Anda di halaman 1dari 17

A.

LATAR BELAKANG MASALAH

Pancasila merupakan rangkaian kesatuan dan kebulatan yang tidak


terpisahkan karena setiap sila dalam Pancasila mengandung empat sila lainnya
dan kedudukan dari masing-masing sila tersebut tidak dapat ditukar tempatnya
atau dipindah-pindahkan. Hal ini sesuai dengan susunan sila yang bersifat
sistematis-hierarkis, yang berarti bahwa kelima sila Pancasila itu menunjukkan
suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat-tingkat, dimana tiap-tiap sila
mempunyai tempatnya sendiri di dalam rangkaian susunan kesatuan itu sehingga
tidak dapat dipindahkan.

Bagi bangsa Indonesia hakikat yang sesungguhnya dari Pancasila adalah


sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara. Kedua pengertian
tersebut sudah selayaknya kita fahami akan hakikatnya. Selain dari pengertian
tersebut, Pancasila memiliki beberapa sebutan berbeda, seperti : Pancasila sebagai
karakter kelimuan.

Walaupun begitu, banyaknya sebutan untuk Pancasila bukanlah merupakan


suatu kesalahan atau pelanggaran melainkan dapat dijadikan sebagai suatu
kekayaan akan makna dari Pancasila bagi bangsa Indonesia. Karena hal yang
terpenting adalah perbedaan penyebutan itu tidak mengaburkan hakikat pancasila
yang sesungguhnya yaitu sebagai dasar negara. Tetapi pengertian pancasila tidak
dapat ditafsirkan oleh sembarang orang karena akan dapat mengaturkan maknanya
dan pada akhirnya merongrong dasar negara, seperti yang pernah terjadi di masa
lalu.

Untuk itu, kita sebagai generasi penerus, sudah merupakan kewajiban


bersama untuk senantiasa menjaga kelestarian nilai nilai pancasila sehingga apa
yang terjadi di masa lalu tidak akan teredam di masa yang akan datang.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang mendasari pancasila sebagai karakter keilmuan?
2. Bagaimana nilai – nilai pancasila sebagai dasar karakter Bangsa?
3. Mengapa tuntunan pancasila penting sebagai pandangan hidup bagi
Bangsa Indonesia

C. TINJAUAN PUSTAKA

Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter” , “kharassein” , dan “kharax”


yang maknanya “tools for making”, yang kemudian menjadi bahasa inggris
“Character”, sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal “karakter” (Elmubarok,
Z., 2008:102). Karakter juga dapat di artikan sifat –sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain ; tabiat ; watak.
Berkarakter berarti mempunyao tabiat, mempunyai kepribadian dan berwatak
(Hidayatullah, M.F., 2009:9). Karakter juga berarti kualitas atau kekuatan mental
atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus
yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan
juga bahwa karakter pendidikan adalah kualitas mental atau kekuatan moral,
akhlak budi pekerti pendidik yang merupakan kepribadian khusus yang harus
melekat pada pendidik (Syarkawi, 2008)

FW Foerster (1869-1966), pencetus pendidikan karakter asal Jerman


mengatakan bahwa ada empat cirri dasar dalam pembentukan karakter, yakni:

1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki


nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan;
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang;
3. Otonomi, di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas

2
keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan serta tekanan dari
pihak lain;
4. Keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang
guna mengingini apa yang di pandang baik. Kesetiaan merupakan dasar
bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang
disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan
unsure psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.
Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang dan konteks lingkungan.
Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang
menekankan unsur somato psikis yang dimiliki inndividu sejak lahir. Disini,
istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai
“cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga pada masa kecil, teman-teman, dan sekolah, Dari sekian pengertian yang
telah kita dapat, ada satu hal yang perlu ditekankan bahwa karakter bukanlah
suatu hal yang alamiah atau terberi sejak lahir, melainkan sesuatau yang didapat
dari proses belajar atau internalisasi.

