Anda di halaman 1dari 22

Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal.

141-162

Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa


Abdullah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Indonesia
abdullah11@uinjkt.ac.id

Abstrak
Data kebahasaan sering merekam nilai budaya. Hanya saja, data kebahasaan masih belum mendapat
perhatian untuk kepentingan analisis terhadap dinamikasosial masyarakat yang bersumber pada nilai-
nilai budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis cerita humor bahasa Jawa Ngapak yang
mengandung nilai-nilai budaya dan cara budaya dikonstruksi melalui melalui bahasa humor. Objek
kajian tulisan ini adalah wacana humor. Oleh karena wacana humor menggunakan media teks dan
tuturan, pendekatan yang digunakan adalah linguistik-antropologi. Adapun metode yang digunakan
dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan, tulisan, atau perilaku yang diamati, dengan menggunakan tehnik simak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa budaya sehat, ajaran agama, dan budaya berbagi terhadap sesama ditemukan
dalam humor bahasa Jawa Ngapak itu. Budaya-budaya itu dikontruksi melalui bahasa Jawa Ngapak
dalam suasana humor menampilkan realitas masyarakat penutur Ngapak. Ini berarti nilai-nilai
budaya ditemukan dalam humor, berupa percakapan manusia maupun percakapan tokoh cerita fable,
yang dikonstruksi melalui bahasa Jawa Ngapak untuk merefleksikan realitas.

Kata kunci: budaya; humor; Ngapak; ujaran lisan


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstract
Linguistic data that embody cultural values have not been taken into consideration in analyzing social
dynamics. The study aimed at investigating Ngapak Javanese humor story which contained cultural
values, and how culture was constructed through the language of humor. Therefore, the humonrous
discourses became the main object of the research. The method used in this research is a qualitative
which produced descriptive data in the form of speech, written, or observed behavior, and supported
with listening technique. As humorous discourses used speech and text media, the study utilized a
linguistic-anthropology approach. Healthy life culture, religious teachings, and the culture of sharing
were found in the Ngapak Javanese humor stories. These cultures were constructed through the
language of humor by the Javanese Ngapak community. In addition, the culture constructed through
the Ngapak Javanese language in a humorous atmosphere displayed the reality of the Ngapak-
speaking community. This can be concluded that cultural values found in humor, in the form of human
speech and fable character conversations constructed through the Ngapak Javanese language
displayed the reality of social dynamics.

Keywords: culture; humor; Ngapak; oral speech

141
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

A. Pendahuluan oleh Herusatoto1 dalam buku Banyumas;


Ada peribahasa adoh ratu, cedak watu Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.
(jauh dari raja, dekat dengan batu). Secara E.M. Uhlenbeck, sebagaimana dikutip
sosiologis, pribahasa ini menggambarkan oleh Suhardi,2 mengelom-pokan dialek-
2 (dua) hal. Pertama, kaum priyayi yang dialek yang diper-gunakan di wilayah
disimbolkan dengan kata ratu (raja), Barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok
sekaligus menggambarkan kebudayaan (rumpun) bahasa Jawa Tengah bagian
kraton. Kedua, kumonitas wong cilik yang Barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan
disimbolkan dengan kata watu, sekaligus dan Banten Utara). Kelompok lainnya
menggambarkan kebuda-yaan yang tidak adalah bahasa Jawa Tengah bagian Utara
terjamah oleh kebudayaan kraton. Di (Tanjung, Ketanggungan, Larangan,
antara karakteristik kebudayaan kraton Brebes, Slawi, Moga, Pemalang,
adalah pemberlakuan unggah-ungguh Surodadi, dan Tegal). Selain itu, terdapat
(sopan santun) yang cenderung dialek wilayah selatan (Bumiayu, Karang
feodalistik. Hal ini dapat dilihat pada Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya,
penggunaan ragam bahasa di lingkungan Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga,
kraton, yaitu ragam kromo inggil. Bobotsari, Banjarnegara, Purworejo,
Secara geokultural, peribahasa tersebut Kebumen, dan Gombong) Kelompok
di atas juga menggambarkan masyarakat bahasa Jawa bagian Barat (harap
kelas bawah (cedak watu) yang secara dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa
horisontal tidak terikat dengan patok Sunda), inilah yang sering disebut bahasa
unggah-ungguh. Budaya ini nampak pada Banyumasan. Penyebaran wilayah yang
masyarakat Jawa Tengah bagian Barat. luas ini menjelaskan mengapa terdapat
Ketiadaan unggah-ungguh justru variasi morfem yang memliki kemiripan,
menjadikan masyarakat setara dan misalnya: ‘kepriwe’, ‘keprimen’, dan
egaliter. Kesetaraan ini nampak pada ‘kepriben’, yang bisa dipadankan secara
penggunaan bahasa yang tidak terikat paralel dengan ‘bagaimana’.
pada unggah-ungguh bahasa. Hal ini Selain itu, paling tidak ada 2 (dua) hal
ditemukan pada komunitas Banyu-masan yang membedakan bahasa Jawa bagian
yang mengunggkapkan sesuatu secara Timur dari bahasa Jawa bagian Barat,
jujur, lugas, dan apa adanya. Bahasa yang yaitu: a) akhiran 'a' tetap diucapkan 'a'
mereka gunakan merupakan gambaran bukan 'o' dan b) kata-kata yang berakhiran
dari masyarakat yang tidak huruf mati dilafalkan dengan nada penuh.
menyembunyikan maksud sebenarnya Maksudnya ada penekanan tersendiri
dari bahasa atau tuturan yang mereka terhadap akhir dari huruf konsonan pada
sampaikan. Lebih dari itu, mereka kata. Pelafalan dilakukan secara tegas,
menggunakan dialek bahasa yang lugas, dan jelas penekanannya. Boleh jadi
cenderung menciptakan kesetaraan dalam pelafalan ini menjelaskan mengapa bahasa
partisipa yang terlibat dalam tururan, yaitu ngapak dan sering diidentikan dengan
ragam ngoko lugu, sebagaimana dicatat bahasa medhok.3

1
Budioho Herusatoto, Banyumas ; Sejarah, 3
Afifah Rizki Pratomo, “Ngapak Dan Identitas
Budaya, Bahasa, Dan Watak, Cetakan ke-1 Banyumasan; Komunikasi Organisasi Berbasis
(Yogyakarta: LKiS, 2008). Dialek Budaya Lokal Di Dinas Pendidikan Dan
2
Imam Suhardi, “Budaya Banyumasan Tak Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Banyumas”
Sekedar Dialek (Representasi Budaya Banyumas (Skripsi, Uiniversitas Islam Indonesia, 2018), 4,
Dalam Prosa Karya Ahmad Tohari),” Wacana https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/1234567
Etnik Volume 4, nomor 1 (2013), 89/9764/NASKAH%20PUBLIKASI%20AFIFA
http://wacanaetnik.fib.unand.ac.id/index.php/wac H%202%20-
anaetnik/article/view/44. %20adt.pdf?sequence=2&isAllowed=y.

