Anda di halaman 1dari 16

UJIAN TENGAH SEMESTER FOLKLORE

WUJUD FOLKLOR DALAM KEBUDAYAAN SUKU JAWA


Dosen Pengampu : Ibu Masithah Mahsa, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Retno Ayu Anjani Lutfi 190740015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
Saya dapat menyelesaikan tugas uts mengenai makalah yang berjudul Wujud Folklor dalam
Kebudayaan Suku Jawa ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Masithah
Mahsa, S.Pd., M.Pd. pada mata kuliah Folklore. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas ujian tengah semester dan menambah wawasan tentang memahami
Perwujudan Folklor dalam kebudayaan Suku Jawa bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Masithah Mahsa, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata
kuliah Folklor yang telah memberikan tugas ini sehingga saya dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Aceh Utara, 23 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra dibagi menjadi dua yang terdiri dari karya satra lisan dan karya sastra tulis.
Karya sastra lisan yaitu cerita rakyat, legenda, mite, dan lain-lain; sedangkan karya sastra
tulis, misalnya cerkak, cerbung, novel, naskah drama, dan sebagainya. Terdapat sebuah
simpul yang sangat erat antara sastra daerah terutama sastra lisan dengan folklor. Hal ini
dikarenakan sastra daerah merupakan bagian dari folklor. Menurut Danandjaja (Didipu,
2010:30) folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.

Folklor secara etimologis berasal dari kata folk dan lore. Kedua kata tersebut berarti ada
ketergantungan satu sama lain, sehingga membentuk makna folklor. Folk, merujuk pada
kelompok populasi atau kolektif sekelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri pengenal
kesenian, adat, fisik, sosial, maupun kebudayaan, sedangkan lore ialah representasi keinginan
folk yang ekspresif. Folk dan lore di dalamya juga terdapat seni, sastra, budaya, dan tata
kelakuannya. Jadi, folklor adalah tradisi kebudayaan, yang diwariskan secara turun-temurun
berupa kebiasaan masyarakat berupa kebudayaan, kesenian, baik secara lisan atau non lisan
melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat.

Berbicara mengenai folklor tidak terlepas dari kesenian dalam kebudayaan. Perlu diketahui
bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang kebudayaan sebagai
kesenian, hal tersebut memiliki bobot besar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat,
karena kesenian identik dengan kandungan nilai-nilai kebudayaan, bahkan menjadi wujud
ekspresi yang menonjol terhadap nilai-nilai kebudayaan. Perilaku, kebiasaan, tari-tarian,
musik, rumah adat, pakaian, dan pola hidup suatu masyarakat dapat disebut sebagai
kebudayaan dan sampai sekarang menjadi kebiasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

Peninggalan tersebut dapat disampaikan dengan cara yang berbeda-beda di setiap wilayah
(Endraswara, 2010:3). Cara yang dilakukan untuk menyampaikan kebudayaan dapat
dilakukan dengan bentuk atau versi yang berbeda-beda di setiap 2 wilayah. Penyebab
perbedaan dalam menyampaikan kebudayaan atau hasil dari peninggalan nenek moyang
sering dilakukan secara lisan, sehingga terjadinnya penambahan dan pengurangan, hal
tersebut menimbulkan perbedaan dalam setiap penyampaian kebudayaan di setiap masyarakat
atau wilayah. Namun, seiring berkembangnya zaman perkembangan Folklor tidak hanya
dilakukan secara lisan, tetapi juga tertulis. Munculnya tradisi cetak mencetak telah mengubah
dan dapat membantu penyetaraan penyampaian kebudayaan lisan.

Kebudayaan yang sampai sekarang masih terjaga dan dilestarikan, yaitu kesenian, permainan,
dan tarian-tarian. Para ahli teori jawa yang memikirkan masalah seni tari semuanya
menyadari, bahwa setiap bangsa di atas permukaan bumi ini mempunyai caanya masing-
masing di dalam mengubah tari-tarian dan musik, dan bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh
adanya perbedaan kebudayaan di antara mereka (Brakel dalam Seni Tari Jawa. 1992:12).
Permainan dalam budaya Jawa dilakukan setiap hari oleh masyarakat Jawa, karena permainan
tradisional mengandung nilai-nilai budi pekerti yang terangkum dalam permainan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Folklor murni lisan : mencakup bahasa dan legenda suku Jawa
2. Folklor sebagian lisan : mencakup permainan rakyat dan tari rakyat suku Jawa
3. Folklor bukan lisan : mencakup arsitektur rakyat dan musik rakyat suku Jawa
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bahasa dan legenda suku Jawa.
2. Untuk mengetahui permainan rakyat dan tarian rakyat suku Jawa.
3. Untuk mengetahui arsitektur rakyat dan musik rakyat suku Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Folklor Murni Lisan


