Anda di halaman 1dari 25

PEMEROLEHAN DWIBAHASA PADA ANAK-ANAK DI SD

ISLAM AL KHAIRIYAH II SUNAN AMPEL SURABAYA

Laporan PKL Mata Kuliah Sosiolinguistik

Oleh

Ros Muliadany 121611133023

Desy Yunita Sari 121611133069

Taufin Arifiyah 121611133070

Arini Azizah H 121611133071

Nur Rochimah A 121611133077

Saflanadia Putri 121611133099

Rochelle D 121611133033

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul

“Pemerolehan Dwibahasa Pada Anak-Anak Di SD Islam Al Khairiyah II Sunan

Ampel Surabaya”.

Penyusunan makalah ini tidak akan berhasil tanpa adanya bimbingan dan
sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Sri Wiryanti selaku dosen mata
kuliah sosiolinguistik.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun diperlukan. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat dengan baik bagi semua pihak.

Surabaya, 27 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 2

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 2

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 3

1.3 Tujuan ............................................................................................... 4

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 6

2.1 Kedwibahasaan ................................................................................. 6

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 12

3.1 Pemerolehan Dwibahasa pada Anak ............................................... 12

3.2Klasifikasi Pemerolehan Bahasa Pada Anak.................................... 12

3.3Faktor Pemerolehan Dwibahasa Pada Anak .................................... 19

BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa sebagai alat komunikasi memegang peranan penting dalam

kehidupan sosial masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, ada banyak

bahasayang digunakan. Selain itu, bahasa memiliki banyak ragam dan variasi. Hal

tersebut menjadi salah satu faktor munculnya fenomena kedwibahasaan. Pada era

milenium ini, fenomena kedwibahasaan sangat banyak ditemukan. Terkhusus

pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia setidaknya mengatahui dan

menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya masing-

masing.

Menurut Robert Lado, Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara

dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Hal ini sesuai dengan fakta

lapangan yang kami temukan di kawasan Sunan Ampel pada anak-anak.

Kedwibahasaan memiliki banyak peranan penting di era ini. Penguasaan dua

bahasa atau lebih memungkinkan orang-orang di dunia modern dapat bersaing

secara kompetitif untuk tampil di berbagai bidang. (Johan: 2017)

Tidak hanya ditemukan pada usia dewasa, pada usia anak-anak juga

banyak ditemukan fenomena kedwibahasaan. Terutama, pada anak yang sudah

menginjak pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD). Dalam tingkat formal,

pemerolehan bahasa anak dimulai pada saat anak memasuki jenjang sekolah dasar

2
(SD). Pada tingkat inilah anak mulai diajari kaidah dan aturan dalam berbahasa.

(Zaenab, 2016)

Usia anak-anak di kawasan Sunan Ampel dapat dikatakan sebagai

dwibahasawan. Anak-anak di kawasan Sunan Ampel mengetahui setidaknya

bahasa Indonesia, Jawa, Madura dan Arab. Mereka memiliki kemampuan

berbicara dua bahasa dengan sama baiknya, atau minimal hampir sama baiknya.

Anak-anak di kawasan Sunan Ampel menguasai bahasa pertamanya, yakni bahasa

yang pertama kali dikenalkan pada anak-anak tersebut. mereka juga menguasai

bahasa keduanya, yakni bahasa lain yang diketahuinya setelah bahasa pertama,

saat mereka dalam proses interaksi baik di keluarga, sekolah maupun lingkungan

tempat tinggal.

Objek penelitian ini adalah anak-anak berpendidikan formal sekolah dasar

di tingkat kelas 6, yang berusia 12 tahun. Mereka adalah penduduk di kawasan

Sunan Ampel Surabaya. Objek penelitian ini merupakan anak usia 12 tahun yang

telah memahami bagaimana mereka berbahasa dan bahasa apa saja yang telah

digunakan dalam keseharian mereka. Objek penelitian ini juga telah memahami

dengan baik latar belakang orangtua dan keluarganya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pemerolehan dwibahasa pada anak-anak di SD Al

Khairiyah II Sunan Ampel?

3
1.2.2 Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan

dwibahasa pada anak-anak di SD Islam Al Khairiyah II Sunan

Ampel?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mendeskripsikan bagaimana pemerolehan dwibahasa pada anak-

anak di SD Al Khoiriyah

1.3.2 Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan

dwibahasa pada anak-anak di SD Islam Al Khoiriyah Sunan Ampel.

