Anda di halaman 1dari 17

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Strategi Kebudayaan


Judul Asli : Strategie Van De Cultuur
Penulis : Prof. Dr. Cornelis Antonie Van Peursen
Penerjemah : Dick Hartoko
Penerbit : PT. Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Kedua, 1988
Tebal : 238 halaman

Tentang Pengarang
Pengarang buku ini adalah Prof. Dr. Cornelis Antonie Van Peursen. Prof. Dr. Cornelis
Antonie Van Peursen lahir di Negeri Belanda, pada tanggal 8 Juli tahun 1920. Ia Belajar Hukum
dan Filsafat di Leiden. Tahun 1984 ia mencapai gelar Doktor Filsafat.
Pada tahun 1948-1950 ia menjabat wakil ketua Hubungan Internasional pada
Kementerian Pendidikan Belanda. Tahun 1950-1953 Lektor filsafat pada Universitas Negeri di
Utrecht, 1953-1960 sebagai Guru Besar Filsafat pada Universitas Negeri di Groningen, dan sejak
tahun 1960 di Leiden.
Selain itu, sejak tahun 1963 Guru Besar Luarbiasa dalam Ilmu Epistemologi pada
Universitas Kristen di Amsterdam (VU). Pernah memeberikan kuliah tamu di Oxford, Munchen,
Wina, Roma, Johannesburg, New delhi, Tokyo, Manila, Princeton, dan California. Beberapa kali
memimpin penataran dosen filsafat se-Indonesia pada Universitas Negeri Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Buku-bukunya antara lain di terjemahkan kedalam bahsa Perancs, Jerman, Inggris,
Spanyol, Jepang, dan Korea. Buku yang berjudul “Lichaam, ziel en gest” pernah juga di
terjemahkan ke dalam bahsa Indonesia (Badan, Jiwa, Roh).

1
Tentang Buku
Edisi lengkap dari Strategi Kebudayaan di terbitkan di Amsterdam, 1970 dan di New
York, 1974: The Strategy Of Culture (American Elsevier). Buku karya Prof. Dr. C. A. Van
Peursen berjudul Strategi Kebudayaan terbitas Kasinius-Yogyakarta, ini tidak untuk menyajikan
suatu pelukisan ataupun keterangan gambalang mengenai pergeseran-pergeseran dahsyat yang
terjadi di dalam bidang kebuayaan. Buku ini bermaksud membenarkan suatu skema gambar
seerhana mengenai perkembangan kebudayaan yang dapat dipakai dalam situasi-situasi yang
selalu berubah dan dialami oleh manusia.

2
PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
Kebudayaaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang-
orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia
dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya tetapi juga bagiamana harus menyikapi segala
sesuatu yang ada dan terjadi di alam. Sebuah batu batui menjadi tantangan bagi pemahat, banjir
menjadikan manusia harus berpikir bagaimana mengantisipasi, udara dingin mendorong manusia
membuat baju dari bahan-bahan yang dapat melindungi tubuh dari kedinginan.
Manusia juga tidak bertopang dagu dengan atau membiarkan dirinya hanyut dengan
proses-proses alam, bisa jadi manusia melawan arus dalam artian tidak hanya mengikuti arus
alam, tetapi juga mengikuti kata hati. Salah satu tindakan mengikuti kata hati adalah dengan
menilai serta mengevaluasi alam sekitarnya serta alam manusia sendiri. Dalam mengevaluasi
alam bukan hanya terbatas pada sesuatu yang sifatnya rohani, misalnya ilmu pengetahuan,
kesadaran moril, keyakinan, religius, kesadaran sosial dan ilmu kemasyarakatan. Lebih dari pada
itu manusia juga mengevaluasi norma-norma serta perubahan baik jasmaniah maupun alamiah.

BAGAN TIGA TAHAP


Tiga tahap yang dimaksud pada bagian ini adalah tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap
fungsional. Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-
kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan.
Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis,
melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal, dalam tahap ini manusia mulai
mengambil jarak terhadapn segala sesuatu yang dirasakan mengepung manusia. Pada tahap ini
manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu dan
segala sesuatu menurut perinciannya.

STRATEGI KEBUDAYAAN
Dari ketiga tahap tersebut baik mitis,ontologis, maupun fungsional bukan
merupakanbagian yang terpisah-pisah. Manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya juga

3
dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya masyarakat yang berada pada masa
modern tidak lepas dari unsur-unsur magis serta masih dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos.
Sejarah kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang
menanjak yang akhirnya mengharuskan manusia mengatur strategi kebudayaannya.

