Anda di halaman 1dari 8

Syekh Quro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syeh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah.
Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah
putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik
yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh
Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syech
Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina
Ali r.a. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syech
Hasanudin atau Syekh Quro ). Selain itu Syech Hasanudin atau Syekh Quro juga masih
suadara seketurunan dengan Syech Nurjati Cirebon dari generasi ke – 4 Amir Abdullah
Khanudin.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati,
daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syech Nurjati mendarat di
Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syech
Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di
Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang
bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syech Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan
ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syech Hasanudin ketika di Cirebon, namanya
disebut dengan sebutan Syech Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau
rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syech Hasanudin untuk menyebarkan ajaran
Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama
Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syech Hasanudin ini oleh Prabu Angga
Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya
untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syech Hasanudin
dan mengusir Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung
memerintahkan kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah untuk segera
menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak
terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau
Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang
itu disetujuinya, dan Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata kepada
utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran
Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi
Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak
sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki
Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau
Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.

Ketika itu juga Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa
Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon
menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut
berlayar bersama Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ke Malaka.

Daftar isi
 1 Keberadaan di Karawang
 2 Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa
 3 Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah
 4 Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati
 5 Referensi

Keberadaan di Karawang
Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan Bunut Kertayasa (
Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten
Karawang sekarang ini ). Di Karawang dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah
seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber lain
mengatakan bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya di Karawang pada 1418 Masehi
dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau
Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa
dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan.
Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat
seorang ulama yang hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho
seorang muslim, permintaan Syekh Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya
dikabulkan. Syekh Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem Karawang,
sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati
Cirebon.

Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M) mendirikan pesantren dan sekaligus
masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi
nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syekh Quro adalah penganut
Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain : Syekh Abdul Rohman,
Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan
Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama
Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki
salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang
yaitu bernama Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech
Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama
Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo
dan beliau mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.

Ketika usia anak Syech Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syech
Quro berwasiat kepada santri – santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran
Agama Islam seperti : Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk
menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke Kecamatan
Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syech Quro
dengan Ratna Sondari yang bernama Syech Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan
perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid
Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna
Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa
Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama
Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong
membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan
sampai sekarang.

Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang
meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang
Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syech Quro berwasiat kepada santri –
santrinya berupa : “Ingsun Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.

Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh
Syech Bentong sampai akhir hayatnya Syech Bentong.

Makam Syech Quro Karawang dan Makam Syech Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja
alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada
abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di
tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang
bernama Syech Quro.

Bukti adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan
Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu
Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan
sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-
062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada
Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa

Reden Pamanah Rasa Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan


dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang
agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya
langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena
ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari
banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh
Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang,
yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala
mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang
dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya
hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan
oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran
bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk
menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi
Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya
haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di
Negeri Makkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk
Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga
mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi
Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa
waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid
Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama :

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada
tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).

2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau
tahun 1426 Masehi ).

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428
Masehi ).

Ketika anak – anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia
dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syech Quro, maka ketiga anak – anak
dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syech Quro untuk
lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada
Syech Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syech Nurjati Cirebon, maka ketiga anak – anak
dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberitugas oleh Syech Nurjati
Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama
Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran
Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan
Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan
sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk
mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan
Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di
Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru
kepada Syekh Abuyazid. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakanya Nyi Mas
Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau
Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di
Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif
Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau
Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi
Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif
Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas
Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak
yakni :

1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).

2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi ).

Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah,
sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang
meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup
menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif
Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk
menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah
yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau
Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa
yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan
Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa
Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di
Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan
Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan
memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin
oleh Syech Nurjati Cirebon.

Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syech
Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan – wejangan yang berharga dari
Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena
penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena
penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia
melepaskan perbuatannya itu.
Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat
keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka
mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang
engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah
fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada
saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di
Surabaya dan Syech Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu
Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau
bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus
saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang
sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh
pada empat perkara, yakni syare’at, hakekat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau
bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.

Waktu terus berganti, ketika Syech Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron
Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syech Nurjati Cirebon yang bernama Syekh
Datuk Khafid.

Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid sudah sangat uzur, maka
kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau di pimpin oleh Syarif
Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru
dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau
disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat,
banyak santri – santri di luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati.
Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni
Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan
Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan
Cirebon, ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan
antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :

1. Ratu Wulung Ayu.

2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama
Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati
dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata " Sang " yang bermakna
keagungan, " Cipta " yang berarti dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid
Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari
dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat
sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri
dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang
memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah


Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit
(versi babad) dari seorang selir Cina. Selir Cina ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go
Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu,
Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati
Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar (alias Swan
Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).

Laksamana Cheng Ho

Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go
Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama
bergelar Syekh Bentong (alias Kyai Batong) santrinya Syekh Quro.

Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan penting. Pelabuhan Caravam yang
sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda tampaknya terus berperan hingga masa Islam. Salah
satu situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syekh Quro. Menurut
tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syekh Quro adalah
Syekh Qurotul Ain

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati


Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh
Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah
Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan Jati pada tahun
1338 Saka atau pada tahun 1416 Masehi.
Pada saat pendaratannya yang kedua di Karawang Syekh Quro datang ke Karawang bersama
para santrinya yakni Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang
Larang yang ikut berlayar bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming
yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka semua telah masuk
Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka
menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pelabuhan Pura Dalem Karawang,
Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya
tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang
sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh
Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Selain itu pada masa hidupnya antara
Syekh Quro dan Syekh Nurjati menjalin persahabatan sampai sekarang ini diantaranya yaitu :

1. Syech Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu


Karawang ke Dukuh Pasambangan untuk menjalin persahabatan.

2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng Karawang ) atau istrinya Syech Quro Karawang
memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (
Nur Giri Cipta Rengga ) yang bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.

3. Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem alias Syech Bentong dan Syech Bayanullah
( Adiknya Syech Nurjati Cirebon ) setelah menunaikan ibadah haji, mereka ( Syech
Bayanullah dan Syech Bentong ) mendirikan Pesantren Quro di Desa Sidapurna Kabupaten
Kuningan Jawa Barat sekarang.

4. Cucunya Syech Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yang bernama Musanudin, kelak
Musanudin menjadi Lebai atau pemimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada masa
pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedang Syech Ahmad itu
sendiri merupakan anak dari Syech Quro Karawang dengan Ratna Sondari putri Ki Gedeng
Karawang.

5. Pengangkatan juru kunci di situs makam Syech Quro dikuatkan oleh pihak Keraton
Kanoman Cirebon.

Referensi
1. Syehk Quro Karawang Disparbud Prov. Jabar
2. Biografi Syekh Nurjati IAIN Cirebon
3. Sejarah Makam Syekh Quro Lemah Gandu
4. Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum.
2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon :
Zulfana Cierbon

Anda mungkin juga menyukai