Anda di halaman 1dari 13

JANGJAWOKAN SASTRA SUNDA

Oleh:
Aceng Munawarul Hidayah (19010871)
Efidah Fajar Hidayati (19010881)
Utari Nursyafitri (19010905)
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Latar belakang
Sastra Nusantara yang ada di suku Sunda mempunyai banyak ragam dan bentuk,
salah satunya sastra sunda yang berbentuk teks. Jenis teks sastra Sunda yang diteliti penulis
yaitu jenis sastra “Jangjawokan”. Jangjawokan adalah puisi mantra yang termasuk sastra
lisan di kebudayaan Sunda. Jangjawokan memiliki keunikan sendiri dalam pengucapannya,
kata ini asing ditelinga. Mayoritas orang Sunda mengartikan Jangjawokan itu sebagai mantra
mistis dengan tujuan yang negative. Padahal kenyataannya setelah melihat kesastraan
Jangjawokan kandungan yang terdapat didalam puisi itu memiliki nilai yang baik seperti
pengobadan, keagamaan, tatakrama dan lain sebagainya. Maka dari itu penulis akan
memberikan pandangan dan juga contoh mengenai jangjawokan sebagai tradisi turun
menurun yang memiliki kandungan yang baik.
Tujuan dari penulisan ini yaitu mengubah pandangan pemikiran orang Sunda
terhadap isi kandungan puisi mantra Jangjawokan. Selain itu penulis berharap
menambahkan wawasan kajian kesusastraan dilingkup akademik. Jenis penelitian ini
menggunakan kepustakaan yang dimana penulis mencari sumber literatur tentang
kesusastraan Sunda khususnya Janjawokan. Setelah itu menganalisis data dan
mengumpulkan sumber yang relevan untuk kajian ini. Bahasan pokok dari penulisan ini
mengenalkan beberapa puisi mantra Jangjawokan untuk melestarikan kebudayaan Sunda.

Pembahasan
Bentuk Sastra Nusantara
Sastra Nusantara diidentikkan dengan kawasan yang terdiri dari berbagai pulau,yang
menjadi wilayah Negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup
Malaysia Barat dan timur serta Brunei. Termasuk juga Filipina selatan dan Mungthai selatan
serta Timor Leste. Sedangkan jika berbicara tentang dunia sastra, menunjukkan karya-karya
seni dan sastra yang dimana berbagai bahasa dari berbagai pulau yang ada di Nusantara

1
sebagai sarana utama identitas diri, pengungkapan rasa dan karsa. Sastra Nusantara tidaklah
sebatas karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, melainkan dari berbagai
bahasa etnik. Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi dan drama, banyak
pokok permasalahan yang dapat dijumpai dalam ketiga jenis karya sastra tersebut, misalnya
masalah yang mencakup sejarah, politik, ekonomi, dan budaya. Hal ini yang disebabkan
pada dasarnya karya sastra merupakan refleksi kehidupan sehari-hari.
Dimana seorang pengarang dapat menciptakan sebuah karya berdasarkan
pengalaman yang dialami baik secara langsung maupun tidak langsung.Berdasarkan waktu
penciptaan karya sastra, kesusastraan tergolong dari sastralama dan sastra modern.
Kesusastraan Indonesia modern diciptakan dibawah pengaruh paham-paham Barat dan
sedangkan kelahiran sastra lama terlahir jauh sebelum mesincetak masuk ke Indonesia.
Karya-karya yang lahir pada masa itu hanya ditulis tangan diatas daun lontar, batu, maupun
bahan lainnya. Karya-karya yang berbentuk naskah inilah yang merupakan salah satu
peninggalan kebudayaan yang patut dijaga kelestariannya, begitu pula dengan sastra lisan
yang dulunya terbangun di masyarakat terdahulu.
Melalui naskah-naskah kuno baik itu tertulis dan tidak yang tersebar di berbagai
daerah di Nusantara, didalamnya dapat terlihat kembali semua aspek kehidupan bangsa ini
pada masa lampau. Sebahagian besar isi naskah juga dapat mengungkapkan jati diri bangsa.
Sebagian pula dari segi isi teks pun masih ada yang masih relefan dengan zaman sekarang.
Oleh karena itu, kesusastraan tersebut perlu mendapat perhatian khusus mengingat
kandungan isinya yang sangat penting. Banyaknya khasanah naskah nusantara yang
dituliskan dalam berbagai bahasa dan aksara, maka dari itu perlunya edisi teks agar informasi
yang terkandung didalamnya dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
Perjalanan kesusastraan yang berlangsung di Nusantara sudah berlangsung sekian lama
hingga di zaman modern ini, sastra mempunyai warna yang berbeda-beda disinilah
kesusastraan itu terlihat menarik karena semuanya tidak terlepas dari budaya-budaya yang
mempengaruhi di sekitarnya.1