ALAM PIKIRAN MITIS


Orang menyebut budaya yang lama dengan istilah ”primitif. Kendati sebutan itu menurut
Peursen sudah tidak relevan lagi. Karena, menurutnya, dunia alam pikirannya mengandung suatu
filsafat yang dalam, gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beragam. Runutan epistemologis
akan menemukan kata mitos dari kata mitis ini, kata mitos sendiri berarti sebuah cerita yang
memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok orang. Mitos bukan hanya reportase
peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, tetapi mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia
dan merupakan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan manusia.
Mitos biasanya diturunkan oleh pendahulu dan akan diteruskan lagi. Begitulah kemudian
akhirnya sebuah mitos bergulir dari jaman ke jaman. Cerita atau tuturan penurunan ini dapat
diungkapkan dengan kata-kata, tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya. Tarian di
samping sebagai salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus sebagai suatu bentuk seni
pertunjukan. Dikatakan sebagai suatu tradisi lisan karena tarian tersebut mengandung dimensi
mithologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh pendukung tarian tersebut, dengan
demikian menjadi sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi
kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Dengan
asumsi bahwa tarian merupakan bagian dari media pertunjukan dan performance itu selalu
mengharapkan adanya audience. Selain Kapferer, Bauman juga menekankan bahwa performance
merupakan suatu bentuk perilaku yang komunikatif dan sebagai suatu peristiwa komunikasi, atau
“performance usually of communication, framed in a special way and put on display for an
audience”. Ini menunjukkan bahwa bahwa tarian sebagai suatu bentuk seni pertunjukan sama
dengan seni pertunjukan lainnya dimana audience menjadi bagian darinya. Disamping itu, tarian
juga merupakan salah satu alat atau media komunikasi yang bersifat lisan (non-verbal), baik
dalam konteks seni maupun ritual. Proses transformasi makna lewat komunikasi tersebut,
berbeda dengan bahasa (narasi dan visual), dimana makna yang diekspresikan lewat tarian
melalui perilaku atau gerakan.Mitos tidak hanya sebuah reportase akan apa yang telah terjadi

4
saja, namun mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan
sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (ber-
part-sipasi). Partisipasi manusia dalam alam pikiran mitis ini dilukiskan sederhana sebagai
berikut: Terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subjek
itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka
dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut
berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat
terbukan dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun
belum dapat disebut (O) yang sempurna dan utuh.
Mitos memiliki beberapa fungsi, fungsi yang pertama ialah menyadarkan manusia bahwa
ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan itu
tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang
mempengaruhi dan menguasai alam kehidupan. Fungsi yang kedua dari mitos sangat bertalian
erat dengan fungsi yang pertama yaitu perantara manusia dengan kekuatan gaib. Sedang fungsi
yang ketiga yaitu memberikan pengetahuan tentang terjadinya dunia. Fungsi-fungsi tersebut
memaparkan strategi secara meneyeluruh, mengatur dan mengarahkan hubungan antara manusia
dan daya-daya kekuatan alam.
Pada tahap mitis ungkapan “itu ada” merupakan puncak pengalaman yang dialami
manusia. Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia
dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaaan ajaib, seolah-olah ia diresapi oleh roh-
roh dan daya-daya dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka-teki tentang kesuburan,
hidup dan mati, pertalian suku. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa sesuatu berada hingga
sampai pada puncaknya yaitu sesuatu itu ada.
Pada tahap mitis ada dua hal yang sangat berlawanan yaitu mitos religius dan praktek
magi. Dalam kehidupan manusia primitive magi memainkan peranan besar. Dalam, dunia mitos
manusia mengaraahkan pandangannya dari dunia ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang
tinggi, dalam magi manusia bertitik tolak dari dunia penuh kekuasaan. Atau lebih sederhana
mitos lebih mirip dengan pujaan religius sedang magi lebih condong menguasai lewat beberapa
kepandaian. Magi mau menangkis mara bahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam,
menguasai orang-orang yang mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya.

