Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN TENTANG ANTROPOSOFI SERTA KAITANNYA

DENGAN RELASI ANTARA ALAM-MANUSIA-LINGKUNGAN BINAAN

Nabilla Wahyudi
NIM : 215060501111016
Kelas : D
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

Antroposofi (Inggris; anthroposophy) dalam bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu Anthropos
yang berarti manusia dan Sophia yang berarti pengetahuan (Bagus, 1996). Mengacu pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia, antroposofi diartikan sebagai aliran filsafat yang berpandangan bahwa
keseluruhan cara berpikir, tubuh, kesadaran, dan jiwa manusia akan membentuk satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dan akan mengalami perubahan secara terus-menerus. Pada dasarnya,
antroposofi merupakan sebuah teori mistik ragam variasi dari teosofi; ajaran dan pengetahuan
kebatinan (semacam falsafah atau tasawuf) yang sebagian besar berdasar pada ajaran agama Buddha
dan Hindu. Antroposofi berdasar pada pencampuran gagasan religius dan filosofis yang dikutip dari
aliran pitagorian dan neoplatonis, mistisisme, agnostisisme, kabalisme, serta filsafat alam Jerman.
Karakter utamanya yaitu pendewaan kodrat manusia yang diumpamakan dan disingkapkan hanya
pada orang-orang berkarsa.

Dalam pengertian lain, antroposofi merupakan sistem filsafat-religius berdasarkan ajaran Rudolf
Steiner (1861-1925) dan sangat dipengaruhi teologi agama Hindu (Napel, 1996). Istilah antroposofi
dikemukakan pada malam menjelang Perang Dunia I oleh Steiner yang merupakan ahli dalam bidang
spiritualitas, seorang reformator sosial asal Austria, arsitek, sekaligus filsuf dengan pendalaman
filsafat timur di India. Hingga saat ini, aliran filsafat antroposofi diperkirakan masih hidup di
Republik Federal Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.

Antroposofi adalah jalur pengetahuan untuk membimbing spiritual dalam diri manusia menuju
spiritual yang ada pada alam semesta (Steiner, 1973). Hal tersebut muncul dalam diri manusia sebagai
kebutuhan hati, kehidupan dari perasaan; dan hanya dapat dibuktikan sebagaimana hal itu dapat
memuaskan kebutuhan batin seseorang. Hanya diri sendiri yang dapat mengakui antroposofi,
menemukan suatu pencarian di mana ia, dalam kehidupan batinnya merasa terdorong untuk mencari.
Maka dari itu, hanya mereka yang dapat menjadi antroposofis yang merasakan pertanyaan-pertanyaan
tertentu terkait hakikat manusia dan alam semesta sebagai kebutuhan dasar kehidupan, seperti halnya
seseorang merasa lapar dan haus.

Selain sebagai jalur pengetahuan, antroposofi juga mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh
secara spiritual. Namun hal ini hanya terjadi akibat dari kehidupan sehari-hari, sains yang didasarkan
pada persepsi indera, dan aktivitas intelektual yang mengarah pada penghalang di sepanjang jalan
kehidupan – batas di mana kehidupan jiwa dalam diri manusia akan mati jika tidak dapat berjalan
lebih jauh. Kehidupan sehari-hari dan sains tidak mengarah pada batasan tersebut sedemikian rupa
hingga memaksa manusia untuk berhenti melakukannya. Hal ini sebab di perbatasan paling depan di
mana pengetahuan yang diperoleh dari persepsi inderawi lenyap melalui jiwa manusia dan terbuka
pandangan lebih jauh ke dalam dunia spiritual.

Beberapa orang percaya bahwa dengan batas-batas pengetahuan yang diperoleh dari persepsi
inderawi, batas-batas semua pandangan terang diberikan. Namun jika mereka dengan cermat
mengamati bagaimana mereka menjadi sadar akan batasan-batasan ini, mereka akan menemukannya
di dalam kesadaran batasan kemampuan-kemampuan mereka untuk melampauinya. Seperti seekor
ikan yang berenang sampai permukaan air untuk hidup di luar elemen atau habitatnya. Begitu pula
manusia, ketika mereka mencapai batas-batas pengetahuan yang telah ia capai melalui persepsi
indera; tetapi akhirnya dia dapat mengenali bahwa dalam perjalanan ke titik ini kekuatan jiwa telah
muncul dalam dirinya – kekuatan yang dengannya jiwa dapat hidup dalam elemen yang melampaui
cakrawala indera.

Untuk memastikan perasaan dan mengungkapkan keinginannya yang kuat, manusia membutuhkan
pengetahuan tentang dunia spiritual. Betapapun luasnya dia merasakan keagungan, keindahan, dan
kebijaksanaan alam, dunia ini tidak memberinya jawaban atas pertanyaan tentang keberadaannya
sendiri. Keberadaannya sendiri menyatukan materi dan kekuatan dunia alami dalam bentuk manusia
yang hidup dan sensitif hingga saat ia melewati gerbang kematian. Kemudian alam menerima bentuk
raga manusia ini namun alam tidak dapat menahannya; dia bisa tetapi lebih pada membubarkannya.
Alam yang agung, indah, dan penuh kebijaksanaan memang menjawab pertanyaan perihal bagaimana
bentuk manusia dibubarkan dan dihancurkan, tetapi bukan pertanyaan tentang bagaimana manusia
dipertahankan. Tidak ada keberatan teoretis yang dapat menghilangkan pertanyaan ini dari perasaan
jiwa manusia, kecuali memang dia lebih suka membiarkan dirinya sendiri tidur, menutup mata.
Kehadiran pertanyaan ini harus selalu dapat mempertahankan hidup, tertanam dalam setiap jiwa
manusia yang benar-benar terjaga, rindu akan jalan spiritual ilmu-dunia.