1. Sastra Lisan
Dalam khazanah kesusastraan Nusantara sastra lisan adalah sebuah karya sastra yang
berbentuk abstrak dan disampaikan dengan cara oral. Bentuk dari sastra lisan ini

1
Siti Eka Soniawati, Sastra Nusantara Keanekaragaman Sastra Budaya Indonesia, (Semarang:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2013)., hlm,. 5.

2
disampaikan oleh para tetua-tetuah kampung atau dalam suatu masayarakat yang
disampaikan secara lisan dari orang ke orang lain. Contohnya cerita tentang Abu Nawas itu
memiliki banyak versi di setiap penceritanya, selain itu terkadang judul cerita sama tapi akan
berbeda ketika disampaikan oleh orang yang berbeda. Dalam perjalanannya sastra lisan
menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah pada ruang etnik dan
suku yang mengusung adat yang berbeda-beda. Hal ini juga menjadi suatu bentuk ekspresi
budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur keindahan
(estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang
bersangkutan. Sastra lisan bertahan cukup lama dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-
tiap daerah dan suku yang ada di Nusantara. Namun, seiring dengan perkembangan zaman,
dalam khasanah kesusastraan dalam bentuk lisan, sastra tulis lebih mendominasi dan sastra
lisan mulai terpinggirkan bisa saja sampai terhapuskan. Hal ini mulai berkembang ketika
munculnya anggapan bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
sastra lisan. Ditambah lagi oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak
kebudayaan baru, maka posisi sastra lisan di masyarakat semakin pudar dan akan
menghilang.2

2. Sastra Tulis
Sastra tulis yang membedakannya dengan lisan yakni memiliki media
penyimpan,yakni media tulis. Naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh setiap etnik atau suku
bangsa Indonesia dapat dikategorikan ke dalam khasanah pernaskahan Nusantara. Naskah
tersebut berupa tulisan tangan yang ditulis pada media yang relative tidak akan bertahan
lama, seperti lontar, nipah, kulit, bambu, dan berbagai jenis kertas lainnya. Meninjau dari
segi isi naskah, naskah-naskah itu merupakan rekaman budaya masa lampau yang sangat
berharga dan sebagai cagar budaya bangsa yang tentunya patut diwariskan kepada generasi
penerus.
Kajian sastra di Nusantara sangat kompleks mengenai keberagaman suku yang
mempunyai jenis sastra tersendiri. Mulai dari sastra Jawa, Minagkabau, Dayak, Sunda,
Bugis Bali, Batak. Salah satunya sastra di suku Sunda yang mempunyai jenis dan ragam
sastra yang banyak, yaitu carita pantun, ajian, jampe, jangjawokan, mantra, kawih, dangding

Aulia Pebrianti Wardani, Nani Darmayanti, Agus Nero Sofyan , “STRUKTUR MANTRA
2

KEKUATAN DALAM BUKU “JANGJAWOKAN INVENTARISASI PUISI MANTRA SUNDA”: KAJIAN


ETNOLINGUISTIK”, Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 6 (1) (2021), hlm., 55.