5
ALAM PIKIRAN ONTOLOGIS
Dalam alam pikiran ontologis, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu
yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi, bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton
atas hidupnya sendiri. Ia berusaha memperoleh pengertian mengenai daya-daya kekuatan yang
menggerakkan alam dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari
”mitos” ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”. Namun
dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis, tapi emosi dan
harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh. Sekarang ajaran
mengenai dunia mitologis berubah menjadi metafisika. Refleksi atas kehidupan manusia dengan
para pemikir besar Yunani, sebut saja Aristoteles, Plato, dan dedengkot filsafat yang lain
meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam pikiran ini adalah
tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia, pengertian mengenai dosa dan kehidupan,
eskaton (akhir jaman), dll.
Sebagaimana dalam tahap mitis. Tahap ontology juga memilki beberapa fungsi yaitu
membuat suatu peta mengenai segala sesuatu mengenai manusia. Sikap ontologis berusaha
menampakkan dunia transendensi sehingga dapat dimengerti. Sebagai contoh adalah pembuktian
adanya Tuhan. Hal ini diawali dari pengalaman manusia mengenai daya-daya kekuatan yang
direnungkan dalam alam filsafat. Sikap mitis dan renungan ontologis berhubungan namun
pendekatannya berbeda. Dalam sikap mitis manusia mengambil bagian dalam daya-daya yang
meresapi alam dan manusia sedangkan dalam perenungan ontologis manusia mengambil jarak
terhadap segala sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat pengertian dapat
dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi.
Fungsi mitos yang kedua adalah jaminan mengenai hari ini. Proses-proses yang terjadi di alam
raya dan dalam hidup menusia mulai diterangkan dengan bertitik pangkal pada hukum-hukum
abadi. Mitos-mitos masih dipakai, tetapi sekarang lebih sebagai suatu alat atau sarana untuk
menerangkan sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain.
Fungsi ketiga dari ontologis adalah menyajikan pengetahuan. Dalam alam pikiran ontologism
yang dipentingkanadalah hakekat sesuatu apanya, pada tahap ini manusia juga ingin mengakui
daya-daya yang menguasai kehidupan manusia beserta alam raya tetapi lewat jalan memperoleh
pengetahuan dan mengakui apanya.

6
Manusia berusaha menempatkan diri dalam hubungan baik dan dalam alam ontologism
hubungan tersebut tak lain daripada hubungan yang masuk akal menurut arti harfiah, akal budi
harus mengakui hakekat manusia, dunia dan dewa-dewa dengan demikian akan menampilkan
kebenaran. Tetapi kedua sikap itu tidak selalu sepi dari kesombongan. Dalam duinia mitis
kesombongan menghasilkan magi, sedang dalam ontologism kesombongan menghasilkan
substansialisme.
Substansialisme berasal dari kata substansi yang berarti sesuatu yang dapat berdiri sendiri yang
mempunyai landasan sendiri dan tidak perelu bersandar atau bergantung pada sesuatu yang
berada di luar. Dengan demikian hubungan makhluk yang satu dengan yang lain dapat
diputuskan. Substansialisme mengadakan isolasi. Memisahkan manusia, barang-barang, dunia
nilai-nilai, Tuhan, dipandang sebagai lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri lepas antara yang
satu dengan yang lain.
Substansialisme merupakan bahaya yang selalu menyergap alam pikiran ontologism. Nilai-nilai
dan konsep-konsep dijadikan substansi-substansi yang terlepas. Bahkan manusia dijadikan dua
substansi yaitu badan dan jiwa. Masyarakat tak lain daripada suatu penjumlahan individu-
individu. Distansi menjadi keretakan dan masyarakat dijadikan sistem tertutup yang tak dapat
diganggu gugat, entah karena sistem feudal, kapitalis, atau disiplin partai.

ALAM PIKIRAN FUNGSIONAL


Fungsional dapat dilihat sebagai suatu pembebasan dari substansialisme. Alam pikiran
fungsional menyangkut hubungan, pertautan dan relasi. Alam pikiran manusia selalu
mengandung aspek-aspek fungsionil. Alam pikiran ini meliputi baik teori maupun praktek,
perbuatan etis dan karya artistik, sektor pekerjaan dan keputusan-keputusan politis. Tetapi di
tengah gejala-gejala nampak adanya sikap dasar dalam alam fungsional yaitu orang mencari
hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata atau perbuatan atau barang dipandang
menurut peran dan fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling berhubungan. Dalam
alam pikiran fungsionil nampak bagiamana manusia dan dunia saling menunjukkan, relasi,
kebertautan antara yang satu dengan yang lain.
Ada tiga aspek dalam pikiran fungsionil. Aspek pertama yaitu bagaiamana manusia ingin
memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya aatau menjadikan semuanya itu sesuatu yang