142
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

(1) Wis sangang dina wingine ndeso karena dialek ngapak-ngapaknya,


Sudah sembilan hari yang lalu tetapi menjadi karya adiluhung yang berisi
(2) Wong kae ora tau teka mrene roh kese-derhanaan, kesatrian, dan
Dia tidak pernah datang kesini kelugasan wong Banyumas.
(3) Wong Jawa mangan sega Widyaningsih5 menggunakan
Orang Jawa makan nasi hermeneutik Hans-George Gadamer
(4) Mangan jagongan kepenak melakukan studi filosofis tentang bahasa
Makan lesehan nyaman dan mentalitas Banyumas Ngapak
(5) Apamaning lawuhe enak bertujuan untuk menemukan penjelasan
Apalagi lauknya enak tentang sifat bahasa sebagai substansi dan
(6) Weih inyong uyah sitik bentuk, hubungan pikiran, budaya, dan
Beri aku garam sedikit komunikasi manusia dalam kehidupan.
Kata-kata 'dina' pada (1), ‘teka’ pada Sementara Suryaningsih menyoroti
(2), dan ‘sega’ pada (3), masing-masig penggunaan ragam bahasa melalui kata
diartikulasikan dengan vokal ‘a’ pada sapaan bahasa ngapak dengan
akhir kata. Sementara kata-kata ‘kepenak’ menggunakan pendekatan sosio-
pada (4), ‘enak’ pada (5), dan ‘sitik’ pada linguistik. Subjek penelitiannya adalah
(6), masing-masing diucapkan penuh masyarakat desa Kaibon, Petangkuran dan
dengan suara huruf 'k' yang jelas. Itulah Ambal Resmi kecamatan Ambal
sebabnya mengapa bahasa Banyumasan kabupaten Kebumen.
oleh masyarakat di luar Banyumas disebut Sedangkan Trianto melihat bahasa,
sebagai bahasa Ngapak atau Ngapak- identitas, dan budaya Banyumas memiliki
ngapak. pertalian yang erat dalam berbagai
Selain itu, ujaran (1), (2), (3), (4), (5), kontestasi perubahan kemajuan
dan (6) merupakan satuan-satuan ujaran masyarakat.6 Sistem bahasa pada konteks
yang tertata secara rapih dan teratur. budaya Banyumas menjadi benteng akhir
Seluruh ujaran itu memiliki sistem yang pertahanan identitas budaya. Bahasa
memungkinkan seorang penutur bahasa Banyumas dan dialek Banyumas
dapat mengutarakan berbagai gagasan, merupakan simbol budaya yang paling
keprihatinan, kepercayaan, pengertian, representatif untuk mengidentifikasi
rasa humor dalam bentuk lambing. kebanyumasan. Penggunaan bahasa dan
Keteraturan fonetik inilah yang dialek (logat) Banyumas
menyokong data kebahasaan, termasuk merepresentasikan resistensi budaya lokal
bahasa ngapak. Data kebahasaan ini yang terhadap penetrasi budaya dari luar
dapat dipahami dan ditafsirkan oleh orang Banyumas. Bahasa Banyumas menjadi
lain. identitas, sekaligus fitur budaya untuk
Belakangan studi bahasa untuk melakukan perlawanan kultural
kepentingan di luar bahasa mendapat masyarakat Banyumas.
perhatian serius. Suhardi4 misalnya, Selain itu, ada Pratomo yang menguji
melihat budaya Banyumasan melalui peluang Program Bahasa Daerah (PBD),
karya sastra Ahmad Tohari. Sastra yaitu: bahasa Ngapak yang dipergunakan
Banyumasan tidak lagi dianggap sebagai sebagai piranti komunikasi di instansi
4
Suhardi, “Budaya Banyumasan Tak Sekedar 6
Teguh Trianto, “Bahasa Sebagai Identitas Dan
Dialek (Representasi Budaya Banyumas Dalam Perlawanan Kultural Masyarakat Banyumas
Prosa Karya Ahmad Tohari).” Pascakolonial” (Indonesia: Art and Urban
5
Rindha Widyaningsih, “Bahasa Ngapak Dan Culture, Solo: FIB UNS Solo, 2016),
Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan Dari https://www.researchgate.net/publication/326123
Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg 568_Bahasa_sebagai_Identitas_dan_Perlawanan_
Gadamer,” Jurnal Ultima Humaniora Vol II, Kultural_Masyarakat_Banyumas_Pascakolonial.
Nomor 2 (2014): 186–200.

143
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

pemerintah secara formal.7 Paradigma Dalam konteks ini pendengar (mitra tutur)
yang digunakan adalah Konstruktivisme dapat mela-kukan interpretasi atau
dengan teknik pengumpulan data berupa memberikan makna kepada ujaran humor
wawancara dan observasi yang dilakukan itu. Dalam tulisan ini, humor dianggap
di Dinas Pendidikan dan Unit Pendidikan sebagai satu bentuk komunikasi yang
Kecamatan (UPK) Banyumas. merupakan pusat kehidupan kebuda-yaan.
Temuannya adalah bahasa Ngapak tidak Di dalam humor terdapat pengetahuan
bisa mengkonstruksi identitas karena, tentang makna, nila-nilai, ideologi,
bahasa hanya digunakan dalam apel pagi, kebudayaan dan sebagainya.
do’a pagi, dan sambutan rapat. Kajian tulisan ini hendak membuktikan
Penggunaan bahasa Ngapak bersifat bahwa analisis bahasa dapat digunakan
formalitas untuk memenuhi kewajiban untuk kepentingan kajian sosial, bahkan
yang diatur dalam Surat Edaran yang sampai tahapan yang detil. Analisis
dikeluarkan oleh Bupati Banyumas. linguistik-antroplogi berguna ketika
Dengan menyebut ‘identitas, sekaligus dikolabo-rasikan dengan strategi analisis
fitur budaya,’ yang hendak ditekankan lainnya. Berangkat dari pernyataan di atas,
adalah kebudayaan suatu masyarakat tulisan ini hendak menjawab pertanyaan-
dapat diketahui melalui bahasanya. pertanyaan, nilai-nilai budaya apa saja yng
Tegasnya bahasa menjadi semacam pintu terkandung dalam humor bahasa Jawa
masuk untuk mengenal cara berpikir suatu Ngapak itu? Bagaimana budaya
masyarakat. Bahasa juga dapat berfungsi dikonstruksi melalui bahasa, dalam teks
untuk menyampaikan informasi dan humor yang dilakukan masyarakat Jawa
pengalaman, baik yang bersifat kultural Ngapak? Apakah nilai budaya yang ada
maupun individual, kepada orang lain. dalam humor itu yang dikonstruksi
Dalam konteks menyampaikan melalui bahasa Jawa Ngapak untuk
informasi dan pengalaman, humor menampilkan realitas semu atau
merupakan elemen penting untuk hiperrealits?
menyampaikan informasi yang tidak
terlepas dari prinsip-prinsip komunikasi. B. Metode
Dalam konteks ini faktor-faktor yang Objek kajian tulisan ini adalah wacana
bersifat psikologis, sosiologis dan humor bahasa Jawa Ngapak yang
antroplogis dari penutur kepada mitra ditampilkan di media digital seperti WA,
tuturnya akan menjadi pertimbangan twitter dan internet serta Youtube. Data
utama dalam proses eksplorasi ide yang menggunakan simbol-simbol budaya
ataupun proses kreatif penciptaan humor. atau yang memakai setting budaya untuk
Dapatlah dipahami bahwa karya humor berhumor, akan dipilih sebagai data kajian
sama dengan karya sastra lainnya, seperti ini. Oleh karena itu, secara metodologis,
puisi atau novel sarat dengan nilai yang pendekatan yang digu-nakan dalam kajian
secara empiris dekat dengan realitas ini adalah pendekatan linguistik-
kehidupan masyarakat penggunanya. antropologi. Paradigmanya adalah teks
Bahasa humor, menampilkan atau sebagai konstruksi yang mengekspresikan
menggunakan nilai-nilai budaya dari suatu cara hidup, alat perlengkapan hidup,
masyarakat. Sabar kuwe langka batase bahasa, susunan masyarakat, adat istiadat,
nek pancen niat gelem sabar ‘sabar itu perumahan, sandang pangan, pendidikan,
tiada batas, kalau memang niat mau pandangan hidup, kepercayaan dalam
sabar,’ dapat dijadikan sebagai contohnya. masyarakat. Dalam hal ini, teks dipandang

7
Afifah Rizki Pratomo, “Ngapak Dan Identitas Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Banyumas”
Banyumasan; Komunikasi Organisasi Berbasis (Skripsi, UII Yogyakarta, 2018),
Dialek Budaya Lokal Di Dinas Pendidikan Dan https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9764.

144
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

sebagai refleksi budaya sedemikian rupa monolog mejadi gugus-gugus sesuai


sehingga ia merupakan satu kesatuan yang dengan tanda-tanda bahasa yang ada
utuh. Tugas peneliti yang berhadapan padanya. Gugus-gugus satuan bahasa
langsung dengan teks adalah memberikan dapat berupa kata, frase, klausa atau
makna melalui penafsiran (interpretasi) kalimat.
terhadap teks dan menghubungkan makna Penelitian ini dibuat dengan langkah-
dengan makna lainnya dalam konteks langkah sebagai berikut: 1) menelusuri
masyarakat penghasil teks.8 dan mengumpulkan literatur yang ada
Kajian ini merupakan upaya untuk serta menelaahnya secara seksama; 2)
merespon budaya ngapak yang dimediasi membaca dan mencatat bahan-bahan
oleh perkembangan tehnologi digital. kepustakaan yang relevan untuk
Oleh karena itu, sumber data diambil dari memperoleh informasi yang diperlukan
media digital seperti WA, twitter dan untuk penulisan pokok bahasan ini; 3)
internet serta Youtube. Guna mengutip informasi berupa kerangka
mendeskripsikan apa adanya hasil dari konseptual untuk dijadikan landasan
pengumpulan data, digunakan metode berpijak dalam membahas persoalan yang
deskriptif. Dalam hal ini, peneliti diajukan dalam tulisan ini.
mencatat data-data berupa kata-kata, Untuk menganalisis data digunakan
kalimat-kalimat, wacana.9 metode padan ekstralingual dengan teori
Adapun pencarian dan pengum-pulan Hymes.10 Teori ini menyatakan bahwa
data dilakukan melalui metode simak sebuah peristiwa tutur dipengaruhi oleh
dengan teknik simak bebas cakap dan faktor-faktor yang oleh Hymes
teknik catat. Metode simak dilakukan terumuskan dalam kumpulan fonem yang
dengan menyimak penggunaan bahasa membentuk kata SPEAKING sebagai
secara tertulis maupun lisan. Simak berikut:
merupakan kegiatan permulaan, S : Setting (tempat dan waktu
mengamati, dan memahami teks humor tuturan)
yang berupa monolog ataupun dialog P : Partisipan (penutur dan mitra tutur)
antar peserta tutur yang terdapat dalam E: End (tujuan tuturan)
humor berbahasa Jawak Ngapak itu. A : Act (aktualisasi tutu-ran)
Teknik simak bebas cakap merujuk K : Key (ragam bahasa yang
kepada peran peneliti sebagai pengamat digunakan dalam tuturan)
penggunaan bahasa. Peneliti tidak terlibat I : Instrumen (perangkat yang
dalam peristiwa pertuturan, tetapi hanya digunakan untuk tuturan, misalnya:
menyimak pertuturan monolog atau dialog lisan atau tulis)
yang dilakukan para peserta tutur. Pada N : Norma (ketentuan atau aturan
teks humor bahasa Jawa Ngapak itu, tuturan yang disepakati penutur dan
peneliti hanya menyimak informasi teks mitra tutur)
baik yang berkenaan dengan isi maupun G : Genre (jenis kegiatan tuturan)
unsur-unsur di luar bahasa. Teknik lanjutan berupa teknik hubung
Teknik catat atau (taking note method) banding menyamakan, teknik hal pokok.
merupakan tata cara kerja melakukan Dengan teknik lanjutan ini, peneliti
pengelompokkan teks dialog maupun membanding-bandingkan teks humor itu

8
A. Chaer Alwasilah, Pokoknya Kualitatif; 10
Dell Hymes, “Dell. Models of The Interaction
Dasar-Dasar Merancang Dan Melakukan of Language and Social Life,” in Directions in
Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-1 (Jakarta: PT. Sociolinguistics: The Ethnography of
Dunia Pustaka Jaya, 2002), 45. Communication, ed. J. Gumperz and D. Hymes
9
Subroto, Pengantar Metode Penelitian (New York: Holt, Rinehart, Winston, 1972), 321.
Struktural (Surakarta: UNS Press, 1992), 7.