1.4 Manfaat

Penelitian yang berjudul “Pemerolehan Dwibahasa pada Anak-Anak di

SD Islam Alkhoiriyah Sunan Ampel” ini dapat memberikan manfaat teoretis dan

manfaat praktis, sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

keilmuan di bidang linguistik terutama kajian sosiolinguistik. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah wawasan mengenai pemerolehan dwibahasa

terutama pada usia anak-anak

4
1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat

mengenai pemerolehan dwibahasa yang terdapat dalam interaksi

masyarakat khususnya usia anak-anak di kawasan Sunan Ampel

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengetahuan mengenai

pemeroehan dwibahasa khususnya pada lingkungan sekolah dan

lingkungan lain tempat anak-anak tinggal

3. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagaimana bentuk

pemerolehan dwibahasa pada usia anak-anak

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kedwibahasaan

Kedwibahasaan menurut Haugen

Haugen (1961) mengatakan bahwa bilingualisme yaitu “ seorang penutur

yang mengetahui akan dua bahasa atau lebih disebut dengan bilingual dan seorang

bilingual tidak harus aktif dalam menggunakan kedua bahasa itu, tapi cukup

memahaminya saja”. Jadi, seorang penutur yang mempelajari B2-nya, maka

kemampuan B2 tersebut akan selalu ada pada posisi di bawah B1-nya.

Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara umum maka

pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik

secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat.

Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two

languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding

without speaking.

Menurut Haugen (1961:13) “Mengetahui akan dua bahasa atau lebih

berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua

bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa

kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh

terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968:10) menyebutkan adanya bilingualisme

pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu bilingualisme yang dialami oleh

orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada

6
tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan

dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah

terletak dasar bilingualisme.

Kedwibahasaan menurut Weinrich

Menurut Weinreich (1953) tipologi kedwibahasaan didasarkan pada

derajat atau tingkat penguasaan seorang terhadap ketrampilan berbahasa. Maka

Weinreich membagi kedwibahasaan menjadi tiga yaitu:

 Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)

Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan

bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan

berbahasa bahasa yang lain.

 Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.

Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang

menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang

individu.

 Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)

Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang

menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan

B2 atau sebaliknya.

7
2.2 Pemerolehan Bahasa

Bilingualisme berkaitan erat dengan pemerolehan bahasa kedua.

Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan bagaimana anak memperoleh

kata,makna, struktur, dan pragmatik. Itu tidak lain berhubungan dengan proses

yang terjadi dalam mind dan sikap anak.

Pemerolehan tambahan bahasa yang terjadi sebelum adolesen disebut

bilingualisme cepat (early bilingualism). Apabila bahasa pertama diperoleh

sebelum atau sekitar usia sebelas dan bahasa yang yang lainnya sesudah periode

ini disebut bilingualisme lambat (late bilingualism). Ada yang menyebut masing-

masing kedwibahsaaan di atas sebagai bilingualisme konsekutif untuk

bilingualisme cepat dan bilingualisme suksesif untuk bilingualisme lambat

(Kamaruddin, 1989: 33).

Berdasarkan cara pemerolehannya, Reynolds (1991: 155) membagi

bilingualisme menjadi dua macam. Pertama, pemerolehan dua bahasa secara

serempak pada usia dini dan dalam konteks alamiah (balance bilingualism).

Kedua, pemerolehan bahasa kedua setelah bahasa pertama ketika dewasa dan

setelah memasuki pendidikan formal (unbalance bilingualism).

a. Pemerolehan Bilingualisme Simultan

Salah satu yang menjadi pertanyaan pokok di dalam pemerolehan

bilingualisme simultan apakah kedua bahasa itu pada mulanya diperoleh sebagai

sistem tunggal dan kemudian dibedakan, atau kedua bahasa itu berkembang

sebagai sistem bahasa yang terpisah.