7
dialami. Dalam pikiran refleksi, kesadaran sosial, kesenian dan religi, manusia berusaha
mewujudkannya, bagaimana sesuatu mempunyai arti atau tidak berarti.
Aspek yang kedua adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di sini akan
terlihat bagaimana manusia dan struktur sosialnya dapat diberi arti dan dibenarkan. Tehnik dan
rekreasi, psikoterapi, kesenian, teologi dan sopan-santun sangat erat hubungannya secara
fungsionil, asal bidang-bidang itu mampu memberi arti kepada situasi-situasi konkrit.
Aspek ketiga yang menyerupai aspek-aspek semacam itu dalam tahap mitis dan
ontologism ialah peran ilmu pengetahuan. Pada tahap inipun orang ingin menambah
pengetahuan.
Jika dalam mitis ada magi, dalam ontologis ada substansialisme, maka dalam alam
fungsionil ada operasional. Gejala operasional adalah suatu bahaya yang melampaui batas-batas
yang merongrong sesuatu. Operasionalisme selalu membayangi pikiran fungsionil; bagaikan
suara hati yang gelisah. Manusia menjadi terkurung dalam operasi-operasi dan akal-akalnya
sendiri. Sikap fungsionil lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang
telah tercapai.

KEBUDAYAAN SEBAGAI RENCANA


Proses belajar dalam kebudayaan menghasilkan bentuk-bentuk baru dan menimbun
(akumulasi) pengetahuan dan kepandaian. Ini tidak berarti bahwa lewat proses belajar selalu
dihasilkan buah-buah yang positif. Lewat trial and error manusia menjadi bijaksana, kekeliruan
dan kesalahan ada manfaatnya.
Dengan belajar manusia dapat mengenal tanda-tanda dan tidak hanya tanda-tanda yang
diikutsertakan. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai. Manusia
dapat menciptakan tanda-tanda yang akhirnya disebut dengan lambing. Lambang-lambang yang
menceritakan pengalaman merupakan ilustrasi mengenai proses belajar yang luas dan biasanya
kita sebut kebudayaan.
seluruh kebudayaan merupakan suatu proses belajar yang besar demikian dalam bidang
kesenian misalnya manusia terus-menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. dalam bidang
religi manusia berusaha untuk menanggapi kekuasaan Ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda
dan perbuatan yang terus-menerus diperbaharui nya. teknik dan kemampuan manusia untuk
berorganisasi selalu memperbaharui alat-alat produksi kemungkinan untuk berkomunikasi,

8
kebiasaan kebiasaan dalam bidang pekerjaan dan hidup. bahkan alam pun yang menampakkan
nya tak dapat dirubah dalam lingkup kebudayaan manusia selalu memperoleh suatu wajah yang
baru.

OTAK DAN KEBUDAYAAN


Cara kerja sistem saraf sejak dulu diketahui bahwa pembicaraan pikiran, dan ingatan
pertalian dengan bagian-bagian dan fungsi-fungsi tertentu di dalam otak. Sumbangan
perkembangan modern banyak sekali bagi pengetahuan kita pada saat ini misalnya, penelitian
terhadap kelakuan hewani beserta sistem saraf pusat hewani menambah pengetahuan kita
mengenai sistem saraf pusat manusiawi. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa otak menyerupai
sebuah pusat telepon yang sangat halus dan rumit jalur jalurnya.
Otak kita dilapisi oleh semacam kulit yang mengandung sel-sel saraf atau neuron dalam
jumlah yang tidak terbilang neuron neuron ini saling pertalian bagaikan semacam jaringan
telepon. Yang terjadi di dalam kulit otak itu merupakan, neuron tidak hanya dilengkapi dengan
satu atau dua jalur melainkan banyak Dari adanya kombinasi beberapa neuron yang saling
bekerjasama munculah sebagian besar dari kelakuan manusiawi seperti misalnya melihat sesuatu
justru tidak melihat sesuatu, menghindari sesuatu, mengambil sebuah keputusan, menunda
sebuah keputusan, mencatat sesuatu, bermimpi memperoleh informasi, menyimpan atau merusak
informasi dan seterusnya.
Peristiwa yang terjadi oleh adanya saraf pusat kita seperti misalnya pendengaran
peristiwa yang membangkitkan emosi, semua itu mempunyai suatu arti tertentu di dalam batin
yang sudah ada dalam sistem kaidah-kaidah yang menguasai kelakuan kita seperti misalnya,
tradisi, pendidikan, nilai-nilai yang diakui. Sistem kaidah di dalam otak kita seperti halnya kantor
telepon batin berhubungan bahkan merupakan bagian dari pola pola kebudayaan kita. Seperti
misalnya mitos, norma-norma etika, ilmu pengetahuan. Bila seluruh sistem kaidah berubah ini
dapat disebabkan karena sebuah bagian kecil digeser kan seperti bidak di papan catur. Tetapi
juga di dalam perbuatan sehari-hari dapat terjadi suatu perubahan menyeluruh mengenai sistem
kaidah-kaidah itu, misalnya terjadi bila dengan mendadak kita memilih suatu tempat lain untuk
berlibur. Hal ini dapat berarti bahwa kita telah banting stir menyusun sebuah rencana atau
strategi baru seperti itu, permainan catur yang menggeser kan sebuah bidak. Didalam riwayat
perkembangannya di dalam dunia manusia yang telah mengandalkan macam-macam rencana

