Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT ILMU

Aliran Filsafat: Religiusisme

untuk memenuhi tugas individu Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Prof. H. Udin Syaefudin Saud, M.Ed., Ph.D.
Dr. Prana Dwija Iswara, M.Pd.

Oleh Kelompok 6:
Yesiska Mikaris Citra Tamara (2002666)
Wili Karlina R (2002703)
Sri Wahyuni (

PENDIDIKAN DASAR
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Religiusisme

Aliran Religiusisme di sini adalah suatu kebenaran yang bersumber dari


sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Aliran ini disebut juga dengan
aliran agama atau filsafat agama. Manusia tidak dapat hidup dengan benar
hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan dan ilmu tanpa adanya
kebenaran agama (Wassalwa, 2015).

Manusia secara fiṭrah bergejolak mencari dan merindukan Tuhan, mulai


dari perasaan sampai pada penggunaan akal. Fiṭrah manusia terkadang
tertutup kabut kegelapan yang mengakibatkan manusia tidak mau mengenal
Tuhannya, namun kekuatan fiṭrah ini tidak dapat dihapuskan dan sewaktu-
waktu muncul dalam kesadaran manusia yang menyebabkan kerinduan yang
mendalam terhadap penciptaNya. Perpaduan antara naluri, akal, dan wahyu
terjadi ketika Tuhan memberikan petunjuk berupa wahyu yang diberikan
kepada para Rasul-RasulNya (Ya’kub, 1991).

Agama berasal dari bahasa Sankskrit yang terdiri dari dua kata, a berarti
tidak dan gam berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat;
diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti tuntunan. Agama juga
mempunyai tuntunan, yaitu Kitab Suci. Istilah agama dalam bahasa asing
bermacam-macam, antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan ad-
din. Agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan
harus dibaca. Dari akar kata itu, baik din maupun religi, dan agama
didefinisikan dalam berbagai ungkapan, antara lain pengakuan adanya
hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

Agama adalah keseluruhan pendapat tentang Tuhan, dunia, hidup, mati,


tingkah laku serta baik buruknya yang berdasarkan wahyu. Wahyu adalah
penerangan Tuhan secara istimewa kepada manusia secara langsung ataupun
tidak langsung (melalui wakil atau utusan). Pada zaman skolastik, filsafat
disebut juga dengan filsafat masehi karena didasarkan pada ajaran agama
masehi (Hanafi, 1983). Walaupun disebut sebagai filsafat masehi tetapi filsafat
tetap dalam arti yang sebenarnya, karena berjalan di atas landasan fikiran.
Secara lebih khusus dijelaskan dalam buku filsafat skolastik bahwa agama
adalah aqidah (kepercayaan) yang diwahyukan dan yang mengharuskan
keimanan.

Agama merupakan sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh


sekelompok umat manusia, dimana manusia selalu mengadakan ineraksi
denganNya. Pokok permasalahan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi
Tuhan, manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia
dengan Tuhan masuk dalam katagori metafisika sedangkan hubungan
sesamanya dan benda lain masuk dalam katagori fisika. Dengan demikian
filsafat membahas agama masuk dalam katagori metafisika dan fisika. Maka
tatkala agama menjadi obyek kajian filsafat maka kajian itu berarti membahas
dasar-dasar agama menurut logika dan secara bebas (Kasno, 2018)

Menurut Harun Nasution (dalam Kasno, 2018), pemikiran dimaksud


dalam kajian filsafat agama mengambi dua bentuk:

a. Membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada
ajaran-ajaran agama dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran
suatu agama.

b. Membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis, dengan maksud


untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau
sekurangkurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama
tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika. Dalam
pembahasan semacam ini orang masih terikat oleh ajaran-ajaran agama.
Dasar-dasar agama menurut Kasno (2018) yang menjadi pokok bahasan
dalam filsafat agama meliputi: wahyu, pengiriman rasul dan nabi, ketuhanan,
roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan (dari arti
apakah manusia merdeka dari atau terikat kehendak Tuhan), soal kejahatan,
soal hidup kedua setelah hidup di dunia ini, dan lain sebagainya.

B. Religiusisme sebagai Objek Studi

Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua macam objek, yaitu objek
material dan obyek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan
sasaran penyelidikan, seperti peninggalan sejarah manusia zaman dahulu
menjadi obyek material dari ilmu antropologi. Adapun objek formal adalah
cara pandang tertentu tentang objek material tersebut, misalnya cara-cara
empiris mengukur usia fosil atau peninggalan dalam sejarah umat masa lalu
dalam ilmu antropologi.

