Jurnal Logat volume V nomor 1 tahun 2009 ini hadir di hadapan pembaca dengan edisi
bahasa. Ada tujuh artikel yang dimuat dalam edisi ini. Topik yang ditulis sangat beragam,
meliputi kajian linguistik kebudayaan, linguistik fungsional sistemis, psikolinguistik, dan
sosiolinguistik.
I Made Netra menulis tentang bahasa seni pertunjukan ragam humor dalam kajian bahasa
dan jender. Netra mengulas perilaku seksis melalui bahasa yang digunakan para pelaku
dalam seni pertunjukan di kota Denpasar baik bahasa humur melalui monolog maupun
dialog. Fajri Usman menampilkan analisis linguistik kebudayaan tentang bentuk lingual
tawa pengobatan tradisional Minangkabau. Bentuk lingual yang dianalisis terfokus pada
kohesi leksikal yang meliputi sinonimi, antonimi, hiponimi, hamonimi, polisemi, dan
kolokasi.
I Made Netra kembali tampil bersama Ni Ketut Alit Ida Setianingsih dan I Gst. Ngurah
Parthama, mereka menulis tentang kajian psikolonguistik bahasa skizofrenik, yang
merupakan studi kasus para pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali. Mereka membagi
tiga golongan pasien yakni pasien gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Ketiga
golongan pasien ini dikaji dari segi bahasa dan perilaku skizofreniknya. Abdurahman
Adisaputra membicarakan potensi kepunahan bahasa pada komunitas Melayu Langkat di
Stabat, Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena komunitas yang dwibahasawan atau
multibahasawan. Berdasarkan 230 responden remaja Melayu Langkat ditemukan adanya
pergeseran bahasa dari bahasa Melayu Langkat ke bahasa Indonesia. Simpulan yang
dibuat oleh Abdurahman menunjukkan bahwa bahasa Melayu Langkat mengarah pada
kondisi yang berpotensi terancam punah.
Edisi ini ditutup dengan tulisan Mulyadi yang berjudul, “Kategori dan Peran Semantis
Verba dalam Bahasa Indonesia”. Mulyadi mengkaji tipe dan peran semantik verba bahasa
Indonesia dengan menerapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran
Semantis Rampatan (PSR). Simpulan yang dibuat Mulyadi adalah tipe semantik bahasa
Indonesia terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan, sedangkan peran semantisnya
digolongkan pada aktor, agen, dan pasien.
Penyunting
DAFTAR ISI
logat
Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra
Volume V, No. 1, April 2009
ISSN: 1858 – 0831
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar
(Kajian Bahasa dan Jender) --------------------------------------------------------------------------------- 1-8
I Made Netra
Universitas Udayana
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks “Lau Kawar”
dan “Putri Tikus” --------------------------------------------------------------------------------------------- 19-27
Rumnasari K. Siregar
Politeknik Negeri Medan
Menggali Nilai Kearifan lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan
Peribahasa) ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 28-37
Ni Wayan Sartini
Universitas Eirlangga
Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus pada Rumah Sakit Jiwa Bangli ---------- 38-44
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, dan I Gst. Ngurah
Parthama
Universitas Udayana
Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia ------------------------------------------ 56-65
Mulyadi
Universitas Sumatera Utara
Halaman 1
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
I Made Netra
Universitas Udayana
Abstract
This paper is aimed at (1) identifying and analyzing the forms of language of humor which
has been constructed and used by both male and female players on the art performances in
Denpasar; (2) describing and analyzing the functions of language of humor for the sake of
marginalizing the women; and (3) describing to what extent the sexism is role-played by
both players of human art performances in Denpasar.The result of the analysis showed that
(1) the language of humor, in accordance with the types of communication, was constructed
by monologues and dialogues taking the forms of free, incoherence, and conflict
composition; (2) the sexist language used by the players of humor in art performances was
directly and/or indirectly intended to ignore and marginalize the position of women; (3) the
sexism considered that men were superior than women that pragmatically and
metaphorically contained negative values of the position of women. It was limited to
practices that led to the domination and discrimination of men toward women. It also
showed that there was unfair treatment of one sex to the other sex, men to women, and
women to women themselves.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 2
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
pembahasannya dipayungi oleh konsep bahasa dan sebagai berikut: (1) Kata generic man merujuk
perilaku seksis dalam humor yang dikaji dari pada manusia pada umumnya, dan oleh karena
perspektif bahasa dan jender yang terkait dengan itu, kata gantinya seharusnya he or she.
kajian wanita. Dalam hal ini dapat diasumsikan Sebaliknya kata man dalam “ A man was
bahwa bahasa humor tergolong ke dalam bahasa arrested yesterday. He was accused of
seksis yang berbentuk monologis dan atau dialogis stealing money from the bank”, bukan kata
psikoanalitis, sosial, dan persepsi kognitif. Dilihat generic. Oleh sebab itu, penggunaan kata
dari sasarannya, bahasa humor dapat berbentuk ganti he yang merujuk pada kata man,
humor etnis, humor seksual, dan humor politik. bukanlah kata seksis. Demikian pula, “The
Bentuk dan jenis bahasa humor seperti itu dipakai women were talkative”, bukan kalimat seksis
untuk tujuan-tujuan atau fungsi untuk karena the women yang dimaksudkan adalah
mengabaikan, merendahkan perempuan, dan wanita tertentu. Sebaliknya “women are
sejenisnya. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan talkative” adalah kalimat yang seksis karena
untuk menunjang asumsi tersebut dapat kata women dalam kalimat tersebut merujuk
diformulasikan, yaitu pada perempuan pada umumnya. Padahal
1) Bagaimanakah bentuk bahasa humor yang tidak semua wanita mempunyai sifat seperti
dibangun dan digunakan oleh baik pelibat itu;
laki-laki maupun pelibat perempuan dalam 2) Suroso (2004) membuat tulisan tentang jender
seni pertunjukan ragam humor di Kota dalam bahasa pria dan wanita. Aspek yang
Denpasar? diteliti adalah dominasi bahasa pria dan
2) Apakah pemakaian bahasa humor dalam seni bahasa wanita masa kini. Teori yang
pertunjukan di Kota Denpasar tersebut diterapkan adalah teori bahasa dan jender,
dimaksudkan untuk mengabaikan, khususnya konsep perbedaan bahasa pria dan
merendahkan, dan menyepelekan perempuan wanita yang dipelopori oleh Wardhaugh
sehingga termasuk bahasa seksis? (1976). Data diperoleh dari percakapan dan
3) Sejauh manakah perilaku seksis yang karya sastra bermuatan lokal Jawa. Hasil
ditunjukkan oleh para pelaku atau pelibat temuannya adalah sebagai berikut: (1) Pria
dalam seni pertunjukan ragam humor di Kota menunjukkan superioritasnya dalam karya
Denpasar? sastra tersebut yang direfleksikan oleh
pemakaian leksikon; (2) Wanita dengan gaya
2. KAJIAN PUSTAKA bahasa yang terkesan pemalu, tertutup, genit,
Pembicaraan mengenai kajian pustaka difokuskan dan kurang percaya diri sudah mulai
pada uraian penelitian sebelumnya yang dilakukan ditinggalkan. Sebaliknya, wanita masa kini
oleh para peneliti, para pengajar di perguruan cenderung bergaya tutur cerdas, terbuka, dan
tinggi atau para pemerhati bidang kajian wanita. mandiri yang tercermin saat mereka
Dalam mengkaji pustaka yang telah dilakukan mengungkapkan pikiran dan gagasannya baik
sebelumnya ini, ada beberapa hal yang akan secara lisan maupun tertulis.
diuraikan, seperti aspek-aspek yang diteliti, teori
yang diterapkan untuk menginvestigasi 3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI
permasalahan yang diformulasikan, pemerolehan, Ada dua teori yang dikemukakan sebagai landasan
dan hasil analisis data atau temuan. Berikut teori untuk menjawab permasalahan yang telah
penjelasannya: diformulasikan, yaitu (1) teori humor dan
1) Nababan (2004) melakukan penelitian linguistic humor, (2) teori bahasa dan jender.
mengenai wujud paham seksis. Aspek yang Selanjutnya, perlu diuraikan beberapa konsep
diteliti dalam penelitian ini adalah aspek kata untuk menunjang teori tersebut, seperti (1) konsep
generic yang seksis, dan paham atau perilaku bahasa seksis dan (2) konsep perilaku seksis.
seksis dalam berbahasa. Teori yang Berikut adalah uraian lengkapnya.
diterapkan adalah teori seksisme yang
dipelopori oleh Cameron (1994), Vetterling- 3.1. Konsep
Braggin (1982), dan Persing (1978). Untuk Dalam kaitannya dengan topik tulisan ini,
menunjang penelitian ini, data yang diambil yaitu perilaku seksis dalam bahasa seni
adalah data tulis yang diperoleh dari berbagai pertunjukan ragam humor: kajian bahasa dan
sumber, seperti buku pelajaran bahasa Inggris jender, pemahaman terhadap konsep-konsep yang
SMP dan SMA, dan bahasa lisan dalam bertautan dengan topik itu perlu dipertimbangkan,
komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. seperti perilaku seksis dan bahasa seksis. Hal ini
Adapun hasil analisis atau temuannya adalah dimaksudkan untuk melihat adanya penggunaan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 3
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
variasi bahasa oleh jenis kelamin tertentu yang kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap
dimaksudkan untuk merendahkan, menyepelekan kaum perempuan dan antar kaum perempuan
dan mengesampingkan jenis kelamin tertentu itu sendiri atau sesamanya (Graddol dan
(perempuan). Swann dalam Nababan 2004:156). Artinya,
pada umumnya, kaum perempuanlah yang
3.1.1 Bahasa Seksis menjadi pasien dan korban ketidakadilan itu.
Suatu ujaran dapat dianggap seksis 4) Seksisme memandang bahwa ketidaksetaraan
apabila penggunaannya mendorong atau kaum laki-laki dan kaum perempuan tidak saja
mengisyaratkan adanya penekanan terhadap terjadi dalam berbagai aktivitas kehidupan,
perempuan dan menunjukkan adanya eksploitasi namun pada dasarnya juga diwujudkan
terhadap jenis kelamin tertentu. (Veterling-Braggin melalui bahasa baik secara verbal maupun
dalam Nababan, 2004: 156). Dari pernyataan nonverbal. (Persing dalam Nababan 2004:156)
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa bahasa
seksis pada umumnya diujarkan atau 3.2. Landasan Teori
dikomunikasikan oleh seorang laki-laki yang Untuk menjwab semua permasalahan
membicarakan perempuan sekitar yang telah diformulasikan di atas, maka diterapkan
keperempuananya. Bahasa seksis juga bisa dua teori, satu teori yang menyangkut teori humor
diujarkan oleh perempuan terhadap perempuan dan linguistic humor, dan yang lainnya adalah teori
lain tentang keperempuannya. Keperempuan bahasa dan jender. Berikut adalah penjelasannya.
seorang perempuan sebenarnya mengandung sifat
dan cirri-ciri dan bahkan kesan yang ditimbulkan 3.2.1 Teori Humor dan Linguistik Humor
oleh seorang perempuan. Wilson (1979:10) menjelaskan bahwa
humor diartikan sebagai bentuk bahasa yang
3.1.2 Perilaku Seksis mengandung kebebasan yang dapat dijelaskan dari
Perilaku seksis mengacu pada istilah sudut dampak emosionalnya; disamping itu humor
seksisme, yaitu suatu aliran atau paham yang juga mengandung konflik, yang dapat diartikan
menempatkan laki-laki pada posisi superior dan
adanya dorongan untuk saling bertentangan
perempuan pada posisi marginal, dilecehkan,
diantara dua pelaku, dan ketidakselarasan yang
disudutkan (inferior). Untuk menunjang pengertian
merujuk kepada penjelasan kognitif.
seksisme berikut dipaparkan beberapa
pengertiannya. Wilson (1979) juga mengatakan bahwa
1) Seksisme merupakan suatu paham atau sistem humor merupakan penyimpangan dari pikiran
kepercayaan yang mempercayai adanya wajar yang diekspresikan secara ekonomis dalam
fenomena yang masih menganggap jenis kata-kata dan waktu. Dapat diinterpretasikan
kelamin tertentu lebih unggul dari jenis bahwa betapa humor itu digunakan dengan multi
kelamin yang lainnya. Dalam hal ini, jenis guna dan fungsi. Selanjutnya, bahasa humor
kelamin laki-laki dianggap lebih unggul dari dibangun sacara monologis dan atau dialogis
jenis kelamin perempuan. Hal semacam ini dengan tipe bebas, konflik, dan tak selaras.
tentunya terlihat dari bentuk bahasa yang
dipakai oleh laki-laki didalam berkomunikasi, 3.2.2 Bahasa dan Jender
atau bisa juga terlihat dari monolog orang Dalam pembicaraan sosiolinguistik,
laki-laki tentang perempuan, mengandaikan variasi bahasa dianggap sebagai variable utama,
perempuan dengan binatang yang jelek atau variasi mana sangat ditentukan oleh adanya jender
dengan benda-benda yang secara pragmatis atau perbedaan kondisi sosial dari laki-laki dan
dan metaforis mengandung nilai-nilai yang perempuan (Wolfram 1991:123). Dengan kata
negative tentang perempuan. (Cobuild English lain, yang menjadi ruang lingkup atau fokus
Dictionary 1997:1512) pembicaraannya adalah perbedaan bahasa laki-laki
2) Seksisme tidak hanya terbatas pada paham dan bahasa perempuan di dalam komunitas
tetapi juga pada praktek-praktek yang regional dan social. Dalam hal ini, jender
meneguhkan dominasi dan diskriminasi digunakan untuk menangkap dam menjelaskan
terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu kaum fenomena-fenomena kompleks sosial, budaya, dan
laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa psikologi yang melekat pada seks atau jenis
juga kaum perempuan sendiri yang kelamin. Dengan demikian, variasi bahasa yang
melakukannya terhadap kaumnya sendiri atau dibangun tidak bertautan dengan dengan fonologi,
sesamanya (Cameron dalam Nababan tata bahasa, dan leksikon, tetapi lebih bertautan
2004:156) dengan semantik atau makna yang terkandung
3) Seksisme memperlihatkan adanya pada bahasa yang sudah mengarah kepada
ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis konvensi penggunaan variasi bahasa tersebut. Dari
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 4
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
batasan ini terlihat bahwa pengkajian terhadap yang diambil untuk memperoleh data yang sahih,
variasi bahasa berdasarkan jender ini merupakan yaitu
kesepakatan atau konvensi penggunaan variasi 1) Melakukan inventarisasi terhadap seni
bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari- pertunjukan yang dipertontonkan secara rutin
hari, baik secara verbal maupun nonverbal atau di wilayah Kota Denpasar,
tulisan. 2) Melakukan perekaman secara langsung
Penggunaan variasi bahasa berdasarkan terhadap seni pertunjukan tersebut,
jender lebih mengarah kepada konsep hubungan 3) Hasil rekaman data tersebut didengarkan dan
sosial yang menggambarkan perbedaan jenis ditonton,
tingkah laku atau perilaku. Salah satunya adalah 4) Mencatat bahasa humornya yang sarat dengan
perilaku seksis jenis kelamin tertentu terhadap kandungan bahasa seksis dan perilaku
jenis kelamin yang lainnya secara sosial, kultural seksisnya,
dan psikologis. Oleh karena itu, variasi bahasa 5) Melakukan klasifikasi data berdasarkan
tersebut merupakan hasil bentukan masyarakat bentuk bahasa dan jenis humornya.
penutur melalui proses sosial dan budaya di suatu
tempat, dan waktu-waktu tertentu. 4.2. Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data diperoleh dan
4. METODE PENELITIAN diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif melakukan kodifikasi yang disesuaikan dengan
kualitatif dengan memakai pendekatan semantik ranah humor monologis atau dialogis. Kemudian
dan semiotik sosial. Metode dan teknik penelitian baru dianalisis secara sistematis berdasarkan
mencakup tiga tahapan, yaitu (1) metode dan urutan permasalahan yang diformulasikan. Dalam
teknik pemerolehan data, (2) metode dan teknik hal ini, bentuk bahasa yang bisa membangun
analisis data, dan (3) metode dan teknik penyajian bahasa seni pertunjukan dalam ranah humorlah
hasil analisis data. yang pertama-tama dianalisis, kemudian
dilanjutkan dengan pengidentifikasian dan
4.1. Metode dan Teknik Pemerolehan Data penganalisian bahasa seksis dan tujuan pemakaian
Dalam penelitian ini data yang diteliti bahasa seksis tersebut. Terakhir akan dianalisis
adalah data lisan yang diambil dari beberapa sejauh mana perilaku seksis yang ditunjukkan oleh
pertunjukan seni di Kota Denpasar terutama di para pelaku dalam seni pertunjukan ranah humor
tempat-tempat atau pusat-pusat pertunjukan (Art tersebut.
Centre, tempat pementasan barong dance, dan Metode yang digunakan untuk
lapangan puputan), seperti Calon Arang, Arja, menganalisis data adalah metode padan dengan
Drama Gong, Paguyuban Lawak dan Wayang alat bantu berupa tulisan atau teori-teori yang
Kulit. Pemilihan seni pertunjukan di Kota relevan di samping metode agih, yaitu metode
Denpasar sebagai sumber data didasarkan atas yang alat bantunya justru bagian dari bahasa itu
pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan sendiri dengan menerapakan teknik dasar, yaitu
dalam seni pertunjukan terutama dalam ranah teknik pilah unsur-unsur penentu (Sudaryanto
humor sangat menyentuh masyarakat penonton 1986). Langkah-langkah analisis data dapat
yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah diuraikan sebagai berikut:
ke bawah. Dengan demikian, substansi humor a. Menganalisis bentuk bahasa humor yang
yang disampaikan oleh pelaku cenderung mengacu dibangun dan digunakan dalam seni
pada hal-hal yang bersifat seksis. Di samping itu, pertunjukan ranah humor dengan menerapkan
bahasa seni pertunjukan dalam ranah humor teori humor dan linguistic humor.
cenderung dibuat yang berkaitan dengan hal-hal b. Menganalisis bahasa seksis dalam seni
yang bersifat tabu dan ditabukan, namun dalam pertunjukan ranah humor, dengan menerapkan
setiap kesempatan hal yang tabu ini cenderung teori bahasa seksis.
untuk dilanggar dengan berlindung di balik c. Menganalisis perilaku seksis pelibat dalam
kreativitas manusia. seni pertunjukan ranah humor, dengan
Untuk pengambilan data lisan ini menerapkan teori seksisme atau perilaku
digunakan instrumen, seperti tape recorder, pulpen seksis.
dan buku tulis atau buku catatan. Data diperoleh
dengan metode simak (Sudaryanto 1993) dengan 4.3. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
teknik catat dengan daya pilah sebagai pembeda Ada dua metode dan teknik penyajian
reaksi dan kadar keterdengarannya (Sudaryanto hasil analisis data, yaitu metode formal dan
1993:25). Selanjutnya, diuraikan beberapa langkah informal. Metode formal yaitu metode penyajian
hasil analisis data dengan menggunakan statistic
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 5
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
berupa tabel dan angka, sedangkan metode secara morfologis, sintaksis, dan secara tekstual
informal, yaitu metode penyajian hasil analisis semantik. Dalam hal ini, dia menggunakan unsur-
data yang menggunakan uraian kata-kata yang unsur bahasa itu untuk tujuan-tujuan atau maksud-
lengkap yang rinci dan terurai. Untuk memperoleh maksud tertentu. Dalam CB-M/1 terdapat
laporan atau hasil analisis data yang lengkap dalam ketidakselarasan bentuk dan makna yang
penelitian ini, metode dan teknik yang dipakai ditonjolkan oleh unsur leksikal, seperti kata
untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode rebonding dan menaiki sepeda.
formal dan informal dengan teknik penambahan, Secara sosial semestinya perempuan yang
substansi, dan parafrase (Sudaryanto 1993:36). hanya pergi dengan bersepeda hanya memikirkan
bagaimana dia bisa bertahan hidup. Mereka tidak
5. HASIL DAN PEMBAHASAN semestinya merebonding rambutnya karena
5.1. Bahasa Humor Monologis dianggap miskin. Sebagai bukti bahwa mereka
Konstruksi bahasa humor yang pertama digolongkan miskin adalah bahwa mereka selalu
disebut dengan bahasa humor monologis. bepergian hanya menggunakan sepeda gayung.
Dikatakan monologis karena hanya ada satu Secara psikologis, mereka yang melakukan
pelibat dalam teks, yaitu pembicara saja. Terdapat kebiasaan seperti yang digambarkan tersebut
berbagai variasi konstruksi bahasa humor yang adalah kaum perempuan, tetapi si pembicara
monologis, yaitu bebas tidak selaras dan bebas menyebutkannya dengan bencong.
berkonflik. Perhatikan contohnya: Dalam CB-M/2 pertentangan juga terjadi
antara keadaan fisik pengantin laki-laki dan
CB-M/1 Malen: perempuan. Perempuan yang diperumpamakan
…negakang sepeda, merebonding, jitne seperti Krisdayanti merupakan perempuan
nyurarit kedet padet, bahenol. Mara tolih pemalas, tidak mau bekerja untuk hidupnya, tetapi
muane, cara jelmane bencong didapatkan bahwa pekerjaannya hanya berhias
‘…bersepeda, rambutnya direbonding, setiap hari. Walaupun tidak begitu adanya, karena
pantatnya bahenol dan padat berisi. Baru bentuk perempuan itu jauh lebih baik dari aslinya.
dilihat mukanya, ternyata bencong.’ Dengan demikian, dari adanya perilaku seksis
seorang laki-laki terhadap perempuan, bahasa yang
CB-M/2 Merdah: digunakan untuk mencerminkan perilakunya yang
Ada anak nganten. Ane muani cara rejuna. seksis disebut dengan bahasa seksis. Dengan kata
Ane luh kulitne putih, pupurne ngempul, cara lain, bahasa seksis menunjukkan bahwa secara
krisdayanti. Makane anak luh ento lebih tersurat dan tersirat perempuan telah sangat
indah dari asline direndahkan dan disepelekan serta ditempatkan
‘Ada orang menikah. Yang laki seperti pada posisi yang sangat marginal. Lebih jauh lagi,
Arjuna. Yang perempuan kulitnya putih, perempuan selalu dijadikan bahan pembicaraan,
memakai bedak yang tebal, seperti objek sosial dan psikologis dan sejenisnya.
Krisdayanti. Maka dari itu, orang perempuan
itu lebih indah dari aslinya.’ CB-M/3 I Luh Koncreng:
Santukan tiang cewek orderan, kereng ajak
Data CB-M/1 dan CB-M/2 di atas beli Tomblos, sering di Semabaung pindah ke
menunjukan bahwa jenis atau bentuk bahasa yang Belanjong lan sane tiosan. Sekat ulung Bome
digunakan untuk membangun teks humor adalah di Kuta, siu limang atus kanggoang tiang.
bentuk bahasa yang monologis dengan tipe bebas ‘Karena saya cewek order, sering dengan kak
tidak selaras. Bebas tidak selaras maksudnya Tomblos, sering di Semawang terus pindah ke
adalah bahwa pada CB-M/1 digambarkan bahwa Belanjong, dan temapt lainnya. Semenjak
perempuan yang menaiki sepeda yang terkesan terjadi Bom di Kuta, seribu lima ratus saya
tidak kaya pergi merebonding rambutnya. mau.’