3
17 pupuh, carita wayang sunda kuno dan buku suci Sunda kuno. Disini penulis tertarik
membahasa salah satu jenis sastra sunda yaitu “jangjawokan”.3

Sastra Sunda
Sastra Sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa Sunda atau dari daerah
kebudayaan suku bangsa Sunda atau di mana mereka memberikan pengaruh besar. Sastra
Sunda yang mulai muncul pada abad ke-11, awalnya dituliskan di atas daun lontar, dan
kemudian di atas kertas. Aksara yang dipakai adalah aksara Sunda Kuno, aksara Cacarakan,
dan juga huruf Arab.4
Salah satu sastra Sunda adalah Jangjawokan, Jangjawokan sendiri adalah puisi
mantra. Mantra itu bukanlah istilah Sunda asli, melainkan berasal dari bahasa Sansekerta,
seperti yang yang disebutkan dalam Kamus Jawa Kuno - Indonesia bahwa mantra berarti
jampi pesona atau do’a dimantrai atau dijampi. Salah satu sastra lisan yang berupa mantra
itu sendiri adalah seperti jangjawokan. Setiap daerah memiliki mantranya masing-masing
dengan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Di setiap daerah, masyarakat
mempunyai mantra-mantra dimana semua mantra yang mereka ucapkan menggunakan
bahasanya masing-masing tetap memiliki tujuan yang sama yaitu untuk hidup selamat,
sejahtera, dan terhindar dari marabahaya.
Semua puisi mantra sunda mempunyai unsur magis. Makna magis itu sendiri
mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan tataran keyakinan dan kepercayaan orang,
yang akhirnya sampai pada keyakinan dan kepercayaan bahwa kekuasaan dan kewenangan
makhluk halus itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan yang dikehendakinya dengan
cara-cara tertentu yaitu mengucapkan mantra serta segala sesuatu ketentuannya. Tataran
keyakinan dan kepercayaan semacam ini dimiliki bangsa Indonesia pada jaman terdahulu,
termasuk masyarakat Sunda di dalamnya sebelum Agama Islam masuk. Tradisi dan adat-
istiadat yang telah ada justru bersinkretis dengan ajaran Islam yang terus berkembang. 5
Menurut Yus Rusyana dalam bukunya Bagbagan Puisi Mantra Sunda menyebutkan bahwa
puisi mantra itu banyak ragamnya, seperti asihan, kinasihan, kemat, pelet, gendam,
jangjawokan, ajian, singlar, rajah, jampe, pamake, teluh, pangabaran, piwurung, wisaya yang

3
Karsono H Saputra, SASTRA LAMA TULIS SEBAGAI KELANJUTAN TRADISI LISAN
DALAM RANAH SASTRA JAWA, Jumantara Vol. 2 No.1 Tahun 2011, hlm., 5.
4
Chambert-Loir, Henri; Fathurahman, Oman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-
naskah Indonesia Sedunia, Yayasan Obor Indonesia, hlm 181
5
Etti R.S, MAUNG BAYANGAN, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2012, hlm., 25

4
kesemua itu merupakan puisi magis. Dalam bahasa, mantra dalam agama bisa disebut
dengan doa-doa, sedangkan dalam masyarakat Sunda mantra-mantra tersebut dikategorikan
kedalam jangjawokan.

Jangjawokan
Jangjawokan adalah Puisi mantra yang termasuk sastra lisan di kebudayaan Sunda.
Mantra jangjawokan merupakan suatu tradisi yang terdapat di masyarakat sunda yang
sifatnya turun temurun atau dititiskan. Memiliki nilai sastra yang bagus baik secara pilihan
kata, bunyi, dan lain-lain sebagai salah satu karya yang harus dipelihara, karena sastra hadir
untuk di baca, dinikmati, serta selanjutnya dimanfaatkan. Jangjawokan merupakan jenis
puisi mantra yang bersifat mistis karena mempunyai fungsi dan peran yang berbeda dengan
jenis sastra lainnya. Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan
kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan
ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan
hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya yang jelas ada
harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Keberaadaan mantra jangjawokan dalam masyarakat Sunda sejajar dengan
Keberadaan sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sunda dari dahulu hingga
sekarang yang semakin pudar. Sistem kepercayaan masyarakat sunda terdahulu sangatlah
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga mantra jangjawokan sangat berperan
dalam semua tatanan kehidupan sehari-hari, baik yang menyangkut kehidupan sehari-hari,
baik yang menyangkut urusan duniawi maupun urusan kehidupan abadi nanti. Masyarakat
masa lampau saat itu sangat percaya terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang dimana hal
tersebut sangat dipercaya dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka. Dalam
kegiatannya sehari-hari masyarakat sunda saat itu melakukan cara-cara yang telah ditetapkan
melalui susunan kata-kata dan kalimat yang telah ditetapkan, yaitu berupa mantra
jangjawokan. Fungsi jangjawokan dilihat dari tergantung tujuanya. Karena yang tau adalah
yang menggunakanya. Pengucap dan dewa atau leluhur yang di atas yang dapat mengerti.
Ada juga bagian jangjawokan yang dapat kita ketahui dari kata-kata namun susunan
kalimatnya sangat susah dipahami.6

6
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm., 65.