145
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

kemudian mengelom-pokkannya sesuai pengalaman dieskpresikan, salah satunya,


dengan tanda-tanda bahasa yang melalui bahasa yang konstruksinya
mengandung konstuksi budaya. Selain itu, menyim-pan makna.
digunakan analisis teks yang secara tehnis Manusia dalam mengekspresikan
dilakukan dengan cara mendeskripsikan pengalaman dan gagasannya diwujud-kan
teks, menjelaskan tema yang dikandung dalam bentuk bahasa. Bentuk bahasa itu
teks, menjelaskan hubungan-hubungan disebut representasi. Yang dipahami
teks, dan menjelaskan fungsi hubungan sebagai kegiatan memproduksi makna
teks.11 Untuk mempertajam analisis, melalui bahasa. Teori ini menjelaskan
dilakukan kontektualisasi tema yang bahwa konstruk-konstruk mempunyai
disuguhkan dalam dialog. kondisi sosial yang alami dan dipelajari
melalui hubungan dengan orang lain.
C. Temuan dan Pembahasan Budaya menjadi penting dalam memaknai
Antropologi Budaya suatu peristiwa, yang dapat diungkap
Antropologi budaya mempelajari hanya menggunakan bahasa.14
kebudayaan sebagai hasil dari suatu Representasi dalam Kamus Besar Bahasa
kebudayaan berupa cara hidup, alat Indonesia diartikan: 1) perbuatan
perlengkapan hidup, bahasa, susunan mewakili; 2) keadaan diwakili.15 Hall
masyarakat, adat istiadat, perumahan, mengutarakan bahwa bahasa merupakan
sandang pangan, pendidikan, pandangan sistem dari representasi yang diperlukan
hidup, kepercayaan, sejarah, hubungan dalam seluruh proses pengkosntruksian
dari pemiliki kebudayaan dimaksud makna. Kata-kata suatu bahasa yang
dengan masyarakat atau bangsa lainnya.12 mengandung makna disebut symbol.
Internalisasinya pada tataran individu Simbol yang mengandung makna
terjadi melalui proses konstruksi yang digunakan untuk merepresentasikan
digambarkan oleh Geogre Kelley, konsep. Hubungan konseptual antar
sebagaimana disebut Littlejohn,13 sebagai simbol satu dengan yang lainnya dibawa
interpretasi individu terhadap pesan dan dalam pikiran kita dan bersamanya dibuat
respon-tindak berdasar pada kategori yang sistem pemaknaan dalam kebudayaan
terkonsep dalam pikiran. Realitas yang suatu masyarakat.
terjadi serta pesan yang disampaikan tidak
sedemikian adanya, melalui proses seleksi Bahasa dan Budaya
dari perspektif individu. Konstruktivisme Makna kata dari suatu bahasa yang
tersusun dari teori konstruk personal yang sudah dkonstruksi melalui representasi
memandang bahwa seseorang memahami kode-kode, akan mudah dipahami. Burton
pengala-mannya melalui kejadian- menjelaskan bahwa kode adalah
kejadian yang dikelompokkan sekumpulan tanda dalam bentuk spesifik,
berdasarkan kesamaan dan perbedaan seperti tuturan, tulisan dan gambar
yang dimiliki tentang sesuatu individu visual.16 Fiske membedakan kode menjadi
akan memberikan makna pada dua, yaitu: 1) kode etik merujuk kepada
pengalaman tersebut melalui kode legal, kode etik, atau tatakrama; 2)
pengklasifikasian. Pemberian makna pada kode yang berupa sistem tanda bahasa.
11
Subhi Inrahim al-Faqih, ʻIlm Al-Lughat al- 14
Ferdinand de Saussure, Cource in General
Nashsh Bain al-Nazhariyyat Wa al-Tathbîq, Linguistics (Boston: McGraww Hill, 1966), 16.
Cetakan ke-1 (Kairo: Dȃr al-Qabȃ, 2000), 55. 15
Depdiknas, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
12
Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi (Jakarta: Gramedia, 2014), 1167.
16
Dan Kebudayaan (Jakarta: Bhratara, 1965), 40. Graeme Burton, More than Meets the Eye An
13
Stephen W Littlejohn, Theories of Human Introduction to Meddia Studies (Great Britain:
Communication, Fifth Edition (California: Edward Arnold, 1990), 27.
Wadsworth, 1996), 112–20.

146
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

Kode tipe kedua ini memiliki prinsip- lebih lengkap dipaparkan oleh Ramond
prinsip yaitu berupa: a) dimensi Williams dalam Lull19 sebagai berikut:
paradigmatic yaitu kode yang memiliki “Budaya adalah suatu cara hidup
sejumlah unit yang sudah diseleksi. tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi
Dimensi sintagmatik ini merujuk epada kepercayaan, objek material, dan wilayah.
unit-unit bahasa yang sudah Budaya adalah suatu ekologi yang
dikombinasikan denga aturan atau kompleks dan dinamis dari orang, benda,
konvensi; b) unit kode adalah tanda yang pandangan tentang dunia, kegiatan dan
memiliki berbagai macam makna; 3) kode latar belakang yang secara fundamental
digunakan tergantung pada persetujuan di bertahan lama, tetapi juga berubah dalam
antara penggunanya dan pada latar komunikasi dan interaksi sosial yang
belakang budayanya. Kode dan budaya rutin. Budaya adalah konteks. Budaya
saling berhubungan secara dinamis.17 adalah cara kita berbicara dan berpakaian,
Bahasa sebagai konstruksi budaya makanan yang kita makan, dan cara kita
meliputi tiga aspek, yaitu bahasa, budaya menyiapkan dan mengkonsuminya, dewa-
dan semiotic. Ini bahasa berarti membuka dewa yang kita ciptakan, dan cara kita
suatu persoalan yang mempunyai ranah memujanya, cara kita membagi waktu dan
yang demikian luas. Pembahasannya ruang, cara kita menari, nilai-nilai yang
dapat mengambil ranah bahasa dan kita sosialisasikan kepada anak-anak kita,
konstruksi makna, makna dan kode, dan semua detail lainnya yang membentuk
budaya, serta semiotik. Situasi ini secara kehidupan kita sehari-hari.”
konseptual mengindikasikan bahwa Definisi tersebut di atas dijadikan
bahasa sebagai konstruksi budaya landasan untuk mengambil unsur bahasa
merupakan pokok bahasan yang sudah ada dari segi budaya cara kelompok
sejak dahulu, tetapi sekaligus pokok masyarakat bertutur dan berbicara. Uraian
aktual yang bersifat hangat untuk terus berikut menggambarakan ujaran-ujaran
diperbicangakan oleh berbagai kalangan suatu kelompok masyarakat Jawa yang
yang tertarik kepada kajian bahasa sebagai jadi objek sasaran, yaitu kelompok
konstruk budaya yang dapat ditinjau dari masyarakat penutur bahasa Jawa Ngapak.
berbagai sudut pandang. Apalagi, bahasa
sebagai konstruksi budaya sebagai Bahasa Ngapak sebagai Konstruk
kegiatan pengajaran yang berlangsung Budaya Jawa
mulai dari pendidikan dasar hingga Bahasa humor Jawa Ngapak yang
pendidikan tinggi, di mana pun dan kapan mengkonstruksi budaya Jawa, disajikan
pun, pokok bahasan itu mempunyai dalam bentuk dialog. Dalam penyajian
kedudukan penting dalam kaitan dengan dialog 1 (Lampiran 1), teks bahasa Jawa
berbagai aspek kehidupan manusia. Ngapak diterjemahkan ke dalam bahasa
Budaya itu sendiri banyak pengertian Indonesia guna mendapatkan pemahaman
yang dirumuskan oleh para ahli. Mac Iver, bagi pembaca yang memiliki kemampuan
misalnya, menjelaskan bahwa budaya bahasa Indonesia.
sebagai ekspresi jiwa yang terwujud Dialog 1 memandikan kucing tersebut
dalam cara-cara hidup dan berpikir, di atas dianalisis menggu-nakan teori
pergaulan hidup, seni kesastraan, agama, SPEAKING sebagai berikut:
rekreasi, dan filsafat sebagaimana dikutip Latar tempat : Warong Retno
oleh Soekanto.18 Definisi budaya yang Latar waktu : Siang hari

17 19
John Fiske, Introduction to Communication James Lull, Media, Komunikasi Dan
Studies (London: Routledge, 1990), 64–65. Kebudayaan (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), 27.
18
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 336.