Kegiatan ini termasuk kegiatan yang memerlukan
biaya besar atau mahal; pada CB-M/2 terdapat CB-M/3 di atas menunjukkan bahwa
kesan yang tidak selaras antara pengantin laki-laki bahasa humor dibangun secara monologis dengan
dan perempuan. Pemakaian bentuk linguistik jenis bebas dan berkonflik. Artinya, I Luh
dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa Koncreng adalah perempuan yang secara bebas
laki-laki dalam cerita monologisnya memandang menyebutkan dan menjelaskan dirinya sebagai
perempuan itu sangat hina, tertekan, terpojok dan cewek order yang siap memuaskan para hidung
dipakai sebagai objek penderita dalam tuturannya. belang. Konflik yang dimaksud adalah ada
Laki-laki tersebut menunjukkan dan menonjolkan pertentangan antara hakikat kewanitaan yang
perilaku seksisnya melalui unsur-unsur linguistik hahiki, yakni sebagai wanita yang tidak hanya
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 6
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
sebagai pemuas suami, tetapi juga menjadi ibu sebagai objek pembicaraannya, memandang
rumah tangga. Akan tetapi, di sini I Luh Koncreng perempuan tersebut sangat hina, tertekan,
justru menyebut dirinya sendiri sebagai cewek terpojok, dan dipakai sebagai objek penderita
orderan. Pemakaian jenis bahasa seperti ini dalam tuturannya. Dengan demikian, mereka
dimaksudkan untuk merendahkan, melecehkan, (lelaki yang berbicara) menunjukkan suatu
dan mengabaikan perannya sendiri. Apalagi pada perilaku yang seksis.
saat dia sepi orderan dia mau menerima bayaran Perilaku seksis ini merupakan suatu
seribu lima ratus sekalipun. Secara pragmatis, paham atau sistem kepercayaan yang mempercayai
adanya fenomena yang masih menganggap jenis
ujaran ini menegaskan betapa harga diri
kelamin tertentu lebih unggul dari jenis kelamin
perempuan itu sangat hina, terpojok, terjepit, dan
lain. Dalam hal ini, laki-laki dianggap lebih
marjinal. Jadi, perilaku seksis seperti ini secara unggul dari perempuan. Hal semacam ini terlihat
sosial terbatas pada praktik-praktik yang dari ujaran si Malen yang mengabaikan,
meneguhkan dominasi dan diskriminasi kaum laki- melecehkan perempuan yang dijadikan pacarnya.
laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga Ujaran yang pragmatis yaitu magigi satu yang
kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri. melambangkan kekuatan seksnya walaupun sudah
Perilaku seksis juga memperlihatkan adanya berumur, dan ngelah pangkal pangijeng ‘punya
ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis gigi pangkal’ yang dimaksudkan bahwa dia masih
kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap kaum mempunyai kekuatan yang bisa diandalkan dan
perempuan, dan antar kaum perempuan itu sendiri memuaskan pacarnya secara biologis.
atau sesamanya. Secara konotasi hal ini dimaksudkan
dengan perempuan atau wanita itu dianggap hina
5.2. Bahasa Humor Dialogis seperti sepeda dan hanya dijadikan alat atau objek
Konstruksi bahasa humor yang kedua semata dan bisa ditiduri atau disetubuhi. Dengan
ialah bahasa humor dialogis. Dikatakan monologis kata lain, wanita itu dipakai sebagai alat untuk
karena hanya ada satu pelibat dalam teks di atas, memuaskan kebutuhan biologis lelaki. Dengan
yaitu pembicara saja. Terdapat berbagai variasi demikian, data di atas menunjukkan adanya
konstruksi bahasa humor yang monologis, yaitu perilaku seksi lelaki terhadap perempuan dimana
bebas takselaras dan bebas berkonflik. Perhatikan lelaki tersebut bermaksud mengabaikan perannya
yang asali, melecehkan dan menyepelekan
contohnya:
perempuan. Oleh karena itu, bahasa yang
digunakan oleh lelaki tersebut tergolong bahasa
CB-D/1 Malen: seksis. Kenyataannya bahwa laki-laki masih
Ngelah tunangan di suargan dominan sekali dalam kehidupannya sehingga
‘Punya kekasih di surga’ memandang perempuan sangat hina melalui
ungkapan yang dinyatakan dengan bahasa.
Merdah:
Awak tua adi ngitungan cewek/tunangan? CA-D/2 Punta:
Orang sudah tua, kok masih memikirkan cewek/ Apa hubungan kurenan cange ajak Batara?
kekasih?’ Apa hubungan antara istri saya dengan Tuhan?’
Malen: Wijil:
Walau nanang tua, nu megigi satu/kenyang/. Kurenan beline maturan state teken Ida Batara
Nanang nu ngelah pangal pangijeng. (dialog) Istrimu selalu berdoa dan menyembah Tuhan’
‘Walaupun ayah sudah tua, ayah masih punya gigi
1/kuat. Ayah masih punya gigi graham. Punta :
Ya sing maturan
Data CB-D/1 di atas menunjukan bahwa ‘Bagaiman kalau tidak saat sembahyang?’
jenis atau bentuk bahasa yang digunakan untuk
membangun teks humor berbentuk dialogis dengan Wijil: Adi sing
tipe bebas pragmatis dan penuh dengan metafora. ‘Kenapa tidak?’
Dikatakan dialogis karena ada dua pelibat dalam
teks di atas, yaitu pelibat satu yang memberikan
Punta:
stimulus atau pertanyaan dan pelibat dua yang
memberikan respon terhadap stimulus tersebut. pas sing dadi dugas ento
Pemakaian atau penggunaan bentuk linguistik Pas tidak boleh saat itu’
dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa
laki-laki, yang berbicara dengan laki-laki lain yang Wijil:
membicarakan atau menjadikan perempuan kan bisa buin tiban ngaturan bakti
‘Kan bisa satu tahun lagi melakukan sembahyang’
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 7
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 8
Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam
❏ I Made Netra
Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Suroso. 2004. “Jender dalam bahasa Pria dan
Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wanita”. Makalah yang Disajikan dalam
Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya:
Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tingkat Internasional, Diselenggarakan
oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Soedjatmiko, Wuri. 1992. “Aspek Linguistik dan Unika Atma Jaya.
Sosiokultural di dalam Humor”. Makalah
yang Disajikan dalam Pertemuan Linguistik Wilson, Christopher P. 1979. Jokes: Form,
Lembaga Bahasa Atma Jaya ke-5. Content, Use and Functions. New York:
Diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Academic Press.
Unika Atma Jaya.
Wolfram, Wolf. 1991. Dialects and American
English. The United States: University of
the District of Columbia and Center for
Applied Linguistics.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 9
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
Fajri Usman
Universitas Andalas
Abstract
”Tawa in Minangkabaunese traditional medicines is a cultural heritage. It is in the form of
free poems, rithmic prose, and potentially has tribal magic or pray which uses
Minangkabaunese language or the combination of Minangkabaunese language and Arabic
which is based on believe and mistical behavior. The analysis is focused on its lingual forms
in the semantic level. The spoken data are gathered by non-face to face interview and are
analysis by equal and distributional method. The results of the analysis show that the
lingual forms of Minangkabauneses “tawa” included semantic features, i.e. synonymy,
antonymy, homonymy, polysemy, and collocations.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 10
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 11
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 12
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
Kamis-Jumat, dan Sabtu. Berikut ini analisis Antonim dalam contoh di atas disebut
antonimi berjenjang yang terdapat pada TPTM. khas kerena antonim itu muncul secara morfologis
walaupun bentuk dasarnya sama. Kata menyewa
Data (29): Tawa Hantu Jaek berarti mendapat sewa, sedangkan menyewakan
(29—12) Sa banyak titiak, sa banyak barih nyo berarti memberi sewa. Dalam hal ini, kata
Pref banyak titik Pref banyak baris
mendapat dan memberi berantonim. Demikian
POSS3TG
‘Sebanyak titik sebanyak barisnya’ juga, kata menyusui, mewarisi berarti mendapat,
sedangkan bentuk menyusukan, mewariskan
(Data, 63): Tawa Penangkal Supaya Anak Tidak berarti memberi.
Terkejut Antonim bentuk menguliti, membului
Bismillahirrahmanirrohim muncul berdasarkan konteks dan kata yang
{18} ن
َ ﺟﻌُﻮ
ِ ﻻ َﻳ ْﺮ
َ ﻰ َﻓ ُﻬ ْﻢ
ُ ﻋ ْﻤ
ُ ﺻﻢﱡ ُﺑ ْﻜ ٌﻢ
ُ menjadi objeknya. Frasa menguliti kambing berarti
Shummum bukmum ‘umyumfahum membuang kulit kambing, sedangkan frasa
laayarji’uun menguliti buku berarti memberi kulit pada buku.
Frasa membului ayam, menyisikan ikan berarti
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka
membuang berantonim dengan frasa membului
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan
yang benar), (QS. 2:18) anak panah, menyisiki layang-layang dengan
makna memberi.
Antonimi berjenjang pada TPTM
berbentuk klimaks (urutan yang bawah ke yang Data (17): Tawa Monggiloke Lukah
(Menggilakan Lukah)
tinggi). Pada data (29) kata titak ‘titik’ dan barih
(17—32) Yo kok murah dipomurah
‘baris’ bertentangan secara berjenjang. ya KONJ mudah dipermudah
Pertentangan jenjang tersebut berhubungan dengan ‘Kalau bisa mudah dipermudah’
sistem penulisan/bacaan yang berlaku dalam
bahasa Arab (Al-qur’an). Dasar untuk membaca Kata murah ‘mudah’ pada data (17—32)
huruf atau menentukan huruf dalam bahasa Arab berarti mendapat kemudahan (tidak sulit),
ditentukan oleh titiknya, sedangkan untuk sedangkan kata dipomurah ‘dipermudah’ berarti
menentukan makna kosakatanya ditentukan oleh menjadikan mudah (memberikan kemudahan).
barisnya. Data (63), yakni kata tuli, bisu, dan buta Jadi, kata mendapat kemudahan berantonim
juga merupakan antonimi jenjangan yang terjadi dengan memberi kemudahan. Kata murah dalam
pada tingkatan penyakit yang diderita oleh bahasa Minangkabau diucapkan sama, ejaan sama
seseorang. Tuli merupakan penyakit yang diderita tetapi artinya berbeda, yakni bisa berarti harga dan
oleh seseorang karena rusak pendengarannya bisa berarti mudah. Sementara itu, tipe kalimat
(pekak). Bisu tidak dapat mendengar dan sekaligus pada data (17—32) merupakan kalimat imperatif
tidak dapat menghasilkan pembicaraan yang dapat dalam bentuk permintaan. Dalam konteks ini,
dimengerti; bisu tuli tidak mampu memahami permintaan tersebut dilakukan oleh seseorang
makna kata yang didengar. Orang yang tuli dari (dukun) pada makhluk gaib untuk memberikan
kecil akan berakibat bisu karena dia tidak pernah kemudahan terhadap pasien.
mendengar.
2.1.3. Hiponimi
2.1.2.5. Pertentangan khas Hiponimi adalah relasi makna yang
Antonimi khas adalah antonimi yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam
muncul secara morfologis dan mempunyai makna makna generik, seperti makna anggrek dalam
yang berbeda walaupun bentuk dasarnya sama. makna bunga (anggrek, melati, kamboja, dan
Dalam bahasa Indonesia beberapa kata yang mawar berhiponim dengan bunga), dan makna
bertentangan secara khas berada dalam satu kucing dalam makna binatang (kucing, anjing,
paradigma morfologis tertentu. Bandingkan kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang
pertentangan khas di bawah ini. (Darmo Kushartanti dkk 2005:118). Sementara itu,
• menyewa – menyewakan Saragih (2002:151) mengatakan bahwa hiponim
• meminjam – meminjamkan; menguliti kambing – menunjukkan hubungan anggota-kelompok. Dua
menguliti buku
kata atau lebih merupakan hiponim jika satu kata
• menyusu – menyusukan; membului ayam –
merupakan anggota dari kata yang menjadi grup
membului anak panah
• mewarisi – mewariskan; menyisiki ikan –
atau kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim
menyisiki layang-layang merupakan rincian atau anggota dari suatu
kelompok. Berikut analisisnya dalam TPTM.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 13
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) TPTM yang menunjukkan hubungan anggota
Bismillahirrahmanirrahim kelompok.
(1—1) Hai Si Rajo Jin Tungga
INTJ-ART Raja Jin Tunggal 2.1.4. Homonimi
‘Hai si Raja Jin Tunggal’ Homonimi ialah dua ujaran dalam bentuk
(1—4) Jin tungga Si Layak Angin
kata yang sama lafalnya dan atau sama
jin tunggal ART Layak Angin’
‘Jin tunggal Si Layak Angin’
ejaannya/tulisannya. Bentuk homonimi dapat
(1—5) Si Bujang Mambang Dubalang dibedakan berdasarkan lafal dan tulisannya. Dua
ART muda Mambang Hulubalang’ ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya,
‘Jin muda penjaga’ tetapi berlainan tulisannya disebut homofon.
Misalnya, bank dan bang, sanksi dan sangsi.
Data ( 2 ): Tawa Gangguan Makhluk Gaib Selain itu, dua ujaran dalam bentuk kata yang
Bismillahirrahmanirrahim sama ejaannya, tetapi berlainan lafalnya disebut
(2—1) Si Ugam namo bapak mu homograf. Misalnya, teras dan teras, bela dan bela
ART Ugam nama bapak POSS2TG dalam bahasa Indonesia (Parera 2002:81).
‘Si Ugam nama bapakmu’ Darmojuwono, sebagaimana dikutip
(2—2) Puti Nurgaini namo ibu mu Kushartanti,dkk (2005:116), mengatakan bahwa
Putri Nurgaini nama ibu POSS2TG homonimi adalah relasi makna antarkata yang
‘Putri Nurgaini nama ibumu’
ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya
Data (3): Tawa Tuju Ruyung berbeda. Kata-kata yang ditulis sama, tetapi
Bismillahirrahmanirrahim maknanya berbeda disebut homograf, misalnya
(3-1) Hong… Si Bobun Tungga tahu (makanan) dan tahu (paham), sedangkan yang
hong … ART Babun Tunggal dilafalkan sama tetapi berbeda maknanya disebut
‘Hong… Si Babun Tunggal’ homofon, misalnya masa (waktu) dan massa
(jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
Data (1:1, 4, 5), (2:1, 2), dan (3:1) Verhaar berpendapat bahwa analisis
merupakan hiponimi, relasi makna yang berkaitan homonimi adalah analisis linguistik sehingga
dengan peliputan makna spesifik dalam makna kriteria linguistik yang dipergunakan untuk
generik. Ketiga data di atas merupakan hiponimi menganalisis homonimi. Pertama, secara linguistis
yang menunjukkan hubungan anggota-kelompok. homonimi ialah ujaran, baik kata, frasa, klausa,
Dengan kata lain, hiponimi tersebut merupakan maupun kalimat yang sama bentuknya dengan
rincian atau anggota dari suatu kelompok. Jin ujaran yang lain, tetapi mempunyai perbedaan
Tungga, Layak Angin, Mambang Dubalang, makna. Kedua, ciri untuk menguji perbedaan
Ugam, Puti Nurgaini, dan Babun Tungga makna itu ialah ciri suprasegmental,
merupakan makna yang menunjukkan nama-nama morfofonemik, ciri unsur bawahan langsung, dan
makhluk gaib pada TPTM yang menunjukkan ciri hubungan struktur dalam dan struktur luar.
hubungan anggota kelompaok. Ketiga, homonimi ini dapat terjadi pada satuan
kata, frasa, klausa, dan kalimat. Berikut ini analisis
Data ( 5 ): Moambiak Insen (Mengambil Insan) homonimi dalam TPTM antara kata, antarfrasa.
Bismillahirrahmanirrohim
(5—1) Insan sa’ir 2.1.4.1. Homonimi antara kata
insan Sya’ir Homonimi dalam bahasa Indonesia
‘Insan Sya’ir’
(5—2) Insan takbir
memiliki dua bentuk, yakni homonimi antarkata
insan takbir bermorfem tunggal dan homonimi bermorfem
‘Insan takbir’ jamak. Misalnya, kata mengukur1 dan ‘mengukur2’.
(5—3) Insan alam sari’at Kata mengukur1 diturunkan dari bentuk dasar
Insan alam syari’at kukur dan mengukur2 diturunkan dari bentuk dasar
‘Insan alam syari’at’ ukur. Contoh lain kata mengurus (dari kurus) dan
mengurus (dari urus), kata mengurung (dari
Data (5:1—3) juga merupakan hiponimi kurung) dan mengurung (dari urung).
yang menunjukkan relasi makna yang berkaitan
dengan peliputan makna spesifik dalam makna Data (3): Tawa Tuju Ruyung
generik. Data (5:1—3) di atas merupakan Bismillahirrahmanirrahim
hiponimi yang menunjukkan hubungan anggota- (3—8) Engkau monangguang akibaik nyo
kelompok (insan). Dengan kata lain, hiponimi PRO2TG Pref tanggung akibat PRO3TG
‘Engkau menanggung bahayanya’
tersebut merupakan rincian atau anggota dari suatu
(3—9) So banyak buiah di laut en
kelompok. Sya’ir, takbir, dan syari’at merupakan Pref banyak buih Prep laut Suf
makna yang menunjukkan nama-nama insan pada ‘Sebanyak buih di lautan’
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 14
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
(3—10) So banyak kesiak di lauik atau malu makhluk gaib juga malu seseorang atau
Pref banyak pasir Prep laut malu dukun. Sementara itu, frasa Japuikan juo
‘Sebanyak pasir di laut’ malu aku dapat diparafrasekan menjadi: Japuikan
(3—11) So banyak bintang di langik
Perf banyak bintang Prep langit juo hai makhluk halus malu aku, dan japuikan
‘Sebanyak bintang di langit’ (kabulkan) juo hai dukun malu aku atau aku malu
(3—12) Kalau engkau sampai ke japuikan juo malu aku.
kalau PRO2TG sampai Suf
‘Jika engkau sampaikan’ Data (7): Potunduak (petunduk)
(3—13) Si anu monangguang akibaik bahayo nyo Bismillahirrahmanirrohim
orang itu Pref tanggung akibat bahaya (7—1) Hawa musti Hawa
PRO3TG hawa mesti hawa
‘Orang itu menanggung bahayanya’ ‘Hawa mesti Hawa’
(Data PSM) (7—2) Ujud mo ujuik
ujud Pref wujud
Kata monangguang ‘menanggung’ dalam ‘Ujud mewujud’
bahasa Minangkabau berasal dari bentuk dasar
tangguang ‘tanggung’ yang berarti ‘resiko sendiri’ Frasa hawa musti hawa dan frasa ujud mo
dan ‘serba tanggung’; ‘belum sempurna’; ‘belum ujuik pada data (7:1-2) dapat diprafrasekan
selesai’. Dalam pemakaian sehari-hari kata menjadi: Hawa tetap sebagai hawa, hawa
tanggung bahasa Minangkabau memiliki makna adalah hawa. Frasa ujud mowujud dapat
lebih dari satu. Pada data di atas kata tangguang diprafrasekan menjadi: Engkau ujud mewujud,
merupakan kata yang ditulis sama dan dilafalkan ujud mewujudlah engkau. Prafrase yang
sama, tetapi maknanya berbeda. Pada konteks tawa terjadi dalam TPTM seperti pada data (7: 2)
di atas kata monangguang berarti ‘resiko sendiri’ merupakan prafrase yang subjeknya
yang akan dialami oleh seseorang yang menjadi dielipsiskan. Apabila dicermati dari beberapa
sasaran. data TPTM, kebanyakan subjeknya
dielipsiskan.
2.1.4.2 Homonimi antarfrasa
Homonimi antarfrasa secara struktural Data (41): Tawa Perkasih menyatukan orang
dapat dijelaskan dengan teknik unsur bawahan Berpisah
langsung (surlang). Homonimi antarfrasa dalam Bismillahirrahmanirrohim
(41—1) Syahidan-syahidantun
bahasa Indonesia seperti frasa guru bahasa Inggris
(41—2) Kato tamaik ka duo tamaik
(diprafrasakan dengan guru mengenai atau tentang kata tamat Prep dua tamat
bahasa Inggris) dan guru bahasa Inggris ‘Kata tamat kedua tamat’
(diparafrasakan guru bahasa orang Inggris); (41—3) Ka tigo aku manamaik an ruh
lukisan Toni (diparafrasakan lukisan milik Toni; insan sianu
lukisan karya Toni; lukisan tentang/mengenai Pref tiga PRO1TG Pref tamat Suf roh
Toni; dan lukisan untuk Toni). Berikut contoh insan orang itu
analisis homonimi antarfrasa dalam TPTM. ‘Ketiga aku menamatkan jiwa orang itu’
(41—4) Cando ba satu nyo Adam jo
Data (1): Tawa Penurut (Sijundai) Hawa
Bismillahirrahmanirrahim seperti Pref satu POS3TG Adam KONJ
(1—11) Malu aku malu angkau Hawa
‘Malu PRO1TG malu PRO2TG ‘Seperti bersatunya Adam dan Hawa’
‘Malu aku malu engkau’
(1—12) Malu angkau malu aku Frasa kato tamaik kaduo tamaik dapat
‘Malu PRO2TG malu PRO1TG diprafrasekan menjadi kato pertamo tamaik, kato
‘Malu engkau malu aku’ kaduo tamaik, dan kato tamaik, kato kaduo juo
(1—13) Japuik an juo malu aku tamaik atau kato pertamo tamaik, kato kaduo juo
‘Jemput Suf juga malu PRO1TG tamaik. Adapun maksud kato pada teks tawa
‘Jemputkan juga malu aku’ tersebut merujuk pada seseorang yang menjadi
objek yang akan dipersatukan. Hal itu tergambar
Data (1:11—13) di atas merupakan pada data berikutnya, yakni frasa katigo aku
homonimi antarfrasa dalam TPTM. Frasa malu aku manamaikan ruh insan sianu, cando basatunyo
malu angkau atau sebaliknya’ dapat Adam jo Hawa. Frasa ini juga dapat diprafrasekan
diparafrasakan menjadi: malu seseorang yang menjadi Kato katigo aku manamaikan kedua
dihina juga malu yang ditanggung makhluk halus insan, atau kato katigo aku manamaikan antara
(setan/setan) yang menjadi pesuruh oleh seorang kedua insan orang itu. Sementara itu, frasa cando
dukun, dan malu dukun juga malu makhluk gaib,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 15
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
basatunyo adam jo Hawa dapat diprafrasekan tawar, dan dukun itu sendiri. Hal yang sama juga
menjadi Cando basatunyo insan Adam jo Hawa. terdapat pada data (21:6), yakni nama Siti Sidang
Berurai berpolisemi dengan asal usul bisa (racun),
2.1.5 Polisemi bisa itu sendiri, penyakit, dan virus (kuman).
Polisemi ialah gejala keanekaan makna
yang dimiliki oleh bentuk (istilah) yang 2.1.6 Kolokasi
disebabkan oleh pergeseran makna atau tafsiran Kolokasi merupakan hubungan
yang berbeda. Misalnya, kepala probabilitas dalam pemunculan antara dua kata
jawatan/orang/sarung/regu. Polisemi berkaitan atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam
dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa sinonimi, antonimi, hiponimi, dan meronimi,
makna yang berhubungan. Di dalam penyusunan kolokasi menunjukkan pemunculan satu kata
kamus, antara homonimi dan polisemi terdapat dengan kata lain. Dengan pengertian ini, jika satu
perbedaan. Kata-kata yang berhomonimi muncul kata muncul dalam satu klausa lain sangat besar
sebagai entri yang terpisah, sedangkan kata yang kemungkinannya untuk muncul pada klausa kedua
berpolisemi muncul sebagai satu entri namun atau berikutnya.
dengan beberapa penjelasan (Darmojuwono Kridalaksana, sebagaimana dikutip oleh
sebagaimana dikutip oleh Kushartanti dkk Kushartanti dkk (2005:141, mengatakan bahwa
(2005:117). Berikut ini analisis polisemi yang kolokasi adalah asosiasi dan pendampingan secara
terdapat dalam TPTM. tetap suatu leksem. Adakalanya kolokasi itu
dilanggar dengan sengaja untuk memberikan efek
Data (12): Tawa biso Binatang tertentu, misalnya dalam karya sastra atau humor.
Bismillahirrahmanirrahim Kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan
(12—3) Manggigik Si Buyuang Itam kolokasi baru, juga untuk memberi efek tertentu.
AKTgigit ART Buyung hitam Berikut contoh kolokasi dalam TPTM.
‘Menggigit hewan yang berbisa’
(12—4) Biso nyo alah den turun i
Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai)
Bisa POS3TG sudah PRO1TG turun Suf
Bismillahirrahmanirrahim
‘Racunnya sudah saya turunkan’
(1—6) Nan ba jalan sanjo rayo
KONJ Pref jalan senja raya’
Frasa buyuang itam pada data (12:3) ‘Yang berjalan menjelang malam’
merupakan kata yang berpolisemi dengan semua (1—7) Nan mar antak tangah malam
binatang yang berbisa, seperti tawon, lebah, ular, KONJ Pref hentak tengah malam’
kala jengking, kelabang, dan binatang berbisa lain. ‘Yang berjalan dengan hentakan kaki di
Frasa buyung itam dalam TPTM juga merupakan tengah malam’
pengganti nama binatang berbisa dalam proses (1—17) Turuik an jalan ka tapi an
pengobatan, namun pada konteks pengobatan ‘turut Suf jalan Prep tepi Suf
seorang dukun akan mengubah kata tersebut sesuai ‘Turutkan jalan ke tempat mandinya’
(1—18) Turuik an jalan ma runuik
dengan nama binatang yang menggigit pasien yang turut Suf jalan Pref runut
sedang diobati. Jadi, frasa buyung itam bisa berarti ‘Turutkan jalan yang ditelusuri’
tawon, lebah, ular, kala jengking, kelabang, dan (1—20) Turuikan jalan ka rumah nyo
binatang berbisa lainnya. turut Suf jalan Prep rumah Suf
‘Turutkan jalan ke rumahnya’
Data (21): Tawa Sakalian Biso (1—21) Tingkek molah janjang nyo
Bismillahirrahmanirrahim naik marilah jenjang Suf
(21—5) Malin Karimun nan punyo tawa (1—23) Mar antak ka ruang tangah
Malin Karimun KONJ punya tawar Pref hentak Prep ruang tengah
‘Malin Karimun yang punya tawar’ ‘Merentak ke ruang tengah’
(21—6) Siti Sidang Baurai nan punyo biso (1—24) Man daga ka biliak dalam
Siti Sidang Berurai KONJ punya bisa Pref dengar Prep bilik dalam’
‘Siti Sidang Berurai yang punya bisa’ ‘Berbunyi ke kamar dalam’
(21—7) Aku lah Malin Karimun
PRO1TG- PAR Malin Karimun Data (1:6, 7, 17, 18, 20, 21, 22)
‘Sayalah Malin Karimun’ merupakan bentuk kolokasi. Kata bajalan
(21—8) Hu… Allah. ‘berjalan’, marantak ‘merentak’, mandaga
‘Dia Allah’
‘mendegar’ merupakan asosiasi tetap antara kata
bajalan dan marantak dalam lingkungan yang
Malin Karimun pada (21:5 dan 7) secara
sama, yakni proses berjalan dengan kaki sehingga
historis dalam peristiwa bisa (racun) berpolisemi
bisa membentuk kata baru (idiom), yakni bajalan
dengan pemilik tawa, tawar, penangkal, asal usul
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 16
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 17
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
Djamaris, E. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Junus, U. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi.
Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta: Gramedia.
Indonesia.
Keraf, G. 1981. Tata Bahasa Indonesia. Ende:
Djajasudarma, T. F. 1993. Metode Linguistik: Nusa Indah.
Ancangan Metode dan Kajian. Bandung:
Erasco. Keesing, R.M. 1981. Theories of Culture. Dalam
Roland W. Casson (ed). Language, Culture,
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. and Cognition: Anthtropolical Perspective.
Cambridge: Cambridge University Press. New York. Macmilan.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 18
Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional
❏ Fajri Usman
Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)
Mbete, A.M, I. W. Pastika; I.K. Darma Laksana, Saputra, H.S. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta.
I.B. Putra Yadya. 2004. Bahasa dalam LKiS.
Perspektif Kebudayaan. Denpasar:
Universitas Udayana. Saussure, Ferdinand de. 1993. Pengantar
Linguistik Umum. Penerjemah Rahayu S.
Medan, T. 1988. .Antologi Kebahasaan. Padang: Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada
Angkasa Raya. University Press.
Pateda, M. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Usman, Fajri. 2001. “Ragam Bahasa Mantra
Rineka Cipta. Minangkabau”. Fakultas Sastra Universitas
Andalas.
Robot, M., S. Wona, J. Kosmas. 1997. Kajian Tola
Kaba: Sastra Lisan Manggarai. Jakarta: Usman, Fajri. 2005. “Metafora dalam Mantra
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Minangkabau: Kajian Semantik”.
Bahasa. Linguistika. Vol. II.
Romdon. 2002. Kitab Mujarobat: Dunia Magi Usman, Fajri. 2005. ”Metafora dalam Mantra
Orang Islam-Jawa. Yogyakarta: Lazuardi. Minangkabau”. (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Ruslaini. 2003. Tabir Mistik: Alam Gaib dan
Perdukunan dalam Terang Sains dan Wowor, D.J. 1997. “Pandangan Masyarakat Bantik
Agama. Yogyakarta: Tinta. tentang Kesehatan: Suatu Tinjauan
Etnolinguistik”. (tesis). Menado:
Samarin, W.J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Universitas Sam Ratulangi.
Yogyakarta: Kanisius
Zaid, A.M.N. 2002. Tekstualitas Al- Quran.
Samola, N.F.R. 1998. ”Peranan Bahasa dalam Yogyakarta: LkiS.
Sistem Pengobatan Tradisional (Suatu
Kajian Etnolinguistik)”. (tesis). Menado:
Universitas Sam Ratulangi.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 19
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
Rumnasari K. Siregar
Politeknik Negeri Medan
Abstract
This research applies Sistemic Functional Linguistics approach to analyze transitivity
system and social context in “Lau Kawar” and “Putri Tikus”. The two texts are choosed
because they have the same basic meaning, i.e. ‘swear’ although it is packaged by different
cultural background. The analysis results showed that transitivity system in “Lau Kawar”
are dominant in the material process, but “Putri Tikus” are dominant in the relational
process. The similarity of those two texts occur in particular-human participant and the
location sircumstans. In the context of situation, the two texts have the similar meaning,
except the participant features. In cultural context, the structure of two texts is different in
application of abstract and coda.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 20
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
sistem ketransitifan, proses material, mental, 2007:74). Makalah ini memuat pernyataan awal
relasional, verbal, wujud, dan tingkah laku teorinya yang disebut “Tata Bahasa Skala dan
dipetakan pada setiap klausa simpleks. Begitu pula Kategori”, dan “tata bahasa” ini selanjutnya
dengan tipe-tipe partisipan dan sirkumstan yang dikenal sebagai LFS. Dasar teori Halliday
terdapat pada proses tersebut. Dalam kajian ini bersumber dari karya Firth dan rekan-rekannya
klasifikasi proses dan partisipan yang pada Aliran Linguistik London. Halliday adalah
diperkenalkan oleh Halliday (1994) dan Eggins murid Firth, dan mengadopsi dan mengembangkan
(2004) digunakan sebagai kerangka analisis. Untuk karyanya.
analisis tipe partisipan diadopsi model Eggins, Ancangan Halliday pada bahasa bertolak
Wignell, dan Martin (1993), terdiri atas (1) dari pandangan bahwa hubungan antara pengataan
Manusia/khusus, (2) Manusia/umum, (3) Bukan yang digunakan orang-orang dan maknanya
manusia/tempat dan waktu, (4) Bukan bersifat tidak arbitrer (Gerot dan Wignel 1994:v-
manusia/metaforis, (5) Bukan manusia/konkret. vi). Penggunaan bahasa, meskipun unik, dapat
Prosedur selanjutnya ialah menghitung dieksplorasi, dan elemen bahasa dan peristiwa
kekerapan komponen ketransitifan pada setiap bahasa khusus secara sistematis dapat diuji dari
korpus untuk mengetahui dominasi elemen sudut pandang fungsional. Berangkat dari ide Firth
ketransitifan sebagai realisasi maknanya. Analisis tentang makna sebagai butir bahasa terpenting
statistik ini berguna dalam membandingkan dalam konteks sosial, Halliday mengembangkan
persentase komponen ketransitifan pada teks LK bahasa sebagai sistem pembentuk makna, dengan
dan PT. Konteks situasi dianalisis mengacu pada memberi tekanan pada ‘pilihan’. Artinya, penutur
komponen bidang, pelibat, dan sarana, sedangkan bahasa dapat membentuk makna melalui pilihan
konteks budaya didasarkan pada elemen abstrak, dan penggunaan kata-kata, dan telaah bahasa yang
oreientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan sistematis dalam penggunaan ialah bagaimana
koda. penutur memahami makna tersebut.
Konsep fungsional bersifat inheren dalam
3. TEORI LINGUISTIK LFS. Konsep ini mengandung tiga pengertian,
FUNGSIONAL SISTEMIK yaitu (1) bahasa terstruktur berdasarkan fungsi
Dalam LFS model analisis teks merupakan titik bahasa dalam kehidupan manusia; (2) fungsi
acuan atau kerangka teoretis yang berguna untuk bahasa dalam kehidupan manusia adalah untuk
analisis teks naratif. Teori LFS dipilih karena memaparkan atau menggambarkan, memper-
memuat pandangan yang holistik tentang bahasa, tukarkan, dan merangkai pengalaman manusia, dan
yakni bahasa sebagai sumber semiotik sosial yang (3) setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap
digunakan oleh orang-orang untuk menyelesaikan unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu
tujuannya dengan mengungkapkan makna dalam menjadi unsur (lihat Saragih 2005:3).
konteks (lihat Teich 1999:2; Eggins 2004:20—21). Lebih lanjut, istilah metafungsi diadopsi
Bertumpu pada dasar kontekstual ini, teori LFS untuk menunjukkan bahwa fungsi merupakan
mempertimbangkan bahasa sebagai suatu sumber sebuah komponen yang integral dalam LFS.
atau makna potensial yang tersedia bagi penutur Metafungsi adalah dimensi tambahan dalam
dalam memenuhi tujuan komunikasi. Alasan lain penataan bahasa, yang meliputi fungsi ideasional,
ialah bahwa teori LFS utamanya dibentuk untuk interpersonal dan tekstual (Cicekli dan Korkmaz
kajian teks, dengan berfokus pada realisasi makna 1998:173; Halliday 2002: 90-92; Saragih 2005:6;
teks. Teori LFS, dengan demikian, dapat dan Ming 2007:76). Fungsi ideasional, yang
digunakan untuk menyingkap makna teks naratif, tergolong subtipe eksperiensial dan logis,
seperti cerita rakyat, dan menghubungkannya mengungkapkan pengalaman; fungsi interpersonal
dengan konteks wacana, dan juga dengan latar membentuk dan mendukung interaksi orang-orang
belakang umum teks tersebut. yang berbahasa; dan fungsi tekstual menciptakan
Rancangan tata bahasa sistemik adalah wacana yang koheren. Sejalan dengan itu, bahasa
hasil usaha yang lama dalam menciptakan menyandang tiga makna, yakni makna pengalaman
kerangka gramatikal yang merefleksikan penataan (makna ideasional), makna pertukaran (makna
tata bahasa fungsional. Michael Halliday interpersonal), dan makna perangkaian atau
menggagas lahirnya teori LFS, dan para ahli lain— penataan (makna tekstual). Lebih khusus, “makna
seperti Teich (1999), Eggins (2004), Matthiessen pengalaman”, menurut Eggins (2004:206),
(2005)—meneruskan pengembangannya. Hal ini “diekspresikan melalui sistem ketransitifan atau
bisa ditelusuri dari makalah Halliday (1961), tipe proses, dengan pilihan proses yang
“Categories of the Theory of Grammar”, yang mensyaratkan peran dan konfigurasi partisipan”.
membahas deskripsi tata bahasa Cina (periksa
Neale 2002: 42; Matthiessen 2005; dan Ming
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 21
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
3.1 Sistem Ketransitifan pada batas antara proses material dan proses
Makna ketransitifan mengacu pada ciri mental. Partisipan pada proses tingkah laku ialah
klausa yang mengungkapkan pengalaman petingkah laku. Tabel 1 memperlihatkan
pembicara/ penulis tentang dunia. Istilah ini selaras konfigurasi kategori leksikogramatikal ini.
dengan “modus” dan “tema” yang mengungkapkan
fungsi tekstual dan interpersonal. Sistem Tabel 1. Tipe Proses dan Peran Partisipan
ketransitifan sebuah bahasa menggambarkan fakta dalam LFS
bahwa pengalaman ditafsirkan sebagai perangkat Tipe Proses Partisipan I Partisipan II
ranah terbatas tentang makna yang berbeda sesuai Material Aktor Gol
dengan tipe proses dan sifat partisipan yang Mental Pengindera Fenomenon
terlibat di dalamnya, serta dihubungkan dengan Relasional (1) Identifikasi: Nilai
tipe sirkumstan yang berbeda. Ketiga komponen Tanda
ketransitifan ini—proses, partisipan, dan (2) Atribut: Atribut
Penyandang
sirkumstan—pada klausa umumnya direalisasikan
(3) Kepemilikan: Milik
sebagai frase verba, frase nomina, dan frase Pemilik
adverbial atau frase preposisional, berturut-turut. Tingkah Laku Petingkah Laku -
Istilah proses yang dinyatakan melalui Verbal Pembicara Perkataan
bahasa merupakan hasil konsepsi manusia tentang Wujud Maujud -
dunia. Entitas yang terlibat dalam setiap proses
diacu sebagai partisipan. Tipe dan peran partisipan 3.2 Teks dan Konteks
ditentukan oleh tipe prosesnya. Komponen Teks, dalam model LFS, adalah unit
sirkumstan mengacu pada lingkungan, sifat, atau bahasa yang fungsional dalam konteks sosial
lokasi berlangsungnya proses. Sirkumstan yang (Halliday 2002:26; Ansary dan Babaii 2004).
berlaku untuk semua jenis proses terdiri atas Sebuah teks—yang dibentuk oleh sejumlah
sembilan kategori: rentang (waktu dan tempat), klausa—tergolong fungsional manakala teks itu
lokasi (waktu dan tempat), cara (kualitas, alat, dan memiliki kepaduan bentuk (kohesi) dan kepaduan
perbandingan), sebab (alasan, tujuan, keadaan, makna (koherensi). Dua jenis kepaduan ini dalam
konsesi, dan kepentingan), penyerta, masalah, teks tercapai apabila piranti leksikal dan piranti
lingkungan, sudut pandangan, dan peran. gramatikal yang digunakan berfungsi efektif.
Tipe proses terdiri atas (1) material, (2) Relasi teks dengan konteks sosial adalah relasi
mental, (3) relasional, (4) verbal, dan (5) wujud, konstrual; artinya konteks sosial menentukan teks
dan (6) tingkah laku. Proses material melibatkan dan teks juga menentukan konteks sosial (Saragih
tindakan fisik. Proses material memiliki aktor 2005:204—205).
(pelaku), gol (partisipan yang terpengaruh), Teks dapat direalisasikan oleh sejumlah
pembermanfaat (resipien dan klien), dan jangkauan klausa. Dalam teks, klausa merupakan unit
(lingkup atau perluasan proses). Proses mental pemrosesan utama pada struktur
mengungkapkan aktivitas perasaan, pikiran, dan leksikogramatikal. Fungsi klausa dianalisis
persepsi manusia. Proses ini melibatkan partisipan berdasarkan (a) subjek, predikator, komplemen,
yang disebut pengindera dan fenomenon. Proses dan keterangan (SPKK); (b) tema dan rema; (c)
relasional terkait dengan hubungan yang terbentuk lama dan baru; dan (d) proses, partisipan, dan
di antara dua hal atau konsep. Partisipan pada sirkumstan. SPKK mencakup tempat sintaktis
proses relasional meliputi penyandang dan atribut, dalam teks. Penanda tema-rema dan lama-baru
tanda dan nilai, serta pemilik dan milik. memperlakukan cara teks dikemas dan cara
Halliday dan Matthiessen (2004:171) informasi dalam sebuah teks dibangun pada sebuah
berpendapat bahwa proses material, mental, dan klausa. Analisis proses, partisipan, dan sirkumstan
relasional merupakan proses utama dalam sistem pada teks mengungkapkan cara pemakai bahasa
ketransitifan. Tipe-tipe proses yang lain terdapat di merekayasa bahasa dalam mengungkapkan
antara ketiga proses ini. Proses verbal, misalnya, persepsinya tentang realitas.
berada pada batas antara proses mental dan proses Sebagai bagian dari konteks bahasa,
relasional. Partisipan pada proses verbal disebut konteks sosial mengacu pada segala sesuatu di luar
pembicara, perkataan (sesuatu yang dikatakan), yang tertulis atau terucap, yang mendampingi
dan penerima (partisipan yang menerima pesan). bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian
Proses wujud terletak antara proses relasional dan bahasa atau interaksi sosial. Konteks sosial terbagi
proses material, dan proses ini hanya memiliki satu atas tiga kategori, yaitu konteks situasi, konteks
partisipan: maujud (benda yang hadir pada proses). budaya, dan konteks ideologi. Konteks situasi
Proses tingkah laku yang mengacu pada proses adalah konteks langsung penggunaan bahasa.
psikologis manusia atau perilaku psikologis berada
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 22
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
Konteks situasi dapat ditetapkan dengan tiga dengan tulus bersedia menerimanya sebagai
variabel utama yang mempengaruhi penggunaan tunangan.
bahasa, yaitu bidang, pelibat, dan sarana (Gerot Sistem ketransitifan dapat
dan Wignell 1994:11; Saragih 2005:5; Christie dan mengungkapkan ciri utama bahasa yang terdapat
Unsworth 2000:3). Bidang dihubungkan dengan pada LK dan PT. Sebagai suatu alat analitis, model
aktivitas sosial, isi atau topik; pelibat adalah sifat ketransitifan membentuk sudut pandang naratif
hubungan di antara orang-orang yang terlibat; dan yang eksplisit dan menunjukkan pilihan bahasa
sarana adalah medium dan peran bahasa dalam penulis pada sistem bahasa naratif. Sistem
situasi—lisan atau tulisan, disertai atau diikuti ketransitifan yang terdapat dalam kedua teks
aktivitas. Variabel situasional ini dikaitkan dengan tersebut dikemas oleh penulisnya dalam berbagai
tiga area makna yang sudah diacu sebagai tipe proses, partisipan, dan sirkumstan pada klausa.
ideasional, interpersonal, dan tekstual. Berikut diterangkan perbandingan sistem
ketransitifan pada LK dan PT.
Tabel 2. Relasi variabel kontekstual dengan
metafungsi 4.1.1 Tipe Proses
Variabel konteks Komponen sistem bahasa Kedua teks berbeda dalam merealisasikan
situasi (metafungsi) tipe proses pada klausa simpleks. Dalam LK,
Bidang: aktivitas Ideasional: mengungkapkan proses material lebih dominan daripada tipe proses
sosial, topik pengalaman lain, sementara dalam PT proses relasional justru
Pelibat: peran dan Interpersonal: membolehkan sangat dominan. Implikasi dari perbedaan pada
relasi sosial interaksi tipe proses ini ialah bahwa LK lebih menekankan
Sarana: medium dan Tekstual: mencapai koherensi
suatu peristiwa yang melibatkan tindakan pelaku
peran bahasa dan keterhubungan
daripada suatu keadaan. Hal ini tampak pada
penggunaan berbagai verba seperti memasak,
Konteks budaya ialah kegiatan sosial
menenggelamkan, mengenakan, dan meninggalkan
yang bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dalam
yang umumnya mendeskripsikan kegiatan fisik
pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal,
manusia sehari-hari. PT, sebaliknya,
yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur
mengutamakan deskripsi keadaan pelaku daripada
konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam
tindakan pelaku. Proses relasional pada PT
satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan
berfungsi untuk menghubungkan satu entitas
dicapai dalam interaksi sosial. Selanjutnya,
dengan maujud atau lingkungan yang umumnya
konteks idiologi mengacu pada konstruksi atau
disajikan secara atributif. Proses relasional ini
konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya
secara implisit menggambarkan keadaan tiga orang
dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam
pangeran yang diminta oleh raja untuk mencari
satu interaksi sosial. Ideologi merupakan konsep
seorang istri sebagai pendamping hidupnya selain
atau citra ideal yang diinginkan atau diidamkan
menggambarkan keadaan seekor tikus yang sedang
oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas.
mencari cinta sejati seorang pria agar dapat
mengubah dirinya menjadi manusia.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Contoh berikut, secara berurutan,
4.1. Sistem Ketransitifan pada Teks ”Lau menampilkan kategori semantis untuk proses
Kawar” dan “Putri Tikus” material pada LK dan proses relasional pada PT.
Teks “Lau Kawar” (LK) dan “Putri Tikus” (1)
(PT) pada hakikatnya mengandung isi cerita yang Sejak pagi anak dan sudah dia.
berbeda walaupun keduanya memuat makna menantu meninggalkan
serta
‘kutukan’. LK adalah sebuah legenda tentang cucunya
terbentuknya Danau Lau Kawar di Kabupaten Keterangan Subjek Predikator Komplemen
Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi penduduk Sirkumstan: Aktor Proses: material Gol
Tanah Karo, keberadaan danau ini dipahami bukan lokasi: waktu
sebagai hasil fenomena alam, tetapi sebagai hasil
(2)
kutukan seorang ibu kepada anaknya. Sementara Kini mereka (adalah) hidup (dengan) di istananya
itu, PT tergolong ke dalam fabel, yaitu hewan atau bahagia yang megah
Keterangan Subjek (Predi- Komple Keterang Keterangan
binatang yang dapat berbicara seperti manusia. kator) men an
Teks ini menceritakan kehidupan seorang putri Sirkumstan: Penyan (Proses: Atribut Sirkumst Sirkumstan:
yang dikutuk menjadi seekor tikus. Berbeda lokasi: dang relasio- an: lokasi:
waktu nal: sebab: tempat
dengan LK, dalam PT tidak dijelaskan siapa atribut) keadaan
pengutuk putri tersebut. Perubahan wujud tikus
menjadi manusia terjadi karena seorang pangeran
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 23
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
Kesamaan LK dan PT ialah bahwa proses Yang mengemuka pada kedua teks itu
tingkah laku tidak direalisasikan pada klausa adalah bahwa penggunaan partisipan manusia-
simpleks. Kendatipun proses tingkah laku penting khusus yang diungkapkan dalam bentuk
dari enam tipe proses Halliday (1994), batas pada pronomina dan realisasi partisipan yang berupa
proses ini sukar ditentukan. Petingkah laku bukan manusia-konkret relatif tinggi. Ini tidak
biasanya adalah orang yang sadar, tetapi prosesnya mengejutkan sebab cerita rakyat adalah bagian dari
menyerupai proses tindakan, seperti pada proses genre kesusastraan anak-anak dan penggunaan tipe
material. Itu sebabnya, Tench (2001:10), dalam partisipan itu dimaksudkan oleh penulis untuk
kajiannya, tidak menyajikan proses tingkah laku memudahkan anak-anak dalam memahami isi
sebagai kategori yang terpisah, tetapi ‘berintegrasi’ ceritanya. Dalam konteks demikian kedua teks
dengan proses material. Nisbah tipe proses pada naratif ini tentunya memenuhi sasaran.
LK dan PT diringkas pada Tabel 3. Selanjutnya, pada PT tingkat kekerapan
yang tinggi terdapat pada manusia-khusus
Tabel 3. Tipe Proses pada “Lau Kawar” dan (51,4%). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penulis
Putri Tikus” teks ingin mendeskripsikan peristiwa dengan
pelaku nyata, dan bukan secara idiomatis.
No. Tipe Proses “Lau Kawar” “Putri Tikus” Perbandingan di antara kedua teks tersebut tampak
1. Material 41% 29,2% pada tabel di bawah ini.
2. Mental 4,5% 20,8%
3. Relasional 27,3% 33,3%
4. Verbal 4,5% 12,5% Tabel 4. Tipe Partisipan pada Teks “Lau
5. Tingkah Laku - - Kawar” dan “Putri Tikus”
6. Wujud 22,7% 4,2% No. Tipe Subtipe “Lau “Putri
Jumlah 100% 100% Partisipan Partisipan Kawar” Tikus”
1. Manusia Umum 7,4% 5,40%
Khusus 33,3% 51,4%
4.1.2 Tipe Partisipan 2. Bukan Manusia Tempat 14,8% -
Teks LK dan PT memuat partisipan manusia dan Waktu 7,4% -
bukan manusia. Pada LK partisipan manusia Metaforis 14,8% 13,5%
dinyatakan oleh grup nominal, seperti orang- Konkret 22,3% 29,7%
orang, kaum ibu, dan perempuan tua itu, dan Jumlah 100% 100%
umumnya diwujudkan pada proses material dan
proses mental. Partisipan bukan manusia Dalam pada itu, terdapat persamaan peran
kebanyakan direalisasikan pada proses relasional partisipan pada kedua teks ini, khususnya pada
dan proses wujud, dan tipe entitas ini dapat berupa peran Penyandang dan Atribut. Penyandang dan
tempat (mis., danau, desa), waktu (mis., saat dan Atribut pada proses relasional lebih dominan
suasana), metaforis (mis., kisah dan kemakmuran), daripada peran Aktor dan Gol pada proses
dan benda konkret (mis., makanan, pakaian dan material. Ini berarti tindakan fisik yang dilakukan
perhiasan, dan padi). Ekspresi dari tipe partisipan aktor tidak selalu ditujukan kepada partisipan lain
manusia tampak pada kategori semantis berikut. (Gol). Begitu juga, tindakan mental tidak selalu
menghadirkan peran Fenomenon pada klausa
(3)
Kaum sibuk berbagai macam dalam upacara
mental. Namun, realisasi peran ini pada LK lebih
ibu memasak makanan tersebut. tinggi daripada pada PT. Kemudian, akibat tidak
Subjek Predikator Komplemen Keterangan terealisasinya proses tingkah laku pada klausa
Aktor Proses: Gol Sirkumstan: simpleks, peran partisipannya juga tidak
material lingkungan terealisasi. Nisbah di antara peran partisipan
tersebut disajikan pada tabel berikut.
Dalam pada itu, partisipan manusia pada
PT mengacu pada entitas pangeran dan raja,
Tabel 5. Peran Partisipan pada Teks “Lau
sedangkan partisipan bukan manusia mengacu
Kawar” dan “Putri Tikus”
pada entitas seperti tikus, cincin, roti, dan No. Peran Partisipan “Lau “Putri Tikus”
sebagainya. Salah satu contoh realisasi dari Kawar”
partisipan bukan manusia pada PT diilustrasikan 1. Aktor-Gol 20,8% 23,81%
pada contoh (4). 2. Pengindra-Fenomenon 4,2% 23,81%
3. Penyandang-Atribut 50% 38,1%
(4) 4. Pembicara-Perkataan 4,2% 9,52%
Cincin ia serahkan kepada si Tikus 5. Petingkah Laku - -
tunangan 6. Maujud 20,8% 4,76%
Subjek Komplemen Predikator Keterangan Jumlah 100% 100%
Gol Aktor Proses: Resipien
material
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 24
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 25
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 26
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 27
Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:
❏ Rumnasari K. Siregar
Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”
Saragih, A. 2005. Bahasa dalam Konteks sosial. Tench, P. 2001. “What We Actually Need
Medan: FBS Unimed. Grammar For: An Introduction to A
Functional Perspective on Grammar”.