Religiusisme sebagai objek kajian, tentu sangat beda antara satu ilmu
dengan yang lainnya. Nasution (dalam Kasno, 2018) mengemukakan delapan
definisi untuk Religiusisme atau agama, yaitu:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatanghaib


yang harus dipatuhi.

2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan


pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan ghaib yang menimbulkan cara hidup


tertentu.

5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal


dari suatu kekuatan gaib.

7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.

8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang


Rasul.

Definisi yang dikemukakan Nasution dapat disederhanakan menjadi dua


definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama berkaitan
dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi dari
manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan
ghaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar
biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu
adalah benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi
nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi.
Jika disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan ghaib
yang ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena
sikap pemarah dari yang ghaib itu.

Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat


hal penting dalam setiap agama menurut Kasno (2018), yaitu: Pertama,
adanya kekuatan ghaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada
kekuatan ghaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu, manusia
merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut.
Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan
kekuatan ghaib itu.

Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan


hidup akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan ghaib
itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan,
yang dicari akan hilang pula.
Ketiga, respon yang bersifat emosionil dari manusia. Respon itu bisa
berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau
perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agamaagama monoteisme.
Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam
agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih
lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat
yang bersangkutan.

Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk
kekuatan ghaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaranajaran agama itu
dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

Agama sebagai objek studi apabila dalam filsafat berbeda dengan ilmu-
ilmu lain seperti: ilmu agama, ilmu fiqih, sejarah agama, psikologi agama dan
lain sebagainya. Ilmu Agama membicarakan sebagai pengetahuan manusia,
ilmu fiqih membahas tentang tata aturan dalam ajaran agama yang harus
dikerjakan oleh pengikutnya, sejarah agama berbicara tentang proses
perjalanan agama dari lahir, perkembangan jumlah pengikut sampai
perkembangannya sampai saat ini. Sementara itu psikologi agama membahas
tentang proses kejiwaan dari pengikut agama dan hubungan kejiwaan pengikut
agama dengan ajaran yang dipelajarinya. Adapun agama dalam kajian filsafat
agama, sebagaimana ciri filsafat sebagai kajian sistimatis dan mendalam,
bebas tanpa terikat oleh ajara agama tertentu. Karena itu dalam aliran
Religiusisme, bahasan terhadap agama antara lain:

1. Tidak terbatas pada agama tertentu, tetapi semua bentuk keyakinan yang
dapat digolongkan sebagai agama.

2. Tidak terikat oleh pola pikir, doktrin dan ajaran agama tertentu dalam
kajiannya.

3. Tidak terikat oleh tradisi, norma yang berlaku dalam sesuatu masyarakat,
komunitas maupun suku bangsa tertentu.
4. Benar-benar merupakan upaya sistematis berdasarkan hukum logika untuk
mencari kebenaran terhadap dasar-dasar agama, mulai dari wahyu, adanya
Rasul, adanya hidup sesudah mati atau keabadian hidup, roh manusia,
hubungan manusia dengan Tuhan.

C. Cabang-Cabang Aliran Religiusisme ditinjau dari Filsafat Pendidikan


Islam

Ditinjau dari Analisis Muhammad Jawwad Ridha (dalam Harati, 2016),


ia menguraikan tiga pemikiran pokok dalam filsafat pendidikan islam, yaitu:
(1) Aliran atau pemikiran Religius-Konservatif, (2) Aliran atau pemikiran
Religius-Rasional, dan (3) Aliran atau pemikiran Pragmatis-Instrumental.
Penjelasan dari ketiga pemikiran tersebut dapat dilihat di bawah ini.

1. Aliran Religius-Konservatif

Menurut golongan ini lebih bersikap religius. Para ilmuan dalam


golongan ini menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu mempunyai ruang
lingkup yang kecil, yakni hanya sebatas ilmu pengetahuan yang diperlukan
ketika kita hidup di dunia dan dapat membawa manfaat kelak di Akhirat.
Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan ini adalah Al-Ghazali,
Zarnuji, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-
Haitami, dan Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf (Al-Qabisi).