5
Jangjawokan tidak dapat dilepaskan dari perikehidupan orang sunda terutama masa
lampau, dipaparkan dengan jelas oleh Hasan Mustapa dalam bukunya, adat-istiadat Sunda
mulai dari hal yang berkaitan dengan atikan, daur hidup manusia (kehamilan, khitanan,
pernikahan, kematian), pertanian, perbintangan; hingga soal waktu yang dinahaskan.
Hampir pada semua kegiatan masyarakat sunda pada saat itu yang berupa ritual maupun
upacara-upacara menggunakan jangjawokan yang dipercaya dapat diberikan keselamatan
dan dapat mencapai kesejahteraan hidup.
Kedudukan jangjawokan dalam kehidupan masyarakat Sunda pemakaiannya berada
pada tataran nilai spiritual yang tinggi dan memiliki daya sugesti yang sangat kuat sehingga
dengan cara diucapkan pelan-pelan atau hanya dalam hatipun sudah dianggap cukup kuat.
Semua puisi mantra sunda mempunyai unsur magis. Makna magis itu sendiri mengandung
unsur-unsur yang berkaitan dengan tataran keyakinan dan kepercayaan orang, yang akhirnya
sampai pada keyakinan dan kepercayaan bahwa kekuasaan dan kewenangan makhluk halus
itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan yang dikehendakinya dengan cara-cara tertentu
yaitu mengucapkan mantra serta segala sesuatu ketentuannya. Tataran keyakinan dan
kepercayaan semacam ini dimiliki bangsa Indonesia pada jaman terdahulu, termasuk
masyarakat Sunda di dalamnya sebelum Agama Islam masuk. Tradisi dan adat-istiadat yang
telah ada justru bersinkretis dengan ajaran Islam yang terus berkembang.
Proses penyebaran jangjawokan pada masanya dapat dilihat dari banyaknya
masyarakat yang mempelajarinya. Namun pada hakikatnya ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam keberadaan jangjawokan. Pertama adalah apa yang disebut dengan
proses mendapatkan, kedua proses menggunakan, dan yang ketiga proses pewarisan
jangjawokan. Ketiga proses ini saling berkaitan, dan nanti terlihat perbedaan antara
ngawiridkeun (mendapatkan) dan ngamuridkeun (mewariskan). Mentransfer jangjawokan
belum tentu mewariskan jangjawokan. Seseorang yang diwarisi jangjawokan belum tentu
secara langsung memperoleh ijin untuk mewariskannya kepada yang lain bila tidak seijin
guru. Pada kenyataannya terdapat jangjawokan yang bisa diwariskan begitu saja ada pula
yang harus diwariskan dengan syarat-syarat yang berat.7
Jangjawokan dipergunakan pada waktu melakukan perkerjaan, agar pekerjaan yang
dilakukan dapat berhasil dan dapat selamat dari marabahaya. Misalnya pada waktu ketika
mengambil beras, berpanen, ketika berpergian, ketika tidur, berjalan, pergi, dan sebagainya

7
Etti R.S, MAUNG BAYANGAN, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2012, hlm., 45.

6
semuanya bertujuan untuk kebaikan dan keselamatan. Terdapat jampe jangjawokan yang
frekuensinya sering dipakai sehari-hari pada masyarakat Sunda masa lalu. Terdapat mantra
asihan, mantra pengobatan, dan mantra etika atau tata cara. Pada mantra yang bersifat asihan
berfungsi untuk daya tarik bagi orang lain dan atau lawan jenis agar menyenanginya. Pada
mantra pengobatan berfungsi sebagai pengobatan dari beberapa penyakit baik bersifat fisik
maupun psikis. Pada mantra yang bersifat etika atau tata cara bertujan untuk melakukan
suatu pekerjaan agar memperoleh hasil yang baik dan menguntungkan.
• Mantra bersifat asihan

Jampe mandi
Bismillahirohmanirohim
Curulang pancuran ti gunung
Widadari tujuh mandi
Nu calik dina batu
Nu lengah nuju iba

Jampe Dangdan
Sura-seuri pinang sari
Sia ceurik aing seuri
Sia nuturkeun panderi
Mikawelas mikaasih ka badan aing

Jampe Dibaju
Bismillahirohmanirohim
Asihan aing karembong sutra
Menang ngadamel dewata
Ditilik ti gigir lengkik
Ditingali ti tukang lenjang
Kahibaran ku dewata
Sup bayu sukma rasa pengawasa kana badan abdi8

8
https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=305361 diakses pada 15 November 2022 pukul 09:09.

7
Jampe Dipupur
Pupur aing pupur suci
Panyamur penyalin rupa
Nyalin rupa ti dewata
Nyalin sari widadari
Nya tarang lancah mentrangan
Nya halis katumbririan
Nya irung kuwung-kuwung
Dideuleu ti harep sieup
Di sawang ti tukang lenjang
Ditilik ti gigir lengik
Mangka welas mangka asih ka awaking
Di tenjo ku saider buana kabeh

• Mantra bersifat pengobatan

Jampe Asup Angin


Dut dut kalidut
sangu buruk jadi hitut
Cakakak di leuweung
Injuk talina
Dihakan di beuweung
Hitut jadina

Jampe Budak Gering


Nini uter-uter
Aki uteer-uter
Ulah dina embun-embun
Muter dina tungtung buuk9

9
Ibid.,

8
Jampe Bisul
Nini urung-urung
aki urung-urung
Katampung citarum burung di situ
si sokan burung di tamak
Mangsing ngalakatay jadi lemah
Les leungit tanpa lebih
Istan teu jadi sakara-kara

Jampe Ngarah Calakan


Sun ati sun rikati sun juluk papadang ati
Undur silulut situnuuh leumpang si deel sipidel
Datangkeun siliat loba kabisa
Allohuma ujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Hibar dina kalilipa
Ramat mateng dina angen
Ter ater ati kaula gusti pangmukakeun
Lir padang lir caang
Caangna salawasna
Salawas saumur hidup
Jampe Raheut
Sri braja sri manusia
Sri braja sri banyu
Sri manusia sri braja banyu
Sungsuam patepung tulang
Urat teu kasorang
Getih teu katepi-tepi
Daging gahiji kulet ngalipet
Rep sirep sarerep-rerep
Hu Allah (7x)10

10
Ibid.,

9
• Mantra bersifat Etika atau Tata Cara

Jampe Mandi Subuh


Jus adus banyu suci
kang adus badan jasmani
Wawadang rasa
Sumenep cahyaning nabi Yusuf

Jampe Melak Lauk


Bismillahirrahmaanirrahim
Ulah rek ka hilir
bisi kakait biwir
Ulah rek ka girang
Bisi kabentar tara

Mantra iinditan
Kakek datang kosong
Nenek datang
Si utun si sujit
Kosongkan jalan
Eusina maca sholawat11
Mantra tersebut dikutip dari sebuah buku Jangjawokan Inventarisasi Puisi Mantra
Sunda oleh Etti RS dalam penelitian sastra lisan Sunda-nya di masyarakat sunda. Mantra
tersebut berasal dari masyarakat Sunda yang masih menggunakan ataupun mengetahui,
terdapat di Jawa Barat kebanyakan dari Garut, masih banyak ditemukan di perdesaan atau
perkampungan. Respondenya berusia rata-rata 40-80 Tahun.12

11
https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=305361 diakses pada 15 November 2022 pukul 09:09.
12
Etti R.S, MAUNG BAYANGAN, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2012.