Teich, E. 1999. Systemic Functional Grammar in [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari:
Natural Language Generation: Linguistic http://www.bzu.edu.pk/jrlanguages/vol-
Description and Computational 1%202001/Paul%20Tench-B-1.pdf.
Representation. London: Cassell.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 28
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
Ni Wayan Sartini
Universitas Airlangga
Abstract
One of the local genius in Indonesia is Javanese local genius like idiomatic expressions.
This expressions are fully loaded with cultural values. The cultural values influence
Javanese society too much. By using data from saloka, bebasan and paribasa, this research
attempt to investigate these cultural values as reflected in the linguistic expressions. There
are five idiomatic expressions in Javanese culture found from this research such as (1)
expressions which are describe bahave and ideology; (b) expressions which are related
with strong will; (3) expressions which are describe relationship human and God, (4)
relationship between humans, (5) expressions which reflect bad bahave.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 29
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
pada dasarnya juga akan diikuti oleh ketidaklangsungan merupakan cermin budaya
kemungkinan-kemungkinan pergeseran budaya Jawa yang sangat khas bagi masyarakat Jawa.
beserta nilai-nilai yang ada dalam bahasa daerah Sebaliknya, kebudayaan Jawa akan terus
tersebut. bersimbiosis mutualistis dengan bahasanya.
Melihat kenyataan dan kemungkinan di Budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal
atas, tentu harus ada kesadaran masyarakat sebagai budaya adiluhung yang menyimpan
pendukung sebuah bahasa untuk melestarikan banyak nilai yang sangat luhur mulai dari etika dan
bahasa dan budaya daerahnya agar generasi sopan santun di dalam rumah sampai sopan
selanjutnya bisa mewarisi bahasa dan budaya santun di ranah publik. Bagaimana mengeluarkan
daerah tersebut. Salah satu usaha yang mungkin pendapat, berbicara kepada orang tua, berpakaian,
bisa dilakukan adalah dengan memberikan dan makan, memperlakukan orang lain dan sebagainya
mengajarkan serta mendidik anak-anak dengan semuanya telah ada dalam budaya Jawa. Bahasa
beberapa petuah lewat ungkapan-ungkapan serta dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya,
menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam ungkapan, baik yang sekarang ada maupun yang telah
peribahasa yang ada dalam bahasa daerah tersebut. diawetkan dan yang akan datang (dengan cara
Masyarakat Jawa termasuk salah satu mewariskannya). Tanpa bahasa tidak akan ada
etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budaya. Setiap masyarakat budaya
budayanya meskipun kadang-kadang mereka mempertahankan konsepnya melalui nilai budaya
sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa dan sistem budaya dengan mempertahankan
Jawa secara aktif dengan undha-usuknya, serta fungsi, satuan, batas, bentuk, lingkungan,
tidak begitu paham dengan kebudayannya. Dalam hubungan, proses, masukan, keluaran, dan
pandangan beberapa orang, bahasa dan budaya pertukaran (Soeleman 1988). Oleh karena itu,
Jawa termasuk budaya kuna dan feodal yang tinggi rendahnya nilai budaya sangat bergantung
sudah tidak relevan dengan situasi masa kini. pada pertahanan masyarakatnya dalam
Padahal, dalam era sekarang ini dibutuhkan mengoperasionalkan sistem tersebut
pedoman dan nilai-nilai agar bangsa ini menjadi (Djajasudarma 2002).
bangsa yang arif dan bijaksana penuh kedamaian Salah satu unsur bahasa yang cenderung
dengan toleransi yang tinggi antara satu suku dan baku dan beku dari segi struktur maupun makna
suku lainnya. Untuk itu, perlu digali kearifan lokal adalah unsur yang disebut ungkapan dan
dalam bentuk apa pun yang mengandung nilai peribahasa (secara universal unsur ini dimiliki
budaya yang tinggi dan adiluhung. bahasa-bahasa yang ada di dunia). Unsur tersebut
Budaya Jawa penuh dengan simbol diwariskan turun- temurun sampai saat ini
sehingga dikatakan budaya Jawa adalah budaya meskipun dari segi budaya sudah berubah.
simbolis. Sebagai contoh adalah tradisi wiwahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk
Simbol-simbol wiwahan terdapat di dalam upacara memahami budaya memahami budaya etnis. Salah
perkawinan adat Jawa. Dalam pengertian ini satunya adalah mengkaji dan memahami
simbol-simbol wiwahan sangat berkaitan erat ungkapan seperti paribasa, bebasan, dan saloka
dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu yang terdapat dalam bahasa daerah dan budaya
kehidupan yang mengungkapkan perilaku dan tersebut seperti dalam bahasa dan budaya Jawa.
perasaan manusianya melalui berbagai upacara Dalam bentuk-bentuk kebahasaan tersebut
adat (Budianto 2002:86). Simbol-simbol yang terkandung nilai budaya yang tidak pernah disadari
digunakan sampai kini mengandung nilai-nilai oleh generasi masa kini bahkan dianggap sebagai
budaya, etika, moral sangat penting dijelaskan warisan budaya yang hanya perlu diketahui oleh
kepada generasi selanjutnya. Itu merupakan salah orang-orang tua. Dalam kondisi bangsa Indonesia
satu produk budaya yang merupakan kearifan lokal yang sangat terpuruk dalam etika dan sopan santun
yang perlu terus dipahami dan diresapi oleh seperti saat ini perlu disosialisasikan dan
masyarakatnya. ditanamkan nilai-nilai budaya lokal, baik lewat
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat jalur formal maupun nonformal. Sudah saatnya
Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan kembali ditanamkan pendidikan budi pekerti
perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat melalui dengan menggali aspek-aspek budaya setempat
bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu juga agar generasi selanjutnya tidak tercerabut akarnya
perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat karena lebih mengagungkan budaya lain
memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. khususnya budaya Barat.
Paribahasa, ungkapan, bebasan, dan saloka Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu
sebagai salah satu bentuk penggunaan bahasa diadakan penelitian dan inventarisasi ungkapan,
dapat mencerminkan sifat dan kepribadian paribasan, bebasan, serta saloka dalam bahasa
pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna Jawa. Penelitian ini penting karena nilai-nilai
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 30
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
budaya lokal atau kearifan lokal tersebut berperilaku dan juga menjadi patokan untuk
mengandung pedoman etika, pandangan hidup, menilai dan mencermati bagaimana individu dan
tradisi, falsafah, dan sebagainya yang bisa kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem
dijadikan sebagai salah satu keseimbangan hidup nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam
dalam negara yang heterogen ini. Di samping itu, kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma dkk.
butir-butir nilai yang terkandung dalam ungkapan- (1997:13) mengemukakan bahwa sistem nilai
ungkapan bahasa Jawa dapat dijadikan embrio begitu kuat meresap dan berakar di dalam jiwa
butir-butir nilai kebudayaan nasional bangsa kita. masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan dalam waktu singkat.
ini akan dikaji nilai-nilai yang terkandung dalam Dari kutipan di atas, bahasa merupakan
paribasa, bebasan, dan saloka sebagai salah satu medium untuk menampilkan makna budaya yang
kearifan lokal budaya Jawa. di dalamnya terkandung nilai. Secara definitif,
Theodore (1979:455) mengemukakan bahwa nilai
2. TINJAUAN PUSTAKA merupakan sesuatu yang abstrak, dijadikan
Di Amerika ilmu yang mengkaji masalah ini pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam
dinamakan antropologi linguistik dengan bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang
variannya linguistik antropologi dan dipelopori atau kelompok terhadap nilai menurut Theodore
oleh Franz Boas, sedangkan di Eropa dipakai relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional.
istilah etnolinguistik (Duranti 1997). Pada Oleh karena itu, nilai dapat dilihat sebagai
dasarnya, antropologi linguistik, linguistik pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan
kebudayaan, etnolinguistik secara umum memiliki kehidupan manusia itu sendiri.
kesamaan (Crystal 1992; Duranti 2001:1-2). Menurut Koentjaraningrat (1987:85), nilai
Malinowski (dalam Hymes 1964:4) budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dalam alam pikiran sebagian besar warga
dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap
linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
mental dan psikologis; apa hakikat bentuk dan masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam
makna serta bagaimana hubungan keduanya. bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi dimiliki seseorang memengaruhinya dalam
cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan
suatu tindakan untuk saling memengaruhi tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia (Kluckohn
partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes 1964:5). 1952:359). Lebih lanjut, Kluckkohn mengatakan
Franz Boas adalah salah seorang yang bahwa nilai budaya adalah konsepsi umum yang
berkontribusi dalam pengembangan antropologi terorganisasi, memengaruhi perilaku yang
linguistik. Gagasannya sangat berpengaruh berhubungan dengan alam, kedudukan manusia
terhadap Sapir dan Whorf sehingga melahirkan dalam alam, hubungan orang dengan orang dan
konsep relativitas bahasa. Menurut tokoh ini hal-hal yang diingini dan tak diingini yang
bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosial mungkin bertalian dengan hubungan antara orang
budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu dengan lingkungan dan sesama manusia. Ada lima
kontribusi Sapir (dalam Bonvillain 1997:49) yang masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap
sangat terkenal adalah gagasannya yang kebudayaan yang dapat ditemukan secara
menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata universal. Menurut Kluckohn (1961), kelima
suatu bahasa sangat penting untuk menguak masalah pokok tersebut alah (1) hakikat hidup, (2)
lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan
bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan manusia, (4) hakikat hubungan manusia dengan
nilai budaya bersifat multidireksional. alam sekitar dan (5) hakikat dari hubungan
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut manusia dengan manusia sesamanya.
baik dan buruk. Pepper (dalam Djajasudarma Konsep nilai di dalam ungkapan
1997:12) menyatakan bahwa batasan nilai berfungsi untuk menggambarkan budaya yang
mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, merekat masyarakatnya dalam kesatuan aktivitas
kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, yang berupa anjuran, larangan, pedoman untuk
keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi bertindak yang patut dipertahankan karena
seleksinya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang bermuatan positif dalam menentukan sikap hidup.
baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem Di samping itu, ada pula makna ungkapan yang
nilai termasuk nilai budaya dan merupakan memudar nilainya karena tidak baik dilakukan
pedoman yang dianut oleh setiap anggota pada situasi tertentu. Dalam ungkapan ada pula
masyarakat terutama dalam bersikap dan nilai yang bersifat generik, artinya berlaku umum
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 31
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
tidak menyangkut pedoman yang baik atau buruk, secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau
misalnya penggambaran orang yang selalu penyesuaian diri manusia yang beragam.
menurut kepada seseorang, digambarkan dalam Sehubungan dengan adanya ungkapan,
bahasa Indonesia ”Seperti kerbau dicucuk peribahasa, saloka dan slogan-slogan dalam
hidungnya.” budaya yang berbeda, Kramsch (2001:11, 77) juga
Ungkapan yang meliputi peribahasa, mengemukakan bahwa orang berbicara dengan
saloka, dan bebasan merupakan bagian dari cara yang berbeda karena berpikir dengan cara
komunikasi sistem budaya (Dundes dan Arewa yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang
1964). Ungkapan-ungkapan tersebut yang meliputi berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara
peribahasa dan sebagainya (bahasa) mengungkapkan makna dunia luar di sekitar
mengategorisasi realitas budaya (Duranti 1997:25; mereka dengan cara yang berbeda pula. Ini
Foley 1997:16) dan mengandung nilai-nilai budaya gagasan dasar teori relativitas linguistik yang
yang dalam masyarakat Jawa dijadikan pedoman dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam
serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian
bertingkah laku. Tentu saja ungkapan-ungkapan Amerika. Pandangan Whorf mengenai adanya
yang bernilai positif. Nilai-nilai yang terkandung saling ketergantungan antara bahasa dengan
dalam ungkapan-ungkapan tersebut terdiri atas pikiran dianalis dengan hipotesis Sapir-Whorf.
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran Hipotesis tersebut lebih tegas menyatakan bahwa
masyarakat dan dianggap amat mulia karena nilai- struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus
nilai itu juga dianggap dapat menjadi penuntun menerus memengaruhi cara seseorang berpikir dan
dalam bersikap, berkata, dan bertingkah laku. berperilaku. Bahasa dapat dikatakan sebagai
Bahasa menampakkan sistem klasifikasi bagian integral dari manusia, bahasa menyerap
yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik- setiap pikiran dan cara penuturnya memandang
praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model- dunianya.
model budaya yang dimaksudkan di sini mencakup Hubungan antara bahasa, budaya dan
mentalitas kerja, persepsi, sikap, perilaku, etika, pikiran, sejauh ini tercermin dalam teori
dan moral. Kebudayaan menentukan bahasa. Relativitas Linguistik dan Hipotesis Sapir-Whorf
Artinya, segala perilaku manusia dalam suatu dengan hipotesisnya yang menyatakan bahwa
masyarakat akan menentukan bahasa yang persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh
digunakan. Segala hasil cipta, rasa, karsa, dan bahasa pertama yang kita miliki. Berhubungan
karya masyarakat dapat menentukan bunyi, dengan nilai-nilai budaya, Hudson menyatakan
kosakata, struktur kalimat, retorika, atau ungkapan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan
dan peribasa. Selama ini ada pandangan bahwa tercermin dalam tingkah laku kebahasaan kita. Hal
masyarakat Jawa tidak suka menyakiti hati atau ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran
mempermalukan orang lain di hadapan orang Saussure tentang penanda dan petanda dengan
banyak, tidak suka menonjolkan diri, dan menambahkan konsep mutakhir berupa
sebagainya. Akibatnya, bahasa Jawa sangat kaya leksikalisasi, gramatikalisasi, dan verbalisasi.
dengan ungkapan-ungkapan dan peribahasa yang Menurut Wardhaugh (1988:212),
di dalamnya tersirat kritikan, larangan, nasihat, dan pendapat yang ada tentang keterhubungan antara
banyak tuturan yang berbentuk pasif. bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan
Bahasa dapat dikatakan sebagai adalah (i) struktur bahasa menentukan cara-cara
kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui penutur bahasa tersebut memandang dunianya, (ii)
penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang
dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut mereka pakai karena mereka memiliki segala
Foley (1997:27), bahasa adalah sistem tanda sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu
dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Prinsip- yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa
prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk yang mereka lakukan. Dalam pandangan ini,
membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa perangkat-perangkat budaya tidak menentukan
yang bersangkutan. Kramsch (2001:6) struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat
berpendapat bahwa bahasa adalah wahana tersebut jelas memengaruhi bagaimana bahasa
mendasar bagi manusia untuk melakukan digunakan dan mungkin menentukan mengapa
kehidupan sosial. Ketika digunakan untuk butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara
berkomunikasi, bahasa terikat dengan budaya berbahasa, (iii) ada sedikit atau tidak hubungan
secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan atau tidak sama sekali antara bahasa dan budaya.
kenyataan budaya, bahasa mewujudkan kenyataan Bahasa dan budaya saling menentukan
budaya, dan bahasa melambangkan kenyataan atau saling memengaruhi. Jika bahasa suatu bangsa
budaya. Kunci bahwa bahasa dan budaya terjadi berkembang, kebudayaan bangsa itu juga akan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 32
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
terus berkembang, atau sebaliknya. Perkembangan budaya dalam masyarakat. Model-model budaya
kebudayaan masyarakat Jawa akan semakin dapat dimunculkan secara eksplisit melalui
mengembangkan bahasa Jawa. Selama masyarakat ungkapan (Bonvillain 1997:48). Model-model
Jawa masih hidup dan tetap berbahasa Jawa, budaya yang dimaksudkan di sini mencakup
kebudayaan Jawa akan terus berkembang dan mentalitas, persepsi, sikap, perilaku, etika, dan
perkembangannya akan memengaruhi moral. Ungkapan sebagai salah satu bentuk budaya
perkembangan bahasa Jawa, atau sebaliknya. tentu mengandung hal-hal tersebut yang disebut
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat nilai budaya. Berikut ini dijelaskan nilai-nilai yang
Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa.
perilaku budaya masyarakat Jawa dapat dilihat
melalui bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu 3.1 Ungkapan yang Menggambarkan Sikap
juga, perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat dan Pandangan Hidup
memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. Sikap hidup adalah cara sesorang
Ungkapan sebagai salah satu bentuk penggunaan memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap
bahasa dapat mencerminkan sifat dan kepribadian hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau
pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi
ketidaklangsungan benar-benar dapat seperti pimpinan, atasan, atau orang tua (Pranowo
mencerminkan budaya Jawa yang sangat khas bagi 2003:280). Masyarakat Jawa sangat
masyarakat Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana,
akan terus bersimbiosis mutualis dengan penuh tanggung jawab, sangat menghargai
bahasanya (Pranowo 2003:274). perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta
Sehubungan dengan adanya hubungan selalu rendah hati. Sikap aja dumeh, aja adigang,
yang erat antara bahasa dan budaya, dalam bahasa aja adigung, aja adiguna, selalu ditekankan pada
Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, masyarakat Jawa agar selalu menjadi orang yang
bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung rendah hati, berbudi baik dan menghargai orang
nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang lain.
budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan 1. Giri lusi janna kena ingina ’tidak boleh
seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah menghina orang lain’
wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang 2. Alon-alon waton kelakon
terkandung di dalamnya mencerminkan budaya 3. Hamangku, hamengku, hamengkoni.
masyarakatnya. Biasanya berbagai maksud itu
4. Ing arsa sung tuladha, ing madya mangun
merupakan (1) gambaran akan adanya Tuhan, (2)
karsa, tut wuri handayani
gambaran mengenai sikap dan hidup, (3) cara
5. Melu handarbeni, melu hangrungkebi,
memberi nasihat, kritik, peringatan, (4) gambaran
mulat sarira hangrasa wan.
mengenai tekad yang kuat. Di samping itu, ada
6. Nglurug tanpa bala, menang tanpa
juga ungkapan yang mencerminkana sifat tidak
baik pada orang Jawa dan tidak perlu angsorake
dikembangkan oleh siapa pun. 7. Weweh tanpa kelangan
Ungkapan dalam bahasa Jawa bermacam- 8. Yitna yuwana, lena kena
macam jenisnya, antara lain bebasan, paribasan 9. Kencana wingka
dan saloka. Bebasan adalah ungkapan yang 10. Sepi ing pamrih rame ing gawe ’orang
memiliki makna kias dan mengandung yang bekerja sungguh-sungguh tanpa
perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, menginginkan imbalan’
misalnya nabok nyilih tangan. Paribasan adalah
ungkapan yang memiliki makna kias, namun tidak Lebih jauh, ungkapan-ungkapan tersebut
mengandung perumpamaan, misalnya dudu sana dapat dijabarkan bahwa masyarakat Jawa memiliki
dudu kadang, yen mati melu kelangan. Saloka pandangan luwih becik alon-alon waton kelakon,
adalah ungkapan yang memiliki makna kiasan dan tinimbang kebat kliwat mengandung nilai bahwa
mengandung perumpamaan pada subjek yang salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin
dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel. gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Kata
alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna
3. NILAI-NILAI YANG cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana
seseorang akan mencapai tujuan karena yang
TERKANDUNG DALAM
penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus
PARIBASAN, BEBASAN, DAN terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa
SALOKA tetapi gagal).
Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang Ketika menjadi pemimpin, orang Jawa
dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik memiliki beberapa semboyan dan pandangan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 33
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
hidup yang selalu harus dilaksanakan agar seorang pemimpin harus selalu bersikap dermawan
kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik kepada orang lain yang kekurangan. Seorang
karena diiringi dengan sikap-sikap yang arif dan pemimpin sejati memiliki sikap dan pandangan
bijaksana. Sikap dan pandangan itu antara lain weweh tanpa kelangan (memberi tanpa harus
ialah seorang pemimpin harus dapat hamangku, kehilangan sesuatu) karena seorang pemimpin
hamengku, hamengkoni. Hamangku diartikan sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta). Itulah
sebagai sikap dan pandangan yang harus berani beberapa ungkapan yang merupakan kearifan lokal
bertanggung jawab terhadap kewajibannya, dalam budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai
hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan luhur untuk seorang pemimpin. Sebaiknya
yang harus berani ngrengkuh (mengaku sebagai ungkapan-ungkapan seperti mulai diajarkan dan
kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu dikenalkan pada generasi muda saat ini agar ke
bersikap berani melindungi dalam segala situasi. depan ketika mereka memimpin memiliki dasar
Jadi, seorang pemimpin dalam pandangan nilai dan moral yang kuat. Untuk seorang
masyarakat Jawa itu harus selalu berani pemimpin kearifan-kearifan lokal dalam budaya
bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai tersebut patut diterapkan dan dihayati karena
bagian dari hidupnya dan setiap saat harus selalu mengandung nilai-nilai yang sangat luhur. Apabila
melindungi dalam segala kondisi dan situasi. semua pemimpin eling ’ingat’ semua pepatah,
Ungkapan yang paling populer dalam ungkapan dan nilai-nilai budaya niscaya selama
dunia pendidikan adalah ing arsa sung tuladha, memimpin akan selalu didukung oleh rakyatnya.
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di samping itu, seorang pemimpin atau siapa pun
Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan sebaiknya meresapi ungkapan sepi ing pamrih
rame ing gawe yang bermakna dalam melakukan
mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk
pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh-
panutan seorang pemimpin. Apabila seseorang
sungguh dan iklas tanpa memikirkan imbalanya.
benar-benar ingin disebut sebagai seorang
Bekerjalah jangan banyak menuntut imbalan.
pemimpin, dia harus selalu berada di depan untuk
memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap,
3.2. Ungkapan yang Mencerminkan Sikap Buruk
ucapan, dan tindakan yang selalu konsisten.