Penemuan yang didasarkan pada kajian terhadap anak bilingual Prancis-

8
Inggris yang dipimpin oleh Swain (dalam Kamaruddin 1989: 163) menyimpulkan

bahwa pemerolehan dua bahasa secara simultan tidaklah berbeda secara signifikan

dengan pemerolehan satu bahasa, selagi dalam kedua peristiwa itu anak tersebut

memulai dengan seperangkat kaidah tunggal di dalam memberikan respon

terhadap lingkungan bahasanya. Anak-anak itu mempelajari dua bahasa seolah-

olah hanya belajar satu bahasa. Pendekatan ini dapat dilihat pada terjadinya

pencampuran (mixing) kosa kata pada tahap awal. Kata-kata disimpan tanpa

membedakan bahasa yang muncul di dalam urutan yang sama pada anak bilingual

dengan temannya yang monolingual. Analisis interaksi kode yang dilakukan oleh

Nygren-Junken (dalam Kamaruddin, 1989: 163) menunjukkan bahwa anak

mengikuti tiga tahap perkembangan selama periode pembedaan bahasa, yaitu:

1. Language cooperation period, anak menggunakan bahan dari kedua bahasa

dalam bentuk komplementer (saling melengkapi) karena kebanyakan bahan

tersedia hanya pada satu bahasa.

2. Linguistic interference phase, anak memperoleh kata-kata dari kedua bahasa

untuk bahan, tindakan, dan fungsi yang sama, tetapi sewaktu-waktu dapat

menghasilkan tuturan yang bercampur (mixed).

3. Code separation stage, anak itu memisahkan kedua sistem bahasa dengan

pencampuran yang minimal.

Meskipun ada sejumlah kesulitan di dalam kajian bilingualisme awal,

misalnya faktor sosiolinguistik, yaitu alokasi fungsi dua bahasa dan pola interaksi,

McLaughlin (1988:23) memberikan tiga generalisasi yang menerangkan proses

bilingualisme simultan :

9
1. Anak yang mengalami dan menghadapi secara seimbang (balance exposure)

terhadap dua bahasa mengembangkan kedua bahasa itu seperti halnya penutur

monolingual bagi setiap bahasa itu. Pada mulanya, kelihatan anak itu bekerja dari

seperangkat kaidah tunggal dan tahap pencampuran bahasa, terutama

pencampuran leksikal, tetapi secara perlahan-lahan terjadi perbedaan dua

perangkat kaidah.

2. Kalau pengalaman bahasa itu kurang seimbang maka mungkin terjadi lebih

banyak transfer bahasa dan lebih banyak memasukkan kosa kata dari satu bahasa

ke dalam sistem ketatabahahasaan bahasa lainnya.

3. Ada sistem bahasa yang tunggal yang mendasari kedua bahasa anak bilingual

itu. Sistem kebahasaan yang terpisah atau lebih ekonomis menganggap kedua

bahasa bilingual sebagai subsistem kebahasaan yang terpisah, enalog dengan kode

kebahasaan dari seorang penutur monolingual.

b. Pemerolehan Kedwibahasaan Sekuensial

kedwibahasaan sekuensial adalah peristiwa bilingual setelah berusia tiga

tahun atau ketika berusia prasekolah sering dilengkapi dengan interaksi terhadap

penutur asli bahasa itu yang ada di dalam masyarakat sekitarnya (baik anak

maupun orang dewasa) atau di sekolah (guru atau teman sekelas). Anak pada

kelompok usia ini sudah mempunyai ketrampilan berbahasa yang dasar serta

kemampuan komunikatif di dalam bahasa pertama, maka persoalan yang

menyangkut hakikat dan tingkat interferensi B1 dan proses pemerolehan B2 telah

menarik perhatian para ahli.

10
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pemerolehan Bahasa Pada Anak

3.1.1 Data pemerolehan bahasa


Anak bernama Aminah merupakan anak yang berasal dari keturuna Arab.

Ia memiliki B1 bahasa Indonesia, karena bahasa tersebut sudah ia peroleh dan ia

tuturkan sejak ia masih kecil dari ajaran orang tua dan B2 bahasa Arab yang

dalam kasus ini ia paham jika orang tuanya bertutur dalam bahasa arab akan tetapi

dia masih bingung dalam membalas tuturan dari orang tuanya itu.