9
atau strategi baru. Maka dari itu merubah rencana merupakan ciri utama dalam proses belajar
manusia yang juga disebut kebudayaan, menyusun kembali masyarakat manusia pun berdasarkan
suatu perubahan dalam rencana.
Merubah rencana kebudayaan berarti bahwa manusia memberi sebuah arti dan makna
baru kepada segala-galanya. Tetapi perubahan dalam rencana kebudayaan tidak berarti bahwa
segala unsur lama disingkirkan, atau bahwa kebutuhan manusia yang pokok di lenyapkan. Dalam
diri manusia terdapat daya daya biologis yang tak dapat dirubah begitu saja.

PENGETAHUAN SAMPAI ETIKA


Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan ilmu dan etika makin saling bertautan.
Keputusan-keputusan yang berulang-ulang kita harus ambil memberi dharma kepada salah satu
lembaga mengirimkan surat kepada redaksi surat kabar meneruskan pendidikan anak-anak kita
seperti sedia kala atau tidak itu semua memperlihatkan suatu perpaduan dari pertimbangan moral
dan ilmiah. Manusia tidak selalu sadar mengenai hal itu namun orang-orang yang paling
sederhana hanya dapat menerima informasi mengenai kemungkinan kemungkinan dalam dunia
pendidikan, suku bangsa pada sebuah bank dan segala macam informasi lain yang dihasilkan
oleh penelitian ilmiah sebelumnya. Dalam suatu masyarakat mistis kesatuan dari pengetahuan
dan perbuatan sosial pun mengenai hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban setiap individu
sudah terang benderang. Pada zaman dahulu etika makro terdapat juga di dalam dunia mistis
tetapi juga dalam filsafat dan pemikiran ibrani kita jumpai kaidah-kaidah etis yang jauh
mengatasi tanggung jawab secara individual.
Pada awal zaman modern sekitar tahun 1600 ahli filsafat Perancis Bacon menulis bahwa
yang diperjuangkan pengetahuan manusia iyalah menafsirkan alam raya atau kedaulatan
manusia. Pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan dan dengan demikian apa yang mengatasi
manusia dunia transendent dan makin dikuasai manusia menjadi imanen. Langkah selanjutnya,
iyalah melaksanakan kekuasaan ilmu pengetahuan di dalam dunia teknik.
Bila dipandang demikian maka teknik tidak akan timbul begitu saja atau secara
kebetulan melainkan sebagai konsekuensi dari pada pengetahuan. Disini istilah teknik dipakai
dalam arti kata yang lebih luas. Bukan saja teknik mesin teknik energi, dan teknik informas,
seperti diuraikan sebelumnya dalam arti kata luas, setiap penerapan setiap penjabaran praktis dan
metode dari ilmu pengetahuan dapat disebut sebagai dengan teknis. Dengan demikian teknik