Sudah kita ketahui bahwa banyak sekali
Manakala seorang pemimpin berada di tengah-
ungkapan yang mengandung nilai-nilai yang
tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa sangat baik dan perlu selalu diresapi. Namun ada
(memberi semangat) agar rakyat tidak mudah juga ungkapan-ungkapan yang mencerminkan
putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. sikap buruk manusia yang tidak perlu
Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri dikembangkan. Ungkapan itu muncul sebagai
handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu perumpaan saja dan sebaiknya tidak dilakukan
maju. karena akan berakibat buruk bagi orang yang
Ketika seorang pemimpin memiliki sikap melakukannya. Ungkapan-ungkapan itu antara lain
dan pandangan hidup yang baik rakyat akan selalu sebagai berikut.
melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira 1. Adigang, adigung, adiguna
hangrasa wani dalam arti segala prestasi yang 2. Anggentong umos
dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu 3. Anggutuk lor kena kiduAsu arebut balung
dijaga oleh rakyatnya dengan baik karena rakyat 4. Arep jamure emoh matange.
merasa ikut memiliki melu handarbeni, dan jika 5. Mbuwang tilas
ada orang lain yang akan merusak tatanan yang 6. Cuplak andheng-andheng ora prenah
sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu panggonane
hangrungkebi. Namun, semua itu dilakukan 7. Cebol nggayuh lintang.
setelah mengetahui secara pasti duduk persoalan 8. Dhawen ati open.
mana yang benar dan mana yang salah dengan 9. Diwehi ati ngorogoh rempela
mulat sarira hangrasa wani (mawas diri). 10. Dhandang diuneki kuntul, kuntul diuneki
Berdasarkan pandangan di atas, seorang dhandang
pemimpin akan semakin berwibawa dan dapat 11. Entek golek kurang ngamek.
menyelesaikan segala persoalan tanpa 12. Esuk dele sore tempe
menimbulkan persoalan baru. Karena kewibaannya 13. Kemladeyan ngajak sempal
itulah seorang pemimpin memiliki kekuatan 14. Keplok ora tombok.
sehingga akan berani nglurug tanpa bala, menang 15. Kedudung walulang macan
tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat 16. Kelacak kepathak.
diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus 17. Legan golek momongan.
merendahkan martabat orang lain yang bermasalah 18. Lambe kari samerang.
dengan dirinya. Karena kewibaan itu pulalah 19. Nabok nyilih tangan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 34
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
Ungkapan di atas hanya sebagian dari dikalahkan oleh kebaikan. Ungkapan itu perlu
ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa yang diresapi dan diketahui oleh masyarakat untuk
menggambarkan sifat yang buruk. Sifat-sifat menegakkan keadilan agar masyarakat bisa
seperti itu sebaiknya dihindarkan. Ungkapan- mengatakan yang benar itu benar dan yang salah
ungkapan tersebut ada dalam budaya Jawa bukan harus mendapat sanksi dari perbuatannya.
untuk diikuti melainkan memberikan Sebuah ungkapan juga menggambarkan
perumpamaan-perumpamaan terhadap sikap, bagaimana masyarakat yang berusaha sendiri
perilaku seseorang yang kurang baik. Seperti sehingga sukses, yaitu opor bebek awake dhewek
ungkapan lambe satumang kari samerang ’anak artinya bahwa seseorang yang memetik kesuksesan
yang dituturi atau dinasihati oleh orang tuanya karena tekad yang kuat dalam dirinya sendiri
tetap saja tidak menurut. Ini adalah ungkapan yang untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu
menggambarkan sifat seorang anak yang bandel dengan sungguh-sungguh untuk sebuah
dan tidak menurut pada orang tua. Sebaiknya sifat kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah
seperti itu tidak diikuti oleh generasi muda. kearifan lokal yang perlu terus dihayati agar
Ungkapan Nabok nyilih tangan secara masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan
umum bermakna seseorang ingin memfitnah atau semangat dalam meraih cita-cita dalam hidup dan
menyakiti orang lain namun tidak berani secara kehidupan ini.
langsung melainkan lewat orang lain. Sikap-sikap
ini tentu saja tidak baik karena orang yang 3.4 Ungkapan yang Menggambarkan
diibaratkan seperti itu adalah orang yang tidak Hubungan Manusia dengan Tuhan
satria dan tidak bertanggung jawab. Tetapi apa pun Ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa
alasannya perbuatan yang diumpamakan seperti juga menggambarkan hubungan antara Tuhan
nabok nyilih tangan adalah perbuatan tidak baik. dengan manusia. Ungkapan adoh tanpa wangenan,
Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan lain yang cedhak dhatan senggolan artinya jika seseorang
mengandung perumpamaan yang mencerminkan tidak percaya akan adanya Tuhan, keberadan
sikap buruk dan tidak perlu dikembangkan dan Tuhan tidak dapat dibayangkan karena begitu
diterapkan. abstrak (adoh tanpa wangenan) . Sebaliknya, jika
seseorang percaya akan adanya Tuhan meskipun
3.3 Ungkapan–Ungkapan yang Berhubungan tidak dapat bersentuhan secara fisik tetapi dapat
dengan Tekad Kuat dirasakan keberadaannya setiap saat (cedak dhatan
Di mana-mana suku Jawa terkenal senggolan) . Perlokusi ungkapan itu adalah agar
sebagai suku yang sangat halus, lembut, rendah setiap orang mau berusaha mendekatkan diri
hati, tidak suka mencari masalah dan sebagainya. dengan Tuhan sampai mereka dapat merasakan
Namun, mereka memiliki semangat dan tekad kebesaran kekuasaannya (Pranowo 2003:276).
yang kuat dalam menyelesaikan masalah dan Berikut ini adalah ungkapan-ungkapan
meraih sesuatu. Sifat pantang menyerah adalah ciri yang menggambarkan hubungan antara manusia
etnis Jawa yang diaktualisasi lewat beberapa dengan Tuhan.
ungkapan berikut ini. (1) Golekana tapake kontul nglayang ’carilah
(1) Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas jejak kaki burung kontul’
’segala sesuatu yang menghalangi akan (2) Golekana galihing kangkung ’carilah terasnya
diberantas’ pohon kangkung’
(2) Sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, (3) Golekana susuhing angin ’carilah sarangnya
lebur dening pangastuti. angin’
(3) Opor bebek, mateng awake dhewek’ orang (4) Manunggaling kawula gusti ’bersatunya alam
yang sukses karena usaha sendiri’ kecil dan alam besar’
Hal penting yang dapat diresapi dari Keberadaan Tuhan harus dicari dengan
ungkapan (1) adalah bahwa orang Jawa yang penuh keimanan seperti terungkap dalam
memiliki tekad yang kuat itu bukan karena ungkapan golekana susuhung angin (carilah
keinginan yang membabi buta tanpa penalaran dan sarang angin), golekana tapake kontul nglayang
pertimbangan perasaan (Pranowo 2003:262) atau golekana galihing kangkung. Ketiga
melainkan sudah dipikirkan dan diperhitungkan ungkapan itu mengandung maksud yang sama.
akibat baik dan buruknya. Tekad kuat juga Namun, jika dimaknai secara harfiah semuanya
terungkap dalam ungkapan sura dira jayaning rat, merupakan sesuatu yang muskhil karena tidak
pangruwating diyu, lebur dening pangastuti, akan pernah bertemu keberadaan dari semua itu.
artinya siapa pun harus berani membasmi angkara Makna ketiga ungkapan tersebut adalah bila kita
murka untuk membela kebenaran karena adanya percaya akan Tuhan sesuatu yang tidak mungkin
keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat segalanya akan menjadi mungkin karena segala
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 35
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
sesuatu yang ada di dunia ini atas kehendak Tuhan. cukup mewakili gambaran manusia dengan
Spirit ungkapan tersebut adalah bahwa setiap sesamanya.
orang hendaknya selalu berusaha sekuat tenaga Tuturan verbal sebagai cermin dari
untuk tirakat mencari Tuhan karena hanya dengan keinginan agar memiliki sifat rendah hati adalah
terus mencari kehidupan manusia akan terus tidak ingin menyakiti hati orang lain dalam
berjalan. Semua itu didasari semangat ingin berbicara maupun bertindak. Agar setiap orang
mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan memiliki sifat rendah hati, orang tua harus selalu
sebagai cita-cita setiap orang Jawa yang mengingatkan kepada siapa pun entah dalam
diaktualisasi melalui ungkapan mangunggaling bentuk pemberian nasihat, peringatan, atu kritikan.
kawula gusti, yaitu bersatunya jagat cilik dengan Aja adigang, adigung, adiguna mengandung
jagat gede. nasihat yang berisi agar orang tidak sombong.
Beberapa konteks yang melatarbelakangi Diharapkan dengan ungkapan tersebut orang yang
munculnya ungkapan seperti itu antara lain (a) mendengarkan nasihat tersebut dapat tumbuh dan
ketidakmampuan manusia menerangkan seluruh berkembang sikap rendah hatinya terhadap orang
gejala alam yang dilihat dan dirasakannya, (b) lain.
keinginan manusia untuk mencari sandaran hidup Kesombongan seseorang diibaratkan
yang dapat menuntun karsa, cipta, dan karyanya, seperti sifat gajah yang mengandalkan
(c) adanya kedekatan hubungan antara orang Jawa kekuatannya (adigung), sifat ular yang
dengan Sang Maha Pencipta (Pranowo 2003:276). mengandalkan bisanya (adigang) dan sifat kijang
yang mengandalkan kemampuan melompatnya
3.5. Ungkapan yang Menggambarkan (adiguna). Ungkapan aja dumeh juga mengandung
Hubungan Manusia dengan Sesama nasihat agar orang tidak lupa diri ketika sedang
Agar hubungan antarsesama tetap dalam posisi beruntung. Begitu juga aja
harmonis diperlukan sikap dan toleransi yang kumingsun berisi nasihat agar orang tidak
tinggi dan sikap saling menghargai satu dan yang memamerkan kekuasaannya dengan cara
lainnya. Hubungan atau relasi sosial ini bersifat merendahkan orang lain.
kodrati. Oleh karena itu, relasi sosial harus dijaga Hampir sebagian orang percaya bahwa
agar selalu dapat terjalin harmonis karena manusia setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Orang
itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk menjaga agar Jawa juga selalu memberi peringatan kepada setiap
relasi sosial tetap terjalin dengan baik setiap orang orang agar tidak melakukan kesalahan karena
hendaknya memilki sifat halus dan rendah hati setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Hal ini
yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi verbal diaktualisasi dalam bentuk ungkapan sapa gawe
maupun nonverval. Hal ini dimaksudkan agar nganggo, sapa salah bakal saleh, sapa nandur
setiap tutur kata dan tindakannya dapat membuat ngundhuh, becik ketitik ala ketara (siapa yang
berkenan orang lain. Inilah hakikat relasi sosial. berbuat pasti akan menuai akibatnya, siapa yang
Dalam budaya Jawa ada ungkapan- salah pasti akan ketahuan salahnya, dan siapa yang
ungkapan yang menggambarkan hubungan antara menanam pasti akan memetik hasilnya, siapa pun
sesama seperti berikut ini. berbuat kebaikan pasti akan ketahuan, begitu juga
(1) Aja adigung, adigung, adiguna yang berbuat kesalahan). Ungkapan tersebut
(2) Aja kumingsun adalah sebagai peringatan yang perlu terus
(3) Ciri wanci, lelai ginawa mati menerus dihayati dan diajarkan kepada generasi
(4) Ngono ya ngono, ning aja ngono muda karena secara kodrati setiap manusia
(5) Tanggap ing sasmita, ngerti ing semu. memiliki kebiasaan salah yang sulit ditinggalkan.
(6) Dhupak demang, esem mantri, semu bupati Kebiasaan jelek yang sulit ditinggalkan itu dapat
(7) Aja dumeh dilihat melalui ungkapan ciri wanci, lelai ginawa
(8) Berbudi bawa leksana mati yang maknanya bahwa kebiasaan jelek sulit
(9) Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu dihilangkan sampai mati sekalipun. Dengan
kelangan demikian nilai yang perlu kita pahami dari
(10) Ngemut legining gula. ungkapan tersebut adalah agar setiap orang dapat
(11) Nguyahi segara. menghindari sifat jelek karena sifat itu sudah
(12) Nguthik-uthik macan dhedhe. terlanjur tumbuh dan berkembang sangat sulit
(13) Pandenan karo srengenge. dihilangkan.
(14) Tuna satak bati sanak Ungkapan ngono ya ngono , ning aja
Sebenarnya masih banyak lagi ungkapan- ngono ’berbuat kesalahn boleh tapi jangan
ungkapan yang menggambarkan hubungan kelewatan’. Nilai yang terkandung dalam
antarsesama. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut ungkapan tersebut adalah agar setiap orang yang
membuat kesalahan tidak boleh berkepanjangan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 36
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
dan kelewatan (keterlaluan). Segala sesuatu harus Mereka adalah lapisan masyarakat tertinggi yang
dipikirkan dengan baik akibatnya. Dengan sudah mengenyam pendidikan, filsafat, dan ilmu
kesadaran tersebut diharapkan orang akan selalu pujangga (susastra) (Pranowo 2003).
mawas diri dan introspeksi diri serta dapat
mengendalikan diri dengan baik. 4. SIMPULAN
Salah satu kebutuhan yang sangat Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa
manusiawi yang diinginkan oleh manusia adalah mengandung banyak nilai ajaran moral yang
ingin hidup rukun dengan sesama dan itu mungkin bisa diterima oleh etnis lain. Nilai-nilai
merupakan obsesi setiap orang. Obsesi itu itu antara lain (a) ungkapan yang menggambarkan
diwujudkan dengan berbagai cara misalnya dengan hubungan manusia dengan Tuhan, (b)ungkapan
menghindari konflik secara terbuka. Jika yang menggambarkan hubungan manusia dengan
menyampaikan kritik terhadap orang lain manusia, (c) ungkapan yang menggambarkan sikap
seseoranag menggunakan bentuk kritik tidak dan pandangan hidup, (d) ungkapan yang
langsung yang disebut teknik komunikasi menggambarkan tekad kuat. Di samping itu, ada
indirection berupa sasmita (isyarat), guyon ungkapan yang mencerminkan sikap yang buruk
parikena, dan sebagainya. Artinya, ketika dan tidak perlu dikembangkan dalam kehidupan
memberikan kritik, peringatan dan sejenisnya sehari-hari.
harus diberikan dalam batas-batas kewajaran agar Budaya dalam wujudnya dapat berupa
harga diri orang lain tidak merasa diinjak-injak. budaya materi dan nonmateri. Keduanya menjadi
Komunikasi seperti itu dapat efektif jika alat perekat masyarakat. Budaya dapat diamati
pendengar juga memiliki niat yang sama untuk melalui unsur bahasa, antara lain melalui kosakata
menghindari konflik. Oleh karena itu, etnis Jawa dan ungkapan-ungkapannya. Konsep nilai budaya
juga mengembangkan sifat tanggap ing sasmita materi dianggap bernilai tinggi bila dibandingkan
atau ngerti ing semu. Semua bentuk komunikasi dengan budaya nonmateri (cara berpikir, cara
tidak langsung, baik verbal maupun nonverbal, memandang sesuatu) pada zamannya.
yang diungkapkan oleh penutur bila tidak dapat Kecenderungan sekarang konsep nilai budaya
dipahami oleh pendengar juga akan sia-sia. Agar nonmateri semakin pudar karena pengaruh konsep
sifat tanggap ing sasmita, ngerti ing semu dapat kehidupan materi yang dianggap sebagai ciri
dimiliki oleh orang Jawa, sifat itu dijadikan salah kebudayaan modern.
satu kriteria kecerdasan seseorang. Orang yang
cerdas adalah orang yang selalu ngerti ing semu, DAFTAR PUSTAKA
dan tanggap ing sasmita.
Berdasarkan tingkat kecerdasan Abraham, R.D. 1972. ”Proverbs and Proverbial
intelektual dan kepekaan perasaannya, masyarakat Expressions”. Dalam R.M. Dorson (ed.).
Jawa digolongkan menjadi tiga lapisan yang Folklore dan Folklife: An Introduction.
diaktualisasi dengan ungkapan dhupak demang, Chicago: Chicago University Press.
esem mentri, semu bupati. Lapisan pertama,
kelompok masyarakat yang tergolong dhupak Austin, John L. 1962. How to do Things with
demang. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak Words. Oxfords : Clerendon Press.
berpendidikan dan tumpul perasaannya (cubluk
panemune, kethul rasa pangggrahitane) karena Bonvillian, Nancy. 1977. Language, Culture and
mereka tidak berkembang daya estetikanya, daya Communication: The Meaning of Message.
imajinasi, dan daya asosiasinya. Mereka hanya New Jersey: Prentice-Hall.
bisa diajak berkomunikasi menggunakan bahasa
wantah, yaitu bahasa sehari-hari yang bentuk dan Crystal, David. 1992. A Dictionary of Languistics
maknanya sama. Lapisan kedua, yaitu masyarakat and Phonetics. New York: Blackwell.
yang tergolong esem mentri, adalah lapisan
masyarakat menengah dan sudah berpendidikan. Dajasudarma, T. Fatimah, dkk. 1977. Nilai Budaya
Meskipun demikian, lapisan mereka masih terbatas dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda.
pada pemahaman bahasa secara verbal ditambah Jakarta: Pusat Pembinaan dan
bahasa nonverbal yang diungkapkan oleh mitra Pengembangan Bahasa.
bicara. Lapisan ketiga adalah masyarakat yang
telah dapat memahami semu bupati, artinya sedikit Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic
saja sasmita (isyarat) yang disampaikan mereka Antrophology. Cambridge: Cambridge
sudah dapat memahami seluruh maksud penutur. University Press.
Bahkan dapat dikategorikan ngerti sadurunge
winarah (dapat mengerti sebelum dikatakan).
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 37
Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
❏ Ni Wayan Sartini
Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)
Foley, William A. 1977. Antrophological Oktavianus. 2006. “Nilai Budaya dalam Ungkapan
Linguistics: An Introduction. New York: Minangkabau: Sebuah Kajian dari
Blackwell. Perspektif Antropologi Linguistik”.
Linguistik Indonesia, 1:115—129.
Geertz, Cliffort. 1964. The Religion of Java.
London: The Free Press of Glancoe. Pranowo. 2003. “Ungkapan Bahasa Jawa sebagai
Pendukung Pembentukan Kebudayaan
Mulder, Niels. 1983. Pribadi dan Masyarakat di Nasional.” Linguistik Indonesia, 2:269—
Jawa: Penjelajahan mengenai 286.
Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan.
Bratawijaya, Thomas W. 1997. Mengungkap dan
Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya
Paramita.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 38
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
Abstract
The result of the analysis showed that (1) a) such stages of language production as
conceptualization, formulation, articulation, and self-monitoring were differently used by
the patients. The emergency patient failed to use those stages of language production. The
semi-emergency patients were able to make use of those stages of language production
inconsistently. Meanwhile, the quite patient was able to use those stages of language
production relatively consistently; b) the schizophrenic language was comprehended
through phonetic and phonological, morphological, syntactic, and text units. The emergency
patient failed in using those units of language comprehension. Therefore, the utterances
produced were not properly structured and coherent. The semi-emergency patient used
those units of language comprehension inconsistently through out the whole conversation.
The quiet patient used those units of language comprehension relatively more consistently
(2) generally, schizophrenic behavior included association obstacles resulting in sudden
change and unclear concepts. Schizophrenic behavior was actually that of the self-
expression of which language was in a high linguistic level, semantics and pragmatics.
Schizophrenic behavior was unique, eccentric, full of metaphor, and neologism.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 39
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
dengan alat bantu berupa tulisan-tulisan atau teori- mengandung bunyi, akan tetapi bunyi-bunyi yang
teori yang relevan. Disamping itu metode lain dikeluarkan PS tersebut sebagian tidak bersistem.
yang juga akan diimplementasikan adalah metode Oleh karena itu, terjadi kekacauan dan kekaburan
agih yang alat bantunya justru bagian dari bahasa sistem bunyi dan bahasa, sehingga ujaran yang
yang dihasilkan oleh informan skizofrenia. Teknik dikeluarkan oleh PS pun tidak karuan. Hal ini
dasar yang dipakai dalam analisis data yaitu teknik ditunjukkan oleh data dimana ketika peneliti
pilah unsur-unsur penentu (Sudaryanto 1986). menanyakan asal PS, maka PS menjawabnya
dengan tangisan dan bahkan ngomong tidak
2.3. Metode dan Teknik Penyajian Hasil karuan. Kata yang diujarkan PS pun tidak karuan
Analisis data pada saat PS merespon pertanyaan peneliti pada
Untuk menyajikan hasil analisis data, bagian awal percakapan cenderung tidak
dipakai metode informal, yakni metode penyajian berstruktur. Pola kanoniknya cenderung diabaikan
hasil analisis data yang dilakukan dengan begitu saja. Namun setelah itu kata-kata yang
menggunakan kata-kata biasa yang rinci dan dijarkan PS sedikit demi sedikit sudah
terurai atau deskriptif. Metode ini dilakukan untuk menunjukkan wujud nyatanya. Pada saat PS
memperoleh laporan atau hasil analisis data yang menangis dan ngomong tidak karuan, ujaran PS
lengkap dalam penelitian ini. Adapun teknik yang menjadi tidak mencerminkan dan cenderung
akan diterapkan untuk membantu metode di atas mengabaikan aspek sintaksisnya. Artinya, telah
adalah teknik penambahan, substansi atau terjadi kekacauan struktur frase dan struktur
penggantian dan paraphrase (Sudaryanto 1993: kalimat dari ujaran yang diproduksi oleh PS.
36). Namun setelah beberapa saat berlalu, walaupun
sambil menangis, PS telah mampu membuat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN struktur sintaksis yang lebih bagus, seperti
3.1 Bahasa Skizofrenik Pasien Gundah Gelisah misalnya struktur kalimat pasif yang dimarkahi
Dari sudut pandang produksi bahasa, dengan kalina “ditinggal”. PS telah menunjukkan
sejalan dengan Chauchard (1983:80), pasien bahwa PS memakai bahasa dengan unsur-unsur
skizofrenik gundah gelisah ini tampak memroduksi linguistik tinggi, seperti pragmatik. Pragmatik di
bahasa secara bebas. Perhatikan contoh berikut: sini diartikan sebagai penggunaan bahasa yang
didasarkan pada konvensi budayanya. Misalnya,
1) P : Uli dija pak? PS mengungkapkan ngidih yeh dik “minta air
“Dari mana Pak?” sedikit”. Secara pragmatik dan konvensi budaya,
PS : (nangis tersedu-sedu sambil ngomong tidak ada orang normal sekalipun yang
tak karuan), tiang kalina ngalih gae, mengatakan ujaran minta air banyak, walaupun
bapak kalina ngalih gae, kaline ngalih kenyataannya orang tersebut minta air banyak
gae, ngidih yeh dik… yang digunakan untuk mencampur semen dan pasir
“Saya ditinggal bekerja, bapak ataupun menyiram tanaman yang luas. Akan
ditinggal kerja, ditinggal kerja. Minta tetapi dari sudut pandang teks, respon yang
air sedikit!...” diujarkan PS tidak pernah nyambung atau koheren.
P : nah, nah, ketengah malu, ketengah Dengan kata lain, ujaran yang diujarkan PS asal
malu, baange nyen yeh… keluar saja secara bertubi-tubi tanpa bisa direm
Ya, ya, masuk dulu, ke dalam dulu, dan tanpa makna sehingga tidak bisa dikatakan
saya beri air… bahwa ujaran tersebut merupakan jawaban atas
PS : nengil malu, ngidih yeh bedik. pertanyaan peneliti.
Diam dulu, minta air sedikit.
P : nah, nah, minum malu …(tanpa 3.2 Perilaku Skizofrenik Pasien Gundah
memberi air) Gelisah
Ya, ya, minum dulu…. Perilaku skizofrenik bisa dilihat berdasarkan
unsur-unsur bahasa yang digunakan oleh PS.
Data 1) di atas menunjukkan bahwa PS Percakapan pada data 1) di atas menunjukkan
tidak memperhatikan dan memakai tahapan- bahwa PS merespon pertanyaan peneliti dengan
tahapan produksi bahasa yang dipakai oleh tangisan. Ini berarti bahwa perilaku PS
manusia pada umumnya yang menyangkut menunjukkan perilaku skizofrenik karena
konseptualisasi, formulasi, artikulasi, dan menyangkut gangguan psikosa fungsional. Oleh
monitoring. Walaupun demikian ada beberapa hal karena itu, secara tekstual, telah terjadi disharmoni
yang bisa dipahami dari bahasa skizofrenik pasien dalam percakapan itu dimana bahasa atau ujaran
gundah gelisah, yaitu Secara fonetik ujaran PS, yang dikeluarkan PS tidak koheren atau
baik pada tataran kata, frase, maupun kalimat nyambung. Dengan demikian, perilaku skizofrenik
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 40
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
pasien gundah gelisah merupakan perilaku yang demikian, artikulasi yang berupa respon terhadap
menyangkut masalah yang berkaitan dengan pertanyaan peneliti dengan lugas dapat dilakukan,
gangguan hakekat simbolisnya, yaitu signifikasi dan bahkan konsep-konsep yang berupa jawaban
antara ujaran dan makna yang diacu sebagai akibat atas pertanyaan peneliti dapat dijawab dengan
penggunaan bahasa. PS yang bahasanya sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan
mengandung gangguan asosiasi yang PS yang tidak setuju atas pernyataan atau ujian
mengakibatkan ketidakjelasan konsep pikiran peneliti yang mengatakan bahwa Tegal Tugu itu
sehingga mengandung kegagalan dalam konsep. ada di daerah Gili Manuk. PS mengatakan dengan
tegas bahwa Tegal Tugu itu ada di daerah Gianyar,
3.3 Bahasa Skizofrenik Pasien Semi Tenang dan bahkan dengan lugas PS dapat menunjukkan
Pemroduksian bahasa pada pasien semi arah Tegal Tugu tersebut dengan maksud
tenang sudah sedikit mengarah pada pemakaian meyakinkan Peneliti bahwa pendapatnya tentang
tahapan-tahapan pemroduksian bahasa, seperti keberadaan Tegal Tugu adalah benar.
yang diungkapkan oleh Scovel (2002), tahapan- Pada tahapan Monitor, PS dapat
tahapan konseptualisasi, formulasi dan artikulasi, memakainya dengan baik. Artinya, PS selalu
dan monitor. Akan tetapi, Pemakaian tahapan- melakukan evaluasi terhadap artikulasi atau
tahapan pemroduksian bahasa ini cenderung belum ujarannya. PS bahkan telah mampu mengontrol
sempurna. Terkadang masih sama seperti pasien pikirannya. Hal ini ditunjukkan pada saat PS
gundah gelisah yang terutama terjadi di tengah- menjawab pertanyaan dengan kalimat retorika,
tengah percakapan. Pada awal percakapan dengan yaitu Sabtu mangkin tan? “Sabtu sekarang,
si pasien semi tenang ini, PS kategori ini bukan?” yang berarti bahwa PS merasa yakin
menggunakan tahapan-tahapan tersebut dengan kalau hari ini adalah hari Sabtu.
sempurna. Berikut adalah contoh pemakaian Selain dari pada itu, PS semi tenang ini
tahapan-tahapan pemroduksian bahasa oleh PS terkadang tidak mampu memakai tahapan-tahapan
dengan sempurna yang terjadi di bagian awal pemroduksian bahasa dengan baik. Dengan kata
percakapan: lain, PS gagal menerapkan tahapan-tahapan yang
dimaksud, seperti terlihat dalam contoh berikut.
2) P : Nyen adane?
“Siapa namanya?” 3) P : Ba ngaben?
PS : Jaya nika, Pageh Jaya “Sudah diaben”
“Jaya, Pageh Jaya” PS : Tan uning tiang (Tiba-tiba dananya
P : Inget jani, hari apa jani? ketus sekali), ampun ja asane.
