Anda di halaman 1dari 7

KLIPING

KEPERCAYAAN MANUSIA PURBA


1. Animisme

Animisme adalah kepercayaan manusia purba terhadap roh nenek moyang yang telah
mati (meninggal dunia). Berdasarkan keyakinan ini, roh yang sudah meninggal akan
terus mengawasi serta melindungi manusia tersebut. Namun juga sebaliknya, roh
tersebut juga bisa menghukum anggota masyarakat yang melanggar ketentuan yang
sudah ditetapkan pada adat masyarakat.
Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin doa atau pemujaan terhadap arwah nenek
moyang adalah orang yang paling tua (sesepuh) yang ada di masyarkaat sebagai ketua
adat. Ketua adat sudah menguasai dan mengetahui adat nenek moyang mereka lebih
dari masyarakat yang lain yang nantinya akan menjadi pemimpin setiap pemujaan
masyarakat terhadap roh nenek moyang.

E.B. Tylor dalam bukunya “The Primitive Culture”, kata Animisme berasal dari kata
anima yang artinya jiwa atau nyawa. Masyarakat penganut kepercayaan animisme
percaya segala sesuatu memiliki jiwa atau “soul”, termasuk binatang, tumbuhan,
karang, gunung, sungai, bintang dan lain sebagainya. Setiap segala sesuatu yang
dianggap mempunyai jiwa ini dipercayai memiliki kekuatan, spiritual yang dapat
melindungi atau bahkan mencelakakan mereka termasuk juga roh-roh nenek moyang.

Pada kepercayaan atau agama primitif ini cenderung memuja atau takut dan percaya
kepada sesuatu yang menguasai wilayah yang ditempati. Pandangan suku-suku primitif
tentang jiwa muncul dari anggapannya tentang mimpi. Di dalam mimpi orang-orang
primitif melihat dirinya sendiri berjalan keluar dari dirinya. Seperti itulah orang mati,
jiwanya pada hakekatnya tidak hancur bersama jasadnya namun berpindah atau
menempati tempat tertentu yang dianggap angker atau mengerikan. Dapat juga berada
pada seseorang (reinkarnasi), pohon besar, batu, dan gunung tergantung apa yang
dimaui. Roh orang yang meninggal tidaklah begitu saja putus hubungannya dengan
sanak keluarganya, melainkan secara terus-menerus menginginkan berdampingan
dengan manusia. Bahkan manusia dihinggapi sehingga orang tersebut mengikuti
kehendak roh tersebut, contoh: kesurupan (Ghazali,2000).

Setelah kepercayaan masyarakat terhadap roh nenek moyang berkembang, kemudian


muncul kepercayaan yang bersifat animisme. Animisme merupakan suatu kepercayaan
masyarakat terhadap suatu benda yang dianggap memiliki roh atau jiwa.

Awal munculnya kepercayaan yang bersifat animisme ini didasari oleh berbagai
pengalaman dan masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, pada daerah di sekitar
tempat tinggalnya terdapat sebuah batu besar. Masyarakatyang melewati batu besar itu
baik siang maupun malam mendengarkeganjilan-keganjilan seperti suara minta tolong,
memanggil-manggil namanya, dan lain sebagainya. Tetapi begitu dilihat, mereka tidak
menemukan adanya orang yang dimaksudkan. Peristiwa ini kemudian terus
berkembang, hingga masyarakat menjadi percaya bahwa batu yang dimaksudkan itu
mempunyai roh atau jiwa.

Di samping itu, muncul suatu kepercayaan di tengah-tengah masyarakat terhadap


benda-benda pusaka yang dipandang memiliki roh atau jiwa. Misalnya sebilah keris,
tombak atau benda-benda pusaka lainnya. Masyarakat banyak yang percaya bahwa
sebilah keris pusaka memiliki roh atau jiwa, sehingga benda-benda seperti itu dianggap
dapat memberi petunjuk tentang berbagai hal yang berkembang dalam
masyarakat. Kepercayaan seperti ini masih terus berkembang dalam kehidupan
masyarakat hingga sekarang ini. Bahkan bukan hanya pada daerah-daerah pedesaan,
melainkan juga berkembang dan dipercaya oleh masyarakat diberbagai kota.

Selain benda-benda tersebut di atas, terdapat banyak hal yang dipercaya oleh
masyarakat yang dipandang memiliki roh atau jiwa, antara lain bangunan gedung
tua, bangunan candi, pohon besar dan lain sebagainya.