1) Wujud folklor dalam Bahasa rakyat suku Jawa
Suku Jawa telah memiliki bahasa dan aksara sejak ratusan tahun yang lalu. Bahasa Jawa
sendiri mempunyai beberapa level untuk berkomunikasi sehari-hari yaitu ngoko, krama
madya dan kromo inggil. Tingkatan ngoko merupakan tingkatan bahasa yang sedikit
kasar dimana orang Jawa menggunakannya untuk orang yang lebih muda atau tingkatan
berada di bawah.

Krama madya atau bahasa Jawa alus yaitu bahasa yang digunakan kepada orang yang
sederajat. Sedangkan untuk krama inggil adalah bahasa yang digunakan kepada orang
yang dihormati maupun orang yang lebih tua.
Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la dan seterusnya.
Arti dari aksara Jawa yang berjumlah 20 adalah ada dua utusan yang setia tetapi mereka
saling bertarung dengan kesaktian yang sama. Kemudian dua utusan tersebut juga sama-
sama meninggal.

Dalam percakapan sehari-hari, Suku Jawa menggunakan bahasa Jawa. Bahasa daerah ini
masih lestari hingga kini dan di beberapa daerah menjadi salah satu bidang studi di
sekolah. Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat. Penggunaan
tingkatan ini tergantung siapa lawan bicaranya.

Berikut ini adalah tingkatan dalam bahasa Jawa, antara lain:

 Bahasa Jawa Ngoko, yaitu bahasa Jawa sehari-hari yang tingkatannya berada di
paling bawah. Bahasa ini digunakan saat berbicara dengan yang usianya lebih mudah.
Di masa lalu juga digunakan kalangan bangsawan atau kalangan atas dalam status
sosial masyarakat Jawa jika bicara kepada orang yang status sosialnya berada di
bawah mereka.
 Bahasa Krama Madya adalah bahasa Jawa yang dituturkan saat berbicara dengan
orang yang dianggap sederajat dengan mereka.
 Bahasa Krama Inggil, digunakan saat bicara dengan orang yang lebih tua atau orang
yang dihormati, serta orang yang kedudukan sosialnya berada di atas mereka.
Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya,
nya, ma, ga, ba, tha, nga. Jika diartikan adalah “ada dua utusan yang setia saling
bertarung sama-sama saktinya dan sama-sama matinya”.

Aksara Jawa sudah jarang digunakan dalam penulisan modern. Meskipun demikian,
masih diajarkan di beberapa sekolah di Pulau Jawa sebagai bentuk pelestarian tradisi dan
kebudayaan Jawa.

2) Wujud Folklor dalam Legenda Candi Prambanan suku Jawa

Candi prambanan adalah candi peninggalan agama Hindu. Candi prambanan


merupakan candi yang sangat indah dan begitu cantik karena candi tersebut
menjulang tinggi kurang lebih 47 meter.Pada abad ke-10, candi ini dibuat pada saat
pemerintahan dua raja yaitu Rakai Pikatan dan Rakai Balitung.Candi Prambanan ini
memiliki alkisah menarik tersendiri yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Indonesia. Mengisahkan tentang perjuangan seorang pria bernama Bandung
Bondowoso yang ingin memperistri putri yang bernama Roro Jonggrang.

Legenda candi prambanan ini dimulai dari cerita rakyat yang pada jaman dahulu kala
ada seorang raja yang bernama Raja Boko. Raja Boko ini merupakan raksasa yang
hidup dan tinggal di sebuah desa yang di namakan prambanan. Raja Boko tersebut
telah memiliki seorang putri yang amat cantik yaitu Roro Jongrang.
Pada suatu hari datang kesatria yang berasal dari pengging bernama Bandung
Bondowoso. Dalam sebuah pertarungan kesatria itu dapat mengalahkan Raja Boko.
Setelah mengalahkan Raja Boko, Bandung Bondowoso tidak ingin berlama-lama
untuk dapat meminang putri Roro Jongrang dan dia pun langsung melamarnya.
Lamaran yang di ajukan ke Roro Jonggrang di terima akan tetapi sang putri meminta
persyaratan yang harus dapat kesatria Bandung Bondowoso penuhi.