“Ingat ngak sekarang hari apa?” (DIAM) keto kejadiane, tiang nak tan
PS : Sabtu mangkin tan? marasa gen gelema, karena tiang ane
“Sabtu sekarang, bukan?” malunan nika di bilang sakit, turus
P : Yen sabtu jumah ngenken biasane? muspa lantas
“Kalau Sabtu dirumah mengerjakan apa “Tidak tahu saya (tiba-tiba nadanya
biasanya?” ketus sekali). Sudah kayaknya. (DIAM)
PS : Tiang nak megae tiang begitulah kejadiannya, saya merasa
“Saya kerja pak” tidak sakit sebenarnya, karena yang
dulu saya dikatakan sakit, terus saya
Data 2) di atas merupakan penggalan sembahyang
pada bagian awal dari percakapan panjang antara
peneliti dengan pasien skizofrenik dengan kategori Data 3) di atas merupakan penggalan di
semi tenang. Data di atas menunjukkan bahwa PS tengah-tengah percakapan. Data 3) di atas
semi tenang dengan sempurna mengunakan menunjukkan bahwa kegagalan PS memakai
tahapan-tahapan pemroduksian bahasa, yakni tahapan konseptualisasi, formulasi, dan monitor
tahapan konseptualisasi, formulasi, artikulasi, dan artikulasinya. PS gagal menempatkan gerakan-
monitor. Pada tahapan konseptualisasi, PS semi gerakan imagistik atau motoriknya ke dalam
tenang ini mampu menyandingkan atau konsep berpikirnya, sehingga PS gagal menjawab
menggabungkan proses berpikir yang sintaksis pertanyaan peneliti apakah orang tuanya sudah
dengan imagistik, yang berupa gerakan tubuh. PS diaben atau belum. Untuk menjawab pertanyaan
mampu menempatkan gerakan tubuh dan ini PS mengatakan tidak tahu, tetapi disusul
sejenisnya dalam satu konsep yang baik. dengan mungkin sudah. Di sini juga terjadi
Setelah dikonseptualisasi, konsep-konsep kegagalan PS dalam memformulasi konsep-
PS itu mampu diformulasikan dan konsepnya sehingga PS cenderung asal jawab dan
diartikulasikannya dengan baik sehingga dengan ujarannya asal keluar saja dari bibirnya, tanpa ada
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 41
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
koherensi yang baik. PS juga gagal melakukan semi tenang mengalami banyak fenomena
evaluasi atau monitor terhadap artikulasinya kebahasaan yang tidak teratur secara keseluruhan,
sendiri. Terutama ketika dihubungkan penggalan semakin lama semakin kacau. Secara fonetik,
percakapan di atas dengan penggalan percakapan ujaran PS dapat dipahami bahwa bahasa
berikutnya atau bagian akhir percakapannya, skizofrenik bukanlah pada pengucapan fonem-
seperti ditunjukkan oleh contoh berikut: fonem. Sama halnya dengan pemahaman bahasa
4) P : Be makelo dadi polisi nyamanne secara fonologis, PS semi tenang awalnya data 2)
“Sudah lama saudaranya jadi Polisi?” dan 3) menunjukkan bahwa dia mampu
PS : (DIAM LAMA SEKALI) ….tenang mengucapkan ujaran yang mengikuti kaedah
tiang bin besik nak keto ane gelem- sistem bunyi. Bagaimanapun, hal semacam ini
geleman kan nak keto bingung. Tiang tidak tampak lagi pada bagian pertengahan dan
nak tenang. Kenten tiang maan akhir percakapan, seperti ditunjukkan dalam data
metaken kan polih tiang anugrah 4). Data 4) menunjukkan bahwa secara fonologi
sareng kak angku pesengane dangin PS tiba-tiba saja berbicara dengan memakai nada
umah tiange “kak angku-kak angku, yang sangat keras dan cenderung meninggi. Oleh
napi jek nguda kene setiap hari peneliti hal ini sangat bermakna lain, apalagi
alangan tiang ngah. Tiap tiang tidur kejadiannya sangat tiba-tiba. Hal ini menunjukkan
jek wenten sinar” bah ada godaan bahwa PS gagal mempertahankan sistem bunyi
berarti ketanga tiang. yang dikuasainya.
“(DIAM LAMA SEKALI)… saya
tenang, satu hal lagi memang begitu 2. Pemahaman aspek morfologi
yang sakit-sakitan kan memang begitu Sama halnya dengan aspek fonetik dan
bingung. Saya anak tenang. Begitu fonologi, aspek morfologi bahasa skizofrenik
saya pernah menanyakan. Saya kan pasien semi tenang digunakan secara tidak
dapat anugerah dari Pekak Mangku konsisten dari awal, pertengahan, sampai akhir
namanya di sebelah timur rumah saya. percakapan. Pada awal percakapan yang
Saya bilang, “Pekak mangku-pekak ditunjukkan dalam data 3), kata atau pembentukan
mangku, kenapa begini, kenapa setiap kata yang dilakukan oleh PS ini cenderung sangat
hari saya mendapatkan musibah?, tepat dan memerhatikan kaidah-kaidah yang
setiap saya tidur, ada sinar”. Pekak berlaku. Hal ini tidak terlihat pada pertengahan dan
Mangku bilang, “wah itu berarti ada akhir percakapan yang ditunjukkan pada data 4).
godaan”. Pada data 4) PS gagal mempertahankan unsur-
unsur morfologi yang dikuasainya sehingga
Data 4) di atas menunjukkan bahwa PS susunan kata yang semestinya mampu membentuk
telah gagal memformulasikan konsep berpikirnya frase tidak terjadi dan bahkan kurang
ke dalam alam bawa sadarnya, sehingga PS pun memperhatikan kaidah yang berlaku
tidak mampu memonitor atau mengontrol
ujarannya. Pada satu penggalan percakapan 3. Pemahaman aspek sintaksis pasien semi tenang
sebelumnya, PS mengatakan bahwa semua Sama halnya dengan aspek fonetik,
keluarganya sudah meninggal, PS anak tunggal fonologi, dan morfologi, aspek sintaksis bahasa
atau sendirian, di sisi lain pada data 5) skizofrenik pasien semi tenang digunakan secara
ditunjukkan bahwa PS mengatakan bahwa dia tidak konsisten dari awal, pertengahan, sampai
punya saudara yang bekerja sebagai polisi. akhir percakapan. Pada awal percakapan yang
Dari sudut pandang pemahaman bahasa, ditunjukkan dalam data 4), kalimat yang diujarkan
bahasa PS dianalisis berdasarkan bunyi, bentuk, oleh PS sangat berstruktur dan bersistem. Struktur
dan teks itu tersendiri disamping dari kontek batin kalimatnya terlihat dengan jelas
penggunaannya dengan menghubungkan bahasa direpresentasikan oleh struktur lahirnya. Akan
dengan unsur luar bahasa seperti pikiran, budaya tetapi, hal ini tidak terlihat pada pertengahan dan
dan situasi pemakain bahasa itu. Pemahaman akhir percakapan yang ditunjukkan pada data 4)
bahasa skizofrenik semi tenang dapat dijelaskan dan 5). Pada data 4) dan 5), PS gagal
sebagai berikut: mempertahankan struktur kalimat akibat struktur
frase yang kacau sehingga struktur kalimat
1. Pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi menjadi sedikit kurang berstruktur.
Bahasa skizofrenik pasien semi tenang
dapat dipahami dari unsur fonetik, yaitu bunyi 4. Pemahaman aspek semantik dan pragmatik
bahasa dan unsur fonologi, yaitu sistem bunyi Pada awal percakapan pada data 3), PS
bahasanya. Mengacu pada kategori pasien, PS dengan lugas mampu bercakap-cakap dengan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 42
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
baik,karena respon yang diujarkannya sangat formulasi dan artikulasi, dan monitor. Lagi pula
bermakna dan mampu menjawab setiap pertanyaan penggunaan tahapan-tahapan tersebut relatif lebih
peneliti. Dalam fase ini tidak tampak adanya konsisten dari pada yang dilakukan oleh pasien
gangguan asosiasi atau psikosa fungsional pada gundah gelisah dan semi tenang. Pemakaian
PS. Bahasanya lugas dan dapat dimengerti karena tahapan-tahapan pemroduksian bahasa ini hampir
unsur-unsur fonetik, fonologi dan sintaksis dipakai sempurna. Perhatikan contoh berikut:
dengan baik. Akan tetapi, memasuki fase
pertengahan dan terakhir, seperti data 4) dan 5) 7) P : Uba nganten
pemaknaan ujaran tidak mampu dipertahankan. “Sudah menikah?”
Banyak terjadi distorsi atau kekurangnyambungan PS : ampun
atau keretakan informasi yang ditunjukkan oleh “Sudah”
ujaran PS sehingga ada beberapa pertanyaan yang P : ampun meduwe oka?
gagal dijawabnya. “Sudah punya anak?”
PS : durung. Ampun cerai tiang. Karena
3.4 Perilaku Skizofrenik Pasien Semi tenang tiang abana mriki pang pitu. Ya melaib
Pada saat berkomunikasi cenderung ke karangasem
berdiam diri atau blocking berkali-kali. Hal ini “Belum. Saya sudah cerai. Karena saya
menandakan tidak terjadinya suatu konsep dan dibawa ke sini sudah 7 kali. Dia pergi
formulasi yang baik, apalagi monitor atau ke Karangasem”
mengontrol konsep dalam ujarannya, seperti
contoh berikut: Data 7) di atas menunjukkan bahwa
tahapan-tahapan pemeroduksian bahasa, seperti
5) P : nguda ngae kamar suci? konseptualisasi, formulasi, artikulasi dan monitor
“Mengapa membuat kamar suci?” diri dengan sempurna bisa digunakan. Pada
PS : maksud tiange kenten, yen ten tiang tahapan konseptualisasi PS mampu
ngelah kamar suci, yen terus tiang menggabungkan dan mengolaborasikan gerak
kesangah mabakti biin trisandia terus tubuhnya atau proses berpikir imagistik dengan
biin mabakti kadene buduh tiang proses berpikir sintaksis. Selanjutnya, PS mampu
dadine? Pada hal tiang anak tan memformulasikan konse-konsep pikirannya dalam
buduh. Kala terus raga muspa jani, bin bentuk susunan kata-kata, frase, dan kalimat
kembali biin ke sanggah mabakti, kan dengan sistem bunyi yang dapat dimengerti
ping tiga kali nika, buduh tiang kadene, dengan baik. PS sangat responsif dalam menjawab
bah ngudiang niki pes mabkati gen setiap pertanyaan peneliti dengan gerakan tubuh
terus. (DIAM SEJENAK, MATA yang tepat dan memadai dan sangat mendukung
MEMANDANG KOSONG) … bahasa yang diujarkan. Artikulasi PS juga
menunjukkan suatu yang tidak cacat. PS mampu
Ujaran PS mengandung informasi tentang juga mengontrol percakapan. Jadi, produksi
terputusnya alur pikirnya PS sehingga percakapan bahasa skizofrenik bukan terletak pada masalah
yang terjadi tidak nyambung atau koheren, seperti fonem, melainkan pada masalah koherensi teks
contoh berikut: ujaran yang diproduksi sehingga ujarannya
menjadi bermakna dan percakapannya pun
6) P : sing nyeh atine? berjalan lancar. Dengan demikian, produksi PS
“Apakah tidak merasa takut?” tenang boleh dikatakan hampir konsisten dan tidak
PS : tan nyeh nyeh tiang. Tiang, cacat.
ngih…(DIAM LAMA) Walaupun produksi bahasa pasien tenang
Tidak pernah merasa takut saya. hampir sempurna dan tidak ada cacatnya, bukan
Ya…(DIAM LAMA) berarti unsur-unsur fonetik dan fonologi,
morfologi, sintaksis, dan teks digunakan dengan
3.5 Bahasa Skizofrenik Pasien Tenang baik pula. Hal ini terjadi pada saat terjadi
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa gangguan asosiasi pada diri pasien.
dari sudut pandang produksi bahasa, sejalan
dengan Chauchard (1983:80) pasien skizofrenik 1. Pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi
(PS) ini cenderung memroduksi bahasa sendiri Bahasa skizofrenik pasien tenang dapat
secara bebas. Bagaimanapun, pasien tenang sudah dipahami dari unsur fonetik, yaitu bunyi bahasa
menggunakan tahapan-tahapan pemroduksian dan unsur fonologi, yaitu sistem bunyi bahasanya.
bahasa seperti yang diungkapkan oleh Scovel Mengacu pada kategori pasien, PS tenang
(2002), yakni tahapan-tahapan konseptualisasi, mengalami banyak fenomena kebahasaan yang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 43
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 44
❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus
I Gst. Ngurah Parthama pada Rumah Sakit Jiwa Bangli
sementara pasien semi tenang menggunakan Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and
tahapan-tahapan pemrodukasian bahasa secara Cognition: Anthropological Perspectives.
tidak konsisten, dan pasien tenang menggunakan New York: Macmillan.
tahapan-tahapan pemroduksian bahasa dengan
relatif konsisten; Coulthard, Malcolm. 1985. An Introduction to
Pemahaman bahasa skizofrenik berupa Discourse Analysis. England: Longman.
pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi,
morfologi, sintaksis, dan teks. Pada pasien gundah Crider, Andrew. B, George R. Goethals, Robert D
gelisah, terjadi kekacauan dan kekaburan sistem Kavanauggh, dan Paul R. Solomon. 1983.
bunyi dan bentuk bahasa, serta makna secara Psychology. Dallas: Scott, Foresman and
keseluruhan, sehingga ujaran yang dikeluarkan Company.
oleh pasien skizofrenik pun tidak karuan dan tidak
nyambung. Pada pasien semi tenang, unsur-unsur Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik:
fonologi, morfologi, sintaksis, dan teks digunakan Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
secara tidak konsisten dari awal sampai akhir Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
percakapan. Pada pasien tenang, produksi bahasa
yang menyangkut unsur-unsur fonologi, Kusmanto, Joko. 2004. ”Dari Alih Kode ke
morfologi, sintaksis, dan teks digunakan secara Strategi Komunikasi’. Dalam Kongres
relatif lebih konsisten. Linguistik Tahunan Atma Jaya, Tingkat
Secara umum perilaku skizofrenik Internasional 2. Jakarta: Pusat Kajian
mengandung gangguan asosiasi yang Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.
mengakibatkan perubahan mendadak dan
ketidakjelasan dari satu konsep pikiran. Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi
Skizofrenik sejatinya mengekspresikan dirinya Komunikasi. Bandung: Remaja
dengan bahasa pada strata linguistik yang tinggi, Rosdakarya.
yaitu pada semantik dan pragmatik. Skizofrenik
adalah unik, esentrik, banyak metafora, dan Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to
neologisme. Discourse. Oxford: Blackwell.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi, M. Luthfi. 2004. ”Analisis Semantik
Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus di Rumah
sakit Jiwa Porong Lawang Malang”. Dalam
Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya,
Tingkat Internasional 2. Jakarta: Pusat
Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma
Jaya.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 45
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Abdurahman Adisaputera
Universitas Negeri Medan
Abstract
Language maintenance or shift happens as a consequence of a bilingual or multilingual
community. The self-report of 230 Langkat Malay teenagers as the respondents of this
research shows a language shift from Langkat Malay to the Indonesian language among the
young community of Malay in Stabat. This language shift can be seen from the high
intensity of the use of Indonesian among the Malay dominant community, the small number
of young community being able to comprehend and speak Langkat Malay, the large number
of Langkat Malay users who speak Malay not as their first language, and the low
competence of Langkat Malay users using Langkat Malay as their mother tongue. Langkat
Malay is potentially threatened as an endangered language. Two indicators showing this
condition are the high pressure of the Indonesian language, and the phenomena of the loss
of young Langkat Malay users, especially among children.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 46
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
1991:178). Dengan demikian, bertahan atau dari dwibahasawan yang tidak stabil sampai
tidaknya sebuah bahasa sangat ditentukan oleh akhirnya menjadi ekabahasawan, dan akibat
faktor penuturnya. transisi ini adalah kepunahan atau kematian
Salah satu komponen substansial dalam bahasa.
upaya pelestarian bahasa adalah komunitas remaja. Kematian bahasa adalah tipe yang sangat
Keberlangsungan sebuah bahasa dalam ekologi khusus dalam perubahan bahasa. Ini merupakan
sosial yang multikompleks dapat dicermati dari akhir dari kehilangan bahasa yang biasanya berada
pola penggunaan bahasa komunitas remaja dalam dalam situasi di mana suatu bahasa yang dominan
lingkungan sosialnya. Dalam periode sosio- mengancam keberlangsungan bahasa minoritas.
psikologis yang rentan terhadap perubahan, remaja Minoritas dipahami secara demografis dalam
adalah indikator utama untuk melihat regenerasi kaitannya dengan jumlah penutur asli, atau secara
penutur bahasa serta pola-pola dan arah fungsional berkaitan dengan masalah politik,
pemertahanan atau pergeseran bahasa dalam sosial, atau subordinasi budaya terhadap dominasi
masyarakat. bahasa mayoritas. Biasanya, semua karakteristik
bahasa minoritas ini berlangsung secara simultan.
2. LANDASAN TEORI Konsekuensinya adalah, kematian bahasa secara
Situasi kebahasaan pada komunitas tutur yang khusus terjadi dalam ketidakstabilan masyarakat
dwibahasawan atau multibahasawan menimbulkan tutur yang dwibahasawan atau multibahasawan
kemungkinan pilihan bahasa bagi masing-masing sebagai akibat pergeseran bahasa karena
anggota komunitas. Hal ini terjadi secara keterdesakan bahasa minoritas dari dominasi
individual maupun secara berkelompok atau bahasa mayoritas.
klasikal. Konsekuensi dari pilih bahasa tersebut Ada tiga kondisi kebahasaan sehubungan
adalah pola penggunaan bahasa. Pola penggunaan dengan pergeseran bahasa, yaitu bahasa yang
bahasa yang mantap menyebabkan pemertahanan aman, terancam punah, dan punah. Menentukan
bahasa, sedangkan pola yang goyah di antara sebuah bahasa berada dalam tingkat yang
anggota komunitas menyebabkan pergeseran ”membahayakan” atau terancam punah, sangatlah
bahasa. sulit. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman
Pemertahanan bahasa dan pergeseran situasi kebahasaan di seluruh dunia dan ketiadaan
bahasa terjadi dalam jangka panjang dan bersifat model teoretis yang tersedia untuk
kolektif. Wujud pemertahanan bahasa itu dapat mengkombinasikan variabel-variabel yang relevan.
dilihat dari kenyataan bahwa bahasa tersebut masih Secara sederhana, untuk kasus ini, Crystal
dipakai dan dipilih pada ranah-ranah penggunaan (2000:19) menawarkan tiga kriteria: (1) tingkat
bahasa oleh para penuturnya. Indikator utama pemerolehan bahasa pada anak-anak, (2) sikap
sebagai penanda pemertahanan atau pergeseran masyarakat yang utuh terhadap bahasanya, dan (3)
bahasa adalah ranah penggunaan bahasa. tingkat dampak bahasa-bahasa lain yang mungkin
Dalam teori sosiolinguistik yang mengancam bahasa tersebut.
dikemukakan oleh Fishman (1972) dan kajian- Terkait dengan bahasa yang terancam
kajian tentang pemertahanan bahasa selanjutnya, punah, Wurm (dalam Crystal 2000:20)
analisis ranah selalu dikaitkan dengan konsep memberikan 5 kriteria seperti berikut ini.
diglosia tentang ragam prestise tinggi (T) dan (1) bahasa yang potensial terancam: secara sosial
rendah (R). Kaitan antara pilihan bahasa dengan dan ekonomi tidak menguntungkan, di bawah
konsep T – R ini penting dalam kajian tekanan berat dari bahasa yang lebih besar,
pemertahanan bahasa, karena dengan begitu, dan awal hilangnya penutur anak-anak,
pemertahanan dan “kebocoran” yang (2) bahasa yang terancam: sedikit atau tidak ada
menyebabkan pergeseran bahasa atau kepunahan lagi anak-anak yang belajar bahasa tersebut,
bahasa dapat dilihat (Sumarsono 1990:14). dan penutur termuda yang menguasai dengan
Pergeseran bahasa dapat terjadi bila suatu baik adalah penutur dewasa yang masih muda,
komunitas secara kolektif meninggalkan bahasa (3) bahasa yang mengalami ancaman serius:
sepenuhnya dan memilih bahasa lain. Pergeseran penutur termuda yang menguasai dengan baik
bahasa yang berlarut-larut akan berdampak adalah penutur dewasa usia 50 tahun atau
terhadap kepunahan sebuah bahasa. Menurut lebih,
Dressler (1992:196), kepunahan bahasa biasanya (4) bahasa yang hampir punah: hanya segelintir
dipahami berdasarkan dua praanggapan: (1) penutur yang menguasai dengan baik,
kedwibahasaan atau kemultibahasaan dan (2) kebanyakan sangat tua,
pergeseran bahasa akibat desakan bahasa dominan. (5) bahasa yang musnah: tidak ada penutur yang
Pergeseran bahasa meliputi transisi yang tinggal.
berangsur-angsur (sampai ke ranah penggunaan)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 47
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Cara lain untuk melihat keterancaman Dalam lingkungan yang heterogen, EMel berada
bahasa(-bahasa) adalah melalui kriteria linguistik. dalam kondisi di bawah masyarakat dominan.
Kriteria linguistik merefleksikan rentang fungsi- Bagaimana variasi komposisi itu dapat dilihat dari
fungsi penggunaan bahasa dan jenis-jenis sebaran tempat tinggal responden.
perubahan struktural yang terjadi. Bahasa yang Dominasi penduduk berdasarkan etnis
terancam semakin sedikit digunakan oleh penutur bervariasi pada setiap desa dan kelurahan.
yang secara keseluruhan juga sedikit, dengan Dominasi ini diukur berdasarkan pengakuan
pergeseran fungsi-fungsi yang secara berangsur- responden tentang etnis yang paling dominan di
angsur digantikan oleh bahasa lain. lingkungan tempat tinggal mereka. Pada Kelurahan
Bagaimanapun, perubahan adalah sesuatu yang Perdamaian (Per), EJa mendominasi 78,65% dan
biasa terjadi pada semua bahasa. Bahasa yang pada Kelurahan Kualabingai (Kabi) 94,34%. Dari
sehat biasanya selalu “meminjam” dari bahasa penduduk yang sangat dominan Jawa ini, ada juga
yang lain (periksa Crystal 2000:21 – 24 dan konsentrasi penduduk beretnis Mel dan
Winford 2003:11 – 60). Mandailing (Man), namun masing-masing hanya
Kebanyakan studi pergeseran bahasa satu responden. Artinya, ada 1 responden yang
melihat suatu transisi masyarakat ke bahasa yang menyatakan bahwa etnis yang paling dominan di
baru. Pergeseran bahasa terjadi dalam situasi tempat tinggalnya adalah EMel dan 1 responden
masyarakat yang dwibahasawan (biasanya disertai menyatakan bahwa etnis yang paling dominan di
diglosia), sebagai awal mula menuju ke tempat tinggalnya adalah EMan.
monolingual bahasa yang baru. Tentu saja, Untuk Kelurahan Stabat Baru (STBB),
kedwibahasaan tidak menyiratkan bahwa salah Desa Aracondong (Arco), dan Desa Pantai Gemi
satu bahasa akan mengalami kepunahan. (Pami), etnis dominan adalah EMel. Masing-
Walaupun keberadaan kedwibahasaan, diglosia, masing lokasi didominasi EMel dengan jumlah
dan alih kode sering dikutip sebagai faktor persentase 27,1%, 43,35%, 69,73% (berdasarkan
penyebab kepunahan bahasa, namun dalam data statistik). Di Kelurahan STBB, penduduknya
beberapa hal, alih kode dan diglosia adalah sudah sangat membaur, namun konsentrasi etnis
implikasi dari pemertahanan kedwibahasaan masih terlihat dalam satu wilayah desa atau
(Romaine 1995:40; Winford 2003:29 – 58). kelurahan. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan
responden tentang etnis yang dominan di
3. METODE lingkungan tempat tiggal mereka.Berdasarkan
Penelitian ini dilakukan terhadap 230 orang pengakuan 64 responden yang berlokasi di STBB,
responden remaja sebagai sampel dari sekitar etnis yang paling dominan di lingkungan tempat
1.500 orang populasi. Sumber data yang tinggal mereka adalah 65,6% EMel, 31,2% EJa,
digunakan adalah pengakuan diri (self report) dan masing-masing 1,6% EMan dan 1,6% etnis
dengan memilih jawaban yang tersedia pada Tionghoa (Tiho). Pada lokasi STBB terlihat pula
instrumen kuesioner. Di samping kuesioner, data ada konsentrasi komunitas Tio dan Man.
juga diperoleh melalui pengamatan langsung Di Desa Arco ada 2 etnis besar selain
dengan cara pengamatan berpartisipasi. Data EMel, yaitu etnis Kalimantan/Banjar (Ekal) dan
kuesioner berisi tentang (1) lingkungan etnis EJa. Dengan EMel, EKal lebih membaur
dominan, (2) bahasa dominan, (3) periode ketimbang Eja. Banyak EKal yang mengaku
pemerolehan bahasa, dan (4) kemampuan dirinya sebagai EMel. Dari 55 orang responden,
menggunakan BML dalam komunikasi. Masing- 80% menyatakan etnis yang paling dominan di
masing variabel juga dilihat interaksinya melalui lingkungan tempat tinggal mereka adalah Emel,
teknik silang (crosstabulation). Teknik silang 10,9% Eja, dan 9,1% EKal.
digunakan agar arah dan substansi pergeseran Untuk lokasi Pami, komposisi penduduk
dapat diketahui. hanya didominasi oleh EMel dan Eja. Berdasarkan
pengakuan 95 orang responden, EMel mencapai
4. PEMBAHASAN 87,4% dan Eja 12,6%. Tidak ada etnis lain yang
3.1 Lingkungan Etnis Dominan dominan karena jumlah individu masing-masing
Sebaran data yang diperoleh dari 230 etnis tidak ada yang mencapai 10 orang. Jumlah ini
remaja sebagai sampel penelitian menggambarkan sangat kontras bila dibanding dengan jumlah Emel
komposisi penduduk berdasarkan etnisitas. dan Eja.