Sedangkan, menurut golongan Konservatif, ilmu pengetahuan


dijabarkan menjadi 2 bagian yaitu : (1) Ilmu yang wajib hukumnya
dipelajari oleh setiap individu, (2) Ilmu yang hukumnya Fardhu Kifayah
untuk dipelajari. Pandangan dari golongan Konservatif ini lebih kearah
konsep hierarki yaitu yang mengelompokkan berbagai macam ilmu
pengetahuan secara vertikal yang berhubungan dengan keyakinan mereka
tentang kemanfaatan masing-masing ilmu pengetahuan. Ulama dalam
golongan ini yaitu Al-Ghazali.
Tujuan pendidikan merupakan konsepsi yang lahir dari refleksi
kepercayaan falsafahnya. Imam Al-Ghazali menganggap bahwa
pendidikan merupakan media Taqarrub kepada Allah SWT dan untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

2. Aliran Religius-Rasional

Aliran ini memandang bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak
bisa memberi manfaat sebagai bekal untuk hidup di akhirat, maka ilmu
pengetahuan tersebut hanya menjadi timbal balik untuk pemiliknya di
akhirat kelak. Aliran Religius-Rasional banyak membangun konsep-
konsep pemikirannya yang diadopsi dari pandangan Filsafat Yunani kuno
dengan pemikiran-pemikiran yang sangat dasar yang bertujuan kearah
religius yang dijadikan sebagai pedomannya.

Pendidikan islam dalam pendekatan Religius-Rasional adalah


pendidikan yang mencampurbaurkan antara tubuh dan hati sebagai salah
satu rujukan untuk melakukan pengajaran serta mendidik yang didasarkan
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengasah kemampuan peserta
didik dengan memadukan Dzikir, Fikir, Amal Shaleh hingga terbentuk
manusia yang Insan Kamil, yaitu manusia yang cerdas intelektual,
emosional-moral, dan religius-spiritual.

Secara Universal, epistemologi pendidikan islam dalam pendekatan


Religius-Rasional ada 3 yaitu : (1) Wahyu bisa berbentuk teks (Al-Qur’an
dan Hadis) dan intuisi (Ilham), (2) Indra atau sesuatu yang Empirik, dan
(3) Akal rasio. Dari ketiga Epistemologi diatas, maka bisa diambil benang
merah bahwa epistemologi pendidikan islam dalam pendekatan Religius-
Rasional adalah bersandar pada kekuatan spiritual, pendidikan islam
dibangun berdasarkan kesadaran spiritual yang bersumber dari Tuhan yang
berupa Wahyu, serta rasional-empiris menjadi kesadaran ilmiah dalam
membangun pendidikan islam. Artinya pendekatan Religius-Rasional
mempunyai Epistemologi pendidikan islam yang mempunyai ciri khas
perpaduan antara empirik-rasional dan wahyu.

3. Aliran Pragmatis-Instrumental (Al-Dzarai’iy)

Aliran Pragmatisme memandang bahwa hakikat pendidikan islam


ialah untuk menyiapkan peserta didik dengan bekal berupa berbagai
macam keahlian dan keterampilan di bidangnya supaya mereka bisa
bersaing untuk hidup di dunia yang terus-menerus berubah. Aliran ini
menguraikan bahwa pendidikan yang dilaksanakan harus fokus kepada
peserta didik dan sebisa mungkin cocok dengan minat dan kebutuhan
supaya bisa menyelesaikan masalah atau problem hidup secara praktis.
Tokoh utama aliran Pragmatis-Instrumental ini yaitu Ibnu Khaldun.
Pemikiran beliau cenderung kearah pragmatisme dan banyak terfokus
dalam lingkup aplikasi-praktis.

Ibnu Khaldun menguraikan beberapa macam jenis ragam ilmu yang


nyata yang berhubungan dengan kebutuhan manusia, baik berupa
kebutuhan keagamaan yang berhubungan dengan hati maupun kebutuhan
barang atau materi yang berhubungan dengan tubuh.
DAFTAR RUJUKAN

Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan


Manusia. Jakarta: Rajawali Pers.

Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka AlHusna.

Harati. (2016). “Filsafat Pendidikan Islam”. Jurnal Pendidikan Islam Vol. 07 No.
13. 23 Oktober 2020.

Kasno. 2018. Filsafat Agama. Surabaya: Alpha.

Wassalwa, Wassalwa. (2015). “Parameter Kebenaran Ilmu Pengetahuan (SAINS)


dalam Al-Quran”. Jurnal Lisan Al-Hal Vol. 9 No. 1. 23 Oktober 2020.

Ya’kub, Hamzah. 1991. Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.

Anda mungkin juga menyukai