141-162
Abstrak
Data kebahasaan sering merekam nilai budaya. Hanya saja, data kebahasaan masih belum mendapat
perhatian untuk kepentingan analisis terhadap dinamikasosial masyarakat yang bersumber pada nilai-
nilai budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis cerita humor bahasa Jawa Ngapak yang
mengandung nilai-nilai budaya dan cara budaya dikonstruksi melalui melalui bahasa humor. Objek
kajian tulisan ini adalah wacana humor. Oleh karena wacana humor menggunakan media teks dan
tuturan, pendekatan yang digunakan adalah linguistik-antropologi. Adapun metode yang digunakan
dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan, tulisan, atau perilaku yang diamati, dengan menggunakan tehnik simak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa budaya sehat, ajaran agama, dan budaya berbagi terhadap sesama ditemukan
dalam humor bahasa Jawa Ngapak itu. Budaya-budaya itu dikontruksi melalui bahasa Jawa Ngapak
dalam suasana humor menampilkan realitas masyarakat penutur Ngapak. Ini berarti nilai-nilai
budaya ditemukan dalam humor, berupa percakapan manusia maupun percakapan tokoh cerita fable,
yang dikonstruksi melalui bahasa Jawa Ngapak untuk merefleksikan realitas.
141
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
1
Budioho Herusatoto, Banyumas ; Sejarah, 3
Afifah Rizki Pratomo, “Ngapak Dan Identitas
Budaya, Bahasa, Dan Watak, Cetakan ke-1 Banyumasan; Komunikasi Organisasi Berbasis
(Yogyakarta: LKiS, 2008). Dialek Budaya Lokal Di Dinas Pendidikan Dan
2
Imam Suhardi, “Budaya Banyumasan Tak Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Banyumas”
Sekedar Dialek (Representasi Budaya Banyumas (Skripsi, Uiniversitas Islam Indonesia, 2018), 4,
Dalam Prosa Karya Ahmad Tohari),” Wacana https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/1234567
Etnik Volume 4, nomor 1 (2013), 89/9764/NASKAH%20PUBLIKASI%20AFIFA
http://wacanaetnik.fib.unand.ac.id/index.php/wac H%202%20-
anaetnik/article/view/44. %20adt.pdf?sequence=2&isAllowed=y.
142
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
143
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
pemerintah secara formal.7 Paradigma Dalam konteks ini pendengar (mitra tutur)
yang digunakan adalah Konstruktivisme dapat mela-kukan interpretasi atau
dengan teknik pengumpulan data berupa memberikan makna kepada ujaran humor
wawancara dan observasi yang dilakukan itu. Dalam tulisan ini, humor dianggap
di Dinas Pendidikan dan Unit Pendidikan sebagai satu bentuk komunikasi yang
Kecamatan (UPK) Banyumas. merupakan pusat kehidupan kebuda-yaan.
Temuannya adalah bahasa Ngapak tidak Di dalam humor terdapat pengetahuan
bisa mengkonstruksi identitas karena, tentang makna, nila-nilai, ideologi,
bahasa hanya digunakan dalam apel pagi, kebudayaan dan sebagainya.
do’a pagi, dan sambutan rapat. Kajian tulisan ini hendak membuktikan
Penggunaan bahasa Ngapak bersifat bahwa analisis bahasa dapat digunakan
formalitas untuk memenuhi kewajiban untuk kepentingan kajian sosial, bahkan
yang diatur dalam Surat Edaran yang sampai tahapan yang detil. Analisis
dikeluarkan oleh Bupati Banyumas. linguistik-antroplogi berguna ketika
Dengan menyebut ‘identitas, sekaligus dikolabo-rasikan dengan strategi analisis
fitur budaya,’ yang hendak ditekankan lainnya. Berangkat dari pernyataan di atas,
adalah kebudayaan suatu masyarakat tulisan ini hendak menjawab pertanyaan-
dapat diketahui melalui bahasanya. pertanyaan, nilai-nilai budaya apa saja yng
Tegasnya bahasa menjadi semacam pintu terkandung dalam humor bahasa Jawa
masuk untuk mengenal cara berpikir suatu Ngapak itu? Bagaimana budaya
masyarakat. Bahasa juga dapat berfungsi dikonstruksi melalui bahasa, dalam teks
untuk menyampaikan informasi dan humor yang dilakukan masyarakat Jawa
pengalaman, baik yang bersifat kultural Ngapak? Apakah nilai budaya yang ada
maupun individual, kepada orang lain. dalam humor itu yang dikonstruksi
Dalam konteks menyampaikan melalui bahasa Jawa Ngapak untuk
informasi dan pengalaman, humor menampilkan realitas semu atau
merupakan elemen penting untuk hiperrealits?