Secara umum Sembiring menyatakan bahwa pembangunan karakter


bangsa setidaknya harus mencakup 4 lingkup, lingkup keluarga, lingkup
pendidikan, lingkup masyarakat dan lingkup pemerintahan, Pada lingkup
keluarha, wahana pembelajaran dan pembiasaan harus di lakukan oleh orang tua
terhadap anak sebagai anggota keluarga. Pada lingkup pendidikan adalah wahana
pembinaan dan pengembangan melalui keteladanan aparat penyelenggara tokoh-
tokoh elit bangsa. Menurut Su’us paling tidak kita mempunyai dua pengalaman
dalam mengembanglan budaya dan karakter bangsa, yaitu di masa rezim Soekarno
dan rezim Soeharto. Di masa Demokrasi terpimpin dan di masa Demokrasi
Pancasila. Yang pertama dikenal dengan cara program Samtiaji dalam rangka
Nation and Character Building , atau membangun karakter bangsa. Yang kedua di
laksanakan dalam program penataran P4, yang berisi pedoman, penghayatan dan

3
Pengalaman Pancasila. Keduanya dilaksanakan lewat jalur pendidikan formal
dalam kerangka kurikulum sekolah, maupun jalur pendidikan non forman atau
luar sekolah.

D. PEMBAHASAN
Usaha yang dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto dalam rangka Nation and
Character Building dan program penataran P4, adalah usaha untuk menciptakan
manusia Indonesia yang ideak sehingga mampu mewujudkan cita-cita nasional.
Manusia Indonesia ideal tentu saja adlah manusia yang pandamgan hidupnya
dituntun oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karenanya, pemimpin yang ideal pun
semestinya pemimpin yang memiliki karakter Pancasila. Maka sebelum sampai
pada pembahasan tentang apa itu pemimpin berkarakter Pancasila, kita pelu
meninjau terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan nilai-nilai Pancasila

1. Nilai Sila Pertama

Menurut Notonagoro bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang


Maha Esa yang paling sulit karena kerap dipersoalkan. Memang di dunia ini
terdapat pendirian dan kepercayaan yang berkenaan dengan ketuhanan, lebih-lebih
mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sangat berlain-lainan, begitu pula
keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu yang harus di lakukan adalah
mengajukan sesuatu penjabaran mengenai isi arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang tidak terikat kepada bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan
tetapi tidak memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan lain perkataan, batas-batas dari isi-inti sila inni harus cukup luas untuk
menepatkan semua agama dan kepercayaan di dalamnya.

Soekarno, yang akrab sekali disapa Bung Karno, ketika berpidato di depan
siding BPUPKI 1 Juni 1945 menyatakan, prinsip yang kelima hendaknya
menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ktuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing

4
orang Indonesia hendaknya bertuhan pada Tuhannya sendiri. Tetapi marilah kita
semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.
Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun non islam, dengan cara
berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama
lain (Soekarno,1986:153)

Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa , negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan
kemerdekaan beragama ini, negara menghendaki adanya toleransi dari pada
pemeluk agama, sehingga tidak akan membenarkan adanya pemaksaan suatu
agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus selalu membimbing dan
mengarahkan segenap warga negara dan penduduk untuk selalu mengamalkan
ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap
penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak
dan kebebasan pemeluk agama lainnya.

Berdasarkan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia


Masa Depan Bab IV, khusus dalam bidang religius, bahwa untuk mengukur
tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020 memerlukan beberapa
indikator. Adapun indikator yang dimaksud adalah sebegai berikut :

a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia


sehingga ajaran agama, khususmya yang bersifat universal dan nilai-nilai
luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku
kesehariannya;
b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan

2. Nilai Sila Kedua

5
Dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban
asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkan
sikap saling mencintai sesasa manusia sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Bung Karno ketika berpidato di depan siding BPUPKI 1 Juni 1945 mengutip
apa yang dikatakan Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya
adalah prikemanusiaan.” My nationalism is humanity. Ia juga menandaskan,
“Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan
termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai


kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani
membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka
bangsa Indonesia merasa dirinya sebagi bagian dari seluruh umat manusia, karena
itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-
bangsa lain”.