147
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

Partisipan : P1 (Retno) dan P2 kucing. Dalam konteks itu, mereka sangat


(Rikun) paham dan pandai membedakan kucing
Tujuan : informasi memandikan yang mempunyai banyak kutu dan kucing
kucing yang banyak kutu bersih dari kutu.
Peristiwa : Kucing banyak kutu Berlangsungnya komunikasi antara
Ragam bahasa : Akrab Retno dan Rikun menunjukkan bahwa
Perangkat tuturan : Lisan kode-kode bahasa dan tanda bahasa Jawa
Aturan tuturan : dialek Jawa Ngapak Ngapak telah beroperasi atau bekerja
Jenis tuturan : Dialog dengan baik yang bergantung pada
Bertumpu pada klasifikasi konteks, kegunaan kode itu, yaitu menyampaikan
ujaran diperoleh beberapa aspek, yaitu: informasi tentang eksistensi dan budaya
Retno merasa heran atas perilaku Rikun Jawa. Dengan demikian, bahasa Jawa
yang tidak pernah membeli sabun di Ngapak dapat mengkonstruksi budaya
warungnya untuk mencuci pakaian. Jawa.
Keheranan Retno bertambah ketika Rikun Dialog 2 berisi tentang hukum
membeli sabun ternyata untuk mencuci menyuruh orang sholat (Lampiran 2)
kucing. Retno memberi saran bahwa dianalisis menggunakan teori SPEAKING
kucing tidak bisa dicuci, dan hal itu dapat sebagai berikut:
berdampak pada kematian kucing. Latar tempat : Pagelaran wayang santri
Ternyata kucing Rikun mati bukan karena Latar waktu : Malam hari
sabun atau air, tetapi karena diperas oleh Partisipan : P1 (Lupit), P2 (Slentheng),
Rikun. Kucing yang dimandikan dalam dan P3 (Kyai)
konteks masyarakat Jawa tidak lazim, Tujuan : Penyampaian informasi
sehingga ketika ada orang ingin tentang hukum menyuruh
memandikan kucing terasa sangat janggal orang salat
dan menimbulkan keheranan, karena Peristiwa : Menyuruh orang salat
kucing bila kena air takut, bahkan bisa Ragam bahasa : Akrab
mati. Perangkat tuturan : Lisan
Cara Retno berbicara: Kun kepriwe Aturan tuturan : dialek Jawa Ngapak
kucinge ko? merupakan cara Retno Jenis tuturan : Dialog
menyampaikan makna. Retno berujar lagi Dialog 2 dengan faktor-faktor yang
lah kuwe tek omongi ora percaya si koe memberi pengaruh terhadap kegiatan
lah kucing dikumbah karo deterjen si nggo tuturan, merupakan cuplikan dialog
ngapa, mbok ana obat tuma, sungune wayang santri Ki Enthus Susmono.
Ratno modod. Ujaran Retno merupakan Partisipan yang terlibat dalam dialog
tanda-tanda berupa kata yang terangkai adalah P1 (tokoh santri Lupit), P2 (tokoh
dalam kalimat yang dibangun oleh Retno. santri Slentheng), dan P3 (tokoh Kyai).
Dalam dialog itu, Rikun membuat dan Secara linguistik, dialog yang berisi
menggunakan frase sungune modod yang interaksi secara langsung merupakan
arti secara harafiah ‘tanduknya keluar’ realisasi bahasa. Dalam realisasinya,
dapat diartikan ‘orang yang sangat karena penuturnya representasi orang
marah’. Retno sangat marah karena tidak Jawa bagian Barat (Tegal) yang Ngapak,
terima untuk dinasehati mengenai maka tuturan dalam dialog disebut tuturan
kucingnya yang telah mati akibat Ngapak (Bahasa Ngapak) Tegal. Dalam
perbuatan bodohnya memeras kucing perspektif linguistik, tuturan dalam dialog
seperti memeras pakaian yang baru selesai itu ditranskripsi dan dianalisis sehingga
dicuci. Lebih dari itu, frase tersebut dapat ditemukan kaidah-kaidah atau
diinterpretasikan bahwa orang Jawa keteraturan; mulai dari keteraturan
sangat dekat dengan hewan peliharaan fonologi, keteraturan morfologi,

148
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

keteraturan sintaksis, dan keteraturan dari itu dia menginginkan mitra tutur
semantik. Datanya diambil dari tuturan melakukan perbuatan atau tindakan
yang dalam terminologi Ferdinand de sebagai responnya terhadap informasi
Saussure disebut parole. Dalam hal ini, de yang disampaikan oleh penutur.
Saussure membedakan kompetensi Dalam kajian pragmatik, tuturan yang
linguistik penutur dengan peristiwa tidak semata-mata menyatakan sesuatu,
sebenarnya atau data linguistik (ujaran) tetapi juga menyatakan adanya perbuatan
sebagai langue dan parole. Parole atau tindakan sebagai respon terhadap
merupakan data yang langsung bisa tuturan disebut tuturan performatif atau
diperoleh. Objek linguistik adalah langue kalimat performatif. Sedangkan tuturan
dari tiap-tiap masyarakat, yaitu: leksikon, yang hanya menyampaikan informasi
tatabahasa, dan fonologi yang tertanam disebut tuturan konstatif atau kalimat
dalam diri masing-masing orang perorang konstatif. Berbeda dengan tuturan
dalam masyarakat20. konstatif, tuturan permormtif, menurut
Hanya saja, guna menemukan aspek Austin sebagaimana dikutip Abdul
makna tujuan, analisis atas dialog atau Chaer,22 bersifat netral, maksudnya tidak
tuturan tidak cukup memadai dengan mengandung nilai benar atau salah.
menggunakan analisis linguistik, tetapi Sedangkan tuturan konstatif atau kalimat
mesti dikolaborasi dengan analisis tindak kostatif mengandung nilai benar atau
tutur (pragmatik). Adalah Austin yang salah.
pertama memperkenalkan gagasan bahwa
bahasa dapat digunakan untuk melakukan (7) Wong sembayang ora usah
tindakan melalui perbedaan antara ujaran dikongkon-kongkon
konstatif dan ujaran performatif. Ujaran Orang salat tidak perlu disuruh-
kosntatif mendeskripsikan atau suruh
melaporkan peristiwa-peristiwa dan (8) Malah ngongkon wong sembayang
keadaan-keadaan di dunia. Ujaran hukume dosa
konstatif dapat dikatakan benar atau salah. Bahkan menyuruh orang salat
Berbeda dari ujaran konstatif, ujaran hukumnya dosa
performatif merupakan bagian dari
melakukan tindakan yang biasanya tidak Tuturan (7) dan (8) dari P1 (Lupit)
dideskripsikan hanya sebagai tindak dalam dialog 2 merupakan konstruksi
mengatakan sesuatu21. Gagasan ini yang dibangun dari katagori-katagori
dikembangkan oleh para ahli bahasa, yang (kelas kata) yang mengisi fungsi sintaksis
kemudian dikenal dengan Teori Tindak (kedudukan kata dalam kalimat) dan
Tutur. manjalankan peran sintaksis tertentu
Bahasa merupakan instrumen untuk (makna kalimat) dalam konstruksi
menyampaikan informasi kepada orang tersebut. Pada tahap konstruksi ini
lain. Pada tahap pemahaman seperti ini, (kalimat konstatif), tuturan (7) dan (8)
bahasa tidak lain hanyalah kegiatan mesti mengandung nilai benar. Ini
menyatakan sesuatu. Namun, orang menjelaskan mengapa P2 (Slentheng)
(penutur) terkadang menghendaki tidak dalam dialog 2 memberikan respon yang
semata-mata menyampaikan infromasi negatif karena, tuturan (7) dan (8) tidak
atau menyatakan sesuatu, tetapi juga lebih

20 21
RH Robins, Sejarah Singkat Linguistik, Louise Cummings, Pragmatiks, A
Cetakan ke-3 (Bandung: Penerbit ITB, 1995), Multidisciplinary Perspective, Cetakan ke-1
281. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 8.
22
Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, Cetakan
ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 27.