menyampaikan informasi yang tidak
terlepas dari prinsip-prinsip komunikasi. B. Metode
Dalam konteks ini faktor-faktor yang Objek kajian tulisan ini adalah wacana
bersifat psikologis, sosiologis dan humor bahasa Jawa Ngapak yang
antroplogis dari penutur kepada mitra ditampilkan di media digital seperti WA,
tuturnya akan menjadi pertimbangan twitter dan internet serta Youtube. Data
utama dalam proses eksplorasi ide yang menggunakan simbol-simbol budaya
ataupun proses kreatif penciptaan humor. atau yang memakai setting budaya untuk
Dapatlah dipahami bahwa karya humor berhumor, akan dipilih sebagai data kajian
sama dengan karya sastra lainnya, seperti ini. Oleh karena itu, secara metodologis,
puisi atau novel sarat dengan nilai yang pendekatan yang digu-nakan dalam kajian
secara empiris dekat dengan realitas ini adalah pendekatan linguistik-
kehidupan masyarakat penggunanya. antropologi. Paradigmanya adalah teks
Bahasa humor, menampilkan atau sebagai konstruksi yang mengekspresikan
menggunakan nilai-nilai budaya dari suatu cara hidup, alat perlengkapan hidup,
masyarakat. Sabar kuwe langka batase bahasa, susunan masyarakat, adat istiadat,
nek pancen niat gelem sabar ‘sabar itu perumahan, sandang pangan, pendidikan,
tiada batas, kalau memang niat mau pandangan hidup, kepercayaan dalam
sabar,’ dapat dijadikan sebagai contohnya. masyarakat. Dalam hal ini, teks dipandang
7
Afifah Rizki Pratomo, “Ngapak Dan Identitas Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Banyumas”
Banyumasan; Komunikasi Organisasi Berbasis (Skripsi, UII Yogyakarta, 2018),
Dialek Budaya Lokal Di Dinas Pendidikan Dan https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/9764.
144
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
8
A. Chaer Alwasilah, Pokoknya Kualitatif; 10
Dell Hymes, “Dell. Models of The Interaction
Dasar-Dasar Merancang Dan Melakukan of Language and Social Life,” in Directions in
Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-1 (Jakarta: PT. Sociolinguistics: The Ethnography of
Dunia Pustaka Jaya, 2002), 45. Communication, ed. J. Gumperz and D. Hymes
9
Subroto, Pengantar Metode Penelitian (New York: Holt, Rinehart, Winston, 1972), 321.
Struktural (Surakarta: UNS Press, 1992), 7.
145
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
146
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
Kode tipe kedua ini memiliki prinsip- lebih lengkap dipaparkan oleh Ramond
prinsip yaitu berupa: a) dimensi Williams dalam Lull19 sebagai berikut:
paradigmatic yaitu kode yang memiliki “Budaya adalah suatu cara hidup
sejumlah unit yang sudah diseleksi. tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi
Dimensi sintagmatik ini merujuk epada kepercayaan, objek material, dan wilayah.
unit-unit bahasa yang sudah Budaya adalah suatu ekologi yang
dikombinasikan denga aturan atau kompleks dan dinamis dari orang, benda,
konvensi; b) unit kode adalah tanda yang pandangan tentang dunia, kegiatan dan
memiliki berbagai macam makna; 3) kode latar belakang yang secara fundamental
digunakan tergantung pada persetujuan di bertahan lama, tetapi juga berubah dalam
antara penggunanya dan pada latar komunikasi dan interaksi sosial yang
belakang budayanya. Kode dan budaya rutin. Budaya adalah konteks. Budaya
saling berhubungan secara dinamis.17 adalah cara kita berbicara dan berpakaian,
Bahasa sebagai konstruksi budaya makanan yang kita makan, dan cara kita
meliputi tiga aspek, yaitu bahasa, budaya menyiapkan dan mengkonsuminya, dewa-
dan semiotic. Ini bahasa berarti membuka dewa yang kita ciptakan, dan cara kita
suatu persoalan yang mempunyai ranah memujanya, cara kita membagi waktu dan
yang demikian luas. Pembahasannya ruang, cara kita menari, nilai-nilai yang
dapat mengambil ranah bahasa dan kita sosialisasikan kepada anak-anak kita,
konstruksi makna, makna dan kode, dan semua detail lainnya yang membentuk
budaya, serta semiotik. Situasi ini secara kehidupan kita sehari-hari.”