Sebaran ini diperoleh dari pengakuan responden Secara keseluruhan, etnis dominan pada
tentang etnis yang berada di sekitar tempat tinggal lingkungan tempat tinggal berdasarkan pengakuan
mereka. Konsep etnis dominan mengimplikasikan 230 orang responden dapat dilihat pada gambar di
adanya etnis lain yang tidak dominan dalam bawah ini.
sebuah ekosistem masyarakat yang heterogen.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 48
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 49
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
bahasa kedua adalah bahasa daerah lain atau teman-teman ber-EMel di sekolah. Bagi mereka,
bahasa asing. Untuk jelasnya dapat diungkap BML bukanlah sebagai bahasa pertama.
melalui respon jawaban tentang periode Dampaknya dalam komunikasi adalah tidak
pemerolehan bahasa mereka untuk BML dan BI. produktifnya BML digunakan dalam interaksi
Ada 3 opsi periode pemerolehan, yakni (1) sejak komunikasi interetnik. Hasil survei membuktikan
pandai berbahasa (sebagai bahasa pertama), (2) bahwa 52,6% responden yang berada di wilayah
setelah anak-anak, (3) setelah sekolah. Di samping Kecamatan Stabat menyatakan BML sebagai
itu disediakan pula opsi ke-4, yakni tidak bahasa pertama, 16,1% responden menguasai
menguasai bahasa. BML setalah usia anak-anak, 19,1% menguasai
BML setelah usia sekolah, dan 12,2% menyatakan
3.3.1 Periode Pemerolehan BML tidak menguasai BML. Sebagai gambaran dapat
Fenomena komunitas etnik yang tidak dilihat gambar di bawah ini.
menguasai bahasa etnisnya sering terjadi pada
lingkungan yang sangat heterogen atau
lingkungan komunitas yang berada di bawah
dominasi mayoritas. Hal ini terjadi pada responden
yang berada di lokasi Kelurahan Per dan Kabi.
Dari 16 orang responden, 10 orang (62,5%) di
antaranya tidak menguasai BML. Walau demikian,
masih ada 2 orang (12,5%) yang menyatakan
bahwa bahasa pertama mereka adalah BML.
Untuk Kel STBB, periode pemerolehan
BML responden bervariasi. Perbedaan
persentasenya juga tidak begitu mencolok. Dari 64
responden, yang menguasai BML sejak pandai
berbahasa atau BML sebagai bahasa pertama ada Gambar 3. Periode Pemerolehan BML
40,6%, yang menguasai BML setelah anak-anak
ada 15,6%, dan yang menguasai BML setelah usia 3.3.2 Periode Pemerolehan BI
sekolah ada 25%. Banyak juga komunitas remaja Sebagai pelajar yang dikenai program
di STBB yang sama sekali tidak mengauasai wajib belajar 9 tahun, maka setiap remaja
bahasa daerahnya. Artinya, mereka sama sekali dipastikan dapat ber-BI. Hal ini terbukti secara
tidak mampu menggunakan BML dalam empiris. Berdasarkan pengakuan responden, tak
komunikasi sehari-hari. Untuk ini, persentasenya satu pun dari antara mereka yang tidak mampu
mencapai 18,8%. ber-BI. Di Kelurahan Per dan Kabi, seluruh
Di Desa Arco dan Pami, persentase responden (100%) menyatakan bahwa BI adalah
responden yang menyatakan BML sebagai bahasa bahasa pertama mereka. Untuk Kelurahan STBB,
pertama mereka cukup tinggi. Sangat sedikit dari yang menyatakan BI sebagai bahasa pertama ada
mereka yang menyatakan tidak menguasai BML. 78,1%, menguasai BI setelah anak-anak hanya
Secara lengkap, responden di Arco yang 1,6%, dan menguasai BI setelah sekolah ada
menyatakan BML dikuasai sejak pandai berbahasa 20,3%. Di Arco, yang menyatakan BI sebagai
ada 65,5%, setelah anak-anak ada 12,7%, setelah bahasa pertama ada 54,5%, menguasai BI setelah
sekolah ada 16,4%, dan tidak menguasai ada 5,5%. anak-anak ada 5,5%, dan menguasai BI setelah
Untuk Desa Pami, responden yang menyatakan sekolah ada 40%.
BML dikuasai sejak pandai berbahasa ada 60%, Untuk Desa Pami, walaupun EMel sangat
setelah anak-anak ada 17,9%, setelah sekolah ada dominan, tetapi karena berbatasan dengan Kel Per,
18,9%, dan tidak menguasai ada 3,2% jumlah EJa juga cukup besar. Kemudian, desa ini
Pada umumnya, komunitas remaja pada juga berbatasan dengan STBB yang cukup
masing-masing desa/kelurahan banyak yang tidak heterogen. Oleh karena itu, dibanding dengan Desa
menguasai BML. Ini berarti bahwa mereka sama Arco, persentase responden yang menyatakan BI
sekali tidak pernah menggunakan BML secara sebagai bahasa pertama lebih tinggi. Ada 60%
utuh dalam interaksi komunikasi sehari-hari. yang menyatakan BI dikuasai sejak pandai
Selain itu, ada juga sebagian remaja yang berbahasa, 9,5% dikuasai setelah anak-anak, dan
menguasai BML setelah mereka berinteraksi 30,5% dikuasai setelah sekolah.
dengan komunitas Mel di lingkungan tempat Periode pemerolehan BI secara
tinggal atau setelah mereka bertemu dengan keseluruhan dapat dilihat persentasenya berikut ini.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 50
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 51
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Untuk desa Arco dan Pami, persentase 3.5 Gejala Pergeseran Bahasa
responden yang memahami dan lancar Etnis yang dominan dalam lingkungan
menggunakan BML juga cukup rendah, tidak sosial tidak menjamin bahwa bahasa yang
mencapai 50%. Selengkapnya, untuk daerah Arco, digunakan juga dominan berdasarkan bahasa etnis
responden yang paham dan lancar menggunakan tersebut dalam interaksi komunikasi sehari-hari.
BML tercatat 47,3%, memahami tetapi tidak lancar Ini terjadi dalam lingkungan sosial yang multietnik
menggunakannya ada 34,5%, paham sedikit- dan heterogen seperti Kecamatan Stabat. Ada
sedikit ada 16,4%, dan tidak paham sama sekali beberapa etnis dominan di Stabat berdasarkan
hanya 1,8%. Untuk daerah Pami, responden yang lingkungan tempat tinggal responden.
paham dan lancar menggunakan BML tercatat Persilangan antara etnis dominan dengan
45,3%, memahami tetapi tidak lancar bahasa dominan melahirkan tiga dikotomi
menggunakannya ada 30,5%, paham sedikit- lingkungan bahasa responden (lihat Tabel 2.),
sedikit ada 24,2%, dan tidak ada responden yang yakni (1) bukan dominan Mel (warna abu-abu), (2)
tidak paham sama sekali. EMel dengan BI (warna hijau), dan (3) EMel
Gambaran persentase kemampuan dengan BML (warna merah). Pada matriks dapat
menggunakan BML dalam komunikasi untuk dilihat ada 170 (73,9%) responden yang berada
seluruh responden disajikan dalam gambar seperti dalam lingkungan dominan Mel. Dari 73,9%
berikut ini. responden tersebut, 124 orang (53,9%) di
antaranya menyatakan BML sebagai bahasa
dominan dan 46 orang (20%) menyatakan BI
sebagai bahasa dominan. Tingginya persentase
penggunaan BI pada kawasan dominan EMel
mengindikasikan adanya pergeseran bahasa secara
kolektif. Pergeseran bahasa yang bersifat kolektif
seperti ini memunculkan gejala penyusutan fungsi
sosial BML sebagai bahasa etnis bagi komunitas
Mel. Matra sosial yang sebelumnya
direpresentasekan dengan BML telah tergantikan
oleh BI.
f % f % f % f %
Etnis yang Melayu 46 20.0% 124 53.9% 0 0% 170 73.9%
Paling Dominan Jawa 35 15.2% 0 .0% 17 7.4% 52 22.6%
Mandailing 2 .9% 0 .0% 0 .0% 2 .9%
Banjar/Kalimantan 4 1.7% 1 .4% 0 .0% 5 2.2%
Tionghoa 1 .4% 0 .0% 0 .0% 1 .4%
88 38.3% 125 54.3% 17 7.4% 230 100.0%
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 52
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Pergeseran bahasa dapat juga dilihat dari 124 orang (53,9%) responden yang berada di
persilangan antara variabel lingkungan dominan dalamnya, yang menyatakan BML sebagai B1.
dengan periode pemerolehan bahasa sebagaimana Jika bahasa pertama responden bukan
yang diproyeksikan pada Tabel 3. Pada lingkungan BML, maka bahasa yang digunakan dalam ranah
bukan dominan Mel ditemukan 10 orang (4,3%) keluarga pun bukanlah BML. Kondisi ini
responden yang sudah menguasai BML sejak mengindikasikan tidak adanya proses regenerasi
pandai berbahasa, tetapi ada juga 23 orang (10%) penutur dari orang tua ke anak. Dalam jangka
yang tidak menguasai BML. Selain itu, ada 27 waktu yang cukup panjang, kondisi ini dapat
orang yang menguasai BML setelah usia anak menyebabkan penyusutan bahasa yang sangat akut.
anak dan setelah sekolah. Pada lingkungan seperti Tanpa adanya revitalisasi bahasa, BML hanya
ini tentu sangat rentan terhadap terjadinya menunggu waktu kepunahannya. Penyusutan
pergeseran bahasa. Ini terlihat dari fenomena bahasa itu dapat dilihat dari kemampuan
remaja yang tidak lagi menguasai bahasa etnisnya menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi
(10% dari 26,1%). komunikasi sehar-hari. Penyusutan kemampuan
Pada lingkungan dominan Mel dengan BI, responden terhadap penggunaan BML terjadi pada
fenomena komunitas yang tidak menguasai bahasa semua lingkungan (lihat Tabel 4.). Dari 26,1%
etnis juga sering ditemukan. Pada Tabel 3. dapat responden yang berada dalam lingkungan bukan
dilihat bahwa dari 26,1% jumlah responden, ada 3 dominan Mel, hanya 1,3% saja responden yang
orang (1,3%) respoden yang sama sekali tidak memahami dan lancar menggunakan BML,
menguasai BML. Karena pada lingkungan ini sedangkan dalam lingkungan dominan Mel dengan
BML pada umumnya diperoleh setelah anak-anak BI hanya 4,3% dari total 20% responden. Dalam
atau setelah usia sekolah (9,6% dari 20% lingkungan dominan Mel dengan BML pun hanya
responden), maka wajar saja jika bahasa yang ada 68 orang (29,6%), dari 124 orang (53,9%)
dominan digunakan dalam kawasan adalah BI. responden, yang memahami dan lancar
Pada lingkungan dominan Mel dengan BML juga menggunakan BML. Hampir separuh responden
tampak adanya pergeseran ke arah penggunaan BI. dalam lingkungan ini yang tidak lancar
Dalam lingkungan etnis yang dominan dengan menggunakan BML: 15,7% hanya memahami
bahasa dominan, hanya 90 orang saja (39,1%) dari tetapi tidak lancar menggunakan BML dan (8,7%)
hanya paham sedikit-sedikit.
f % f % f % f % f %
Etnis Bukan Dominan
10 4.3% 9 3.9% 18 7.8% 23 10.0% 60 26.1%
Dominan dan Melayu
Bahasa yang Dominan Melayu
Digunakan 21 9.1% 11 4.8% 11 4.8% 3 1.3% 46 20.0%
dengan BI
Dominan Melayu
90 39.1% 17 7.4% 15 6.5% 2 .9% 124 53.9%
dengan BML
Total 100.0
121 52.6% 37 16.1% 44 19.1% 28 12.2% 230
%
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 53
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
f % f % f % f % f %
Etnis Bukan Dominan
3 1.3% 19 8.3% 30 13.0% 8 3.5% 60 26.1%
Dominan Melayu
dan Bahasa Etnis Dominan
yang 10 4.3% 19 8.3% 17 7.4% 0 .0% 46 20.0%
Melayu dengan BI
Digunakan
Etnis Dominan
Melayu dengan 68 29.6% 36 15.7% 20 8.7% 0 .0% 124 53.9%
BML
Total 81 35.2% 74 32.2% 67 29.1% 8 3.5% 230 100.0%
f % f % f % f % f %
Periode Sejak pandai
78 33.9% 30 13.0% 13 5.7% 0 .0% 121 52.6%
Pemerole berbahasa
han BML Setelah anak-anak 1 .4% 24 10.4% 11 4.8% 1 .4% 37 16.1%
Setelah sekolah 2 .9% 18 7.8% 24 10.4% 0 .0% 44 19.1%
Tidak menguasai 0 .0% 2 .9% 19 8.3% 7 3.0% 28 12.2%
Total 81 35.2% 74 32.2% 67 29.1% 8 3.5% 230 100.0%
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 54
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 55
Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu
❏ Abdurahman Adisaputera
Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 56
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
Mulyadi
Universitas Sumatera Utara
Abstract
This paper attempts to present the verb category and the semantic roles of the verb
arguments in Bahasa Indonesia. The formulation of the verb is measured by time stability-
scale. Verb category applies the natural semantic metalanguage theory and concept of
semantic roles adopts generalised semantic roles theory. The Indonesian verbs have three
main classes, i.e. states, processes, and actions. The state verbs consist of cognition,
knowledge, feeling, perception, volition, and possession types; the process verbs include
event and non-agentive motion types; and the action verbs comprise with agentive motion,
utterance, and movement. The semantic roles of the state verbs are experiencer and
experiencer-locative/theme/stimulus, except for perception verbs that have agent-stimulus
relations. The participants of the process verbs are patient and the roles in the derivation
system are patient and theme. For the action verbs, the participants are effector and agent
while the patient becomes locative, theme, and patient.
Keywords: semantic role, verb, semantic classes, semantic primes, generalised semantic
roles
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 57
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
secara sintaktis. Dikatakan bahwa verba ialah 3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI
semua kata yang berfungsi sebagai predikat dalam 3.1 Konsep
kalimat. Karena dalam bahasa Indonesia pengisi Verba ialah sebuah peristiwa prototip
slot predikat termasuk adjektiva, mereka yang menunjukkan perubahan properti temporal
menggolongkan adjektiva seperti putih, kekar, dan (Leech 1981:168; Givon 1984:51—52, 64; Elson
cantik sebagai verba. Moeliono, dkk. (1988) secara dan Pickett 1987:20—21; Frawley 1992:142,
eksplisit membedakan verba dengan adjektiva 144—145). Dari perubahan itu, peristiwa
melalui prefiks ter- yang bermakna ‘paling’. memotivasi kekategorian verba. Perubahan dalam
Adjektiva dapat diberi prefiks ter- (mis. terdingin, ekspresi peristiwa dimotivasi oleh tingkat
tersulit), sedangkan verba tidak bisa diberi prefiks kestabilan waktu (Givon 1984:52). Verba keadaan
ter- (mis. *tersukar). dianggap paling stabil waktunya dalam arti tidak
Verba adalah sebuah kategori gramatikal. mengalami perubahan waktu. Verba proses kurang
Sebagai kategori semantis, verba mengacu pada stabil waktunya karena bergerak dari suatu
peristiwa (periksa Leech 1981:168; Givon keadaan menuju keadaan lain. Verba tindakan
1984:51—52; Frawley 1992:141). Pengertian tidak stabil waktunya.
semacam ini tidak terdapat dalam tulisan Ketiga kelas verba itu akan diuji dengan
Tampubolon, dkk. dan Moeliono, dkk. Berpangkal properti aspektual dinamis, perfektif, dan pungtual.
pada ekspresi peristiwa, perbedaan verba dengan Ciri dinamis berhubungan dengan perkembangan
adjektiva sejatinya dapat ditentukan; begitu juga temporal sebuah verba. Perfektif bermakna suatu
klasifikasi verba. Akan tetapi, pengujiannya harus tindakan sudah selesai dan memengaruhi
berbasis pada kriteria semantis. penderita. Pungtual berarti suatu tindakan terjadi
Lebih lanjut, Tampubolon, dkk. (1979, dalam durasi yang singkat dan memengaruhi
1988) dan Moeliono, dkk. (1988) berpendapat penderita.
bahwa VBI memiliki tiga kelas utama: keadaan, Selanjutnya, peran semantis merupakan
proses, dan aksi (perbuatan). Status keanggotaan generalisasi tentang peran partisipan dalam
sebuah verba mereka uji dengan konstruksi peristiwa yang ditunjukkan oleh verba (Booij
interogatif. Jawaban terhadap tes seperti 2007:191). Peran semantis berguna dalam
menggolongkan argumen verba. Menurut Levin
(2) a. X dalam keadaan apa? (2007:3), representasi peran semantis akan
b. Apa yang terjadi pada X? mereduksi makna verba melalui seperangkat peran
c. X melakukan apa? yang diberikan kepada argumennya.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 58
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
dalam teori MSA bertumpu pada eksponen bahasa MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU
Inggris. Eksponen ini selain mempunyai properti TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat
morfosintaktis yang berbeda, termasuk kelas kata, pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN;
pada bahasa-bahasa yang berbeda, juga misalnya, jika X MERASAKAN SESUATU,
mempunyai varian (aloleksis) kombinasi. Namun, SESUATU TERJADI PADA X.
kata-kata yang digunakan dalam metabahasa Selain makna asali dan polisemi terdapat
secara semantis adalah sederhana. Perangkat pula konsep sintaksis makna universal, atau
makna tersebut dalam versi BI diilustrasikan pada disingkat sintaksis MSA, untuk mengacu pada
tabel di bawah ini. komponen-komponen berstruktur, seperti ‘aku
ingin melakukan sesuatu’, ‘sesuatu yang buruk
Tabel 1. Perangkat Makna Asali dalam Bahasa terjadi padamu’, atau ’orang ini merasakan sesuatu
Indonesia yang baik’. Unit dasar dari sintaksis MSA
(Diadaptasi dari Goddard 2006:12) dibentuk oleh substantif dan predikat serta
KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI beberapa elemen tambahan yang ditentukan oleh
Substantif AKU, KAMU, predikatnya. Dalam teori MSA, makna asali yang
SESEORANG/ORANG, tergolong sebagai verba dan berfungsi sebagai
SESUATU/ HAL, TUBUH predikat dalam sintaksis MSA ialah (1) predikat
Substantif JENIS, BAGIAN mental [PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT,
relasional
DENGAR], (2) ujaran [UJAR, KATA], (3)
Pewatas INI, SAMA, LAIN
Penjumlah SATU, DUA, SEMUA, BANYAK,
tindakan, peristiwa, pergerakan, dan perkenaan
BEBERAPA [LAKU, TERJADI, GERAK, dan SENTUH], (4)
Evaluator BAIK, BURUK keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5)
Deskriptor BESAR, KECIL hidup dan mati [HIDUP dan MATI].
Predikat mental PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, Lebih lanjut, teori PSR merupakan
LIHAT, DENGAR generalisasi dari sejumlah ancangan teoretis
Ujaran UJAR, KATA, BENAR tentang peran semantis dan secara khusus
Tindakan, LAKU, TERJADI, GERAK, dikembangkan dari teori Peran Umum yang
peristiwa, gerakan, SENTUH diusulkan pertama kali oleh Foley dan Van Valin
perkenaan (1984) dalam Tata Bahasa Peran dan Acuan.
Keberadaan dan ADA, PUNYA Dalam teori ini diproyeksikan gagasan aktor dan
milik
penderita pada struktur klausa, baik pada klausa
Hidup dan mati HIDUP, MATI
intransitif maupun pada klausa transitif. Kedua
Waktu BILA/WAKTU, SEKARANG,
SEBELUM, SETELAH, LAMA, peran ini dipahami sebagai relasi semantis
SEKEJAP, SEBENTAR, universal. Istilah aktor merujuk kepada
SEKARANG, SAAT generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan
Ruang (DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, peran-peran lain, sedangkan penderita adalah
(DI) ATAS, (DI) BAWAH, JAUH, generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan
DEKAT, SEBELAH, DALAM peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada
Konsep logis TIDAK, MUNGKIN, DAPAT, setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari
KARENA, JIKA karakter morfologis dan sintaktis masing-masing.
Augmentor, SANGAT, LEBIH Bagi Van Valin dan LaPolla (1999:143), relasi
intensifier
tematis prototip ialah agen dan pasien; artinya,
Kesamaan SEPERTI
agen adalah prototip untuk aktor dan pasien adalah
prototip untuk penderita.
Dalam penentuan tipe semantis VBI, teori Aktor dan penderita tidak mempunyai isi
MSA menawarkan polisemi sebagai alat deskripsi. semantis yang konstan. Aktor dapat berperan
Polisemi adalah sebuah makna bentuk leksikon sebagai agen, pengalam, instrumen, dan peran lain,
tunggal yang bersumber dari dua makna asali yang sedangkan penderita berperan sebagai tema,
berbeda. Menurut Goddard (1996a:31), ada dua pasien, resipien, dan peran-peran lain. Tidak ada
hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni perubahan peran aktor dan penderita pada struktur
hubungan pengartian dan hubungan implikasi. klausa meskipun konfigurasi sintaktisnya berbeda.
Hubungan pengartian diterangkan melalui Keduanya dapat dipetakan pada argumen predikat
kombinasi MELAKUKAN/TERJADI dan transitif dan argumen predikat intransitif. Aktor
MELAKUKAN PADA/TERJADI. Seseorang dan penderita berbeda dengan relasi sintaktis,
yang melakukan sesuatu pada seseorang atau seperti subjek dan objek, ataupun peran kasus,
melakukan sesuatu pada sesuatu dapat dilihat dari seperti agen dan pasien. Pada sebuah argumen
sudut pandang ”pasien”; contohnya, jika X
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 59
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
verba berbagai peran yang berbeda direalisasikan Data lisan diperoleh melalui penerapan metode
sesuai dengan ciri semantis predikatnya. simak dan metode cakap. Data tulis BI
Dalam teori PSR penentuan peran umum dikumpulkan dari surat kabar, majalah, novel, dan
pada sebuah verba didasarkan pada struktur kamus. Data intuisi dibangkitkan secara
logisnya (Van Valin dan LaPolla, 1999:151; Van introspektif untuk melengkapi kekurangan yang
Valin, 2005:62). Ada tiga kemungkinan dalam ada.
pemberian peran umum, yaitu 0, 1, 2. Jika sebuah Dalam analisis data digunakan metode
verba memiliki dua argumen atau lebih pada padan dan metode agih (lihat Sudaryanto, 1993;
struktur logisnya, verba itu memerlukan dua peran Mahsun, 2005; Djajasudarma, 2006). Metode
umum. Apabila sebuah verba mempunyai argumen padan berguna dalam penentuan tipe-tipe semantis
tunggal pada struktur logisnya, pada situasi ini verba BI. Contohnya, verba sedih, hancur, dan
diperlukan satu peran umum. Pada verba tanpa mengambil digolongkan kelas yang berbeda sebab
argumen (mis., verba rain dan snow dalam bahasa ekspresinya mengacu pada peristiwa yang
Inggris) tidak terdapat peran umum. Sifat peran berbeda. Sedih mengacu pada keadaan mental;
umum merupakan fungsi dari struktur logis verba. hancur mengacu pada perubahan keadaan; dan
Jika sebuah verba membutuhkan dua argumen, mengambil mengacu pada tindakan. Dengan
keduanya boleh jadi berupa aktor dan penderita. demikian, ekspresi ketiga verba ini, secara
Pada verba dengan peran umum tunggal, pilihan berurutan, mengacu pada keadaan, proses, dan
utamanya diikuti langsung dari struktur logis tindakan.
verbanya. Verba dengan predikat kegiatan pada Metode agih diterapkan untuk
struktur logisnya diberi peran aktor; jika tidak, mengidentifikasi peran semantis VBI. Beberapa
perannya adalah penderita. teknik analisis yang digunakan ialah teknik ganti,
Pilihan terhadap argumen sebagai aktor teknik ubah wujud, teknik parafrase, teknik sisip,
dan penderita tidak bersifat acak, tetapi dan teknik perluas. Melalui penerapan teknik
berdasarkan dalil tertentu. Van Valin dan LaPolla perluas dan teknik ubah wujud, misalnya,
(1999) mengusulkan sebuah hierarki pemarkahan dimungkinkan untuk menunjukkan perbedaan
untuk lingkungan aktor dan penderita, seperti peran semantis sebuah argumen verba. Tidak
diringkas pada Gambar 1. semua teknik itu diterapkan sekaligus, tetapi
penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
AKTOR PENDERITA Hasil analisis data disajikan dengan
metode informal dan metode formal. Metode
Arg arg 1 arg 1 arg 2 arg pred’
MELAKUKAN melakukan’ (x ... pred’ (x, y) pred’ (x, y) keadaan (x) informal tampak dalam penggunaan kata-kata atau
kalimat yang dikembangkan secara deduktif dan
Gambar 1. Hierarki Aktor dan Penderita induktif. Metode formal direalisasikan melalui
pemakaian tanda, gambar, dan diagram untuk
Pada hierarki di atas, ‘argumen menerangkan contoh-contoh data. Kaidah analisis
MELAKUKAN’ berperingkat tertinggi, dan disajikan melalui teknik konflasi, yaitu penyajian
argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah beberapa kaidah tunggal secara berjalin
untuk aktor. Sementara itu, ’argumen pred’ (x)’ sedemikian rupa sehingga membentuk satu
berperingkat terendah dan argumen ini adalah gabungan kaidah ganda.
pilihan yang tak bermarkah untuk penderita. Tanda
panah menunjukkan peningkatan pemarkahan pada 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
peristiwa tipe argumen tertentu untuk aktor atau 5.1 Tipe Semantis VBI
penderita. Terkait dengan aktor, pilihan yang Verba keadaan—dibandingkan dengan
bermarkah dimungkinkan jika argumen yang verba proses dan verba tindakan—tergolong paling
berperingkat lebih tinggi tidak hadir pada klausa. dasar sebab ekspresi temporalnya sangat terbatas.