Bung Karno juga menyampaikan, “Kita bukan saja harus mendirikan negara
Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-
bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch Principe yang
nomor dua, yang saya usulkan Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
“internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakana internasionalisme, bukanlah
saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada
Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam


buminya nasionalisme.Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup

6
dalam taman sarinya internasionalisme . Jadi, dua hal ini, Saudara-Saudara,
prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan
sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain”.

Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan
kewajiban yang sama pada setiap warga negara Indonesia, dan mengharuskan
kepada negara untuk memperlakukan manusia Indonesia dan manusia lainnya
secara adil dan tidak sewenang-wenang. Di samping itu negara harus menjamin
setiap warga negaranya untuk mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan
yang sama, serta membebani kewajiban yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Negara wajib menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang
berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

3. Nilai Sila Ketiga

Bung Karno ketika berpidato di depan siding pertama BPUPKI tanggal 1 Juni
1945 menguraikan tentang makna Kebangsaan Indonesia. Uraiannya adalah
bahwa bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan “le desir d’entre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis saja, tetapi
bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang
telah ditentukan Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia
dari utara Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! Karena di antara manusia
70.000.000 ini sudah ada “le desir d’entre ensemble”, sudah jadi “Character
Gemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah
orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,
sekali lagi satu.

Bung Karno dalam pidatonya di depan siding pertama BPUPKI tanggal 1 Juni
1945 juga menyampaikan “Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang
satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu
nagiam kecil saja daripada dunia. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan

7
kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang
Eropa, yang mengatakan “Deutschland liber Alles”, tidak ada yang setinggi
Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru,
:bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain
tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bansa Indonesialah yang terbaggus dan termulia serta
meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persaudaraan dunia.”

Menurut Notonegoro inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan,


kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa,
menghidupkan-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik kea rah kerja
sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan
yang mungkin mengakibatkan suasana dan dan kekuatan tolak-menolak kearah
perselisihan, pertikaian dan perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan
dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya. Lagi pula dengan kesediaan, kecakapan
dan usaha untuk sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan,
mungkin menurut pedoman-pedoman majemuk tunggal bagi pengertian
kebangsaan.

4. Nilai Sila Keempat

Bung Karno menyampaikan juga dalam pidatonya di depan siding BPUPKI 1


Juni 1945 tentang dasar mufakat, dasar perwakilan, dasarpermusyawaratan.
Bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara
untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara
“semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”. Saya yakin bahwa
syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan. Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro adalah kebebasan dan
kekuasaan rakyat di dalam lapangankenegaraan, atas dasar Tri Tunggal, yaitu
“negara rakyat, bagi rakyat dan oleh rakyat.”

8
5. Nilai Sila Kelima

Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, Bung Karno
mengusulkan, kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik-ekonomische
demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia
sudah lama bicara tentang hal ini. Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 di
depan BPUPKI juga menyampaikan, “Saya di dalam tiga hari ini belum
mendengar prinsip kesejahteraan, prinsip : tidak akan ada kemiskinan di dalam
Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia, yang kaum kapitalisnya
merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu
Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih,
saudara-saudara?”

Sila kelima pancasila, menurut Notonagoro mengandung prinsip bahwa di


dalam lapangan sosial dan ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan,
dalam keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk social, untuk
mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat
mutlak dari manusia sebagai individu.

Notonagoro (1995:19) menyatakan antara lain bahwa isi mutlak dari Pancasila
dasar falsafah Negara meliputi :

a. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung prinsip bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan dan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing serta untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
b. Sila Kemanusiaan yang mengandung Prinsip pergaulan antara umat
manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab untuk
membangun kekeluargaan antara bangsa-bangsa di dunia.
c. Sila kebangsaan mengandung prinsip persatuan Bangsa Indonesia yang
tidak sempit, karena prinsip ini mengandung pengakuan bahwa setiap

9
bangsa bebas menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan satu sama
lain.
d. Sila kerakyatan mengandung prinsip bahwa demokrasi di Indonesia
bukanlah demokrasi yang bersifat totaliter maupun liberal melainkan
berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
e. Sila keadilan social mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia
akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hokum, politik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan.
Pitoyo dkk (2012:16-18) menguraikan bahwa tuntutan Pancasila sebagai
pandangan hidup bagi bangsa Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku harus
sesuai dengan sila-sila Pancasila. Secara lengkapnya adalah sebagai berikut:

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh
karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antara
pemeluk-pemeluk agama dan menganut-menganut kepercayaan yang
berbeda-beda, sehingga selalu dapat dibina kerukunan hidup di antara sesama
umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sadar
bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah yang
menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
dipercayai dan keyakinanya, maka dikembangkan sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dengan agama dan
kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu
kepada orang lain.

b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab

10
Dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk tuhan
yang maha esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban
asasinya, tanpa membeda bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu
dikembangkan sikap saling mencintai (menghormati) sesama manusia, sikap
tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena mena terhadap orang
lain.Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa
manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai
bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.

c. Sila Persatuan Indonesia

Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan,


kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Menempatkan kepentingan negara dan
bangsa di atas kepentingan pribadi bahwa manusia Indonesia sanggup dan
rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa. Oleh karena sikap rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara itu dilandasi oleh rasa cinta
kepada tanah air dan bangsanya maka di kembangkanlah rasa kebanggaan
berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan


pergaulan demi persatuan dan kesatun bangsa. Dalam rangka mencapai
perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial maka hubungan antar bangsa didasarkan pada prinsip saling
menghormati dan bekerja sama.

d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam


Permusyawaratan/Perwakilan

11
Dengan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalm
Permusyawaratan/Perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan
hak-haknya ia menyadari perlunya memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.

Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama maka pada
dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain.
Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan terlebih dahulu
diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah
untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan yang
merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil


keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus
menerimanya dan melaksanaknnya itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di
sini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi
atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat
dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil
harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatua, demi
kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepeecayaan
diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayainya.

e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia
menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk mewujudkn keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatan
yang luhur yang mencerminkan sikap dan perilaku dalam suasana
kekeluargaan serta kegotong-royongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil
terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain dan menjaga

12
keseimbangan anatara hak dan kewajiban. Demikian pula perlu dipupuk sikap
suka memberi oertolongan kepada orang lain yang memerlukan agar dapat
berdiri sendiri. Dengan sikap yang demikian itu tidak menggunakan hak
miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain,
juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan hidup bergaya mewah
serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum. Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan
sikap menghargi hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai
kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan yang merata dan kedilan sosial.

Effendy (1995: 47-48) menguraikan lebih lanjut mengenai nilai-nilai


Pancasila sebagai berikut :

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat meliputi dan menckup semua agama dan
kepercayaan yang telah diakui dan telah diamalkan oleh bangsa Indonesia, dan
memberi jaminan kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya itu. Dengan
demikian akan timbullah kerukunan dan toleransi di antara sesama penganut
agama.

b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan beradab menjamin adanya pengakuan dan
persamaan diantara suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, mengembangkan
jiwa tolong- menolong dan bantu-membantu di antara semua suku bangsa atau
golongan-golongan yang ada di Indonesia atau antara bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, sehingga akan memperkokoh persatuan dan
kesatuan di antara mereka.

c. Sila Persatuan Indonesia atau Kebangsaan merupakan sila yang paling jelas
menyatukan kepentingan bersama dari semua golongan, semua suku bangsa
dan semua daerah di wilayah Nusantara ini, karena tidak ada satupun yang
lebih diistimewakan dari yang lain. Ini berarti bahwa kepentingan nasional
berada di atas kepentingan golongan, suku bangsa dan daerah.