Anak bernama Ridwan merupakan anak berasal dari Madura yang tinggal

di Surabaya di kawasan Ampel kurang lebih 6 tahun. Ia memiiki B1 bahasa

Indonesia karena bahasa tersebut sudah di peroleh sejak kecil dan B2 bahasa

Jawa pemerolehan bahasa kedua Ridwan didapatkan di lingkungan sekitar. Dia

menggunakan bahasa yang ia punya sesuai konteks dengan siapa ia berbicara atau

dimana ia berada

Anak bernama Salwa merupakan anak yg berasal dari suku Jawa (Ayah

dan Ibunya berasal dari Kabupaten Gresik). Ia memiliki B1 bahasa Indonesia dan

B2 bahasa Jawa. pemerolehan bahasa tersebut yang didapat pada usia dini dan

kemampuan berbahasa Jawa ia tergolong pengguna yang pasif, yang artinya ia

memahami ketika mitra tutur berbahasa Jawa tetapi ia tidak dapat menjawab

menggunakan bahasa Jawa, terlebih bahasa Jawa Krama.

12
Rizqi Bahtiyar adalah siswa kelas 6 SD Al Khairiyah II Sunan Ampel

Surabaya, dia berumur 12 tahun. Rizqi berasal dari keturunan suku Madura dari

ayahnya dan suku Jawa dari ibunya. Tinggal di Wonokusumo Surabaya sejak

kecil. Ia memiliki B1 bahasa Jawa, karena bahasa tersebut ia peroleh sejak kecil.

Hal tersebut diterapkannya karena faktor keluarga dan faktor lingkungan yang

menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi sehari-hari. Dan B2 nya adalah

bahasa Indonesia, yang ia peroleh dari faktor lingkungan dan juga ranah

pendidikan. Ia menerapkannya saat berkomunikasi dengan guru di sekolah. Dalam

hal ini, ia menggunakan B1 dan B2 nya sama-sama aktif, menyesuaikan kondisi

suatu tempat yang ada.

Nur Aini adalah siswa kelas 6 SD Al Khairiyah II Sunan Ampel

Surabaya, dia berumur 12 tahun. Aini adalah seorang suku Jawa. Ayahnya

berasal dari suku Madura dan ibunya berasal dari suku Jawa. Tinggal di kawasan

Sunan Ampel Surabaya selama 6 tahun. Ia memiliki B1 bahasa Jawa,yang

diajarkan kepadanya pertama kali sejak kecil. Hal tersebut diterapkannya karena

faktor keluarga dan faktor lingkungan yang menggunakan bahasa Jawa sebagai

komunikasi sehari-hari. Dan B2 nya adalah bahasa Indonesia, yang ia peroleh dari

faktor lingkungan dan juga ranah pendidikan. Ia menerapkannya saat

berkomunikasi dengan guru di sekolah dan saat situasi formal berlangsung.

Rachel R Fadila adalah siswa kelas 6 SD Al Khairiyah II Sunan Ampel

Surabaya, dia berumur 12 tahun. Rachel adalah seorang suku Jawa. Ayahnya

berasal dari Makassar dan ibunya berasal dari suku Jawa. Tinggal di kawasan

Sunan Ampel Surabaya selama 12 tahun. Ia memiliki B1 bahasa Indonesia,yang

13
diajarkan kepadanya pertama kali sejak kecil. Hal tersebut diterapkannya karena

faktor keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi sehari-

hari. Dan B2 nya adalah bahasa Jawa, yang ia peroleh dari faktor lingkungan dan

juga saat bersekolah betemu dengan teman-teman sebayanya. Ia menerapkannya

saat berkomunikasi dengan teman sesekali waktu.

Nur Izzatul adalah siswa kelas 6 SD Al Khairiyah II Sunan Ampel

Surabaya, dia berumur 12 tahun. Izzatul adalah seorang suku Jawa. Ayahnya

berasal dari suku Jawa dan ibunya berasal dari suku Madura. Tinggal di kawasan

Sunan Ampel Surabaya selama 6 tahun. Ia memiliki B1 bahasa Indonesia ,yang

diajarkan kepadanya pertama kali sejak kecil. Hal tersebut diterapkannya karena

faktor keluarga yang menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi sehari-hari.

Dan B2 nya adalah bahasa Jawa, yang ia peroleh dari faktor lingkungan dan juga

saat pertama kali ia mendapatkan pendidikan formal. Ia menerapkannya saat

berkomunikasi dengan teman di sekolah.