10
juga meliputi eksperimen eksperimen dengan hewan metode pembedahan, dan pencangkokan
anggota badan manusia, ilmu organisasi sosial, dan lain sebagainya. Didalam teknik terjadi suatu
kemajuan lalu terjadi suatu perkembangan yang sebaliknya. bersama dengan tehnik maka
kesadaran kita dimasuki pula pertanyaan-pertanyaan mengenai kerja manusia hubungan sosial
tertindas nya manusia oleh struktur sosial dan pusat-pusat kekuasaan akibat teknik. Ilmu
pengetahuan dan teknik ada kecenderungan untuk menurunkan dunia trans nenden yang
mengatasi manusia ke dalam wilayah kedaulatan manusia, dijadikan emanen. Tetapi dalam
teknik kita menyaksikan suatu perkembangan yang serba baru daya daya kekuatan tadi tetap baik
emanen maupun transgender. Yang dimaksudkan ialah dengan mendadak kentara lah bahwa
tidak dengan sendirinya manusia menguasai kekuatan tadi lewat teknik nya, manusia dapat
mengatur kekuatan itu tetapi kedudukan ini justru mengharapkan manusia dengan pertanyaan
bagaimana ia harus mengelola kekuasaan teknik.
Pertanyaan besar yang sekarang kita hadapi ialah norma atau kriteria manakah yang harus
diikuti manusia. Etika baru merintis jalan bagi kaidah-kaidah kriteria yang mengatasi imanensi,
terkurung nya manusia di dalam dunia teknik. Dimensi harapan evaluasi kritis dan tanggung
jawab. Baru di dalam dimensi transgender ini dapat dilaksanakan suatu strategi kebudayaan.
Iilmu mulai muncul ketika manusia mempelajari alam. Dalam pandangan ilmu alam
manusia sederajat dengan gejala-gejala alam lainnya. Dan dalam ilmu ilmu budaya manusia
maka bidangnya lebih terbatas lagi. Dalam perkembangan ilmu manusia semakin mendekati
dirinya sendiri dan makin sukar juga penelitian ilmiah nya. Kemajuan dalam bidang ilmu alam
jauh lebih besar daripada dalam ilmu kehidupan dan ilmu ini pun lebih maju dari pada ilmu-ilmu
yang mempelajari kebudayaan. Dua hal yang menjadi jelas pertama, pengetahuan lebih berkuasa
daripada teknik, dan teknik lebih kuasa daripada etika. Kedua, perkembangan sedari pengetahuan
lewat teknik ketika lebih maju di dalam ilmu alam daripada di dalam ilmu kehidupan dan ini pun
lebih maju dari pada ilmu budaya manusia. Ilmu alam maju lebih jauh lagi dan membuka jalan
bagi manusia untuk menguasai daya listrik, dan daya atom dengan teknik nya. Mengenai tahap
itu yaitu etika kita baru berdiri di ambang pintu kira-kira 100 tahun yang lalu akibat artis dari
teknik mulai dirasakan. Hukum-hukum ilmu pesawat antara lain mengakibatkan revolusi
industri pada abad yang lalu, tetapi lalu muncullah masalah-masalah etis sebagai akibat dari
artistik tetapi kritis, menggambarkan pelosok pelosok kota dengan segala akibat sosial dan etis.

11
Ilmu tentang kehidupan seperti misalnya biologi dan kedokteran terbelakang satu tahap
daripada ilmu alam baru sejak dua abad yang lalu, dimulai perkembangan dalam ilmu tersebut
tetapi, pengetahuan tentang proses proses kehidupan tentang penyakit, dan kematian pembawaan
dan sebagainya sini maju secara pesat.
Kemajuan besar yang telah tercapai dalam teknik teknik medis berhubungan erat dengan
pembedahan pembedahan yang makin luas akibatnya seperti misalnya transplantasi, penggunaan
antibiotik, perubahan yang dapat dilakukan dalam susunan sel-sel, dan lain sebagainya.
Lewat golongan ilmu yaitu ilmu budaya manusia makin masuklah kita ke dalam
lingkungan kerja manusia yang paling intim. Suatu strategi atau perencanaan kebudayaan
manusia tidak lengkap bila tidak disertai evaluasi kritis. Sebuah evaluasi atau penilaian
mengatasi data-data atau peristiwa-peristiwa belaka. Ilmu budaya manusia juga meliputi ilmu-
ilmu yang berurusan dengan kelakuan manusia masyarakat manusia bahasa manusia. Disini kita
bersentuhan dengan hal-hal yang biasanya kita sebut sebagai dengan manusiawi, atau batinnya
seperti misalnya motivasi perbuatan kita, emosi emosi yang dengan sadar kita lupakan, atau
dengan tidak sadar kita ke samping kan pemakaian, dan pembuatan simbol-simbol berhubungan
antara manusiawi bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam dan kehidupan maka ilmu budaya
manusia relatif masih muda psikologi dan sosiologi baru berdiri sebagai ilmu pengetahuan
tersendiri sejak 1 abad
Jelas sudah bahwa dengan demikian di dalam lingkungan ilmu budaya manusia pun
mulai terasa kebutuhan akan kesadaran artis etika, dapat diterangkan sebagai suatu penilaian
yang mem perbincangan bagaimana akibat teknik yang mengelola kelakuan manusia umum
mulai menyadari bahwa daya-daya kekuatan dahsyat yang tersimpan di dalam budaya manusia
perlu dikendalikan dengan kuat. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa, dalam ilmu budaya
manusia pun sudah mulai muncul semacam penerapan teknis dan mungkin juga suatu refleksi
artis pertama tetapi di sini tahap-tahap pengetahuan teknik dan etika terbelakang sekali bila
dibandingkan dengan ilmu-ilmu kehidupan.

DUNIA-DUNIA YANG MUNGKIN DAN YANG TIDAK MUNGKIN


Kebudayaan merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia, dan
diarahkan pada hari depan. Dewasa ini kita sering mendengar indonesia tahun 2000 kita
membuat rencana jangka panjang untuk membuat suatu rencana di kemudian hari. Kemajuan

12
ilmu pengetahuan ini memang membuka kesempatan untuk meneruskan berbagai garis
perkembangan sampai, di hari depan pandangan ilmu sering melampaui batas-batas situasi
sekarang ini dan dengan demikian, dapat memberikan sumbangan bagi perencanaan untuk hari
depan. Sebetulnya ini serasi dengan gagasan yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu mengenai
semua dunia yang mungkin secara ilmiah kita dapat menyelidiki struktur aneka macam barang
seperti misalnya pola-pola dalam kelakuan, jual beli, mengering nya sumber energi, reaksi
manusia terhadap suara desing, dan lain sebagainya semua usaha ini ada gunanya tetapi akhirnya
tidak memadai bahkan ada bahaya bila kita mengharapkan segala-galanya dari perencanaan
serupa itu bila kita hanya meneruskan garis perkembangan, ke arah semua dunia yang mungkin
maka manusia dapat menjadi buta terhadap segala sesuatu di dalam dunia dewasa ini tidak
mungkin. Bila kita hanya asik membuat rencana-rencana secara ilmiah dan teknis, maka wajah
dunia di hari depan masih tetap berkurang di dalam skema skema dunia garis-garis hanya
diteruskan dan tidak timbul pikiran bahwa garis-garis itu mungkin perlu di belokan akan kita
berpikir secara etis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ramalan mengenai hari di masa depan itu
tidak meramalkan suatu hari depan yang sungguh-sungguh artinya, yang mengandung unsur
ketak terduga, melainkan hanya bayangan dan harapan orang itu sendiri yang ditunjukkan nya
mereka menyusun sebuah skema tentang semua dunia yang mungkin, dan meneruskan garis-
garis situasinya sendiri lalu di dalam skema itu daya khayalan mereka mengisi gambaran tentang
dunia di masa yang akan datang. Evaluasi etis menghapus bidang-bidang gelap evaluasi ini juga
melancarkan kritik terhadap hasil ilmu pengetahuan dan teknik organisasi modern seketika kita
sadar akan ke mustahil and dunia ini secara etis maka kita setiap pulau untuk membuat
pembaharuan sedangkan insentifitas kita terangsan. Rasa tanggung jawab, etis dapat merintis
jalan-jalan baru bagi pemikiran kita pun, pula dalam bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi
bila suatu situasi kita nilai sebagai mustahil maka, kita juga dapat menemukan kemungkinan
kemungkinan baru yang tidak mustahil.
Didalam suatu strategi kebudayaan dapat ditemukan jalan-jalan baru yang sebelumnya
tidak kita sadari, metode-metode pemikiran yang baru dirubah organisasi dalam bidang
penelitian dan angkat dibuat pertimbangan pertimbangan yang lebih halus dan disusun suatu
belajar manusia itu dapat berlangsung yang lebih efektif. Itu semua dapat dikembangkan asal
proses belajar manusia itu dapat berlangsung dengan bebas dalam bidang rasa tanggung jawab