13
d. Sila Kerakyatan juga menjamin adanya persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia, karena semua golongan dalam masyarakat diakui mempunyai hak
dan kewajiban yang sama, dan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut
serta dalam pemerintahan, sedang mengenai urusan mereka dimusyawarahkan
di antara mereka.

e. Sila Keadilan sosial akan dapat menjamin adanya ketenangan dan ketentraman
dalam masyarakat, karena adanya kesejahteraan yang merata dan keadilan
dalam bidang sosial ekonomi serta tidak adanya penindasan dan pemerasan di
antara sesama bangsa Indonesia, akan mengurangi kesenjangan sosial di antara
sesama warga masyarakat.

Disamping alasan-alasan di atas, Effendi juga menambahkan bahwa praktek


sejarah ketatanegaraan di Indonesia telah membuktikan dengan jelas bahwa
Pancasila telah mampu mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat bahwa
pertentangan antar golongan rakyat/daerah. Bagaimanapun besarnya perbedaan
atau pertentangan di antara mereka kalau sudah menjadi klimaksnya akan reda
kembali, bilamana semua dikembalikan kepada dasar falsafah negara kita yaitu
Pancasila.

E. SIMPULAN

Sejak gerakan reformasi digulirkan dari kampus-kamous dan tanah air, tampak
berkembang kecenderungan untuk menafikan Pancasila sebagai ideologi dalam
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Walaupun Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tetap mencantumkan ideologi
dasar Pancasila sebagai dasar pendidikan nasional, peraturan pelaksanaannya
tidak lagi mencantumkan pendidikan ideologi negara dalam kurikulum pendidikan
nasional. Akibat dari penghapusan tersebut sangat mengkhawatirkan. Proses
"colonialization of the mind" secara tidak disadari menjadi semakin marak dan
pendidikan tinggi yang "Salah Asuhan" berlangsung tanpa hambatan,
menghasilkan para lulusan yang lebih menghayati paradigma ilmu pengetahuan

14
milik budaya bangsa lain daripada ilmu pengetahun yang berakar dari budaya
bangsa sendiri (Effendi, 2006: 2).

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era modern sekarang ini,
menurut Jenie (2006:7) telah banyak menimbulkan problema etika, apakah itu
etika kemanusiaan, etika lingkungan, atau masalah etika yang lainnya.

Etika kelilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai


kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu
menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya Etika ini
diwujudkan secara pribadi atau kolektif dalam karsa cipta karya, yang tercermin
dalam perilaku kreatif, inovtif, inventif, dan komunikatif, dalam kegiatan
membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya serta menciptakan iklim kondusif
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan


menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta
menepati janjindan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik. Etika ini
juga mendorong tumbuhnya kemampuan untuk menghadapi hambatan, rintangan
dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah tantangan menjadi peluang,
mampu menumbuhkan kreativitas untuk menciptakan kesempatan baru dan tahan
uji serta pantang menyerah (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor VI/MPR/2001).

Sastrapratedja (1991:160-161) berpendapat bahwa Pancasila dapat menjadi


dasar pengembangan etika ilmu pengetahuan yang harus menyertai pula
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Biasanya masalah-masalah etis
yang terkait tidak cukup diolah dan selalu ketinggalan. Beberapa prinsip dasar
etika ilmu pengetahuan yang didasarkan Pancasila antara lain

a. martabat manusia sebagai pribadi

b. prinsip tidak merugikan, harus dihindari kerusakan terhadap bangsa,


manusia dan alam

15
c. kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat seluruhnya
d. mengurangi penderitaan manusia
e. pemerataan hasil-hasil perkembangan ilmu dan teknologi

Menurut Jenie (2006:8) Pancasila akan bisa dipakai sebagai paradigma


ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya dalam era modern seperti sekarang ini,
yaitu dalam memberikan panduan etika kepada penerapan iptek itu sendiri. Sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua Kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
merupakan prinsip-prinsip etika yang sifatnya universal, dan juga dihormati di
Badan - badan Internasional termasuk Unesco sendiri.

16
DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/document/361508027/Makalah-Pancasila-Sebagai-Dasar-
pengembangan-Ilmu

Buku Paradigma Terbaru Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa (2017) karya


Tim Nasional Dosen Pendidikan Pancasila

17

Anda mungkin juga menyukai