10
Hubungan Jangjawokan Dengan Agama
Keberadaan jangjawokan ini sejajar dalam kehidupan masyarakat Sunda lampau
sangat berkaitan erat dengan perikehidupan sehari-hari sehingga jangjawokan sangat
berperan dalam tata cara kehidupan sehari-hari pada jaman itu mereka sangat percaya
dengan kekuatan gaib untuk keseimbangan hidup mereka. Namun pemahaman gaib tidak
selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada
juga semacam cara membangkitkan spiritualitas dalam dirinya seperti paradigma tentang
raga, batin dan kuring. Bisa jadi ditunjukan untuk memperkuat batin atau semacam ada
perintah ingsun kepada batinya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.
Menurut Edi S Ekajati, dalam kebudayaan Sunda - Agama dan kepercayaan adalah
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau i Ngersakeun
(Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat
(Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam yang membedakan
masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya
terletak pada Syariatnya.
Keberadaan mantra Jangjawokan dikenal sejak abad ke-16 Masehi sebelum pra
Islam. Namun setelah Islam masuk pergeseran dari mantra terlihat dari dicantumkanya
kalimat Tauhid didalam jangjawokan di kembangkan oleh orang Sunda berikutnya bertujuan
memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Dan tujuan ini untuk mengurangi
tudingan tentang menduakan Allah. Mereka yang Islam masih melakukan tradisi ini namun
merekapun tidak meninggalkan kewajiban dari apa yang di perintahkan olehNya.
Jangjawokan itu suatu permohonan. Sebagai Contohnya mantra akan belajar agar di
cerahkan pikiran.13

Allahuma hujud bungbang


Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet menteng dina angen
Bray padang... Amin
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula

13
https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=305361 diakses pada 15 November 2022 pukul 09:09.

11
Bray padang,
Bray Caang
Caang salalawasna
Lawasna saumur kula

Konon dahulunya adalah:


Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang
Bray caang
Caang salalawasna
Lawasna saumur kula.

Kesimpulan
Jangjawokan adalah adalah mantra tersebut memiliki ciri-ciri pada satu bait mantra
jumlah barisnya tidak menentu, ada yang 5 baris, 6 baris, 7 baris, 8 baris, dan 10 baris.
Mempunyai rima yang tidak berurutan dan semua mantra memiliki ritme yang diulang-
ulang. Keberadaan jangjawokan dapat pudar tergerus oleh jaman, ketertarikan pada puisi
mantra tidak seperti ketertarikan pada satra lisan lainya yang lebih populer. Kurangnya
informasi mengenai jangjawokan yang termasuk sastra lisan yang dapat dinikmati karya
seninya. a. Buku ilustrasi yang seharusnya menjadi salah satu media yang ampuh untuk
membuat ketertarikan masyarakat untuk mengetahui sebagai informasi dan menikmati
sebagai karya seni. Dengan cara visualisasi puisi mantra dapat membantu mengubah
pandangan, Melestarikan sebuah budaya kurang dimanfaatkan.
Pada kenyataan mantra-mantra yang ada tidak lepas dari sejumlah bentuk ritual,
maupun aktivitas sehari-hari dari masyarakat itu sendiri. Dari mantra-mantra ini dapat dilihat
bagaimana kepercayaan masyarakat Sunda dalam kehidupan religinya.

12
Daftar Pustaka

https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=305361 diakses pada 15 November 2022


pukul 09:09.

Loir, Chambert-, Henri; Fathurahman, Oman (1999), Khazanah Naskah: Panduan


Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Yayasan Obor Indonesia

S, Edi, Ekadjati, Kebudayaan Sunda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995)

S, Etti R., MAUNG BAYANGAN, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2012

Saputra, Karsono H, SASTRA LAMA TULIS SEBAGAI KELANJUTAN TRADISI


LISAN DALAM RANAH SASTRA JAWA, Jumantara Vol. 2 No.1 Tahun 2011

Soniawati, Siti Eka, Sastra Nusantara Keanekaragaman Sastra Budaya Indonesia,


(Semarang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2013)

Wardani Aulia Pebrianti, Nani Darmayanti, Agus Nero Sofyan, “STRUKTUR


MANTRA KEKUATAN DALAM BUKU “JANGJAWOKAN INVENTARISASI PUISI
MANTRA SUNDA”: KAJIAN ETNOLINGUISTIK”, Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra,
Vol. 6 (1) (2021)

13

Anda mungkin juga menyukai