149
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

mengandung nilai benar. Respon negatif Kontekstualisasi tuturan (7) dan (8)
nampak pada tuturan (9) dan (10) berikut: adalah berkaitan dengan fiqh ibadah
bahwa melakukan ajakan dan suruhan
(9) Kiyeh... raine madep mene kiye menegakkan salat memang dianjurkan,
Gini... mukamu menghadap ke sini artinya tidak salah apalagi dosa. Hal ini
ni sesuai dengan teori tindak tutur yang
(10) Pada-pada santri koen ka menyatakan bahwa satu tuturan
aja ngajarna aliran sesat koen performatif atau kalimat performatif dapat
Sesama santri, kamu jangan memiliki lebih dari fungsi komunikatif.
mengajarkan aliran sesat, kamu Tegasnya, satu fungsi komunikatif dapat
diekspresikan dengan berbagai bentuk
P2 dalam dialog 2 menjelaskan ujaran.
ketidakbenaran informasi dari tuturan (7) Oleh karena dialog yang
dan (8). Pada saat yang sama P2 dalam dilangsungkan oleh P1 dalam dialog 2
dialog 2 melakukan kritik dan evaluasi (Lupit) dan P2 dalam dialog 2 (Slentheng)
melalui tuturan ekspresif (11) dan (12) merupakan tuturan humor dari wayang
santri, maka tindak tutur asertif yang
(11) Wong memerintahkan disampaikan P1 dalam dialog 2 (Lupit)
berbuat kebajikan iku hukume bertentangan dengan ajaran fiqh ibadah,
wajib, paham....! meski tindak tutur lokusi P1 daalam dialog
Orang menyuruh berbuat 2 (Lupit) benar secara gramatikal. Tindak
kebajikan itu hukumnya wajib, tutur ilokusi dari P1 dalam dialog 2
paham...! (Lupit) menjadi benar melalui tuturan
(12) Kewajiban umat Islam (13), (14), (15), dan (16)
kuwe ngejak, ngongkon wong solat
iku termasuk wajib, oleh pahala (13) Wong pan ngongkon mbong
Kewajiban umat Islam itu mboran mengko dong wonge lubar
mengajak, menyuruh orang salat sembayang nembe dikongkon
itu termasuk wajib, memperoleh Orang akan menyuruh atau tidak
pahala menyuruh nanti setelah orang itu
selesai salat, setelah itu baru disuruh
Analisis tindak tutur fokus pada (14) Wong kiye ngongkon wong ngger
kontekstualisasi tuturan. Karenanya, lagi Allahu Akbar terus dikongkon
parameter benar tidaknya informasi dalam eeeh To tokokna lenga
sebuah tuturan bukan pada keformalan Orang menyuruh orang kalau
ungkapan secara gramatikal atau benar sedang Allahu Akbar, lalu disuruh;
atau tidak benarnya informasi, melainkan Hai To ! belikan minyak
pada tujuan komunikasi. Dalam hal ini, (15) Dosa hukume ooooh... pan
Austin sebagaimana dikutip Abdul ngongkon mbora mengko dong
Chaer23 merumuskan tindak tutur dalam 3 lubar mbayang
(tiga) lapisan dari suatu tindak tutur, yaitu: Dosa hukumnya, bukan ? Akan
lokusi (tuturan yang tertata baik secara menyuruh atau tidak menyuruh
gramatikal), ilokusi (tujuan tertentu yang nanti saja setelah selesai salat
diimplisitkan melalui lokusi), dan (16) Dadi ngongkon wong mbayang
perlokusi (pengaruh atau efek dari tuturan hukume dosa
ilokusi). Jadi menyuruh orang salat
hukumnya dosa

23
Chaer, 28–29.

150
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

Pada tahap konstruksi ini (kalimat Dasar ‘Mooonyet’ (sambil


performatif), dialog wayang santri menjatuhkan badannya ke batang
tersebut menyuguhkan humor segar pisang tanda membenarkan ucapan P1
melalui logika yang dibangun oleh P1 dalam dialog 2).
dalam dialog 2 (Lupit), yang rumusannya
dalam Ushul al-Fiqh disebut mafhum Tindak tutur perlokusi raimu ara
mukhalafah (pemahaman terbalik). ngumong sing mau kaya kuwe sih
Tindak tutur lokusi dari P1 dalam dialog 2 (Mukamu tidak ngomong dari tadi kaya
(Lupit) ajakan atau suruhan terhadap begitu sih) menunjukkan bahwa P1 dalam
orang yang salat itu salah, bahkan dosa, ini dialog 2 (Slentheng) memahami
artinya kalau dilakukan di luar salat implisitasi tindak tutur ilokusi P2 dalam
(misalnya: selesai melaksanakan salat), dialog 2 (Lupit).
maka ajakan atau suruhan itu menjadi Diskusi semakin manarik jika analisis
tidak salah dan dosa. Tegasnya, tindak dilanjutkan pada situasi tuturan. Dalam
tutur ilokusi P1 dalam dialog 2 (Lupit) hal ini, situasinya sangat akrab, dan ini
mengim-plisitkan tujuan komunikasi, dan sekaligus menjelaskan mengapa bahasa
tujuan ini tersampaikan. Hal ini dapat yang digunakan dalam dialog wayang
dipahami dari paralinguistik dari P2 dalam santri tersebut menghindar dari unggah-
dialog 2 (Slentheng) dan P1 dalam dialog ungguh bahasa. Keakraban para
2 (Lupit) sebagai berikut: partisipan yang terlibat dalam dialog dapat
dirasakan dari penggunaan ragam bahasa
(17) Celingak-celinguk karo mikir ning rendah. Pilihan diksi ‘inyonge’, ‘raimu’
omongane Lupit kuwe bener dan ‘kunyuk’, misalnya, merupakan situasi
Noleh ke kanan dan ke kiri sambil dialog yang menggambarkan keakraban
memikirkan bahwa omongan Lupit partisipan yang terlibat dalam dialog.
itu benar Keakraban semakin dirasakan pada
(18) Guyu mesam mesem Tertawa kecil pilihan diksi ‘ngko ndingin’ dari P1 dalam
dialog 2 (Lupit). Diksi ini menjadi pilihan
Suasana humar menjadi semakin pecah P1 dalam dialog 2 (Lupit) sebagai tindak
dan mengundang tawa renyah melalui tutur perlokusi merespon tindak tutur
tindak tutur perlokusi dari P2 dalam dialog ilokusi P3 dalam dialog 2 (tokoh Kyai),
2 (Slentheng) (19) dan (20) sebagai respon yaitu: ‘Ya koen njelasaken’. Dalam
positif. Maksudnya P2 dalam dialog 2 stratifikasi sosial, Kyai mempunyai status
(Slentheng) membenarkan tujuan tindak sosial yang lebih tinggi dibanding ‘wong
tutur ilokusi P1 dalam dialog 2 (Lupit). cilik’ yang dalam hal ini direpresentasikan
oleh P1 dalam dialog 2 (Lupit). Kyai,
(19) Raimu ara ngumong sing mau menurut Dhofier24, telah melembaga
kaya kuwe sih...dadi inyonge dalam tradisi pesantren. Bersama
bingung eeeh lembaga-lembaga lainnya, yaitu: pondok,
Mukamu tidak ngomong dari tadi masjid, santri, dan kitab kuning, Kyai
kaya begitu sih...saya bingung deh merupakan eleman dasar bagi
(20) Aduuuuh....kuuunyuk (karo karakteristik pesantren. Sebagai lembaga
nibakna awake nang kedobok yang memiliki status sosial lebih tinggi,
gedang tandane mbenerna maka komunikasi yang dilangsungkan
omongane P1 dalam dialog 2) dengan Kyai mesti menggunakan unggah-

24
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES,
1994), 44.

151
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

ungguh bahasa. Dalam hal ini saja berbeda ragam bahasanya jika
menggunakan ragam kromo inggil. partisipan memiliki status sosial lebih
Unggah-ungguh bahasa bisa dirasakan rendah atau sederajat. Dalam hal ini,
pada dialog antara Pak Kayim dengan ragam bahasa yang digunakan adalah
seorang warga desa tentang berita duka, ragam bahasa rendah (Ngoko) seperti
sebagaimana dilaporkan oleh (21b), meski padanan dalam bahasa
Wantorojati25 sebagai berikut: Indonesia sama, yaitu (22).
Dari deskripsi di atas, dapat ditegaskan
Warga Desa: (21a) Kula mriki ajeng bahwa ragam Krama Inggil berbanding
ngaturi perisa berita lelayu, lurus dengan status sosial partisipan yang
saking keluargi Pak Tono bilih terlibat dalam dialog. Inilah yang tidak
garwane nembe mawon tilar dipenuhi dalam dialog wayang santri di
dunya atas. Dalam hal ini, P1 dalam dialog 2
(21b) Inyong pan ngehi weruh menggunakan ragam bahasa rendah
berita kepaten kadi keluargane (ngoko) ‘ngko ndingin’, padahal P1 dalam
Pak Tono ning bojone tembe bae dialog 2 (Lupit) mestinya menggunakan
mati ragam bahasa tinggi (krama inggil)
(22) Saya kesini hendak ‘mangke riyen’.
memberitahu berita duka dari Tuturan dalam dialog wayang santri
keluarga Pak Tono bahwa istrinya memunculkan masalah lagi, yaitu: dengan
baru saja meninggal dunia menghindar dari unggah-ungguh bahasa,
Pak Kayim: Nggih...innalillahi wa inna apakah partisipan yang terlibat dalam
ilaihi rojiun dialog menabrak batas-batas kesantunan
Ya... innalillahi wa inna ilaihi roji berbahasa?
Untuk menjawab pertanyaan masalah
Dialog tentang berita duka di atas di atas, dipandang penting mengukur
terjadi antara salah seorang warga desa kesantunan berbahasa dengan
bertindak sebagai penutur dengan Pak menggunakan skala kesantunan yang
Kayim bertindak sebagai mitra turur. ditawarkan Robin Lokof, yaitu: skala
Tuturan yang disampaikan warga desa itu formalitas, skala pilihan, dan skala
menggunakan ragam bahasa tinggi (krama kesekawanan.26 Dimaksudkan dengan
inggil). Pak Kayim merupakan panggilan skala formalitas adalah partisipan saling
atau sapaan khusus dalam bahasa menjaga keformalan dan
Banyumasan untuk petugas keagamaan mempertahankan jarak yang sewajarnya
Islam tingkat desa. Dalam bahasa dan sealamiah mungkin, sementara skala
pesantren Kayim dilabelkan pada orang pilihan adalah partisipan diberi pilihan-
yang memiliki pengetahuan dan pilihan tuturan tanpa harus diliputi
keterampilan keagamaan Islam. Ini ketegangan dan kekakuan tuturan.
artinya secara sosial, orang yang memiliki Sedangkan skala kesekawanan adalah
label Kayim lebih berstrata sosial tinggi partisipan mesti ramah dan menjaga
melebihi strata sosial warga desa, apalagi persahabatan.
Kayim merupakan perangkat desa. Itu Berdasarkan skala kesantunan Robin
sebabnya mengapa ragam bahasa yang Lokof, dapat dinyatakan bahwa tuturan
digunakan warga desa menggunakan dalam dialog wayang santri telah
krama inggil seperti pada (21a). Tentu memenuhi persyaratan untuk tercapainya