konseptual mengindikasikan bahwa Definisi tersebut di atas dijadikan
bahasa sebagai konstruksi budaya landasan untuk mengambil unsur bahasa
merupakan pokok bahasan yang sudah ada dari segi budaya cara kelompok
sejak dahulu, tetapi sekaligus pokok masyarakat bertutur dan berbicara. Uraian
aktual yang bersifat hangat untuk terus berikut menggambarakan ujaran-ujaran
diperbicangakan oleh berbagai kalangan suatu kelompok masyarakat Jawa yang
yang tertarik kepada kajian bahasa sebagai jadi objek sasaran, yaitu kelompok
konstruk budaya yang dapat ditinjau dari masyarakat penutur bahasa Jawa Ngapak.
berbagai sudut pandang. Apalagi, bahasa
sebagai konstruksi budaya sebagai Bahasa Ngapak sebagai Konstruk
kegiatan pengajaran yang berlangsung Budaya Jawa
mulai dari pendidikan dasar hingga Bahasa humor Jawa Ngapak yang
pendidikan tinggi, di mana pun dan kapan mengkonstruksi budaya Jawa, disajikan
pun, pokok bahasan itu mempunyai dalam bentuk dialog. Dalam penyajian
kedudukan penting dalam kaitan dengan dialog 1 (Lampiran 1), teks bahasa Jawa
berbagai aspek kehidupan manusia. Ngapak diterjemahkan ke dalam bahasa
Budaya itu sendiri banyak pengertian Indonesia guna mendapatkan pemahaman
yang dirumuskan oleh para ahli. Mac Iver, bagi pembaca yang memiliki kemampuan
misalnya, menjelaskan bahwa budaya bahasa Indonesia.
sebagai ekspresi jiwa yang terwujud Dialog 1 memandikan kucing tersebut
dalam cara-cara hidup dan berpikir, di atas dianalisis menggu-nakan teori
pergaulan hidup, seni kesastraan, agama, SPEAKING sebagai berikut:
rekreasi, dan filsafat sebagaimana dikutip Latar tempat : Warong Retno
oleh Soekanto.18 Definisi budaya yang Latar waktu : Siang hari
17 19
John Fiske, Introduction to Communication James Lull, Media, Komunikasi Dan
Studies (London: Routledge, 1990), 64–65. Kebudayaan (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), 27.
18
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 336.
147
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
148
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
keteraturan sintaksis, dan keteraturan dari itu dia menginginkan mitra tutur
semantik. Datanya diambil dari tuturan melakukan perbuatan atau tindakan
yang dalam terminologi Ferdinand de sebagai responnya terhadap informasi
Saussure disebut parole. Dalam hal ini, de yang disampaikan oleh penutur.
Saussure membedakan kompetensi Dalam kajian pragmatik, tuturan yang
linguistik penutur dengan peristiwa tidak semata-mata menyatakan sesuatu,
sebenarnya atau data linguistik (ujaran) tetapi juga menyatakan adanya perbuatan
sebagai langue dan parole. Parole atau tindakan sebagai respon terhadap
merupakan data yang langsung bisa tuturan disebut tuturan performatif atau
diperoleh. Objek linguistik adalah langue kalimat performatif. Sedangkan tuturan
dari tiap-tiap masyarakat, yaitu: leksikon, yang hanya menyampaikan informasi
tatabahasa, dan fonologi yang tertanam disebut tuturan konstatif atau kalimat
dalam diri masing-masing orang perorang konstatif. Berbeda dengan tuturan
dalam masyarakat20. konstatif, tuturan permormtif, menurut
Hanya saja, guna menemukan aspek Austin sebagaimana dikutip Abdul
makna tujuan, analisis atas dialog atau Chaer,22 bersifat netral, maksudnya tidak
tuturan tidak cukup memadai dengan mengandung nilai benar atau salah.