3.1.2 Analisis pemerolehan bahasa


Berdasarkan teori Reynolds mengenai cara pemerolehan bahasa maka dari

responden yang diperoleh dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Balance bilingualism: Aminah, Ridwan, Salwa

Ketiga responden merupakan balance bilingualism karena pemerolehan

B2 didapat sejak dini sebelum mereka menempuh pendidikan. B2 tersebut didapat

dari lingkungan keluarga meskipun tidak terlalu sering digunakan dan baru sering

digunakan saat menempuh pendidikan.

14
2. Unbalance bilingualism: Rizqi, Nur Aini, Rachel, Nur Izzatul

Keempat responden tersebut merupakan unbalance bilingualism karena

pemerolehan B2 didapat setelah mereka memasuki ranah pendidikan. B2 didapat,

dikenal, dan dipelajari setelah mereka memasuki ranah pendidikan sebagai

pengaruh dari lingkungan yang ada di sekolah baik pengaruh guru maupun teman.

Menurut teori Weinrich berdasarkan derajat atau tingkat penguasaan

seorang terhadap keterampilan berbahasa, maka responden diklasifikasikan

menjadi:

1. Kedwibahasaan majemuk

Aminah termasuk ke dalam kedwibahasaan majemuk karena ia memiliki

B1 bahasa Indonesia dan B2 bahasa Arab, namun ia merupakan penutur pasif

dalam bahasa Arab dan lebih menguasai bahasa Indonesia

Salwa termasuk ke dalam kdwibahasaan majemuk karena ia memiliki B1

bahasa Indonesia dan B2 bahasa Jawa, namun ia merupakan penutur pasif dalam

bahasa Jawa sehingga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam

berkomunikasi.

Rachel termasuk ke dalam kedwibahasaan majemuk karena ia memiliki

B1 bahasa Indonesia B2 bahasa Jawa, namun karena sang ayah yang berasal dari

Makassar dan tidak mengerti bahasa Jawa ia pun jarang menggunakan bahasa

Jawa atau merupakan penutur pasif dan lebih sering menggunakan bahasa

Indonesia.

15
2. Kedwibahasaan koordinatif

Ridwan termasuk ke dalam kedwibahasaan koordinatif karena meskipun ia

memiliki B1 bahasa Indonesia dan B2 bahasa Madura, ia menguasai keduanya

dengan baik dan menggunakan kedua bahasa sesuai dengan konteks di mana ia

berada.

3. Kedwibahasaan sub-ordinatif:

Rizqi termasuk ke dalam kedwibahasaan sub-ordinatif karena dapat

menggunakan B1 dan B2 dengan baik serta dalam komunikasi sering

mencampurkan B1 dan B2. Dalam hal ini mencampurkan B1 bahasa Jawa dan B2

bahasa Indonesia.

Nur Aini termasuk ke dalam kedwibahasaan sub-ordinatif karena seperti

halnya Rizqi ia mencampurkan B1 bahasa Jawa dan B2 bahasa Indonesia saat

berkomunikasi.

Nur Izzatul termasuk ke dalam kedwibahasaan sub-ordinatif karena

meskipun ia adalah campuran suku Jawa dan Madura, namun ibunya yang berasal

dari Madura juga mengerti bahasa Jawa maka ia pun juga menggunakan bahasa

Jawa. Dalam berkomunikasi ia menggunakan campuran B1 bahasa Indonesia

dengan B2 bahasa Jawa.

3.2 Persentase Pemerolehan Dwibahasa pada Anak

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK-ANAK

16
Indonesia Jawa Madura Arab Jumlah

B
57% 43% - 7
B1

B
43% 43% - 14% 7
B2

Pemerolehan bahasa pertama pada anak — anak di SD Islam Al Khairiyah

sebanyak 57% responden menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama

dan sebanyak 43% menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama mereka.

Pemerolehan bahasa kedua pada anak-anak di SD Islam Al Kahiriyah

sebanyak 43% menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya dan

sebanyak 43% bahasa Jawa sebagai bahasa keduanya, sisanya sebanyak 14%

menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa kedua.

Pemerolehan kedwibahasaan pada anak-anak di Sunan Ampel, sebagian

besar memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama sebelum mereka

memeroleh bahasa lainnya sebagai bahasa kedua mereka seperti bahasa Jawa

ataupun bahasa Arab.