Ketika kita melihat alam yang tak bernyawa, kita menemukan dunia yang penuh dengan hubungan
hukum batin dan ketertiban. Kita mencari hubungan antara kedua hal ini dan menemukan di dalamnya
terdapat isi dari ‘hukum alam’. Terlebih lagi, kita menemukan bahwa berdasarkan hukum ini, alam
yang bersifat tak bernyawa membentuk satu kesatuan yang terhubung dengan seluruh semesta alam.
Sekarang kita dapat beralih dari hubungan duniawi yang mengatur semua makhluk tak bernyawa,
untuk merenungkan dunia tumbuhan yang hidup. Kita melihat bagaimana alam semesta dari jarak
jauh di luar bumi mengirimkan kekuatan yang menarik keluar sesuatu yang hidup dari rahim (bumi)
yang tak bernyawa. Dalam semua makhluk hidup kita disadarkan akan unsur makhluk, yang
membebaskan dirinya dari hubungan duniawi belaka, mewujudkan kekuatan yang bekerja ke bumi
dari alam ruang kosmis; berhubungan dengan jagat raya. Seperti di saat mata kita sadar akan objek
bercahaya yang menghadapinya, sehingga pada tumbuhan terkecil pun kita dibuat sadar akan sifat
cahaya yang berasal dari luar bumi. Melalui pendidikan kontemplasi ini, kita dapat melihat perbedaan
duniawi dan fisik yang memegang kekuasaan di dunia tak bernyawa, dari yang ekstra-duniawi dan
halus yang melimpah pada semua makhluk hidup.

Antroposofi memiliki cakupan yang amat luas karena berkaitan dengan cara atau pola pikir spiritual
manusia serta relasinya terhadap segala realitas kehidupan manusia. Hasil pemikiran ini meluas
hingga menyatu dengan kebiasaan yang ada dalam keseharian masyarakat, berbaur dengan
kebudayaan yang ada sehingga timbul pemikiran untuk menciptakan wadah dalam rangka
implementasi hasil perkembangan pemikiran. Hal ini didasarkan pada pemikiran manusia yang
dinamis, selalu berubah dan berkembang seiring waktu.

Sementara korelasinya dengan lingkungan binaan adalah manusia sebagai objek dari hasil pemikiran
dan perasaannya, yang mana mengikuti intuisi dan mempertimbangkan spiritualitasnya, pada akhirnya
mengimplementasikan buah pikir dan perasaannya tersebut pada lingkungan binaan. Namun terlepas
dari itu, teori antroposofi juga mengarahkan bahwa sejatinya manusia tidak menduduki dunia ini
sendiri. Manusia terikat dalam ruang yang begitu luas mencakup kehidupan-kehidupan lain dan
banyak hal yang tak bernyawa. Terbangunnya rasa untuk saling menjaga sesama penghuni alam,
menimbulkan kesadaran untuk menjaga atau menaungi alam dengan buah pikirnya. Namun kesadaran
ini tidak muncul melalui peningkatan aktivitas lebih lanjut dari raga atau fisik, melainkan dengan
mereduksi aktivitas fisiknya menjadi nol sehingga memberi ruang bagi kerja kesadaran.

Pada hakikatnya, pemikiran atau teori antroposofi, mengarahkan manusia dengan posisinya sebagai
objek untuk merealisasikan dengan bijak pemikiran spiritualitasnya pada lingkup ruang (Steiner,
1961). Membangkitkan kesadaran manusia bahwa ruang dan pemikiran berkembang dinamis sesuai
kebutuhan dan spiritualitas manusia. Hasil realitas dari buah pikir manusia ini menunjukkan tingkat
jauhnya pemikiran seseorang dan kemampuannya menyelaraskan antara gejolak pemikiran dalam
dirinya dengan batasan lingkup ruang yang sempit namun dinamis. Menyadarkan manusia bahwa
sesungguhnya ia hidup tak lepas dari ruang yang mana ruang ini telah terikat dengan kewajiban
spiritual pada dirinya, dan dengan akalnya manusia dituntut mampu menghasilkan buah pikir yang
tertuang dalam ruang sebagai implementasi dari spiritualitasnya. Sebagaimana pemikiran manusia
yang dinamis dan didasari pada naluri untuk bertahan hidup, maka lingkungan binaan turut berubah
mengikuti zaman baik dari segi fungsi, kekuatan, serta fitur yang dimilikinya untuk menunjang
kebutuhan manusia. Lingkungan binaan dibuat untuk memuaskan hasrat manusia dalam pemenuhan
kebutuhan, sehingga kondisi asal segala sesuatu dalam satu lingkungan kehidupan tersebut – baik
berupa hewan, tumbuhan, pemikiran, dan yang tak bernyawa – berpangkal pada kesadaran manusia
sebagai objek yang merealisasikan pemikiran spiritualitasnya.
Daftar Pustaka

Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. PT Gramedia Pustaka Utama.

Ten Napel, H. (1996). Kamus Teologi Inggris-Indonesia. BPK Gunung Mulia.

Steiner, R. (1973). Anthroposophical Leading Thoughts: Anthroposophy as a Path of Knowledge-The

Michael Mystery. Rudolf Steiner Press.

Steiner, R. (1961 ). Anthroposophy and the Inner Life: An Esoteric Introduction. United Kingdom:

Rudolf Steiner Press.

Anda mungkin juga menyukai