Di dalam melakukan hubungan spiritual masyarakat melakukan upacara sakral dalam


bentuk selamatan dengan mengadakan sesaji yang semata-mata ditujukan kepada roh-
roh halus yang mendiami tempat tertentu. Adanya sesaji berarti roh haluspun
dipengaruhi oleh manusia yang pada akhirnya dapat berpihak kepada kepentingan
manusia dalam bekerja; bertani, bercocok tanam, beternak, nelayan. Misalnya, di
masyarakat pesisir pantai dilakukan upacara ngeruat yang tujuannya supaya tidak
terjadi bahaya air laut naik sehingga menyebabkan banjir. Di pantai selatan atau
gunung merapi diadakan upacara labuhan untuk keselamatan masyarakat dan
terutama menjaga kemurkaan Nyi Roro Kidul dan penunggu gunung merapi.
2. Dinamisme

Dinamisme adalah kepercayaan manusia purba bahwa sebuah benda mempunyi


kekuatan ghaib. Contohnya adalah keris, patung, tombak dan lain-lain. Menurut
kepercayaan mereka dalam pembuatan benda-benda megalitik, seperti arca. menhir,
dolmen, kubur peti batu, punden berundak, dolmen semu atau pandhusa, dan
sarkofagus dilandasi oleh keyakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan yang lain.
Pengertian dinamisme dalam pemahaman yang telah dikembangkan dalam masyarakat
mempunyai pengertian suatu paham atau aliran keagamaan yang mempercayai adanya
daya-daya sakral yang ada pada suatu benda yang dapat membawa kebahagiaan
manusia atau mendatangkan mara bahaya terhadap manusia dan lingkungannya, baik
secara individu maupun masyarakat.

Hal ini mengakibatkan manusia merasa sebagai makhluk hidup kecil yang sangat
bergantung kepada benda-benda tertentu yang dianggap bertuah. Dinamisme dalam
praktik dapat ditemui melalui jampi-jampi jika dibutuhkan kekuatan gaib. Contoh: pada
kalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan terhadap benda-benda tertentu
seperti keris atau pada masyarakat yang lain yang mempercayai senjata-senjata tajam
yang kuno.

Kepercayaan dinamisme mengalami perkembangan yang tidak jauh berbeda dengan


kepercayaan animisme. Dinamisme merupakan suatu kepercayaan bahwa setiap
banda memiliki kekuatan gaib. Sejak berkembangnya kepercayaan terhadap roh nenek
moyang pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam, maka berkembang pula
kepercayaan yang bersifat dinamisme. Perkembangan kepercayaan dinamisme ini,
juga didasari oleh suatu pengalaman dan masyarakat bersangkutan. Pengalaman-
pengalaman itu terus berkembang secara turun temurun dan generasi ke generasi
hingga sekarang mi. Misalnya, sebuah batu cincin dipandang mempunyai kekuatan
untuk melemahkan lawan. Sehingga apabila batu cincin itu dipakai, maka lawan-
lawannya tidak akan sanggup menghadapinya.

Selain itu terdapat pula benda pusaka seperti keris atau tombak yang dipandang
memiliki kekuatan gaib untuk memohon turunnya hujan, apabila keris itu ditancapkan
dengan ujungnya menghadap ke atas akan dapat menurunkan hujan. Kepercayaan
seperti ini mengalami perkembangan, dan bahkan hingga sekarang ini masih tetap
dipercaya oleh sebagian masyarakat.

Begitu pula pada masyarakat Sulawesi Selatan yang mempercayai cincin yang dapat
membuat pemiliknya kebal. Di Kraton Yogyakarta benda- benda tersebut dinamakan
“kyai”, seperti keris, kereta, gong, dan alat- alat kerawitan. Perlakuan terhadap benda-
benda itu dilakukan waktu- waktu tertentu atau secara berkala dengan jalan dibersihkan
dan dimandikan seperti keris-keris pusaka pada waktu jum’at kliwon. Pada hari itu
senjata-senjata tersebut dimandikan/disucikan dengan air kembang dan jeruk.

3. Totemisme

Totemisme adalah kepercayaan manusia purba terhadap hewan/binatang yang diaggap


memiliki kekuatan yang kuat dan besar daripada manusia, seperti Gajah, Harimau,
Badak, Singa dan lain sebagainya. Manusia purba tersebut menganggap jika binatang
itu melindungi dan menjaga kehidupan mereka.