PENGGUNAAN BAHASA ANAK-ANAK

Indonesia Jawa Arab Lain-lain jumlah

Bahasa di
43% 43% 14% - 7
rumah

17
Bahasa di
57% 43% - 7
lingkungan

Bahasa di
100% - 7
sekolah

Anak — anak di SD Islam Al Khairiyah II di kawasan Sunan Ampel

Surabaya semuanya menggunakan bahasa Indonesia saat sedang menjalani proses

belajar di sekolah. Sementara, penggunaan bahasa Indonesia di rumah dilakukan

oleh sebanyak 43 % responden. Sebanyak 43% responden lainnya menggunakan

bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan keluarga di rumah. 14% sisanya

menggunakan bahasa Arab saat di rumah.

Anak-anak siswa SD Islam Al Khairiyah II di kawasan Sunan Ampel

menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi di lingkungan sebanyak 57% ,

43% lainnya menggunakan bahasa Jawa saat berinteraksi dengan masyarakat di

lingkungannya.

TEMPAT PEMEROLEHAN BAHASA ANAK-ANAK

Rumah Lingkungan Sekolah Lain-lain Jumlah

B1 100% - 7

B2 14% 57% 29% - 7

18
Tempat pemerolehan bahasa pertama pada anak-anak di SD Islam Al

Khairiyah II semuanya berasal dari rumah. Karena Rumah merupakan tempat

mereka diajarkan bahasa pertama kali.

Pemerolehan bahasa kedua pada anak-anak di SD Islam Al Khairiyah

terbagi atas sebanyak 14% diperoleh dari rumah, sebanyak 57% anak-anak

memperoleh bahasa kedua dari lingkungan sekitar mereka dan sebanyak 29%

lainnya memperoleh bahasa kedua di sekolah.

3.3 Faktor Pemerolehan Dwibahasa Pada Anak

Berdasarkan data penelitian di atas, kami menemukan bahwa faktor

pemerolehan dwibahasa pada anak di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Faktor keluarga

Keluarga menjadi faktor penting dalam penentuan bahasa apa yang

digunakan sebagai bahasa pertama oleh anak. Sebelum seorang anak mengenal

dunia luar ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Komunikasi yang

ada dalam keluarga itulah yang menentukan bahasa pertama anak, bahasa yang

akan lebih sering digunakan. Dari hasil kuesioner dan wawancara yang telah

dilakukan sebelumnya yang juga telah disebutkan dalam tabel di atas

menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sering menjadi bahasa pertama oleh anak-

anak yang ada di Ampel meskipun latar belakang orang tuanya berbeda-beda.

Jadi, meskipun latar belakang daerah orang tua beragam kebanyakan orang tua

tidak menjadikan bahasa daerah asalnya untuk menjadi bahasa pertama anak dan

19
ini juga yang akhirnya mempengaruhi bahasa kedua anak. Bahasa kedua anak

kebanyakan merupakan bahasa daerah yang dimiliki orang tua masing-masing dan

juga banyak dari mereka dalam bahasa kedua merupakan jenis bilingual awal

yakni tahap bilingual tingkat rendah yang masih sederhana dalam penguasaan

bahasa. Bilingual awal bisa berupa hanya bahasa-bahasa sederhana yang dikuasai

atau memahami bahasa yang diucapkan namun tidak dapat mengutarakan dalam

bahasa yang sama. Banyak dari responden yang hanya mengerti bahasa kedua

secara sederhana dan bila ada kata-kata sulit mereka sulit untuk memahami.

b. Faktor Sekolah

Lingkungan sekolah memberi pengaruh pada anak-anak baik itu secara

intelegensi maupun sosial. Di lingkungan sekolah mereka belajar dan

bersosialisasi dan kegiatan tersebut juga mempengaruhi perkembangan bahasa

yang dimiliki bahkan dikuasainya bahasa kedua. Bahasa kedua tersebut didapat

bisa karena dari guru atau teman sekolah. Sadar atau tidak terkadang guru

menggunakan campur kode saat mengajar yaitu bahasa Indonesia yang dicampur

bahasa daerah khususnya bahasa Jawa. Dengan kondisi tersebut maka siswa pun

secara tidak langsung menguasai baik itu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa

terlepas dari apa bahasa pertama mereka.

Teman sekolah juga mempengaruhi pembentukan bahasa kedua tiap anak.

Khusus di SD Khairiyah II ini anak-anak menggunakan bahasa Indonesia saat

bergaul dengan temannya disebabkan latar belakang masing-masing anak yang

beragam maka mereka tidak mungkin menggunakan bahasa daerah sehingga

mereka menggunakan bahasa Indonesia yang dikuasai oleh semua anak. Jadi,

20
meskipun lingkungan mereka berada di Surabaya yang identik dengan

penggunaan bahasa Jawa, namun mereka menggunakan bahasa Indonesia saat

berinteraksi dikarenakan kondisi sosial yang ada di lingkungan tersebut.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan tempat tinggal menjadi salah satu faktor pemerolehan bahasa

anak di SD Khairiyah II. Responden yang dipilih memiliki latar belakang yang

beragam sehingga bahasa kedua yang dipilih atau dimiliki pun akan berbeda.

Meskipun penggunaan bahasa kedua tersebut mungkin hanya digunakan di

lingkungan tempat tinggal tersebut dikarenakan di luar lingkungan tidak banyak

yang memahami bahasa tersebut. Misalnya responden Aminah yang memiliki

latar belakang keluarga Arab maka ia di lingkungan pun seperti acara-acara yang

diadakan desa menggunakan bahasa Arab sedangkan Ridwan yang memiliki latar

belakang bahasa Madura hanya menggunakan bahasa Madura di saat ia berada di

komunitas Madura. Meskipun bahasa di lingkungan tersebut menjadi jarang

digunakan karena tidak banyak warga lain yang menguasai namun bahasa kedua

tersebut tetap mempengaruhi kemampuan bilingualisme yang dimiliki oleh

seorang anak.

21
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Islam Al Khairiyah 2 Sunan

Ampel Surabaya ini memiliki 7 responden siswa kelas 6 SD, yang mayoritas

bahasa pertamanya ialah bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Serta memiliki

B2nya ialah bahasa Indonesia (untuk responden yang B1nya bahasa Jawa), bahasa

Jawa (untuk responden yang B1nya ialah bahasa Jawa), bahasa Arab (untuk

responden yang berasal dari suku Arab).

Responden yang dipilih memiliki latar belakang yang beragam sehingga

bahasa kedua yang dipilih atau dimiliki pun akan berbeda. Meskipun penggunaan

bahasa kedua tersebut mungkin hanya digunakan di lingkungan tempat tinggal

tersebut dikarenakan di luar lingkungan tidak banyak yang memahami bahasa

tersebut.

Pemerolehan bahasa yang didapat secara dominan merupakan unbalance

bilingualism karena pemerolehan B2 diperoleh baru saat responden memasuki

lingkungan sekolah. 7 responden merupakan termasuk pada pembagian Jumlah

responden kedwibahasaan majemuk dan sub-ordinatif memiliki persentase yang

setara, karena banyak dari anak-anak tersebut yang termasuk ke dalam

kedwibahasaan majemuk merupakan penutur pasif dalam B2 yaitu menggerti apa

yang dibicarakan namun belum mampu dalam menuturkan bahasa tersebut

dengan baik sedangkan responden yang termasuk ke dalam kedwibahasaan sub-

22
ordinatif telah menguasai kedua bahasa dengan baik namun dalam

penggunaannya sering mencampurkan kedua bahasa tidak seperti kedwibahasaan

ordinatif yang menggunakan tiap-tiap bahasa sesuai dengan konteks tertentu.

Faktor- faktor pemerolehan dwibahasa diperoleh dari faktor keluarga, faktor

sekolah, dan faktor lingkungan

23
DAFTAR PUSTAKA

Dianarera. 2011. "Kedwibahasaan." (Online).


(https://arerariena.wordpress.com/2011/02/02/kedwibahasaan/, diakses 29
April 2019).

Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Kedwibahasaan. Jakarta:


Proyek Pengemabangan LPTK.

McLaughlin, Barry. 1988. Theories of Second-Language Learning. London:


Edward Arnold.

Reynold, Allan G. 1991. Bilingualism, Multiculturalism, and Second Language


Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Weinreich, Uriel. 1968. Language in Contact. Mouton: The Hauge-Paris

Zakiaassyifa. 2011. "Sosiolinguistik." (Online).


(https://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/28/, diakses 29 April
2019).

Anda mungkin juga menyukai