menggunakan analisis linguistik, tetapi Sedangkan tuturan konstatif atau kalimat
mesti dikolaborasi dengan analisis tindak kostatif mengandung nilai benar atau
tutur (pragmatik). Adalah Austin yang salah.
pertama memperkenalkan gagasan bahwa
bahasa dapat digunakan untuk melakukan (7) Wong sembayang ora usah
tindakan melalui perbedaan antara ujaran dikongkon-kongkon
konstatif dan ujaran performatif. Ujaran Orang salat tidak perlu disuruh-
kosntatif mendeskripsikan atau suruh
melaporkan peristiwa-peristiwa dan (8) Malah ngongkon wong sembayang
keadaan-keadaan di dunia. Ujaran hukume dosa
konstatif dapat dikatakan benar atau salah. Bahkan menyuruh orang salat
Berbeda dari ujaran konstatif, ujaran hukumnya dosa
performatif merupakan bagian dari
melakukan tindakan yang biasanya tidak Tuturan (7) dan (8) dari P1 (Lupit)
dideskripsikan hanya sebagai tindak dalam dialog 2 merupakan konstruksi
mengatakan sesuatu21. Gagasan ini yang dibangun dari katagori-katagori
dikembangkan oleh para ahli bahasa, yang (kelas kata) yang mengisi fungsi sintaksis
kemudian dikenal dengan Teori Tindak (kedudukan kata dalam kalimat) dan
Tutur. manjalankan peran sintaksis tertentu
Bahasa merupakan instrumen untuk (makna kalimat) dalam konstruksi
menyampaikan informasi kepada orang tersebut. Pada tahap konstruksi ini
lain. Pada tahap pemahaman seperti ini, (kalimat konstatif), tuturan (7) dan (8)
bahasa tidak lain hanyalah kegiatan mesti mengandung nilai benar. Ini
menyatakan sesuatu. Namun, orang menjelaskan mengapa P2 (Slentheng)
(penutur) terkadang menghendaki tidak dalam dialog 2 memberikan respon yang
semata-mata menyampaikan infromasi negatif karena, tuturan (7) dan (8) tidak
atau menyatakan sesuatu, tetapi juga lebih
20 21
RH Robins, Sejarah Singkat Linguistik, Louise Cummings, Pragmatiks, A
Cetakan ke-3 (Bandung: Penerbit ITB, 1995), Multidisciplinary Perspective, Cetakan ke-1
281. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 8.
22
Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, Cetakan
ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 27.
149
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
mengandung nilai benar. Respon negatif Kontekstualisasi tuturan (7) dan (8)
nampak pada tuturan (9) dan (10) berikut: adalah berkaitan dengan fiqh ibadah
bahwa melakukan ajakan dan suruhan
(9) Kiyeh... raine madep mene kiye menegakkan salat memang dianjurkan,
Gini... mukamu menghadap ke sini artinya tidak salah apalagi dosa. Hal ini
ni sesuai dengan teori tindak tutur yang
(10) Pada-pada santri koen ka menyatakan bahwa satu tuturan
aja ngajarna aliran sesat koen performatif atau kalimat performatif dapat
Sesama santri, kamu jangan memiliki lebih dari fungsi komunikatif.
mengajarkan aliran sesat, kamu Tegasnya, satu fungsi komunikatif dapat
diekspresikan dengan berbagai bentuk
P2 dalam dialog 2 menjelaskan ujaran.
ketidakbenaran informasi dari tuturan (7) Oleh karena dialog yang
dan (8). Pada saat yang sama P2 dalam dilangsungkan oleh P1 dalam dialog 2
dialog 2 melakukan kritik dan evaluasi (Lupit) dan P2 dalam dialog 2 (Slentheng)
melalui tuturan ekspresif (11) dan (12) merupakan tuturan humor dari wayang
santri, maka tindak tutur asertif yang
(11) Wong memerintahkan disampaikan P1 dalam dialog 2 (Lupit)
berbuat kebajikan iku hukume bertentangan dengan ajaran fiqh ibadah,
wajib, paham....! meski tindak tutur lokusi P1 daalam dialog
Orang menyuruh berbuat 2 (Lupit) benar secara gramatikal. Tindak
kebajikan itu hukumnya wajib, tutur ilokusi dari P1 dalam dialog 2
paham...! (Lupit) menjadi benar melalui tuturan
(12) Kewajiban umat Islam (13), (14), (15), dan (16)
kuwe ngejak, ngongkon wong solat
iku termasuk wajib, oleh pahala (13) Wong pan ngongkon mbong
Kewajiban umat Islam itu mboran mengko dong wonge lubar
mengajak, menyuruh orang salat sembayang nembe dikongkon
itu termasuk wajib, memperoleh Orang akan menyuruh atau tidak
pahala menyuruh nanti setelah orang itu
selesai salat, setelah itu baru disuruh
Analisis tindak tutur fokus pada (14) Wong kiye ngongkon wong ngger
kontekstualisasi tuturan. Karenanya, lagi Allahu Akbar terus dikongkon
parameter benar tidaknya informasi dalam eeeh To tokokna lenga
sebuah tuturan bukan pada keformalan Orang menyuruh orang kalau
ungkapan secara gramatikal atau benar sedang Allahu Akbar, lalu disuruh;
atau tidak benarnya informasi, melainkan Hai To ! belikan minyak
pada tujuan komunikasi. Dalam hal ini, (15) Dosa hukume ooooh... pan
Austin sebagaimana dikutip Abdul ngongkon mbora mengko dong
Chaer23 merumuskan tindak tutur dalam 3 lubar mbayang
(tiga) lapisan dari suatu tindak tutur, yaitu: Dosa hukumnya, bukan ? Akan
lokusi (tuturan yang tertata baik secara menyuruh atau tidak menyuruh
gramatikal), ilokusi (tujuan tertentu yang nanti saja setelah selesai salat
diimplisitkan melalui lokusi), dan (16) Dadi ngongkon wong mbayang
perlokusi (pengaruh atau efek dari tuturan hukume dosa
ilokusi). Jadi menyuruh orang salat
hukumnya dosa
23
Chaer, 28–29.
150
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
24
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES,
1994), 44.
151
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
ungguh bahasa. Dalam hal ini saja berbeda ragam bahasanya jika
menggunakan ragam kromo inggil. partisipan memiliki status sosial lebih
Unggah-ungguh bahasa bisa dirasakan rendah atau sederajat. Dalam hal ini,
pada dialog antara Pak Kayim dengan ragam bahasa yang digunakan adalah
seorang warga desa tentang berita duka, ragam bahasa rendah (Ngoko) seperti
sebagaimana dilaporkan oleh (21b), meski padanan dalam bahasa
Wantorojati25 sebagai berikut: Indonesia sama, yaitu (22).
Dari deskripsi di atas, dapat ditegaskan
Warga Desa: (21a) Kula mriki ajeng bahwa ragam Krama Inggil berbanding
ngaturi perisa berita lelayu, lurus dengan status sosial partisipan yang
saking keluargi Pak Tono bilih terlibat dalam dialog. Inilah yang tidak
garwane nembe mawon tilar dipenuhi dalam dialog wayang santri di
dunya atas. Dalam hal ini, P1 dalam dialog 2
(21b) Inyong pan ngehi weruh menggunakan ragam bahasa rendah
berita kepaten kadi keluargane (ngoko) ‘ngko ndingin’, padahal P1 dalam
Pak Tono ning bojone tembe bae dialog 2 (Lupit) mestinya menggunakan
mati ragam bahasa tinggi (krama inggil)
(22) Saya kesini hendak ‘mangke riyen’.
memberitahu berita duka dari Tuturan dalam dialog wayang santri
keluarga Pak Tono bahwa istrinya memunculkan masalah lagi, yaitu: dengan
baru saja meninggal dunia menghindar dari unggah-ungguh bahasa,
Pak Kayim: Nggih...innalillahi wa inna apakah partisipan yang terlibat dalam
ilaihi rojiun dialog menabrak batas-batas kesantunan
Ya... innalillahi wa inna ilaihi roji berbahasa?