Pada penderita, pilihan itu dimungkinkan apabila Semua peristiwa lain dapat dihasilkan dari
tidak hadir pasien pada klausa. keadaan. Umpamanya, peristiwa inkoatif dapat
dihasilkan dari keadaan melalui operator ‘menjadi’
4. METODE PENELITIAN dan peristiwa kausatif dibentuk oleh peranti
Tiga tahapan dalam penelitian ini ialah konektif ‘menyebabkan’. Karena verba ini bersifat
pengumpulan data, analisis data, dan penyajian statis, properti temporalnya tidak memungkinkan
hasil analisis data. Data penelitian ini berupa pola- untuk diperluas. Dalam pandangan Mourelatos
pola tuturan dan kalimat, utamanya yang (1981:192), verba keadaan bertahan selama
mengekspresikan berbagai perilaku verba BI. Data rentang waktu. Salah satu parameternya, tetapi
juga bersumber dari intuisi kebahasaan peneliti. parameter ini bukanlah satu-satunya alternatif,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 60
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
ialah bahwa verba keadaan umumnya tidak dan verba tindakan. Secara umum istilah ini
menerima bentuk progresif, seperti (3b) dan (4b). hampir sama dengan kelas achievement Vendler
(3) a. Kartareja percaya akan cerita Sukarya. (Foley dan Van Valin, 1984:37—38; Mourelatos,
b. *Kartareja sedang percaya akan cerita 1981:191—192, 201; Shirai dan Andersen,
Sukarya. 1995:744), atau kelas performansi Kenny
(4) a. Mereka mengetahui ceritanya. (Mourelatos, 1981:192—193), atau kelas inseptif
b. *Mereka sedang mengetahui ceritanya. Leech (1981:210—211). Verba proses
mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari
Kegagalan verba kognisi seperti percaya suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini
dan verba pengetahuan seperti mengetahui terjadi karena batas keadaan yang lama telah
menerima progresif dikarenakan peristiwa yang dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan
diekspresikannya menggambarkan keadaan yang keadaan yang baru itu tidak dipersoalkan, kecuali
sudah ada. Adanya pemarkah progresif justru batas yang dilintasinya.
mengimplikasikan suatu usaha atau kekuatan dan Misalnya,
kedua verba ini tidak memerlukan usaha atau (9) Bunga itu sedang layu.
kekuatan apa pun untuk menghadirkan keadaan. (10) Kakak sedang hamil.
Itu sebabnya, pada latar struktural kalimatnya
menjadi tidak gramatikal. Ciri dinamis juga terdapat pada mekar
Verba keadaan mungkin saja terbentuk dan terbit (mis. sedang mekar, sedang terbit),
sebagai hasil dari suatu perubahan dan menyimpan tetapi ciri ini gagal dipenuhi oleh hangus dan putus
potensi perubahan, tetapi keadaan itu sendiri (mis. *sedang hangus, *sedang putus) meskipun
bukanlah suatu perubahan. Fakta semantis ini keduanya mengekspresikan perubahan keadaan
tampak pada verba emosi seperti mencintai. entitasnya. Namun, Chafe (1970:99)
Walaupun menerima progresif, mencintai tetap mengingatkan bahwa penggunaan kaidah progresif
digolongkan sebagai verba keadaan. Ini terjadi dalam menentukan kelas semantis verba bersifat
karena mencintai merupakan hasil dari suatu garis besar, bukan ”prosedur penemuan”. Jadi,
perubahan sehingga di dalam struktur internalnya tidak perlu berpendapat bahwa fakta semantis
terdapat suatu proses yang memungkinkannya tertentu akan konsisten seratus persen dengan
menerima bentuk progresif. Dalam perspektif lain, beberapa fakta lain. Frawley (1992:153) , kendati-
verba mencintai menerima progresif karena verba pun menggunakan lima tes diagnostis, juga
itu menyatakan keadaan sementara. Jika (5) diberi menemukan kasus-kasus yang meragukan ketika
keterangan, maknanya adalah ‘Dia sedang menguji fenomena semantis bahasa Inggris.
berusaha, dengan mengerahkan tenaga, untuk Hangus dan putus cenderung ditafsirkan
merasakan sesuatu’. statif dalam bahasa Indonesia. Itu sebabnya,
(5) a. Dia mencintai tetangganya. keduanya menolak pemarkah progresif. Namun,
b. Dia sedang mencintai tetangganya. kedua verba itu tidak bisa dikelaskan sebagai verba
keadaan sebab ekspresi temporalnya memiliki
Hal yang sama juga berlaku untuk verba batas akhir sehingga dapat menerima perfektif
persepsi, verba volisi, dan verba posesi, yang (mis. sudah hangus, sudah putus). Keduanya juga
secara berurutan diilustrasikan pada (6)—(8). kurang tepat ditempatkan di bawah verba tindakan
Dalam struktur internal kelompok verba ini sebab makna dasarnya tidak menyatakan suatu
termuat suatu proses; akibatnya, perilaku tindakan. Karena itu, keduanya dimasukkan ke
semantisnya menerima progresif. Pada ketiga tipe dalam verba proses.
verba ini, sekalipun terbuka slot untuk dua Karena ciri perfektif, dan juga pungtual,
partisipan, tidak terdapat peralihan tindakan di dalam kajian ini sudah dielaborasi, dalam arti
antara partisipannya. Implikasinya ialah tidak ada kedua cirinya berfokus pada pengaruh yang
partisipan yang dipengaruhi oleh partisipan lain. diterima penderita—jadi, bukan hanya tindakan
Contohnya, yang sudah selesai dan terjadi dalam waktu
(6) Dia sedang melihat perempuan mandi di singkat, verba proses menolak kedua ciri ini. Ciri
pancuran. perfektif dan pungtual lebih cocok dikaitkan
(7) Kami sedang ingin makan rujak. dengan predikat dua tempat daripada predikat satu
(8) Dia sedang mempunyai sebuah mobil baru tempat. Pada predikat dua tempat, relasi
sekarang. semantisnya menjadi aktor-penderita, sedangkan
pada predikat satu tempat, hanya ada satu pilihan
Tipe verba kedua, yaitu verba proses, peran semantisnya: aktor atau penderita.
secara sederhana merujuk pada anggota verba yang Verba proses bahasa Indonesia umumnya
menempati ranah di luar dari ranah verba keadaan tidak bermarkah, kecuali verba yang terbentuk
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 61
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
sebagai hasil derivasi dari adjektiva prototip. Verba tindakan juga mensyaratkan
Selain itu, proses derivasi dengan prefiks me- keperfektifan. Banyak verba memenuhi ciri ini.
hanya dimungkinkan pada dasar yang mengandung Selain beberapa contoh di atas, ciri ini ditemukan
ciri semantis keadaan untuk membentuk verba pada verba membantai, menghantam, menikam,
proses. Namun, pada verba yang sudah dan memancung. Verba-verba ini mengungkapkan
mengandung ciri proses, pelekatan prefiks me- bahwa tindakan aktor sudah selesai dan penderita
menjadi tidak gramatikal; misalnya, *menghancur, dipengaruhi sepenuhnya. Kalimat seperti
*menyakit, *memandul, *menjatuh, dan
*menimbul. (15) Munadi menghantam kepala Ngatemi.
Lebih lanjut, salah satu ciri semantis (16) Mereka memancung lehernya.
verba tindakan, dan ciri ini sama dengan verba
proses, ialah sifatnya yang dinamis. Ini berarti dengan jelas menggambarkan bahwa aktor
bahwa ekspresi temporal verba tindakan dapat bertindak pada penderita dan penderita menerima
diperluas. Ciri ini terdapat pada verba gerakan pengaruh tindakan tersebut sepenuhnya.
seperti pergi, berlari, dan melompat, atau verba Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga
ujaran seperti membujuk, melarang, dan klasifikasi VBI, yakni keadaan, proses, dan
menghina. tindakan, memperlihatkan properti berikut. Verba
(11) a. Pemuda itu melompat dari tempat keadaan dan verba proses tergolong imperfektif
duduknya. dan tak pungtual, tetapi verba proses bersifat
b. Ibu membujuk Maria. dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti
(12) a. Pemuda itu sedang melompat dari tempat semantis itu. Pemetaan ketiga ciri temporal
duduknya. tersebut pada VBI diilustrasikan pada Tabel 2.
b. Ibu sedang membujuk Maria.
Tabel 2. Properti Temporal VBI
Pada (11), batas temporal atau titik acuan Properti Keadaan Proses Tindakan
melompat dan membujuk bersifat implisit. Dalam Temporal
sebuah wacana batas temporalnya dapat bersifat Dinamis - + +
eksplisit, seperti diilustrasikan oleh pemakaian Perfektif - - +
adverbia temporal ketika saya masuk pada (13). Pungtual - - +
(13) Ketika saya masuk, pemuda itu sedang
melompat dari tempat duduknya. Berdasarkan perangkat makna asali, tipe
keadaan, proses, dan tindakan memiliki subtipe
Properti semantis lain yang melekat pada masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe
verba tindakan ialah kepungtualan. Properti ini verba kognisi (‘pikir’), verba pengetahuan (‘tahu’),
selain terdapat pada verba ujaran dan verba verba perasaan (‘rasa’), verba persepsi (‘lihat’ dan
gerakan, juga pada verba perpindahan, seperti ‘dengar’), verba volisi (‘ingin’), dan verba posesi
merampas, mencubit, dan memukul. Contoh (14c) (‘punya’). Verba perasaan mempunyai dua kelas
tidak berterima sebab tindakan entitas mempunyai verba bawahan: emosi dan sensasi. Perbedaan
interval waktu yang terbatas. Dengan kata lain, keduanya didasari oleh fakta bahwa verba emosi
mencubit tidak memiliki tahap transisi yang jelas (mis. sedih, marah, takjub, dan ngeri) dibentuk
di antara batas awal dan batas akhir. oleh sintaksis MSA ‘X merasakan sesuatu’,
(14) a. Sophia mencubit hidung Indra. sementara verba sensasi (mis. lapar, lelah, gatal,
b. Sophia mencubit hidung Indra dengan dan mengantuk) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X
cepat. merasa seperti Y. Jelasnya, ekspresi “merasa
c. ??Sophia mencubit hidung Indra dengan lapar”, misalnya, dapat diparafrase sebagai berikut:
lambat. ‘X merasa seperti orang yang tidak makan apa pun
dalam waktu lama dan ingin makan sesuatu karena
Ciri kepungtualan pada hakikatnya itu.’
menyangkut masalah tingkatan. Maksudnya, Verba proses memiliki dua subtipe:
berbagai verba yang diklasifikasikan sebagai verba peristiwa dan gerakan nonagentif. Verba peristiwa
tindakan memiliki tingkat kepungtualan yang terbagi atas verba kejadian (dalam pola sintaksis
berbeda. Jadi, walaupun merampas, memukul, dan ‘sesuatu terjadi pada sesuatu’), mis. hancur, lebur,
mencubit lebih pungtual daripada membakar, retak, dan patah, dan verba proses badani (dalam
membantu, dan membeli, bukan berarti verba- pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada seseorang’),
verba ini tidak pungtual. Oleh karenanya, semua mis. sakit, mengidam, demam, dan mabuk. Verba
verba ini tetap digolongkan verba tindakan. gerakan nonagentif yang tidak memuat gagasan
kendali terdapat pada verba-verba, seperti
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 62
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 63
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
penderita tersebut diderivasi sebagai pasien atau Tabel 4. Peran Semantis VBI
peran semantis yang lain? Dapat dikatakan bahwa Peran
pada verba kejadian, seperti pecah, retak, dan Semantis
Tipe verba Subtipe Struktur Logis
Aktor-
hancur atau verba proses badaniah, seperti sakit, Penderita
pingsan, dan hamil, penderitanya ialah pasien. pikir’ (x, y) Pengalam-
Kognisi
Sementara itu, pada verba gerakan yang Lokatif
melibatkan entitas tidak bernyawa seperti karam, Pengetahuan tahu’ (x, y) Pengalam-
Lokatf
berputar, dan menggelinding, penderitanya adalah
marah’ (x, y) Pengalam-
tema, tetapi pada verba gerakan yang melibatkan Perasaan Stimulus
entitas bernyawa, seperti jatuh, tenggelam, dan lapar’ (x) Pengalam
KEADAAN
terpeleset, penderitanya adalah pasien. Dalam Persepsi lihat’ (x, y) Pengalam-
sistem peran semantis Foley dan Van Valin Stimulus
tonton’ (x, y) Agen-Stimulus
(1984:51—52), tema diartikan selain untuk entitas Volisi ingin’ (x, (y)) Pengalam-
yang ditempatkan, juga untuk entitas yang Tema
mengalami perubahan lokasi, dan perubahan lokasi Posesi punya’ (x, y) Pengalam-
ini terjadi bukan atas kehendak entitas itu sendiri. Tema
Pada verba tindakan, ada dua hancur’ (x) Pasien
Peristiwa
hamil’ (x) Pasien
kemungkinan peran derivasi dari aktor, yaitu PROSES
Gerakan tumbang’ (x) Tema
pemengaruh dan agen. Peran pemengaruh hadir Nonagentif jatuh’ (x) Pasien
pada verba ujaran dan beberapa subtipe dari verba Gerakan pergi’ (x) Agen
tindakan, seperti subtipe tampilan (mis. bernyanyi, Agentif panjat’ (x, y) Agen-Tema
menari, dan berdansa) dan subtipe ciptaan (mis. Ujaran puji’ (x, y) Pemengaruh-
Lokatif
menulis, mengarang, dan mencetak). Faktanya, nyanyi’ (x, (y)) Pemengaruh-
jika makna verba tindakan dalam bahasa Indonesia Lokatif
tidak dibatasi, aktor pada hakikatnya dapat tulis’ (x, y) Pemengaruh-
menjadi pemengaruh, seperti kalimat berikut: TINDAKAN
Lokatif
sentuh’ (x, y) Agen-Lokatif
curi’ (x, y) Agen-Tema
(18) Malaria membunuh sebagian penduduk desa. Perpindahan
sumbang’ (x, y) Agen-Tema
(19) Badai menghantam rumah penduduk yang angkat’ (x, y) Agen-Tema
terletak di tepi pantai. makan’ (x, (y)) Agen-Pasien
tebang’ (x, y) Agen-Pasien
Relasi agen tampak pada verba gerakan hajar’ (x, y) Agen-Pasien
rusak’ (x, y) Agen-Pasien
agentif satu tempat, seperti datang, berangkat, dan
berjalan. Pada verba gerakan agentif dua tempat,
seperti memanjat dan mendaki, relasi tematis di 6. SIMPULAN
antara kedua partisipannya ialah agen-lokatif. Tipe semantis VBI, berdasarkan skala kestabilan
Relasi pemengaruh-lokatif terdapat pada verba waktu, terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan.
ujaran. Pada kelas verba ini, partisipan kedua Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga tipe VBI
menjadi lokasi dari ujaran yang disampaikan oleh memperlihatkan properti temporal berikut. Verba
partisipan pertama. Oleh sebab itu, partisipan keadaan dan verba proses tergolong imperfektif
keduanya berperan lokatif. dan tak pungtual, tetapi verba keadaan bersifat
Peran semantis verba perpindahan lebih statis sementara verba proses bersifat dinamis.
beragam. Ada kemungkinan penderita dijabarkan Verba tindakan memenuhi semua properti
menjadi lokatif, tema, atau pasien. Verba semantis itu.
menyanyikan, menulis, dan menyentuh memilih Dengan mengacu pada perangkat makna
lokatif untuk penderita; verba mencuri, asali, ketiga tipe utama tersebut mengandung
menyumbang, dan mengangkat memilih tema subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat
untuk penderita; dan verba makan, menebang, subtipe kognisi, pengetahuan, perasaan, persepsi,
menghajar, dan merusak, memilih pasien untuk volisi, dan posesi. Verba perasaan yang dibentuk
penderita. Peran tema diberikan karena entitasnya oleh makna asali ’rasa’ bahkan memiliki sub-
berpindah. Entitas yang menjadi tempat terjadinya subtipe verba emosi dan verba sensasi. Verba
peristiwa ditafsirkan berperan sebagai lokatif. proses terdiri atas (1) verba peristiwa—yang dapat
Kemudian, entitas yang dipengaruhi sepenuhnya dibagi lagi atas verba kejadian dan verba proses
oleh entitas lain, dan menyebabkannya berubah badaniah—dan (2) verba gerakan nonagentif.
secara fisik ditafsirkan sebagai pasien. Gambaran Verba tindakan terdiri atas subtipe gerakan agentif,
tentang peran semantis VBI diringkas pada tabel ujaran, dan perpindahan. Verba perpindahan
berikut ini. memuat sejumlah subtipe sesuai dengan kemiripan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 64
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
atau kesamaan maknanya, antara lain, verba Goddard, C. 1996a. “Building a Universal
tampilan, ciptaan, ambilan, berian, bawaan, Semantic Metalanguage: the Semantic
sentuhan, konsumsi, potongan, pukulan, dan Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C.
rusakan. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic
Verba keadaan memiliki aktor sebagai Syntax from a Semantic Point of View
pengalam dan penderita sebagai lokatif, stimulus, (NSM Approach), 24—37. Canberra:
dan tema, kecuali verba persepsi yang disengaja Australian National University.
(mis. menonton, mengawasi, dan memandang)
yang memiliki relasi tematis agen-stimulus. Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and
Partisipan tunggal pada verba proses adalah Semantic Primes”. Dalam C. Goddard
penderita, dan peran ini pada sistem derivasi (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a
digolongkan sebagai pasien dan tema. Verba Semantic Point of View (NSM Approach),
tindakan dengan argumen tunggal seperti pada 38—57. Canberra: Australian National
verba gerakan agentif mempunyai relasi agen. University.
Pada verba ujaran terdapat relasi pemengaruh- Goddard, C. 2006. “Semantic Molecules.”
lokatif. Verba tindakan dengan subtipe verba [dikutip 15 Oktober 2008] Tersedia dari:
perpindahan pada umumnya memiliki aktor http://escape.library.uq.edu.au/eseru/UQ:12
sebagai agen dan penderita dipetakan sebagai 798/goddard_c_ALS 2006. pdf.
lokatif, tema, dan pasien.
Leech, G. 1981. Semantics. England: Penguin
DAFTAR PUSTAKA Books.
Booij, G. 2007. The Grammar of Words: An Levin, B. 2007. ”The Lexical Semantics of Verbs
Introduction to Morphology. Oxford: III: Semantic Determinant of Argument
Oxford University Press. Realization.” [dikutip 22 Oktober 2008]
Tersedia dari:
Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of http://www.stanford.edu/~blevin/lsa07
Language. Chicago: The University of semdet.pdf.
Chicago Press.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta:
Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: RajaGrafindo Persada.
Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: Refika Aditama. Moeliono, A.M. (ed). 1988. Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Elson, B. dan V. Pickett. 1987. Beginning
Morphology and Syntax. Texas: Summer Mourelatos, A.P.D. 1981. “Event, Processes, and
Institute of Linguistics. State”. Dalam Tedeschi dan Zaenen, ed.
1981.
Foley, W. A. dan R. Van Valin Jr. 1984.
Functional Syntax and Universal Grammar. Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa
Cambridge: Cambridge University Press. Indonesia”. (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New
Jersey: Lawrence Erlbaum. Shirai, Y. dan R.W. Andersen. 1995. “The
Acquisition of Tense-Aspect Morphology:
Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological A Prototype Account”. Language, 71:
Introduction. Vol. 1. Amsterdam/ 743—762.
Philadelphia: John Benjamins.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis
Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Semantic Universal”. Dalam C. Goddard Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta:
(ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Duta Wacana University Press.
Semantic Point of View (NSM Approach),
1—5. Canberra: Australian National Tampubolon, D.P., Abubakar, dan M. Sitorus.
University. 1979. Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 65
Kategori dan Peran Semantis Verba
❏ Mulyadi
Dalam Bahasa Indonesia
Tampubolon, D.P. 1988. “Semantik sebagai Titik Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics:
Tolak Analisis Linguistik". Dalam The Semantics of Social Interaction. Berlin:
Dardjowidjojo, ed. 1988. Mouton de Gruyter.
Van Valin, R. D. 2005. Exploring the Syntax- Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and
Semantics Interface. Cambridge: Cambridge Cognition. Oxford: Oxford University
University Press. Press.
Van Valin, R. D. dan R. LaPolla. 1999. Syntax: Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and
Structure, Meaning, and Function. Universals. Oxford: Oxford University
Cambridge: Cambridge University Press. Press.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009
Halaman 66
TENTANG PENULIS
1. I Made Netra
I Made Netra adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas
Udayana. Dia menyelesaikan S-2 dalam bidang pragmatik tahun 2005 di Universitas Udayana. Selain
terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, dia juga rajin menulis artikel ilmiah dan menyajikan
makalah dalam seminar linguistik. Saat ini I Made Netra adalah kandidat doktor etnopragmatik di
Universitas Udayana.
2. Fajri Usman
Fajri Usman lahir di Pasaman 5 April 1966. Dia adalah dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra Universitas Andalas. Gelar magister humaniora diraihnya di Universitas Udayana dengan
membahas mantra dalam bahasa Minangkabau. Kini yang bersangkutan sedang menunggu ujian
promosi doktor di Universitas Udayana dalam bidang linguistik kebudayaan.
3. Rumnasari K. Siregar
Rumnasari K. Siregar lahir di Medan, 16 Februari 1968, adalah dosen di Jurusan Akuntansi dan
Perbankan Politeknik Negeri Medan. Dia aktif mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan yang
berbasis pada pengajaran bahasa. Kegiatan akademiknya yang lain ialah sebagai dosen luar biasa di
Universitas Islam Sumatera Utara.
4. Ni Wayan Sartini
Ni Wayan Sartini lahir di Denpasar, 11 Agustus 1964. Ia memperoleh gelar sarjana dan magister
humaniora dari Universitas Udayana. Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga,
Ni Wayan Sartini rajin mempublikasikan artikelnya dalam jurnal nasional terakreditasi. Saat ini dia
adalah kandidat doktor linguistik dari Universitas Udayana.
7. Abdurahman Adisaputera
Abdurahman Adisaputera lahir di Stabat, 1 Oktober 1967. Kandidat doktor sosiolinguistik dari
Universitas Udayana ini adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Sastra, Universitas Negeri Medan. Karya ilmiahnya telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan
seminar (nasional dan internasional). Karyanya yang mutakhir ialah ”Linguistik Fungsional Sistemik:
Analisis Teks Materi Pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) terbit di jurnal Logat (2008) dan ”Sosio-
ekologis Melayu Langkat dan Pengaruhnya pada Sistem Kekerabatan” yang disajikan pada Seminar
Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayana (2009).
8. Mulyadi
Mulyadi lahir di Tanjung Balai, 31 Juli 1964. Lektor Kepala di Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Sastra USU ini meraih magister humaniora dari Universitas Udayana (1998) dalam bidang
Semantik. Ia kemudian mengikuti program doktor linguistik di Universitas Udayana Tahun 2007 dan
kini sedang melaksanakan penelitian tentang semantik verba emosi dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Melayu Asahan. Tulisannya yang terakhir ialah ”Simbolisme Bunyi dalam Bahasa Indonesia”
(2008) terbit di jurnal Kajian Sastra (Universitas Diponegoro), ”Kealamiahan Proses Morfologis:
Misteri dalam ”Kotak Pandora” (2008) di jurnal Linguistik Kultura (Universitas Andalas), dan ”Dari
Gerakan ke Emosi: Metafora Emosi Bahasa Indoesia” (2009) dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu II
di Universitas Udayan