Keinginan atau syarat yang dimaksud adalah Bandung Bondowoso harus membangun
1000 candi yang harus selesai dalam waktu satu malam saja. Tentu syarat itu di
penuhi oleh Bandung Bondowoso dan langsung bergegas untuk membangun candi
tersebut. Dengan bantuan makhluk halus candi yang di maksud tersebut telah hampir
selesai di kerjakan. Tetapi ketika jumlah candi yang di buat hampir mencapai seribu,
Roro Jongrang meminta para penduduk untuk dapat menabuh lesung yang
menandakan hari mulai pagi dan ayam pun berkokok.

Patung Roro Jongrang

Setelah pembuatan candi ke 999, Bandung Bondowoso terpaksa harus berhenti di


karenakan hari sudah mulai pagi. Setelah selesai mengerjakan dan kurang satu patung,
Bandung Bondowoso menyadari kalau dirinya telah di tipu oleh Roro Jongrang. Roro
Jongrang bersifat licik dan menyebabkan Bandung marah dan mengutuk Roro
Jongrang menjadi batu untuk menjadikan dirinya candi ke seribu.

Setelah ucapan itu keluar dari mulut Bandung Bondowoso sekejap tubuh Roro
Jongrang berubah menjadi batu dan akhirnya menjadi patung. Setelah Roro Jongrang
menjadi patung maka terwujudlah keinginannya yaitu membuat candi sebanyak seribu
buah.

Cerita di atas adalah merupakan cerita rakyat yang di ceritakan secara turun temurun
kepada generasi muda agar mengerti kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Tetapi
cerita ini tidak terjadi karena candi yang terdapat di candi prambanan hanya
berjumlah 250 buah. Terdapat patung Batari Durga Mahisa Suramardhani yang
berada di dalam Candi Siwa. Patung ini di sebut oleh masyarakat setempat dengan
penjelmaan dari Roro Jongrang yang menjadi batu.