Untuk menjawab pertanyaan masalah
Dialog tentang berita duka di atas di atas, dipandang penting mengukur
terjadi antara salah seorang warga desa kesantunan berbahasa dengan
bertindak sebagai penutur dengan Pak menggunakan skala kesantunan yang
Kayim bertindak sebagai mitra turur. ditawarkan Robin Lokof, yaitu: skala
Tuturan yang disampaikan warga desa itu formalitas, skala pilihan, dan skala
menggunakan ragam bahasa tinggi (krama kesekawanan.26 Dimaksudkan dengan
inggil). Pak Kayim merupakan panggilan skala formalitas adalah partisipan saling
atau sapaan khusus dalam bahasa menjaga keformalan dan
Banyumasan untuk petugas keagamaan mempertahankan jarak yang sewajarnya
Islam tingkat desa. Dalam bahasa dan sealamiah mungkin, sementara skala
pesantren Kayim dilabelkan pada orang pilihan adalah partisipan diberi pilihan-
yang memiliki pengetahuan dan pilihan tuturan tanpa harus diliputi
keterampilan keagamaan Islam. Ini ketegangan dan kekakuan tuturan.
artinya secara sosial, orang yang memiliki Sedangkan skala kesekawanan adalah
label Kayim lebih berstrata sosial tinggi partisipan mesti ramah dan menjaga
melebihi strata sosial warga desa, apalagi persahabatan.
Kayim merupakan perangkat desa. Itu Berdasarkan skala kesantunan Robin
sebabnya mengapa ragam bahasa yang Lokof, dapat dinyatakan bahwa tuturan
digunakan warga desa menggunakan dalam dialog wayang santri telah
krama inggil seperti pada (21a). Tentu memenuhi persyaratan untuk tercapainya
25
Tanjung Wantorojati, “Penggunaan Kata http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/1234
Sapaan Dalam Bahasa Jawa Banyumasan Di 56789/71146/090110201037Tunjung%20Wantor
Kebupaten Cilacap” (Skripsi, Universitas Jember, ojati%20sudh.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
26
2015), 84, Chaer, Kesantunan Berbahasa, 63–64.
152
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
kesantunan. Memang benar bahwa dalam Kisah di atas menunjukkan bahwa teks
dialog wayang santri terdapat ragam cerita merupakan cerita fable. Dalam
bahasa rendah (ngoko) ‘ngko ndingin’ kisahan itu ada empat aspek yang
yang secara sosiologi bahasa tidak membangun cerita yaitu: 1) orientasi,
semestinya digunakan untuk yaitu: bagian yang menunjukkan awal
berkomunikasi dengan mitra tutur yang kejadian cerita atau latar belakang
secara sosial lebih tinggi tingkatannya. bagaimana peristiwa terjadi, berisi
Akan tetapi, tuturan itu tetap masih pengenalan latar cerita berkaitan dengan
menjaga persahabatan dan disampaikan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
secara alamiah, sehingga tidak menabrak peristiwa; 2) komplikasi, yaitu: peristiwa
kesantunan berbahasa. Lebih dari itu, di dalam cerita yang memperkenalkan
tuturan itu disampaikan dalam suasana konflik; 3) resolusi merujuk kepada solusi
humar. Humor yang menggunakan ungah- dari berbagai konflik yang dialami tokoh;
ungguh bahasa justru akan kehilangan 4) koda, yakni: perubahan yang terjadi
daya tarik humor. Lebih dari itu, humor pada tokoh dan pelajaran yang dapat
tidak menciptakan suasana pecah dan dipetik dari cerita.
tawa renyah-meriah. Teks tersebut dikatakan sebagai fable
Dialog 3 (Lampiran 3) tentang curahan karena terdapat ciri-ciri umum dan
perasaan ayam dan sapi dapat dianalisis karakteristik fabel
sebagai berikut: 1. Menggunakan tokoh hewan dalam
Latar tempat: Halaman rumah pemilik penceritaannya (sapi dan ayam)
hewan 2. Hewan yang sebagai tokoh utama
Latar waktu : Siang hari dapat bertingkah seperti manusia
Partisipan : P1 (sapi) dan P2 (ayam) (berbicara, berfikir)
Tujuan : Penyampaian informasi 3. Menunjukkan penggambaran
tentang isi hati yang selalu moral/unsur moral dan karakter
diperlakukan tidak adil manusia dan kritik tentang
oleh orang lain kehidupan di dalam ceritanya.
Peristiwa : Perasaan 4. Penceritaan yang pendek.
Ragam bahasa : Akrab 5. Menggunakan pilihan kata yang
Perangkat tuturan : Lisan mudah.