13
dan model. Manusia menafsirkan dunianya lewat simbol-simbol bahkan lewat seluruh
kegiatannya dalam bidang kebudayaan, bahkan bila ia mengira berhadapan dengan alam objektif
seperti misalnya memberi dalam ilmu pengetahuan, ia sudah menafsirkan alam itu bahkan,
memberikan evaluasi nya dengan demikian, ia menarik garis garis pada sebuah peta yang
menunjukkan jurusan yang akan ditempuh nya tapi jurusan itu dapat menuju ke tempat baik atau
ke tempat buruk.
Itu semua terjadi di dalam etika, agama, kebijaksanaan dalam bidang sosial, dan bidang
politik, pembagian kerja, pembentukan rumah rekreasi, dan seterusnya. Dan usaha ini bukan
suatu daya upaya yang teoritis yang boleh dilakukan tetapi juga boleh ditinggalkan.
Pemikir teoritis tidak boleh terlepas dari perbuatan praktis bila garis-garis pada sebuah
peta yang digambarkan pada suatu bidang yang rata, kita teruskan dengan tidak ada habis-
habisnya maka tak kunjung dapat kita merangkul bumi kita melengkung ini. Tetapi peta itu tak
lain hanya sebuah skema abstrak mengenai dunia yang nyata. Manusia baru menemukan
identitasnya sendiri bilang melalui dan memulai membedakan garis-garis.
Didalam suatu lingkungan kebudayaan yang secara ekstrim mengutamakan operasioalime
kebahagiaan manusia ditentukan semata-mata oleh tingkat kemakmuran nya, norma-norma
moral ditentukan oleh daya guna bagi masyarakat, keyakinan agama oleh manfaatnya pada
jangka pendek, cinta kasih oleh kenikmatan, dan akhirnya pribadi manusia di borgol oleh dalang
dalang tanpa nama. Jadi sikap fungsional belum menjamin bahwa kita sedang merencanakan
sesuatu strategi yang baik.

14
KESIMPULAN

PENDAPAT MENGENAI BUKU


Pada bagian prakata, van Peursen sebagai ahli filsafat, menuliskan buku ini sebagai
media pemahaman bagi masyarakat atau pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu
sedang dihadapkan pada permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai sosial-
budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam berbagai bentuk seperti
gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal
tersebut dijadikan van Peursen sebagai titik tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya
dipergunakan “sebagai siasat manusia menghadapi hari depan”, dan merupakan proses
pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana sang penulis hendak memaparkan sekaligus
merumuskan perubahan unsur-unsur budaya dalam kehidupan yang disesuaikan melalui
pendekatan (dimensi) tertentu dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek
dan bukti yang riil dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan:
mitologis, ontologis, dan fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai
strategi kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju
dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan peran. Tentu
ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya sendiri-sendiri. Dikatakan demikian
karena setiap orang punya kecenderungan yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan
kebudayaan. Hal ini yang kemudian oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah
lukisan, yang outputnya multitafsir.
Sepanjang isi buku ini, kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen
antara makhluk hidup (manusia dan hewan) dengan alam tetapi bukan alam seperti pada
umumnya. Alam dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan
alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang digagas oleh
Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek
dan subjek kebudayaan. Alam, lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek.
Sedangkan organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek.

15
KOMENTAR:
Sekali lagi yang perlu dipahami dari apa yang telah dituliskan semua oleh van Peursen
bukanlah soal membuat komparasi antar-kebudayaan; tidak dimaksudkan juga untuk mengkotak-
kotakkan kebudayaan masyarakat satu dengan lainnya, karena van Peursen sebelumnya telah
menyadari bahwa kebudayaan ialah nisbi; dan tanpa perlu dengan sengaja menisbikannya. Dari
tulisannya pun, van Peursen juga tidak mengeksklusifkan pendeskripsian satu atau dua
kebudayaan tertentu; ia melampirkan hasil-hasil kebudayaan dan kesenian sebagai bukti konkret
berfungsinya tiga strategi kebudayaan yang diperkenalkannya.
Buku ini, setidak-tidaknya memberikan telaah yang cukup komprehensif untuk pelbagai
ragam kebudayaan bahkan kesenian, tentunya dengan disesuaikan pada konteks zamannya.
Tidak berhenti di situ saja, van Peursen memberikan pengharapan pada buku ini yakni agar
khalayak mampu mengikuti ke mana arah “pendulum” perkembangan kebudayaan, dan atas
kesadaran diri dapat melakukan pembelajaran kebudayaan lewat pengajaran, pendidikan, serta
melalui sentuhan di bidang agama.

16
DAFTAR PUSTAKA

Van Peursen, (1988) Strategi Kebudayaan. Edisi Kedua. PT. Kanisius; Yogyakarta : Gunung
Mulia

17

Anda mungkin juga menyukai