25
Tanjung Wantorojati, “Penggunaan Kata http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/1234
Sapaan Dalam Bahasa Jawa Banyumasan Di 56789/71146/090110201037Tunjung%20Wantor
Kebupaten Cilacap” (Skripsi, Universitas Jember, ojati%20sudh.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
26
2015), 84, Chaer, Kesantunan Berbahasa, 63–64.

152
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

kesantunan. Memang benar bahwa dalam Kisah di atas menunjukkan bahwa teks
dialog wayang santri terdapat ragam cerita merupakan cerita fable. Dalam
bahasa rendah (ngoko) ‘ngko ndingin’ kisahan itu ada empat aspek yang
yang secara sosiologi bahasa tidak membangun cerita yaitu: 1) orientasi,
semestinya digunakan untuk yaitu: bagian yang menunjukkan awal
berkomunikasi dengan mitra tutur yang kejadian cerita atau latar belakang
secara sosial lebih tinggi tingkatannya. bagaimana peristiwa terjadi, berisi
Akan tetapi, tuturan itu tetap masih pengenalan latar cerita berkaitan dengan
menjaga persahabatan dan disampaikan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
secara alamiah, sehingga tidak menabrak peristiwa; 2) komplikasi, yaitu: peristiwa
kesantunan berbahasa. Lebih dari itu, di dalam cerita yang memperkenalkan
tuturan itu disampaikan dalam suasana konflik; 3) resolusi merujuk kepada solusi
humar. Humor yang menggunakan ungah- dari berbagai konflik yang dialami tokoh;
ungguh bahasa justru akan kehilangan 4) koda, yakni: perubahan yang terjadi
daya tarik humor. Lebih dari itu, humor pada tokoh dan pelajaran yang dapat
tidak menciptakan suasana pecah dan dipetik dari cerita.
tawa renyah-meriah. Teks tersebut dikatakan sebagai fable
Dialog 3 (Lampiran 3) tentang curahan karena terdapat ciri-ciri umum dan
perasaan ayam dan sapi dapat dianalisis karakteristik fabel
sebagai berikut: 1. Menggunakan tokoh hewan dalam
Latar tempat: Halaman rumah pemilik penceritaannya (sapi dan ayam)
hewan 2. Hewan yang sebagai tokoh utama
Latar waktu : Siang hari dapat bertingkah seperti manusia
Partisipan : P1 (sapi) dan P2 (ayam) (berbicara, berfikir)
Tujuan : Penyampaian informasi 3. Menunjukkan penggambaran
tentang isi hati yang selalu moral/unsur moral dan karakter
diperlakukan tidak adil manusia dan kritik tentang
oleh orang lain kehidupan di dalam ceritanya.
Peristiwa : Perasaan 4. Penceritaan yang pendek.
Ragam bahasa : Akrab 5. Menggunakan pilihan kata yang
Perangkat tuturan : Lisan mudah.
Aturan tuturan : dialek Jawa Ngapak 6. Dalam cerita fabel, paling baik yang
Jenis tuturan : Dialog diceritakan adalah antara karakter
manusia yang lemah dan kuat
Pitik ‘ayam’ 7. Menggunakan latar alam.27
Kata pitik ‘ayam’ merupakan simbol
dalam masyarakat Jawa. Hewan ini adalah Setiap orang memerlukan pengala-man
ayam yang sangat akrab dalam kehidupan terhadap pengetahuan tentang apa yang
masyarakat itu. Hewan ini hidup sangat disebut perbuatan benar dan salah.
dekat dengan manusia. Karena banyak Keputusan untuk membuat penilaian
memberi manfaat, mulai dari daging, dan tentang benar dan salah merupakan salah
telurnya. Ujaran lisan ayam dan sapi satu bagian dari moral judgement
merupakan sindirian kepada manusia yang (pertimbangan moral). Menurut Sarbaini
berperilaku hanya mengambil untung dari moral judgement merupakan manifestasi
orang lain tapi tidak pernah membalas untuk membuat kesimpulan atau
budi kebaikan orang lain. keputusan tentang sesuatu, baik yang

27
Sarbaini, Model Pembelajaran Berbasis
Kognitif Moral Dari Teori Ke Aplikasi
(Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012).

153
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

berkaitan dengan berbagai dilema moral Kaki mempunyai posisi memperkuat


antara hal yang harus menjadi kenyataan, watak dan emosi pendongeng. Dengan
maupun yang berhubungan pula dengan posisi tegak lurus misalnya, mungkin
pihak lain misalnya diri sendiri.28 sedang mengekspresikan ketegasan sikap
Menurut Dananjaja, sebagaima dikutip ketika menghadapi masalah. Gerak kaki
Nugraha29, dongeng binatang adalah bermacam-macam. Namun, yang perlu
dongeng yang tokoh-tokohnya adalah diingat ialah kesesuaian dengan watak dan
binatang peliharaan dan binatang liar yang kondisi emosi yang diperankannya. Gerak
dapat berbicara dan dapat berperilaku kaki dalam keadaan normal yang lazim
seperti manusia. Dongeng binatang sering ialah melangkah maju. Namun dalam
di sebut juga dongeng fabel. Secara keadaan terdesak, takut, atau terkejut kaki
spesifik, fabel adalah dongeng binatang dapat digerakkan mundur.
yang mengandung pelajaran moral yakni Sanchez dkk, sebagaimana dikutip
ajaran baik atau buruknya suatu Nugraha,30 mengemukakan bahwa
perbuatan. kekuatan utama strategi dongeng fable
Fabel adalah sejenis dongeng yang adalah menghubungkan rangsangan
dibawakan dengan teknik komunikasi melalui penggambaran karakter. Dongeng
tersebut akan lebih menarik perhatian memiliki potensi untuk memperkuat
bukan saja anak tetapi juga orang dewasa. imajinasi, memanusiakan individu,
Fakhrudin (2003) menjelas-kan teknik- meningkatkan empati dan pemahaman,
teknik mendongeng sebagai berikut: 1) memperkuat nilai dan etika, dan
akting merupakan gerak-gerik merangsang proses pemikiran
pendongeng, baik mimik ataupun kritis/kreatif. Hidayat juga menjelaskan
pantomimik, dipangung atau kelas untuk bahwa dongeng yang mengandung sisi
mengekspresikan atmosfer dongeng dan imajinatif yang tinggi dapat membantu
watak bermain; 2) gesture dan business. seseorang menelaah peristiwa sesuai
Yang dimaksud gesture hakikatnya gerak dengan batasan imajinasinya.31 Cerita
(anggota) tangan yang bekecil-kecil yang fable Ngapak ini sesungguhnya ingin
dimaksudkan untuk memperkuat akting mengatakan bahwa bahasa Ngapak sama
dalam rangka mengekspresikan watak seperti bahasa-bahasa lain dapat
atau keadaan emosi tertentu. Business mengkonstruksi budaya masyarakat Jawa
merupakan gerak pendo-ngeng yang dari beberapa nilai-nilai sebagai berikut:
dilakukan untuk memperkuat adegan dan 1) memanusiakan individu, 2) mengenal
akting. Misalnya, untuk menggambarkan hal yang benar atau yang salah, 3)
kegelisihan pendongeng berjalan mondar- mengenal diri sendiri atau orang lain, 4)
mandir; 3) ekspresi wajah untuk ekspresi gerak-gerik perilaku, 5) bisnis, 6) ekspresi
wajah yang penting adalah mata. Untuk wajah, 7) emosi, 8) watak, 9) etika, dan
menunjukkan berbagai ekspresi emosi 10) nilai.
matalah yang sangat dominan. Orang Aspek-aspek tersebut di atas hanya
marah, gembira atau binggung dan dapat dipahami dan tergambarkan melalui
sebagainya dapat ditunjukkan melalui bahasa yang dipakai oleh suatu
pandangan pendongeng; dan 4) posisi dan masyarakat bahasa. Hewan sapi dan pitik
gerak kaki. yang tergambar dalam cerita itu

28 30
Sarbaini. Nugraha.
29
Chynthia Ratna Nugraha, “Keefektifan 31
Arif Hidayat, “Pengaruh Dongeng Dalam Masa
Penerapan Teknik Bercerita Berpasangan Dalam Kanak-Kanak Terhadap Perkembangan
Pembelajaran Apresiasi Dongeng Yang Seseorang,” YIN YANG Volume 4, Nomor 2, no.
Diperdengarkan” (UPI Bandung, 2012), Jurnal Studi Gender & Aanak (2009): 335–44.
http://repository.upi.edu/10729/.

154
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

menunjukkan bahwa masyarakat Ngapak Dengan mengedepankan 3 catatan di


sangat dekat dengan hewan sapi dan atas, yang hendak ditegaskan dalam
ayam, telur dalam kehidupanya sehari- tulisan ini adalah nilai-nilai budaya, yaitu
hari. Hewan itu dipelihara, dimakan, budaya sehat, ajaran agama, dan budaya
dijadikan bahan bisnis, kebutuhan berbagi terhadap sesama ditemukan dalam
ekonomis, peternakan, dan sebagainya. humor bahasa Jawa Ngapak itu. Budaya-
budaya itu dikonstruksi melalui bahasa
D. Kesimpulan humor yang dilakukan masyarakat Jawa
Berdasarkan analisis terhadap dialog 1, Ngapak. Selain itu, budaya yang
2, dan 3 di atas, paling tidak ada 3 (tiga) dikonstruksi melalui bahasa Jawa Ngapak
catatan penting. Pertama, ditemukan dalam suasana humor menampilkan
adanya konstruksi logika yang dibangun realitas masyarakat penutur Ngapak.
dalam akhir tuturan. Logika dibangun dan Sebagai catatan pamungkas peneliti
disampaikan dalam rangka menemukan hendak menegaskan bahwa bahasa, baik
hal yang benar dan tidak benar. Hal ini berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis,
direpresentikan dalam tuturan data 1: dapat menjadi semacam jendela untuk
“kucingku mati udu meri deterjene” melihat nilai-nilai budaya. Bahasa
(kucing itu mati bukan karena sabun) dan merupakan salah satu unsur kebudayaan
“tak peres” (saya peres dia). Kedua, yang dapat menjadi ciri khas suatu bangsa.
ditemukan adanya pemaha-man Kebudayaan masyarakat Jawa dapat
konservative terhadap ajaran agama, dan terlihat melalui penggunaan bahasa,
pemahaman ini terlembagakan dalam fiqh dalam hal ini bahasa lisan. Dengan
ibadah. Dalam hal ini, anjuran menyeru demikian dapat disimpulkan bahwa
orang melaksanakan salat dikatagorikan mempelajari kebudayaan suatu
sunah, yaitu: kegiatan, perbuatan, dan masyarakat dapat dikonstruksi dengan
ucapan serta sikap yang apabila mempelajari bahasa yang digunakan oleh
dikerjakan akan mendapat punisment masyarakat yang bersangkutan.
pahala dan apabila ditinggalkan, tidak
berimplikasi apa-apa. Ketiga, ditemu-kan Daftar Pustaka
adanya ketidakadilan. Keluhan Alwasilah, A. Chaer. Pokoknya
ketidakadilan diletupkan oleh tokoh Kualitatif; Dasar-Dasar Meran-
‘pitik’ (ayam) dan ‘sapi’ (sapi) melaui cang Dan Melakukan Penelitian
tuturan P1 dalam dialog 3: “Rika ora Kualitatif,. Cetakan ke-1. Jakarta:
ngerti si ya..nyong jan nembé mangan PT. Dunia Pustaka Jaya, 2002.
beras setithik ning pedhangan bé wis Burton, Graeme. More than Meets the
digusah2, diusir-usir lan dipathak kambi Eye An Introduction to Meddia
watu. Padahal menungsa kuwe enggal Studies. Great Britain: Edward
dina mangan endog lan mangan daging Arnold, 1990.
pithik. Kaya kiyé mbok jenengé ora adil” Chaer, Abdul. Kesantunan Berbahasa.
dan P2 dalam dialog 3: “Enggal dina Cetakan ke-1. Jakarta: Rineka
susuné inyong de mek-mek, de elus-elus, Cipta, 2010.
de penjet2..., nanging apa kuwé sing Cummings, Louise. Pragmatiks, A
jenengé menungsa gemblung ora nduwé Multidisciplinary Perspective.
peri kekéwanan”. Misi yang hendak Cetakan ke-1. Yogyakarta:
disampaikan dalam cerita fabel di atas Pustaka Pelajar, 2007.
adalah adanya sikap tepo seliro, bisa Depdiknas. “Kamus Besar Bahasa
merasakan apa dirasakan oleh orang lain Indonesia.” Jakarta: Gramedia,
(empati) dan menghargai sesama dalam 2014.
menjalani hidup dan kehidupan.

155
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi mas.” Skripsi, Uiniversitas Islam


Pesantren: Studi Tentang Indonesia, 2018. https://dspace.
Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: uii.ac.id/bitstream/handle/123456
LP3ES, 1994. 789/9764/NASKAH%20PUBLI
Faqih, Subhi Inrahim al-. ʻIlm Al-Lughat KASI%20AFIFAH%202%20-
al-Nashsh Bain al-Naz hariyyat %20
Wa al-Tathbîq. Cetakan ke-1. adt.pdf?sequence=2&isAllowed.
Kairo: Dȃr al-Qabȃ, 2000. ———. “Ngapak Dan Identitas
Fiske, John. Introduction to Banyumasan; Komunikasi
Communication Studies. London: Organisasi Berbasis Dialek
Routledge, 1990. Budaya Lokal Di Dinas
Herusatoto, Budioho. Banyumas; Pendidikan Dan Unit Pendidikan
Sejarah, Budaya, Bahasa, Dan Kecamatan (UPK) Banyumas.”
Watak. Cetakan ke-1. Skripsi, UII Yogyakarta, 2018.
Yogyakarta: LKiS, 2008. https://dspace.uii.ac.id/handle/12
Hidayat, Arif. “Pengaruh Dongeng 3456789/9764.
Dalam Masa Kanak-Kanak Robins, RH. Sejarah Singkat Linguistik.
Terhadap Perkembangan Cetakan ke-3. Bandung: Penerbit
Seseorang.” YIN YANG Volume ITB, 1995.
4, Nomor 2, no. Jurnal Studi Sarbaini. Model Pembelajaran Berbasis
Gender & Aanak (2009): 335–44. Kognitif Moral Dari Teori Ke
Hymes, Dell. “Dell Models of The Aplikasi. Yogyakarta: Aswaja
Interaction of Language and Presindo, 2012.
Social Life.” In Directions in Saussure, Ferdinand de. Cource in
Sociolinguistics: The Ethnogra- General Linguistics. Boston:
phy of Communication, ed. J. McGraww Hill, 1966.
Gumperz and D. Hymes. New Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu
York: Holt, Rinehart, Winston, Pengantar. Jakarta: Raja
1972. Grafindo Persada, 1999.
Littlejohn, Stephen W. Theories of Subroto. Pengantar Metode Penelitian
Human Communication. Fifth Struktural. Surakarta: UNS Press,
Edition. California: Wadsworth, 1992.
1996. Suhardi, Imam. “Budaya Banyumasan
Lull, James. Media, Komunikasi Dan Tak Sekedar Dialek (Representasi
Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Budaya Banyumas Dalam Prosa
Obor, 1998. Karya Ahmad Tohari).” Wacana
Mahjunir. Mengenal Pokok-Pokok Etnik Volume 4, nomor 1 (2013).
Antropologi Dan Kebudayaan. http://wacanaetnik.fib.unand.ac.i
Jakarta: Bhratara, 1965. d/index.php/wacanaetnik/article/
Nugraha, Chynthia Ratna. “Keefekti- fan vi.
Penerapan Teknik Bercerita Trianto, Teguh. “Bahasa Sebagai Iden
Berpasangan dalam Pembelajaran titas Dan Perlawanan Kultu ral
Apresiasi Dongeng Yang Diperde Masyarakat Banyumas
ngarkan.” UPI Bandung, 2012. Pascakolonial.” Solo: FIB UNS
http://repository. upi.edu/10729/. Solo, 2016. https://www.research
Pratomo, Afifah Rizki. “Ngapak Dan gate.net/publication/326123568_
Identitas Banyumasan; Komuni Bahasa_sebagai_Identitas_dan_P
kasi Organisasi Berbasis Dialek erlawanan_Kultural_Masyarakat
Budaya Lokal di UPK Banyu- _Banyumas_Pascakolonial.

156
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

Wantorojati, Tanjung. “Penggunaan Kata Widyaningsih, Rindha. “Bahasa Ngapak


Sapaan Dalam Bahasa Jawa Dan Mentalitas Orang Banyumas:
Banyumasan Di Kebupaten Tinjauan Dari Perspek tif Filsafat
Cilacap.” Skripsi, Universitas Bahasa Hans-Georg Gadamer.”
Jember, 2015. http://repository. Jurnal Ultima Humaniora Vol II,
unej.ac.id/bitstream/handle/1234 Nomor 2 (2014): 186–200.
56789/71146/090110201037Tunj
ung%20Wantorojati%20sudh.pdf
?sequence=1&isAllowed=y.

157
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Bahasa Jawa

Lampiran 1

Dialog 1: Memandikan Kucing


Rikun tuku deterjen neng warunge Ratno Rikun
membeli sabun di warung Ratno
P1 : Kun, dengaren kowe umbah-umbah dewek?
Kun, Tumben nyuci sendiri? P2 : Aku arep ngumbah
kucing
Saya mau nyuci kucing P1
Apa tidak salah kamu, Kun : Ora salah kuwe,
P2 : Iya soale kucingku akeh tumane Kun?
Bener, masalahnya kucing saya banyak kutunya
P1 : Lah ya bisa mati kucingmu, Kun
Kalau bener, bisa mati kucingmu, Kun
P2 : Lah tangggaku wingi kaya kuwe kucinge ya ora papa
Masa? Tetangga saya kemaren kaya gitu kucingnya baik-baik saja
P1 : Kalem No, kucinge ya ora papa. Kalem No
Tenang No, kucing itu tidak apa-apa. Tenang No
Bar mbayar, Rikun bali arep ngumbah kucing
Selesai membayar, Rikun pulang cuci kucing
Ngesuke Rikun tuku rokok neng warunge Ratno
Besoknya Rikun beli rokok di warung Retno
P1 : Kun, kepriwe kucinge ko?
Kun, gimana kucingnya?
P2 : Genah mati koh
Ternyata mati
P1 : Lah kuwe tak omongi ora percaya si ko
Kamu sudah dikasih tahu, masih tidak percaya juga
Lah kucing dikumbah karo deterjen
Masa kucing dicuci dengan sabun
P2 : Si nggo ngapa mbok ana obat tuma
Terus buat apa ada obat kutu
Sungune Ratno modod
Retno cemberut
P2 : Kucingku mati udu meri deterjene
kucing itu mati bukan karena sabun
P1 : Lah sih kenang ngapa?
lalu kenapa
P2 : Tak peres
Diperas

158
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

Lampiran 2
Dialog 2: Hukum Menyuruh Orang Shalat

P1: Wong sembayang ora usah dikongkon-kongkon. Malah ngongkon wong sembayang
hukume dosa. (Orang salat tidak perlu disuruh. Bahkan menyuruh orang salat
hukumnya dosa)
P2: Kiyeh... raine madep mene kiye. (Gini... mukamu menghadap ke sini)
P1: Apa ! (Apa !)
P2: Pada-pada santri koen ka aja ngajarna aliran sesat koen. (Sesama santri, kamu jangan
mengajarkan aliran sesat, kamu)
P1: Aliran sesat apa. (Aliran sesat apa)
P2: Wong memerintahkan berbuat kebajikan iku hukume wajib, paham....! Kewajiban umat
Islam kuwe ngejak, ngongkon wong solat iku termasuk wajib, oleh ganjaran.
(Kewajiban umat Islam itu mengajak, menyuruh orang salat itu termasuk wajib,
memperoleh pahala. Orang menyuruh berbuat kebaikan itu hukumnya wajib, paham...!)
P1: Lah goblok koen. Ngongkon wong solat kuwe dosa. (Bener-bener goblok kamu. Menyuruh
orang salat itu dosa)
P2: Raimu. (Mukamu)
P1: Ora usah malang kerik, koen. (Tidak perlu tolak pinggang, kamu)
P2: Malang kerik...? Sapa, mbenerna sabuk. Sak ucap sak kecap bakal dirongokaken,
apamaning sampiyen tokoh masyarakat. Wani-wani ngomong wani ngongkon sembayang
jare dosa, bisa dibata watu raimu. (Tolak pinggang...? siapa, merapikan ikat pinggang. Satu
kata satu omongan pasti akan didengarkan, apalagi kamu tokoh masyarakat. Berani-
beraninya mengatakan bahwa menyuruh salat dosa... bisa dilempar batu mukamu).
P1: Ya Alllah... (karo nyikep dan ngelus-ngelus punggunge). (Ya Allah... (sambil memeluk dan
nepuk nepuk punggung)
P3: Ya koen njelasaken (Mestinya kamu jelaskan)
P1: ngko ndingin Kiyeh... kopoke koen diranakna. (Nanti dulu. Begini...kupingmu dengarkan)
P2: Ora bisa Tidak bisa. Dasar Sampeyan kapir Quraisy sampeyan. Memang kamu kafir Qurasy
kamu
P1: Kapir Qurasy? (karo nguyu)
Kafir Qurasy ? (sambil ketawa)
Kiyeh...inyong ngomong kiye bener. Begini....saya mengatakan itu benar
Rongokna ndingin. Dengarkan dulu
P2: Bener apa !
Benar apa !
okoke murdat sampeyan pokoke
Pokoknya murdat kamu pokoknya
P1: Wong ngongkon wong sembayang kuwe hukume salah
Orang menyuruh orang salat itu hukume salah
P2: Sebabe? bisane?
Sababnya? kok bisa?
P1: Wong pan ngongkon mbong mboran mengko dong wonge lubar sembayang nembe
dikongkon
Orang akan menyuruh atau tidak menyuruh nanti setelah orang itu selesai salat, setelah itu
baru disuruh

159
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Bahasa Jawa

P2: Maksude primen?


Maksudnya bagaimana?
P1: Wong kiye ngongkon wong ngger lagi Allahu Akbar terus dikongkon eeeh To tokokna

lenga
Orang menyuruh orang kalau sedang Allahu Akbar, lalu disuruh; Hai To ! belikan
minyak
Dosa hukume ooooh... pan ngongkon mbora mengko dong lubar mbayang
Dosa hukumnya? Akan menyuruh atau tidak menyuruh nanti setelah selesai salat
Dadi ngongkon wong mbayang hukume dosa
Jadi menyuruh orang salat hukumnya dosa
P2: (Celingak-celinguk karo mikir ning omongane Lupit kuwe bener)
(Celingukan sambil memikirkan bahwa omongan Lupit itu benar)
P1: (Guyu mesem-mesem)
(Tertawa kecil)
P2: Raimu ara ngumong sing mau kaya kuwe sih...dadi inyonge bingung eeeh
Mukamu tidak ngomong dari tadi kaya begitu sih...jadi saya bingung
(Aduuuuh kuuunyuk (karo nibakna awake nang kedebog gedang tandane mbenerna
omongane P1)
(Dasar mooonyet...sambil menjatuhkan badannya ke batang pisang tanda
membenarkan ucapan P1)

160
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162

Lampiran 3
Dialog 3: Curuhan Perasaan Ayam dan Sapi

Dulur ngapakers, ceritane kiye inyonge arep melu-melu Aki Samidi lah. Nek Aki Samidi
nduwe cerita arane curanmor (Curahan Perasaan dan Humor), kiye inyong nduwe crita
judule curantik (Curahan Perasaan Pitik). Critane kaya kiye...lur:
Saudara sesama pengguna bahasa Ngapak, ceritanya adalah suatu hari saya ingin ikut
kekek Samidi, dia punya cerita judulnya “curanmor” artinya curahan perasaan humor,
sedangkan saya punya cerita judulnya curahan pesaan ayam
P1: Nyong jan gething banget karo sing jenengé menungsa
Saya benci sekali dengan yang namanya manusia
P2: Lha pimén si...dénéng rika ngomong kaya kuwé?
Mengapa kamu bicara begitu
P1: Rika ora ngerti si ya..nyong jan nembé mangan beras setithik ning pedhangan bé wis
digusah2, diusir-usir lan dipathak kambi watu. Padahal menungsa kuwe enggal dina
mangan endog lan mangan daging pithik. Kaya kiyé mbok jenengé ora adil
Kamu tidak tahu ya saya baru saja makan beras sedikit sudah diusir, dilempar batu.
Padahal dia setiap hari makan telur dan makan daging ayam, out ka tidak adil
P2: Ujaré rika thok apa sing gething karo sing jenenge menungsa
Bukan kamu saja tik yang benci kepada manusia
P1: Lha si ko kenangapa, pi?
P2: memangnya kamu kenapa, pi?
P1: Koen si mendhing mung de gusah2, di pathak karo watu. Njajal bayangna lan rasakna
kaya inyong
Kamu sih mending, hanya digusah-gusah, dilempar dengan batu. Coba bayangkan
dan rasakan seperti saya
Enggal dina susuné inyong de mek-mek, de elus-elus, de penjet2..., nanging apa kuwé
sing jenengé menungsa gemblung ora nduwé peri kekéwanan
Setiap hari susu saya dipegang-pegang, dielus-elus, dipencat-pencet, apakah itu
namanya manusia gila dan tidak punya rasa kehewanan

161
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa

162

Anda mungkin juga menyukai