Aturan tuturan : dialek Jawa Ngapak 6. Dalam cerita fabel, paling baik yang
Jenis tuturan : Dialog diceritakan adalah antara karakter
manusia yang lemah dan kuat
Pitik ‘ayam’ 7. Menggunakan latar alam.27
Kata pitik ‘ayam’ merupakan simbol
dalam masyarakat Jawa. Hewan ini adalah Setiap orang memerlukan pengala-man
ayam yang sangat akrab dalam kehidupan terhadap pengetahuan tentang apa yang
masyarakat itu. Hewan ini hidup sangat disebut perbuatan benar dan salah.
dekat dengan manusia. Karena banyak Keputusan untuk membuat penilaian
memberi manfaat, mulai dari daging, dan tentang benar dan salah merupakan salah
telurnya. Ujaran lisan ayam dan sapi satu bagian dari moral judgement
merupakan sindirian kepada manusia yang (pertimbangan moral). Menurut Sarbaini
berperilaku hanya mengambil untung dari moral judgement merupakan manifestasi
orang lain tapi tidak pernah membalas untuk membuat kesimpulan atau
budi kebaikan orang lain. keputusan tentang sesuatu, baik yang
27
Sarbaini, Model Pembelajaran Berbasis
Kognitif Moral Dari Teori Ke Aplikasi
(Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012).
153
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
28 30
Sarbaini. Nugraha.
29
Chynthia Ratna Nugraha, “Keefektifan 31
Arif Hidayat, “Pengaruh Dongeng Dalam Masa
Penerapan Teknik Bercerita Berpasangan Dalam Kanak-Kanak Terhadap Perkembangan
Pembelajaran Apresiasi Dongeng Yang Seseorang,” YIN YANG Volume 4, Nomor 2, no.
Diperdengarkan” (UPI Bandung, 2012), Jurnal Studi Gender & Aanak (2009): 335–44.
http://repository.upi.edu/10729/.
154
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
155
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
156
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
157
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Bahasa Jawa
Lampiran 1
158
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
Lampiran 2
Dialog 2: Hukum Menyuruh Orang Shalat
P1: Wong sembayang ora usah dikongkon-kongkon. Malah ngongkon wong sembayang
hukume dosa. (Orang salat tidak perlu disuruh. Bahkan menyuruh orang salat
hukumnya dosa)
P2: Kiyeh... raine madep mene kiye. (Gini... mukamu menghadap ke sini)
P1: Apa ! (Apa !)
P2: Pada-pada santri koen ka aja ngajarna aliran sesat koen. (Sesama santri, kamu jangan
mengajarkan aliran sesat, kamu)
P1: Aliran sesat apa. (Aliran sesat apa)
P2: Wong memerintahkan berbuat kebajikan iku hukume wajib, paham....! Kewajiban umat
Islam kuwe ngejak, ngongkon wong solat iku termasuk wajib, oleh ganjaran.
(Kewajiban umat Islam itu mengajak, menyuruh orang salat itu termasuk wajib,
memperoleh pahala. Orang menyuruh berbuat kebaikan itu hukumnya wajib, paham...!)
P1: Lah goblok koen. Ngongkon wong solat kuwe dosa. (Bener-bener goblok kamu. Menyuruh
orang salat itu dosa)
P2: Raimu. (Mukamu)
P1: Ora usah malang kerik, koen. (Tidak perlu tolak pinggang, kamu)
P2: Malang kerik...? Sapa, mbenerna sabuk. Sak ucap sak kecap bakal dirongokaken,
apamaning sampiyen tokoh masyarakat. Wani-wani ngomong wani ngongkon sembayang
jare dosa, bisa dibata watu raimu. (Tolak pinggang...? siapa, merapikan ikat pinggang. Satu
kata satu omongan pasti akan didengarkan, apalagi kamu tokoh masyarakat. Berani-
beraninya mengatakan bahwa menyuruh salat dosa... bisa dilempar batu mukamu).
P1: Ya Alllah... (karo nyikep dan ngelus-ngelus punggunge). (Ya Allah... (sambil memeluk dan
nepuk nepuk punggung)
P3: Ya koen njelasaken (Mestinya kamu jelaskan)
P1: ngko ndingin Kiyeh... kopoke koen diranakna. (Nanti dulu. Begini...kupingmu dengarkan)
P2: Ora bisa Tidak bisa. Dasar Sampeyan kapir Quraisy sampeyan. Memang kamu kafir Qurasy
kamu
P1: Kapir Qurasy? (karo nguyu)
Kafir Qurasy ? (sambil ketawa)
Kiyeh...inyong ngomong kiye bener. Begini....saya mengatakan itu benar
Rongokna ndingin. Dengarkan dulu
P2: Bener apa !
Benar apa !
okoke murdat sampeyan pokoke
Pokoknya murdat kamu pokoknya
P1: Wong ngongkon wong sembayang kuwe hukume salah
Orang menyuruh orang salat itu hukume salah
P2: Sebabe? bisane?
Sababnya? kok bisa?
P1: Wong pan ngongkon mbong mboran mengko dong wonge lubar sembayang nembe
dikongkon
Orang akan menyuruh atau tidak menyuruh nanti setelah orang itu selesai salat, setelah itu
baru disuruh
159
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Bahasa Jawa
lenga
Orang menyuruh orang kalau sedang Allahu Akbar, lalu disuruh; Hai To ! belikan
minyak
Dosa hukume ooooh... pan ngongkon mbora mengko dong lubar mbayang
Dosa hukumnya? Akan menyuruh atau tidak menyuruh nanti setelah selesai salat
Dadi ngongkon wong mbayang hukume dosa
Jadi menyuruh orang salat hukumnya dosa
P2: (Celingak-celinguk karo mikir ning omongane Lupit kuwe bener)
(Celingukan sambil memikirkan bahwa omongan Lupit itu benar)
P1: (Guyu mesem-mesem)
(Tertawa kecil)
P2: Raimu ara ngumong sing mau kaya kuwe sih...dadi inyonge bingung eeeh
Mukamu tidak ngomong dari tadi kaya begitu sih...jadi saya bingung
(Aduuuuh kuuunyuk (karo nibakna awake nang kedebog gedang tandane mbenerna
omongane P1)
(Dasar mooonyet...sambil menjatuhkan badannya ke batang pisang tanda
membenarkan ucapan P1)
160
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 141-162
Lampiran 3
Dialog 3: Curuhan Perasaan Ayam dan Sapi
Dulur ngapakers, ceritane kiye inyonge arep melu-melu Aki Samidi lah. Nek Aki Samidi
nduwe cerita arane curanmor (Curahan Perasaan dan Humor), kiye inyong nduwe crita
judule curantik (Curahan Perasaan Pitik). Critane kaya kiye...lur:
Saudara sesama pengguna bahasa Ngapak, ceritanya adalah suatu hari saya ingin ikut
kekek Samidi, dia punya cerita judulnya “curanmor” artinya curahan perasaan humor,
sedangkan saya punya cerita judulnya curahan pesaan ayam
P1: Nyong jan gething banget karo sing jenengé menungsa
Saya benci sekali dengan yang namanya manusia
P2: Lha pimén si...dénéng rika ngomong kaya kuwé?
Mengapa kamu bicara begitu
P1: Rika ora ngerti si ya..nyong jan nembé mangan beras setithik ning pedhangan bé wis
digusah2, diusir-usir lan dipathak kambi watu. Padahal menungsa kuwe enggal dina
mangan endog lan mangan daging pithik. Kaya kiyé mbok jenengé ora adil
Kamu tidak tahu ya saya baru saja makan beras sedikit sudah diusir, dilempar batu.
Padahal dia setiap hari makan telur dan makan daging ayam, out ka tidak adil
P2: Ujaré rika thok apa sing gething karo sing jenenge menungsa
Bukan kamu saja tik yang benci kepada manusia
P1: Lha si ko kenangapa, pi?
P2: memangnya kamu kenapa, pi?
P1: Koen si mendhing mung de gusah2, di pathak karo watu. Njajal bayangna lan rasakna
kaya inyong
Kamu sih mending, hanya digusah-gusah, dilempar dengan batu. Coba bayangkan
dan rasakan seperti saya
Enggal dina susuné inyong de mek-mek, de elus-elus, de penjet2..., nanging apa kuwé
sing jenengé menungsa gemblung ora nduwé peri kekéwanan
Setiap hari susu saya dipegang-pegang, dielus-elus, dipencat-pencet, apakah itu
namanya manusia gila dan tidak punya rasa kehewanan
161
Abdullah, Bahasa Ngapak sebagai Sarana Kontruksi Budaya Jawa
162