Hewan-hewan tersebut tidak boleh diburu ataupun dibunuh karena dianggap suci bagi
mereka. Apabila ada yang berani melanggar maka hukuman dan kutukan yang akan
diterima oleh seseorang itu.
Pada aliran kepercayaan ini mempunyai sifat yang sama dengan animisme namun
mempunyai perbedaan adanya kepercayaan terhadap roh halus yang terdapat pada
binatang. Dalam hal ini binatang dielu-elukan sebagai wujud makhluk halus yang
memiliki daya sakti seperti kerbau, sapi, kambing, ular, dan sebagainya. Keyakinan
seperti ini mudah ditemukan, misalnya: seorang sopir takut menabrak kucing sebab
akan membawa bahaya bagi pengendara dan penumpangnya.

Di kalangan masyarakat Bali mensucikan lembu/sapi seimbang dengan pemujaan


terhadap dewa Brahma. Di masyarakat solo pada waktu kirab menyertakan lembu
“bule” yang dianggap sakral bagi masyarakat solo, bahkan kotorannya pun sering
diperebutkan untuk ditanam di wilayah pertanian agar subur. Penyembahan binatang
bukan sekedar budaya tetapi sudah masuk ke dalam dunia teologi atau mitologi.
4. Politheisme
Di dalam masyarakat primitif juga berkembang kepercayaan yang lain, salah satunya
kepercayaan mengenai adanya kekuatan dewa-dewa yang merupakan kekuatan sakral
yang cenderung dipersonifikasikan atas adanya daya alam yang bersifat magis. Hal ini
mempunyai pengertian bahwa pada masyarakat primitif percaya bahwa keberadaan
alam ini merupakan suatu proses kejadian dari adanya daya sakral yang menjadikan.

Berasal dari keberadaan alam ini masyarakat primitif beranggapan bahkan


mempercayai bahwa alam ini ada dewa yang mengatur. Hal inilah yang dikenal dengan
polytheisme. Dalam kepercayaan ini melaksanakan ritualnya dengan jalan melakukan
sajen sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut, contoh pada masyarakat bertani
diadakan upacara metik pari sebagai ucapan syukur masyarakat Jawa terhadap dewi
sri (dewi kesuburan) yang dilakukan menjelang panen. Begitu juga pada waktu awal
musim tanam melakukan upacara cocok tanam dengan membawa segala macam
bentuk makanan yang dipersembahkan kepada dewa dengan tujuan agar tanamannya
akan bertambah subur dan dapat di panen dengan selamat.

5. Monotheisme
Monotheisme adalah kepercayaan yang hanya menyembah atau percaya kepada satu
dewa saja. Biasanya ini terkait dengan totemisme karena dewa yang disembah
umumnya dipersonifikasi melalui berbagai bentuk totem baik itu binatang maupun
tumbuhan. Saat ini masyarakat modern juga terkadang masih mengenal adanya dewa-
dewa yang diyakini bertahta di kahyangan dan mengendalikan kehidupan di bumi. Dewi
Quan-im adalah salah satu contoh personifikasi keyakinan agama Budha yang percaya
bahwa dia mengatur kendali hidup manusia di dunia. Keyakinan akan monotheisme
yang mengakui adanya satu dewa yang tunggal banyak ditemukan dalam mitologi
Yunani.

Kepercayaan monoisme adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


Kepercayaan ini muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman dan masyarakat.
Melalui pengalaman itu, pola pikir manusia berkembang. Manusia mulai berpikir
terhadap apa-apa yang dialaminya, kemudian mempertanyakan siapakah yang
menghidupkan dan mematikan manusia? siapakah yang menghidupkan tumbuh-
tumbuhan? siapakah yang menciptakan binatang-binatang? bulan dan matahari?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus dipikirkan oleh manusia, sehingga muncul
suatu kesimpulan bahwa, di luar dirinya ada suatu kekuatan yang maha besar dan yang
tidak tertandingi oleh kekuatan manusia. Kekuatan itu adalah kekuatan dan Tuhan
Yang Maha Esa.
SUMBER :

http://ensiklopediasli.blogspot.co.id/2016/07/4-jenis-kepercayaan-manusia-purba-di-
indonesia.html

https://maalkhairaat.wordpress.com/2010/04/10/sistem-kepercayaan-masyarakat-
zaman-pra-sejarah/

http://www.artikelsiana.com/2014/09/Sistem-Kepercayaan-Manusia-Purba-
Indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai