dan sebagainya. Antara fetisyen dan jimat tidak terdapat perbedaan
yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik dan buruk tergantung kepada siapa pengaruh
itu hendak ditujukan. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka
melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.

4. Totemisme

Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu sebagai lambang nenek moyang.
Binatang-binatang yang dianggap sebagi perwujudan nenek moyang dan dianggap suci dan
dipuja karena memiliki kekuatan supranatural untuk memberikan keselamatan atau
malapetaka kepada penganutnya. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi, ular, dan
harimau. Misalnya sebagian masyarakat praaksara di Papua dan Pulau Seram meyakini
bahwa kadal adalah binatang yang menjadi perwujudan nenek moyang. Oleh karena itu
binatang tersebut dikeramatkan dan tidak boleh diburu, kecuali un`tuk kepentingan upacara
tertentu.

5. Monoisme
Monoisme atau monoteisme adalah tingkat akhir dalam evolusi kepercayaan manusia.
Monoisme merupakan sebuah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada tingkat ini,
manusia mulai berpikir atas apa yang selama ini dialaminya. Mulai dari pertanyaan siapa
yang menghidupkan dan mematikan manusia, siapa yang menghidupkan tumbuhan, siapa
yang menciptakan binatang, juga bulan dan matahari. Berdasarkan pertanyaan itu, manusia
membuat kesimpulan bahwa ada kekuatan yang maha besar dan tidak tertandingi oleh
kekuatan manusia.

Anda mungkin juga menyukai