Anda di halaman 1dari 11

Teori dan Pemikiran Tentang Ketuhanan : Animisme, Dinamisme, Politeisme, Henoteisme,

dan Monoteisme
Di susun dalam rangka memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Agama
Dosen Pengampu : Tsuwaibah, M.Ag

Di Susun Oleh :
Ahmad Uwes Alqoroni (2204016042)

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT tuhan yang maha esa atas segala rahmatnya sehingga
makalah dengan judul “Teori dan Pemikiran Tentang Ketuhanan : Animisme, Dinamisme,
Politeisme, Henoteisme, dan Monoteisme” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga
kami ucapkan banyak terima kasih kepada ibu Tsuwaibah, M.Ag selaku dosen pengampu mata
kuliah Filsafat Agama yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat
Agama. Selain itu pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka saya yakin masih banyak
kekuranagan dalam makalah ini. Oleh karena, itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Semarang, 12 September 2023

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketuhanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia sepanjang sejarah peradaban. Konsep tentang Tuhan atau keberadaan entitas ilahi telah
menjadi pusat perhatian berbagai peradaban manusia sejak zaman kuno hingga saat ini. Dalam
perjalanan sejarah panjang ini, manusia telah mengembangkan berbagai teori dan pandangan
tentang ketuhanan yang mencerminkan pemahaman dan pengalaman spiritual mereka.

Dalam makalah ini, kami akan membahas berbagai teori tentang ketuhanan yang
berkembang di berbagai periode dan peradaban, termasuk animisme, dinamisme, politeisme,
henoteisme, dan monoteisme. Pemahaman tentang konsep ini akan memberikan wawasan yang
lebih baik tentang kompleksitas hubungan manusia dengan keagamaan dan spiritualitas mereka.
Pengetahuan tentang berbagai teori tentang ketuhanan juga dapat membantu kita memahami
sejarah perkembangan pemikiran agama dan budaya di berbagai belahan dunia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Animisme?


2. Apa itu Dinamisme?
3. Apa itu Politeisme?
4. Apa itu Henoteisme?
5. Apa itu Monoteisme?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat agama serta
untuk menambah wawasan mengenai Teori tentang ketuhanan yakni; Animisme, dinamisme,
politeisme, henoteisme, dan monoteisme..

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. ANIMISME
Animisme berasal dari kata anima, animae ; dari bahasa latin ‘Animus’, dan
bahasa Yunani ‘Avepos’, dalam bahasa Sanskerta disebut ‘Prana’, dalam bahasa brani
disebut ‘Ruah’ yang artinya ‘Napas’ atau ‘Jiwa’. Ia, adalah ajaran atau doktrin tentang
adanya realitas jiwa.
Dalam Biologi atau Psikologi, animisme adalah pandangan bahwa pikiran
atau jiwa adalah suatu elemen immaterial yang bekerja sama dalam tubuh melalui
otak dan sistem saraf.
Dalam Biologi atau Psikologi, animisme adalah pandangan bahwa pikiran
atau jiwa adalah suatu elemen immaterial yang bekerja sama dalam tubuh melalui
otak dan sistem saraf. Dalam Filsafat, animisme adalah doktrin yang menempatkan
asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas atau sekurang-
kurangnya berbeda dari jasad. Atau, animisme adalah teori bahwa segala objek-objek
alami ini bernyawa atau berjiwa, mempunyai 'spirit' dan bahwa kehidupan mental dan
fisik bersumber pada nyawa, jiwa atau 'spirit' tadi.
Dari pandangan Sejarah Agama, istilah tersebut digunakan dan diterapkan
dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkan kepercayaan terhadap
adanya makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau
jasad. Makhluk spiritual tadi merupakan suatu unsur yang kemudian membentuk jiwa
dan kepribadian yang tidak lagi dengan suatu jasad yang membatasinya.
Dan dalam studi tentang sejarah agama Primitip kita mengenal 'Necrolatry',
'Spiritisme', 'Naturisme', dan 'Animisme'. Necrolatry adalah pemujaan terhadap roh-
roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang
telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhadap makhluk spiritual yang tidak
dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan objek-
objek tertentu. Naturisme adalah pemujaan terhadap makhluk spiritual yang dikaitkan
dengan fenomena alam dan kekuatan komik yang besar seperti angin, sungai,
bintang-bintang, langit dan juga objek-objek yang menyelimuti bumi ini yaitu

3
tanaman-tanaman dan binatang. Sedangkan pada Animisme tekanan pemujaannya
adalah pada makhluk spiritual yang objeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia.
Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha untuk
menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat rasional.
Karenanya lalu sering dikatakan 'kepercayaan' atau 'agama' dan 'filsafat' masyarakat
yang belum berperadaban.
Karena objek-objek tadi sangat berkuasa dan menentukan keselamatan
manusia, maka manusia lalu menghormatinya, memuja dan menyem bahnya.
Tingkatan pemujaan dan penyembahan ini berdasar atas tingkatan rasa takut,
penghargaan, rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya. Animisme sangat
populer dikalangan masyarakat Primitip sehingga memberi kesan sebagai 'Agama
Primitip'.
Objek-objek yang bergerak dan yang dipercayai mampu bergerak memberi
kesan manusia Primitip apakah pada seperangkat jasad tersebut terdapat makhluk
yang tersembunyi atau apakah pada jasad tersebut ada yang membantu, menopang
dan menggerakkan dengan keinginan, kehendak, seperti yang ada pada dirinya
sendiri. Ini kemudian membawa masyarakat Primitip pada suatu kondisi mental untuk
menciptakan perlambang kehidupan seperti kepribadian' pada beberapa kekuatan
alam.
Menurut teori Animisme, ide tentang roh mula-mula dikemukakan dengan
pemahaman sederhana tentang adanya kehidupan ganda yaitu pada waktu jaga dan
pada waktu tidur. Sebenarnya, menurut para sarjana, orang-orang yang belum
berperadaban (Tylor menyebut ini dengan 'savage', orang-orang biadab) pengalaman
pada waktu tidur dan pada waktu jaga sama saja. Karena itu memberikan suatu
pengertian kalau mereka mengalami sesuatu dia melihat langsung gambaran-
gambaran lahiriah dari objek-objek tersebut. Mereka beranggapan bahwa kalau
mereka bermimpi mengunjungi suatu tempat tertentu, mereka yakin benar bahwa
mereka sunguh-sungguh berada dan berkunjung ke tempat tersebut. Namun mereka
tidak dapat berkunjung kesana lagi kalau dua hal tidak ada pada mereka yaitu jasad
yang tetap ada di bumi ini, dan benar-benar terjaga (tidak mimpi) Mereka
beranggapan bahwa selama waktu tertidur, mereka bepergian menembus angkasa.

4
Demikian juga halnya kalau mereka berbicara dengan seseorang yang sungguh-
sungguh dikenalnya.
Membicarakan teori Animisme tidak dapat dilepaskan dari adanya dua
keyakinan kepercayaan pada orang-orang Primitip yaitu keyakinan kepercayaan akan
adanya jiwa pada setiap makhluk yang dapat terus berada sekalipun makhluk tadi
sudah meninggal, atau tubuhnya sudah hancur, dan keyakinan adanya banyak roh
yang berpangkat-pangkat dari yang terendah sampai yang tertinggi.

2. DINAMISME
Harun Nasution, sebagaimana yang dikutip oleh Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam menjelaskan bahwa perkataan Dinamisme berasal dari kata yang terdapat
dalam bahasa Yunani, yaitu dunamos dan di Inggriskan menjadi Dynamis yang umumnya
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan : kekuatan, kekuasaan, atau khasiat 1 dan
dapat juga diterjemahkan dengan daya.
Dalam buku Ilmu Agama I yang ditulis oleh Honig, mengartikan dinamisme
dengan “sejenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian dunia,
pada berjenis-jenis bangsa dan dan yang menunjukkan banyak persamaan-persamaan". 2
Dr. Harun Nasution tidak mendefinisikan dinamisme secara tegas, beliau hanya
menerangkan bahwa "bagi manusia primitif, yang tingkat kebudayaannya masih rendah
sekali, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang
misterius3, lebih lanjut sebagaimana yang dikutip oleh Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam, menjelaskan bahwa "masyarakat yang masih primitif memberi berbagai
nama kepada kekuatan batin itu, orang Melanesia menyebutnya mana, orang Jepang.
kami, orang India, kari, shakti dan sebagainya, orang Pigmi di Afrika, Oudah, dan orang-
orang Indian di Amerika, wakan, orenda dan maniti. Dalam ilmu sejarah agama dan ilmu
perbandingan agama, kekuatan batin ini biasanya disebut mana. Dalam bahasa Indonesia,
tuah.4

1
Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983. “PERBANDINGAN AGAMA”. Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta. Hal 96.
2
Ibid. Hal 97.
3
Ibid.
4
Ibid.

5
Dalam Ensiklopedi Umum dijumpai definisi dinamisme sebagai "kepercayaan
keagamaan primitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu ke Indonesia
(termasuk antara lain Polynesia dan Melanesia, selanjutnya dinyatakan, bahwa dasarnya
adalah percaya adanya kekuatan yang maha ada yang berada dimana-mana, umum oleh
banyak ahli disebut mana". Dinamisme disebut juga Pre animisme, yang mengajarkan,
bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai mana.
T.S.G. Mulia, sebagaimana yang dikutip oleh Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam menerangkan dinamisme sebagai "suatu kepercayaan bahwa pada berbagai
benda terdapat suatu kekuatan atau kesaktian, misalnya dalam api, batu, tumbuh-
tumbuhan, pada beberapa hewan dan juga manusia. Kekuatan ini tidak dibayangkan
sebagai suatu tokoh atau orang halus Hal ini oleh Honig disebut sebagai tidak berpribadi.
Sebelumnya sudah dicatat, bahwa dinamisme berasal dari kata dunamos, bahasa
Yunani. Dan dinamisme yang berarti kekuasaan atau khasiat atau daya yang dibicarakan
di dalam dinamisme, di dalam ilmu pengetahuan disebut mana, sedang istilah dinamisme
sendiri dapat juga diartikan lebih lanjut sebagai "kepercayaan kepada suatu daya
kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus
maupun berjasad yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang
dan manusia5. Daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan halus yang berjasad itu
dicontohkan oleh Honig dengan Fluidum.
N. Soderblom memandang dinamisme sebagai salah satu macam bentuk struktur
dari agama primitif, karena ia mengemukakan tiga macam struktur yang terdapat dalam
agama primitif itu yaitu : dinamisme, animisme dan kepercayaan kepada dewa tertinggi.
Sistem ini diikuti juga oleh Van der Leeuw, begitu juga oleh Honig sendiri.

3. POLITEISME
Politeisme secara bahasa berasal dari kata poly dan theos, poly yang berarti
banyak dan theos yang berarti Tuhan. Politeisme merupakan kepercayaan manusia bahwa
gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu.
Sungai-sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angin topan yang menderu,
matahari, bulan, dan tumbuh-tumbuhan, semuanya bergerak karena jiwa alam ini.

5
Ibid. Hal 98.

6
Kemudian jiwa alam itu dipersonifikasikan, dianggap sebagai makhluk-makhluk yang
berpribadi, yang mempunyai kemauan dan pikiran. Makhluk halus yang ada di belakang
gerak alam seperti itu disebut dewa-dewa alam.6
Pada fase kedua, yaitu fase henotheisme, dewa-dewa tetap banyak, tetapi satu di
antaranya paling menonjol dan mengungguli yang lain, baik karena dewa tersebut adalah
dewa dari suku besar yang dipatuhi kepemimpinannya oleh suku-suku lain dan disandari
dalam urusan pertahanan serta kehidupan, atau pun karena dewa yang satu itu lebih
banyak dapat mewujudkan tuntutan para pemujanya melebihi tuntutan-tuntutan yang
dapat diwujudkan oleh dewa-dewa lain.7
Ada perkembangan berarti dalam sejarah pemahaman manusia tentang Tuhan.
Semua kekuatan gaib yang dibayangkana sebagai daya atau roh misterius yang tidak
berbentuk mengelilingi manusia, mulai digambarkan sebagai pribadi, dalam rupa sebagai
dewa atau dewi. Dengan penggambaran demikiran maka ada kemungkinan bagi manusia
untuk mengadakan hubungan pribadi dengan kekuatan gaib (Tuhan). Mungkin karena
dalam pengalaman manusia dunia ini terasa begitu besar, luas dan serba beragam corak
kejadian dan peristiwa yang terkandung di dalamnya, maka berkembanglah anggapan
bahwa tidak mungkin penguasa dunia ini hanyalah satu atau beberapa saja. Manusia
percaya bahwa ada banyak penguasa yang berpengaruh dalam kehidupan manusia,
dijuluki sebagai para dewa. (Antonius Atosokhi Gea: 2006).8

4. HENOTEISME
Henoteisme mengakui satu tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa lain mempunyai
tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung paham Tuhan Nasional. Paham seperti
ini terdapat dalam perkembangan paham keagamaan masyarakat Yahudi. Yahweh pada
akhirnya mengalahkan dan menghancurkan semua dewa suku bangsa Yahudi, sehingga
Yahweh menjadu tuhan nasional bangsa Yahudi. Paham tuhan utama dalam agama ini

6
Dadang Kahmad. (2000). ”SOSIOLOGI AGAMA”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal. 25.
7
Al-Aqad, A. M. (1991). “Tuhan Di Segala Zaman”. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 13.
8
Fitriani, F. (2023). REKONSTRUKSI TEORI AGAMA PRIMITIF DI ERA POSTMODERNISME. Studia Sosia
Religia, 6(1), 1-8.

7
bisa meningkat menjadi paham Tuhan tunggal yang disebut dengan monoteisme. (Subhan
Adi Santoso: 2020).9
Pada Teori Henotheisme, dewa-dewa tetap banyak, tetapi satu di antaranya paling
menonjol dan mengungguli yang lain, baik karena dewa tersebut adalah dewa dari suku
besar yang dipatuhi kepemimpinannya oleh suku-suku lain dan disandari dalam urusan
Pada fase ketiga (Monotheisme), umat pemuja bersatu untuk berkumpul dalam satu
pemujaan yang mampu merukunkan mereka, meskipun masih ada bermacam-macam
dewa pada tiap-tiap daerah yang terpisah-pisah.pertahanan serta kehidupan, atau pun
karena dewa yang satu itu lebih banyak dapat mewujudkan tuntutan para pemujanya
melebihi tuntutan-tuntutan yang dapat diwujudkan oleh dewa-dewa lain.10
5. MONOTEISME
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu
deisme, panteisme, dan teisme.11
Menurut E.B. Taylor, ketika muncul susunan kenegaraan di masyarakat, timbul
juga kepercayaan bahwa di alam dewa-dewa juga terdapat susunan kenegaraan yang
serupa dengan susunan kenegaraan manusia. Pada kehidupan masyarakat, para dewa pun
dikenal dengan stratifikasi sosial dewa-dewa, dimulai dari dewa yang tertinggi yaitu raja
dewa, para Menteri sampai pada dewa yang paling rendah.
Susunan masyarakat dewa serupa itu lambat laun menimbulkan kesadaran baru
bahwa semua dewa itu pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang
tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu, berkembanglah kepercayaan kepada satu
Tuhan, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Dari sinilah timbul berbagi agama bertuhan satu atau
monotheisme.12

9
Ibid.
10
Al-Aqad, A. M. (1991). “Tuhan Di Segala Zaman”. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 13.
11
Fitriani, F. (2023). REKONSTRUKSI TEORI AGAMA PRIMITIF DI ERA POSTMODERNISME. Studia Sosia
Religia, 6(1), 1-8.
12
Dadang Kahmad. (2000). ”SOSIOLOGI AGAMA”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal. 25

8
Pada fase ini, umat pemuja bersatu untuk berkumpul dalam satu pemujaan yang
mampu merukunkan mereka, meskipun masih ada bermacam-macam dewa pada tiap-tiap
daerah yang terpisah-pisah.13

BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Animisme: Animisme adalah kepercayaan kuno yang mengatributkan roh atau entitas
ilahi pada benda-benda alam, seperti hewan, tumbuhan, sungai, dan batu. Orang-orang
yang mempraktikkan animisme percaya bahwa segala hal memiliki jiwa atau roh yang
dapat memengaruhi kehidupan manusia. Animisme sering ditemukan pada masyarakat
pra-agraris dan seringkali terkait dengan ritual dan penyembahan alam.
2. Dinamisme: Dinamisme adalah konsep yang melibatkan keyakinan pada keberadaan
kekuatan atau roh yang ada dalam segala hal, yang dapat memengaruhi dunia manusia.
Ini mencakup gagasan bahwa alam semesta adalah penuh dengan energi spiritual yang
dapat mempengaruhi nasib manusia dan alam. Dinamisme sering dikaitkan dengan
keyakinan dalam sihir dan praktik-praktik spiritual tertentu.
3. Politeisme: Politeisme adalah sistem kepercayaan yang melibatkan pemujaan terhadap
banyak dewa atau entitas ilahi. Setiap dewa memiliki karakteristik, wilayah kekuasaan,
dan peran yang berbeda dalam kehidupan manusia. Politeisme umumnya ditemukan
dalam peradaban-peradaban kuno, seperti Yunani Kuno, Mesir Kuno, dan Hinduisme.
4. Henoteisme: Henoteisme adalah konsep di mana satu dewa dianggap paling penting atau
kuat, sementara masih ada pengakuan terhadap keberadaan dewa-dewa lainnya. Dewa
utama dalam henoteisme mungkin berubah-ubah sesuai konteks atau kebutuhan manusia.
Ini dapat ditemukan dalam beberapa bentuk dalam agama-agama seperti agama Yahudi
Kuno dan beberapa aspek Hinduisme.
5. Monoteisme: Monoteisme adalah keyakinan dalam satu Tuhan yang tunggal dan maha
kuasa yang mencakup segala sesuatu. Konsep monoteisme sering menekankan
penyembahan, pengabdian, dan ketaatan terhadap satu Tuhan yang tunggal.

13
Al-Aqad, A. M. (1991). “Tuhan Di Segala Zaman”. Jakarta : Pustaka Firdaus. Hal. 13.

9
DAFTAR PUSTAKA

Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983. “PERBANDINGAN AGAMA”.


Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta

Al-Aqad, A. M. (1991). “Tuhan Di Segala Zaman”. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Dadang Kahmad. (2000). ”SOSIOLOGI AGAMA”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Fitriani, F. (2023). REKONSTRUKSI TEORI AGAMA PRIMITIF DI ERA


POSTMODERNISME. Studia Sosia Religia, 6(1), 1-8.

10

Anda mungkin juga menyukai