2.2 Folklor Sebagian Lisan


3) Wujud folklore dalam permainan rakyat tradisional konclong suku Jawa
Permainan konclong ( dalam bahasa khusus Kampung Adat Dukuh, Garut)
merupakan permainan tradisonal lompat-lompatan pada bidang-bidang datar yang
digambar diatas tanah, dengan membuat gambar kotak-kotak kemudian melompat
dengan satu kaki dari kotak satu kekotak berikutnya. Permainan konclong biasa
dimainkan oleh 2 sampai 5 anak perempuan dan dilakukan dihalaman. Namun,
sebelum kita memulai permainan ini kita harus membuat kotak-kotak dipelataran
semen, aspal atau tanah, menggambar 5 segi empat berhimpit vertical kemudian
disebelah kanan dan kiri diberi lagi sebuah segi empat.
Manfaat Permainan Konclong Bagi Anak, Kemampuan fisik anak menjadi kuat
karena dalam permainan konclong anak diharuskan melompat-lompat. Mengasah
kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan mengajarkan kebersamaan. Dapat
menaati aturan-aturan permainan yang telah disepakati bersama. Mengembangkan
kecerdasan logika anak. Permainan konclong melatih anak untuk berhitung dan
menentukan langkah-langkah yang harus dilewatinya. Anak menjadi lebih kreatif.
Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh pemainnya. Mereka membuat
barang-barang, benda-benda atau tumbuhan yang ada disekitar para pemain. Hal itu
mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. Nilai deteksi
dini untuk mengetahui anak yang mempunyai masalah. Nilai untuk perkembangan
fisik yang baik. Aktivitas fisik meliputi kegiatan untuk berolah raga, meningkatkan
koordinasi dan keseimbangan tubuh, dan mengembangkan ketrampilan dalam
pertumbuhan anak. Nilai untuk kesehatan mental yang baik, yaitu: membantu anak
untuk mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara yang alami,
mengurangi kecemasan, pengendalian diri, pelatihan konsentrasi. Nilai problem
solving, anak belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan tersebut bisa
ditransfer dalam kehidupan nyata. Nilai sosial, anak belajar ketrampilan sosial yang
akan berguna untuk bekal dalam kehidupan nyata.
Cara Memainkan Permainan Konclong
Gambarlah kotak-kotak konclong dengan kapur, pecahan genting, atau goresan batu
jika media beralaskan tanah merah. Kemudian pemain harus melompat dengan satu
kaki di dalam kotak-kotak konclong tersebut. Sebelum melompat, pemain harus
melempar kepingan genting terlebih dahulu ke dalam kotak 1, lalu melompat dengan
satu kaki di angkat satu demi satu kotak konclong. Terdapat beberapa kotak yang
pemainnya tidak boleh mengangkat satu kakinya, yaitu nomor 4, 8, dan 9. Di kotak
tersebut, kedua kaki wajib menginjak tanah. Saat mengitari kotak-kotak sondah,
pemain akan kembali menginjak kotak 3, 2, dan 1. Saat berada di kotak 9, pemain
harus terlebih dahulu mengambil gentingnya baru kemudian menyelesaikan
perjalananya sampai ke garis start. Kini, pemain harus melempar gentingnya ke kotak
2, lalu kembali mengangkat satu kaki dan mengambil gentingnya dari kotak 9. Begitu
seterusnya hingga genting tuntas menempati setiap kotak Pemain dinyatakan gugur
dan harus berganti pemain jika: 1. Menginjak atau keluar garis kotak; 2. Menginjak
kotak yang didalamnya terdapat pecahan genting; 3. Melempar genting keluar dari
kotak yang seharusnya; 4. Kaki tidak diangkat satu di nomor selain 4, 8, dan 9 atau
mengangkat satu kaki di kotak 4, 8, dan 9. Permainan tidak berakhir begitu saja jika
genting pemain tuntas mengitari kotak konclong.
Setelah itu, ada tahapan membawa genting dengan posisi tertebtu mengelilingi kotak
konclong tanpa terjatuh. Adapun letak posisinya sebagai berikut:
1. Di atas punggung telapak tangan.
2. Di atas telapak tangan.
3. Di atas punggung tangan yang dikepal.
4. Di atas telapak tangan yang dikepal.
5. Di atas jempol dan telunjuk tangan yang dikepal.
6. Di atas punggung dua jari ( telunjuk dan jari tengah ).
7. Di atas telapak dua jari.
8. Di atas pergelangan tangan yang telungkup.
9. Di atas pergelangan tangan yang terlentang.
10. Di atas siku tangan yang dilipat.
11. Di atas bahu kanan.
12. Di atas bahu kiri.
13. Di atas punggung kaki kanan.
14. Di atas punggung kaki kiri.
15. Di atas kepala.
Meletakan genting di atas kepala adalah posisi terakhir. Setelah membawanya
mengelilingi kotak konclong, genting di atas kepala dijatuhkan ke telapak tangan
dengan cara menundukan kepala, lalu pemain membelakangi kotak-kotak konclong
dan harus melempar genting tersebut tepat di salah satu kotak. Jika berhasil maka
pemain mendapat bintang di kotak tempat terjatuhnya genting. Artinya, si pemilik
bintang di bebaskan untuk tidak mengangkat satu kakinya di kotak tersebut.
4) Wujud folklore dalam tarian rakyat Reog Ponorogo suku jawa

Tarian Reog Ponorogo adalah Tarian Daerah yang berasal dari Jawa timur bagian
barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang
kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil
pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia
yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang
kuat.

Sejarah kesenian reog berasal dari cerita rakyat. Ada lima versi cerita yang
berkembang namun yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki
Ageng Kutu. Diceritakan bahwa Ki Ageng Kutu yang merupakan seorang abdi
kerajaan pada masa Bhre Kertabumi pada abad ke-15. Ia melakukan pemberontakan
karena murka akan pemerintahan raja yang korup dan terpengaruh kuat dari istri raja
majapahit yang berasal dari cina. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan
perguruan bela diri. Namun sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan
pasukan kerajaan, maka ia membuat pertunjukan seni Reog yang merupakan sindiran
kepada raja Kertabumi dan kerajaannya.

Tokoh di Tarian Reog Ponorogo ialah Jathil, Warok, Barongan (Dadak Merak), Klono
Sewandono, Bujang Ganong (Ganongan). Tokoh ini lah yang menjadikan Inspirasi
pada Tarian Reog Ponorogo.

3. Folklor Bukan Lisan

5) Wujud folklore dalam arsitektur tradisional Omah suku Jawa

Rumah tradisional Jawa, atau biasa disebut sebagai omah adat Jawa, mengacu pada
rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, Indonesia. Arsitektur rumah Jawa ditandai
dengan adanya aturan hierarki yang dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap
rumah. Rumah tradisional Jawa memiliki tata letak yang sangat mirip antara satu
dengan lainnya, tetapi bentuk atap ditentukan pada status sosial dan ekonomi dari
pemilik rumah.
Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial
Belanda di Indonesia dan juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur
modern di Indonesia pada abad ke-20.

