Disusun Oleh:
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat agama merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang merefleksikan
pemikiran secara mendalam mengenai masalah krusial (kepercayaan atau keyakinan.
Masalah krusial ini menjadi salah satu diskusi utama dalam filsafat agama yang berbicara
mengenai eksistensi Tuhan. Biasanya pertanyaan utama yang muncul dalam filsafat
agama yaitu mengenai; mengapa dan bagaimana kita dapat mempercayai bahwa hal-hal
yang di percayai oleh agama adalah suatu kebenaran?” hal tersebut tidak lepas dari
adanya dua pandangan yang saling bertolak belakang yaitu mengenai relasi antara iman
dan rasio. Pertama, asumsi iman (Fideism) menyakini bahwa rasio tidak mampu
memahami persoalan-persoalan agama. Selajutnya yang kedua, asumsi rasio
(Naturalisme) yang meyakini bahwa rasio mampu memahami persoalan agama. Didalam
filsafat agama juga disinggung mengenai konsep dan sistem kepercayaan dalam agama-
agama yang direfeksikan dalam fenomena agama.
Berbicara mengenai persolan ketuhanan tententunya sudah tidak asing lagi bagi
sebagian orang. Karena konsep ketuhanan ini telah ada sejak manusia bereksistensi di
dunia. Seiring berjalannya waktu konsep ketuhanan mengalami berbagai macam
perkembangan. Konsep yang dituangkan tujuan utamanya sama yaitu sama-sama
berbicara mengenai dzat yang bersifat ghaib. Animisme dan dinamisme menjadi salah
satu konsep ketuhanan yang telah lama di kenal pada awal mula perkembangannya.
Konsepsi persoalan ketuhanan ini tampak sederhana sesuai dengan tingkat pemikiran
keagamaan orang-orang primitif. 1 Ada empat unsur pokok ciri-ciri manusia primitif
antara lain: emosi keagamaan yang di maksud disini yaitu getaran jiwa yang
mendorong manusia untuk mengakui adanya keberadaan Tuhan dan melaksanakan
ajaran-ajarannya, sistem kepercayaan disini berisi bayangan-banyangan manusia
1
Magdalena Pranata Santoso, “ Filsafat Agama Edisi 2”, ( Yogyakarta, Graha Ilmu: 2013), h. 9-11
terhadap apa yang ada di alam semesta ini contohnya alam ghaib, kematian, makhluk
halus, dewa-dewa dan lain sebagainya, sistem upacara tujuannya untuk mencari
hubungan dengan alam ghaib berdasarkan keyakinan mereka, dan daya- daya kesaktian
menunjukkan adanya gejala-gejala alam yang dapat disaksikan melalui peristiwa-
peristiwa di luar nalar.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
Sukardi, “ Agama-Agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya”, (Bandung,
Angkasa:1991), h.72
BAB II
PEMBAHASAN
1. Animisme
Animisme berasal dari kata anima yang memiliki arti roh, jiwa atau nyawa dan
“isme” yang berarti paham atau aliran. Kata roh disini menjadi kata kunci dalam
pemahaman konsep animisme. Sehingga jika di artikan secara keseluruhan animisme
merupakan suatu kepercayaan terhadap adanya makhluk halus atau roh-roh yang ada
pada setiap benda mati maupun hidup. Dalam pandangan orang primitif di dunia ini
penuh dengan makhluk tak kasat mata ( lelembut) dan mereka suka mendiami tempat-
tempat yang ada di sekeliling kita yang dianngapm memiliki jiwa supranatural dan wajib
di hormati. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka, Roh atau arwah penghuni tempat-
teempat tersebut akan menggangggu kita dalam beraktivitas. contoh tempat yang diyakini
seperti; gunung, pohon, batu, rumah kosong, hutan belantara, sungai, Laut, desa dan lain-
lain. Paham ini banyak melakukan ritual-ritual sakral yang di persembahkan kepada
mereka yang sudah meningggal dunia (roh nenek moyang).
Menurut kepercayaan orang primitif makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan
jahat. Dengan adanya pandangan tersebut maka manusia akan bersikap ambivalen
( perasaan tidak sadar yang saling bersebrangan terhadap situasi yang sama). Contohnya
ketika pandangan orang-orang primitif ini terhadap mahkluk halus yang dianggap baik
oleh mereka (orang primif) akan merasa senang, nyaman dan bahkan tak segan
berinteraksi melaui ilmu-ilmu tertentu. Begitu juga sebaliknya jika makhluk halus yang
bersikap jahat maka reaksi yang ditunjukkan yaitu takut dan hati-hati dalam besikap,
bertindak dan berucap ketika di tempat-tempat tertentu yag diyakini memiliki jiwa
supranatural. Contoh: Memberi sesaji di pohon besar atau tempat-tempat yang memiliki
tarikan jiwa supranatural yang kuat. 3
2. Dinamisme
Secara bahasa dinamisme berasal dari kata “Dynamis” atau “Dynaomos” yang
berarti memiliki makna tenaga atau kekuatan dan “isme” yang berarti paham atau aliran.
3
Kasno, “ Filsafat Agama”, (Surabaya, Alpha: 2018), hlm. 34
Sehingga dinamisme mengandung makna kepercayaan atau anggapan tentang adanya
kekuatan yang terdapat pada berbagai barang tertentu, baik yang hidup maupun yang
mati. Adapun yang disebutkan dalam kamus besar bahas indonesia, dinamisme
merupakan sebuah kepercayaan bahwa segala sesuatu itu memiliki tenaga atau kekuatan
yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dari apa yang manusia usahakan
dalam mempertahankan hidupnya.
Bahkan bagi masyarakat jawa primitif dulu sangat kental akan kepercayaan
dimanisme. hal ini terbukti dengan adanya kepercayaan masyarakat jawa yang percaya
akan benda-benda mati yang dianggap memiki kekuatan ghaib seperti, keris, batu cincin,
pohon-pohon besar yang dianggap keramat, boneka ruh, hingga kuburan keramat. Sebab
paham dinamisme sangat percaya bahwa kekuatan ghaib dianggap memiliki kekuatan
“sakti”. Bagi paham dinamisme ketika bertambah kesaktian yang didapatkan seseorang,
maka bertambah jauh pula orang tersebut dari bahaya serta bertambah selamat hidupnya.
dan sebaliknya, hilangnya kesaktian maka akan dianggap maut. dengan demikian,
bergama bagi paham dinamisme adalah mengumpulkan kesaktian sebanyak-banyaknya.
contohnya: pergi ke dukun atau para normal untuk meminta pegangan benda-benda
keramat seperti batu akik dan benda keramat lainnya4
4
Sukardji, “ Agama-Agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya”, (Bandung, Angkasa: 1991),
hlm 82-88
3. Politeisme
Secara bahasa politeisme berasal dari kata “poly” yang artinya banyak dan
“Theos” artinya Tuhan sedangkan “isme” yang berarti paham atau aliran. Sehingga
istlah politheisme mengandung kepercaayan kepada banyak dewa atau Tuhan. Dalam
kepercayaan yang diyakini Politeisme, hal-hal yang menimbulkan perasaan kagum
terhadap sesuatu hal dan dasyat bukan lagi dikuasai oleh roh-roh lagi tapi oleh para dewa.
Dewa-dewa disini telah memiliki tugas-tugas tertentu. Misalnya ada dewa/dewi api,
matahari, bumi, air dan lain sebaginnya.
Tujuan beragama dalam paham ini tidak hanya memberi sesajen dan
persembahan-persembahan kepada para dewa. Melainkan untuk menyembah dan berdoa
kepada dewa agar dijauhkan dari amarah dari dewa. Hal yang menarik dari
perkembangan kepercayaan politeisme adalah kenyataan bahwa para dewa awalnya yang
memiliki kedudukan yang sama tetapi, karena adanya kemampuan dan kekuatan dari
dewa-dewa tertentu maka, diantara mereka dianggap lebih berkuasa serta dihormati dari
yang lain. Contohnya seperti agama hindu yang menyebut satu Tuhan namun banyak
penamaanya dewa tersebut bernama Brahma ( Pencipta) , Wisnu (Pemelihara) dan Syiwa
( Pelebur). Contohnya: dalam kepercaayaan agama hindu ketika seseorang meminta ingin
segera diturunkannya hujan mereka harus kepada lebih dari satu dewa Agar dewa
kemarau tidak menghalangi pekerjaan dewa hujan5
4. Henoteisme
5
Jirhannudin, “Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-Agama”, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar: 2010), hlm. 55-56
agung tapi, mereka belum dan bukan tergolong kedalam kepercayaan yang bersifat
monoteistik sebab dalam sisi lain mereka juga mengakui bahwa Tuhan ada dalam
sukunya dan suku lain. Misalnya yang terjadi dalam Agama bangsa Yahudi.
Dengan demikian, kepercayaan honoteisme ini keberadaan dewa agung yang satu
hanya dipercayai dalam satu suku di bangsa tertentu saja. Sedangakan bagi bangsa lainya
juga mempercayai dan memiliki adanya dewa-dewa agung tersendiri dalam sukunya atau
bangsanya. Intinya satu dewa agung hanya dipercaya oleh satu suku tertentu saja tetapi
mereka itu tetap mengakui keberaaan dewa-dewa yang di suku lain hanya saja tidak
memuja dewa dari suku lain tersebut. Contohnya: penduduk mesir pada zaman dahulu
mempercayai berbagai macam dewa. Namun tergantung pada keyakinan firaun yang
berkuasa atau memimpin pada saat itu.6
5. Monoteisme
Secara bahasa monoteisme berasal dari kata “monos” yang artinya tunggal
sedanggakan “theos” yang artinya Tuhan dan “ Isme” yang berarti paham atau aliran.
yang artinya Tuhan. Paham Monoteisme sangat berbeda dengan Politeisme yang
mempercayai banyak tuhan, disini kepercayaan monoteisme hanya meyakini bahwa
Tuhan atau Dewa hanya ada satu. Bagi paham ini hanya Tuhan yang Esa yang
mengendalikan dan mengatur kehidupan di alam semesta.
Pada umumnya yang menganut ajaran monoteisme adalah masyarakat yang maju.
baik monoteisme praktis, monoteisme spekulatif, monoteisme teoritis, ataupun
monoteisme murni. monoteisme praktik yakni kepercayaan yang hanya menyembah satu
tuhan. monoteisme spekulatif merupakan sebuah kepercayaan yang berasal dari
gambaran para dewa–dewa yang melebur kemudian dewa tersebut menjadi satu, dan
menganggap dewa itulah yang satu-satunya. monoteisme teoritis yakni sebuah
kepercayaan yang mempercayai bahwa tuhan itu satu hanya dalam sebuah teori saja,
6
Amsal Bakhtiar, “ Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan manusia”, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada: 2007), hlm 72-73
namun dalam prakteknya mereka mengganggap banyak Tuhan. dan selanjutnya yang
terakhir adalah monoteisme murni yang menganggap bahwa Tuhan itu satu atau Esa,
baik dari jumalahnya maupun sifat-sifatnya, dan mereka sangat mempercayai itu dari
segala aspek. Contohnya: Paham ini berbanding terbalik dengan paham politeisme yang
mempercayai banyak Tuhan namun pada paham ini konsep ketuhanya sudah mengerucut
dan hanya memuja satu dewa saja sebagai pemegang kekuasan secara universal7
7
Sadat Ismail, “ Risiko Sejarah Bertuhan Satu”, (Yogyakarta, Qalam: 2003), hlm 46-50
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia mempunyai kebutuhan untuk beragama sebagai respon alamiah yang berupaya untuk
menemukan Tuhannya. Manusia dengan berbagai macam latar belakang budaya, memberikan
respon yang berbeda terhadap sifat agama serta kepercayaan yang di anutnya. Kehidupan suku
bangsa primitif tidak lepas dari kegiatan-kegiatan keagamaan atau upacara keagamaan
contohnya melakukan ritual sesaji, membaca mantra-mantra, pesta makan bersama, melakukan
tarian-tarian, semedi, bertapa, dan lain sebagainnya.
Mengenal dan memahami agama ataupun kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia atau yang ada disekitar kita sangatlah penting. Sebab tanpa menelaah kembali sejarah,
eksistesi manusia sebagai makhluk hidup yang berpikir dan beraktivitas patut dipertanyakan.
Tanpa manusia sejarah pun tidak ada. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan dalam diskursus
ilmu pengetahuan. Intinya Jangan pernah melupakan sejarah peradaban bangsa kita yaitu
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, 2007, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan manusia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Santoso Pranata Magdalena, 2013, Filsafat Agama Edisi 2, Yogyakarta, Graha Ilmu.