Sejarah
Orang jawa memiliki kekerabatan yang dekat dengan bangsa Austronesia. Relief di
Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 juga menunjukkan bahwa rumah
Jawa merupakan pola dasar dari rumah Austronesia. Kedatangan orang Eropa pada
abad 16 dan 17 memperkenalkan batu dan batu bata dalam konstruksi rumah, yang
banyak digunakan oleh orang-orang kaya. Bentuk rumah tradisional Jawa juga mulai
mempengaruhi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal
abad ke 19, rumah Hindia Belanda dibuat menyerupai rumah Jawa karena bentuk
rumah yang mampu melawan panas tropis dan hujan lebat, namun tetap mampu
mengalirkan udara di bagian dalam rumah.

Hierarki Atap Rumah


Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional
Jawa diklasifikasikan menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi,
yaitu Kampung, Limasan, dan Joglo.

Tidak berbeda dengan rumah tradisional Bali, rumah Jawa biasanya dibangun dalam
suatu kompleks berdinding. Bahan untuk dinding pelindung kompleks rumah dibuat
dari batu untuk rumah orang kaya, atau terbuat dari bambu dan kayu.

Omah. Omah adalah rumah utama. Kata omah berasal dari Austronesia yang berarti
“rumah”. Omah biasanya memiliki tata letak persegi atau persegi panjang dengan
lantai yang ditinggikan. Bagian tengah omah menggunakan bentuk atap limasan atau
joglo. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding menjadi daerah dalam
dan luar.

Dalem. Dalem adalah bangunan tertutup dan dibagi lagi sepanjang poros Utara dan
Selatan menjadi daerah-daerah yang berbeda. Pada model
rumah kampung dan limasan, pembagian ini digunakan untuk membedakan antara
bagian depan dan belakang. Namun, pada rumah joglo terdapat tiga pembagian yang
lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang.
Bagian Timur depan dalem adalah tempat berlangsungnya kegiatan semua anggota
keluarga dan tempat semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu,
sebelum pubertas anak-anak. Bagian tengah dalem rumah joglo ditegaskan oleh empat
tiang pokok. Saat ini, bagian itu tidak lagi memiliki kegunaan khusus. Namun, secara
tradisional daerah ini merupakan tempat pedupaan yang dibakar sekali seminggu
untuk menghormati Dewi Sri (dewi padi), juga merupakan tempat pengantin pria dan
wanita duduk pada upacara pernikahan.

Senthong. Senthong merupakan bagian belakang omah yang terdiri dari tiga ruangan
tertutup. Senthong Barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lain,
sementara peralatan bertani disimpan di sisi Timur. Senthong secara tradisional
merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin dan dikenal sebagai tempat
tinggal tetap Dewi Sri. Pasangan pengantin baru terkadang tidur di senthong tengah.
Di bagian luar atau belakang kompleks terdapat beberapa bangunan lain seperti dapur
dan kamar mandi. Sebuah sumur biasanya ditempatkan di sisi Timur. Sumur sebagai
penyedia air dianggap sebagai sumber kehidupan dan selalu menjadi hal pertama yang
diselesaikan ketika membangun sebuah kompleks rumah baru. Jika jumlah anggota
keluarga atau kekayaan keluarga bertambah, bangunan-bangunan tambahan
(gandhok) dapat ditambahkan.

6) Wujud folklore dalam musik rakyat Gamelan suku Jawa

Gamelan menjadi salah satu jenis alat musik yang paling terkenal. Salah satu kesenian
khas Jawa Tengah ini memiliki beberapa bagian dengan masing-masing peranan dan
nadanya. Misalnya saja seperti gong, kenong, saron, kendang, bonang, demung,
peking,dan lain sebagainya.

Gamelan termasuk ke dalam jenis alat musik yang bernada pentatonis. Sesuai
kegunaannya, jenis alat musik ini sering digunakan dalam berbagai macam
pertunjukkan kesenian khas Jawa. Seperti contohnya pengiring tarian tradisional,
acara pernikahan, pertunjukan wayang, dan masih banyak pertunjukan seni Jawa yang
lainnya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai