Anda di halaman 1dari 72

Semua Tentang Syech Siti Jenar serta Ajarannya

Mengenal Nama Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak


nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar
seperti banyak ditulis orang); Syekh Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka,
setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di
Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh
mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg
diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah
Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung
model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang
Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer
adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan
ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan
dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan
oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada
kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau
Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama
yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa
versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang
Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.

Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni
ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia,
secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)
persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan
membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan
raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai
bentuk manunggaling rasa (menyatu rasa ke dalam Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga
dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara
bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg
menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya
dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering
terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama
Syekh Siti Jenar.

*Asal Usul Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki
Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon),
Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban
Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung,
1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar

1
dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L.,
Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, s-Gravenhage, M.Nijhoff,
1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan
Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai
Astana japura, sebelah tenggaraCirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis,
multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul
ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia
sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa
muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk
mengubur segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg
mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal
ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal
dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara
tegas,
Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang. [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal
dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat
jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang].

Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari
kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg
saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai
wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh
Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh
Isa Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin
Syekh Sayid Abdul Malikal-Qazam. Maulana Abdullah Khannuddin adalah putra
Syekh Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh
kalangan Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam
adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh Abdul Malik adalah putra Syekh Alawi, salah satu keluarga utama keturunan
ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-Alawi, yg semua keturunannya
bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh Abdul Malik
adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India.
Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin Ali
bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada
dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat
dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin.
Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar
agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana sa atau Syekh Datuk Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian
bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh

2
Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk
Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena
ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada
akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah
kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka danPalembang menyebut
nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebondan
saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah
Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg
sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama
kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di
Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta
penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di
Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.

Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan
Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu
menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan
dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama
asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat
pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu alat, serta tasawuf. Sampai usia 20
tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai
dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.

*Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M,
Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh
Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh
Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran
keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul
fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri
generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif
Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari
perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa
Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan
Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian
(sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari sangkan-paran dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah
Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur
Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini
mencakup empat pokok laku utama.

3
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin
dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki
badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi,
bersatu dan melebur (fana) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan,
Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, aku
menyatu dgn Aku. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya,
suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana
fi al-fana), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak
mempunyai ciri-ciri dan mengatasi Aku.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang,


menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri
Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi
sungai Ogan, Kampung Pedamaran.

Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M.
bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat
ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep nurun ala nur (cahaya Maha
Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn
para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa
San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang
kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk
mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya
ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan
agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini
pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini,
Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an
Syekh Datuk Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti
Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama
pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah
kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);jurang futur (nafsu menelan
makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan
rohani); gurun riya (bangga rohani); rimba sumah (pamer rohani); samudera
ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng
hajbun (penghalang akal dan nurani).

*Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul
bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera
pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka
asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti
Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu
ke-Esaan afal Allah, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg

4
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya
adalah afal Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan
langsung bagaimana afal Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan


Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu
pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi
perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru
perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,
sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa
semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu
sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.


Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud
tersedia banyak kitab-kitab marifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah
peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi. Di Irak ini pula,
Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syiah Jafariyyah, yg di kenal
sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya
al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj
(w.899), Kitab al-Taaruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu Arabi
(1165-1240), Ihya Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan
al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah
berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg
masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj
dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali
menyebarluaskan ajaran Islam syari madzhabi yg ketat. Sebagian memang
mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada
paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan
ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke
berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab
karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.
Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada
Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqaiq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan
al-Kamil fi Marifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam
Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut,
semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa
menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik
pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal
dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik
al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki

5
ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/amali-al-Hallaj; dan secara filosofis
mirip dgn al-Jili dan Ibnu Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat


sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki
banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan
ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga
kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta
khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan
politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan


konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama khana. Sama khana adalah
rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya
hanyut dalam ekstase (wajd). Sama khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad
ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah
al-Qawwal dgn penyanyi sufinya Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada


tingkatan fawaid (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg
menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn
umumnya manusia); dan lawami (mengejawantahnya cahaya rohani akibat
tersingkapnya fawaid), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya
cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia
mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya.
Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari
kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu Arabi dan al-Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia
merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani,
alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fabudni (mahasuci aku, segala puji
untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun
telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah,
al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fabuduhu, namun suara yg di
dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man arafa bafsahu
faqad arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami
makna hadist Rasulullah al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah Rahasia-Ku
dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi Abdul Qadir al-Jilani
(w.1165), Ibnu Arabi (560/1165-638-1240), Maruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja
ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi,
sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan
kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)

1.Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.

6
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: Pernyataan roh yg
bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi
segala sesuatu.

Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya
adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran).
Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg
disebut mirah al-haya (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana cermin tersebut akan muncul, yg
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka
maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu
(adhep idhep), aku ini kau, tapi kau aku.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun
tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

2. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini
merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi
tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak
dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup.
Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu
pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain.
Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk
akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau
sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat
dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali.
Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul
Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal
adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib
memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus
dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha
Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama
tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang
Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga
nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syariat justru malah merendahkan
nama-NYA.

3.Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa
rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu
kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru.
Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan
batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi
tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.

7
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama
dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan
Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan
sufistik, Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya. Sebab
bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam
semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat
besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan
dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi
pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua
aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia
terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan
Allah.

4. Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya


adalah afal (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada
hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan
bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah. Afal Allah harus
dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di
situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa
Allahu khalaqakum wa ma tamalun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg
menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna
mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya
melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan
kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil"Wa ma ramaita idz
ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg
melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada
hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni afal Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-aliyi al-adzimi.
Rosulullah bersabda La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya
tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.

Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana
manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam afal Allah. Tentu ke-Esa-an bukan
sekedar afal, sebab afal digerakkan oleh dzat. Sehingga afal yg menyatu
menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana afal itu dipancarkan.

5. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan
bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan
dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam
diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya
untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau
saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri,
ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran
kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa

8
kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi
hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat
pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan
sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa
tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah
kembali kepada kehidupan.

Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki
hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia.
Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap
ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia
ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan.
Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag
yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan
berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.

Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi
dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus....
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas
ini.....amin....amin

SURGA DAN NERAKA Syekh Siti Jenar

anal jannatu wa nara katannalr al anna, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar
dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah
inna al-janatu wa al-naru qathun an al-ana (Sesungguhnya keberadaan surga dan
neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang
menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya
mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan
pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia,
sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah.
Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika
mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung,
hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu
sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka
tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya.
Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan
yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Quran sudah ditegaskan bahwa tempat
kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses
kemanunggalan ilaihi rajiun, ilaihi al-mashir

9
PUASA dan HAJI Syekh Siti Jenar

Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu
seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu
yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan
jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama.
Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda
satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja,
yaitu Gusti Zat Maulana.

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah omong
kosong belaka, atau wes palson kabeh(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syariat Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syariat
tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah iku wes palson kabeh, yg artinya
itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua. Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata iku palsu kabeh atau itu palsu semua.
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syariat Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian
syariat itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun
berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada
unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat
dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi,
justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).
Yang mengajarkan syariat juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syariat itu,
dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syariat yg hidup dan berdaya
guna. Sehingga syariat menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan
rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan
tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat
sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg
melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar
dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya,
karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.

Makna Ihsan
Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah
atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan
pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam

10
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad
yg kudus.

Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar,
lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa,
pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa,
rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada
nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam
semesta, Ngidraloka.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar,
bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi
dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi
si Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Mabud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah,
sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk
dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas
pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan
ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam menyaksikan langsung
ada-NYA Allah. Persaksian langsung itulah terjadi dalam proses manunggal.

Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya
melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu
yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta
cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap
dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati
adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu
sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan
masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang WidhiAllah (seperti Rosul sering sekali mengatakan
bahwaSesungguhnya mereka tidak mengerti).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia
sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang
oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat
tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba
Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syariat Islam.

11
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu
hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai
puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat
Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg
dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung
secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui
kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini
terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan
serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat
ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan
tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.

Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)

Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari


keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di
sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia.
Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna
(bahr al-mana), perlambang alam tidak kasatmata (alam al-ghaib) dan lautan Jisim
(bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (alam asy-syahadat).

Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah


berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang
perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di
antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat
dan pamrih-pamrih duniawi.

Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana


termaktub di dalam Al-Quran Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang
manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung
di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut
dua lautan di dalam Al-Quran tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr
al-mana) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah
perbatasan atau sekat (barzakh).

Ikan dan lautan dalam kisah Qurani itu merupakan perlambang dunia kasatmata
(alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn
dunia gaib (alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah
perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di
dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan
dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di

12
dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan
hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa
melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak
dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana
pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.

Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari
tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa MusaAS di
dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali
udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan
udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat
udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya,
Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan
dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara
kosong yg tidak bisa dilihatnya.

Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan


bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata.
Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang
Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran
sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu
sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu
disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab
ghaib.

Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik
(al-amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi
(al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru
mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda
mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.

Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg
lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi
Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali.
Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi MusaAS.

Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa
tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga
tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat
itulah purnama rohani zawaid berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS,
hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar
dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari
Sang Pengetahuan (al-Alim).

Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA


yg telah mereguk Air Kehidupan (ma al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup
(al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir
AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah
menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim).
Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi,

13
cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, Sang Penuntun anak
keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk
(mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah
pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as Rasyid).

Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan


ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan
kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan
Makna (bahr-al-mana) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti
perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda
kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya,
masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai
pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas,
pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami
Nabi Musa AS.

Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan


melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka
kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka
gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syariah) yg
lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang
perbuatan baik (al amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna
menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud.
Itulah sebabnya, perahu (syariah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna
masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari
lubang tersebut.

Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan
menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam
Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak
dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan
dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan
menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang
perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud),
yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu
mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba
sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba
sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg
merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).

Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi
digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan
sebagai berikut.

Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk
pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg
tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di

14
alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn
akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat
perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syariat)
dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh
seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.

Namun jika wahana (syariah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya
pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi
pemahamannya bukan dgn akal (aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani.
Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga
harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi
bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak
berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan,
kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi
semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas
batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya
dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.

Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat
saya jelaskan sebagai berikut.
Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani
seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus
dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.

Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi


keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung
mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad)
sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung
durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil
dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih
diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah hamba
dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).

Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari


keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya.
Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh
manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,
perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan
menyembelih Nabi Ismail AS Pembuhunan itu adalah perlambang puncak dari
keimanan mereka yg beriman (mumin).

Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al


barzakh al ala) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman).
Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu,
dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya
tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.

Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah
perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi

15
(al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika
seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil
sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua
anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di
depan Cermin Memalukan (al-mirah al-hayaI).

Adapun gambaran tentang ayah yg salih dari kedua anak yatim, yakni ayah yg
mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang
Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka.
Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan
bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan
rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).

Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya
sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar anak Adam
AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh anak
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di
Atas Cahaya (Nurun ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad
ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).

Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah


Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri
berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding
itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar anak Adam AS akan terserap ke dalam roh anak Nur
Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di
Atas cahaya (Nurun ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah
Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn
kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani
dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.

Sasahidan Syekh Siti Jenar

Tentang Allah, Tauhid, dan Manunggaling Kawula-Gusti

1.Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?


Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah,
tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung? (Babad
Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).

Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali
menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling.
Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti

16
Jenar mulai mengajarkan ilmu marifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi
yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan
syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar
tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali
menyatu dengan yang menciptakan.

Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, Adapun Allah itu adalah yang
berwujud haq; Sunan Giri berpendapat, Allah itu adalah jauhnya tanpa batas,
dekatnya tanpa rabaan.; Sunan Bonang berkata, Allah itu tidak berwarna, tidak
berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya,
mustahil tidak adanya.; Sunan Kalijaga menyatakan, Allah itu adalah seumpama
memainkan wayang.; Syekh Maghribi berkata, Allah itu meliputi segala sesuatu.;
Syekh Majagung menyatakan, Allah itu bukan disana atau disitu, ettapi ini.; Syekh
Bentong menyuarakan, Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.; Setelah ungkapan
Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan
keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut,
Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak
bersekutu dengan sesama.

Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas,
sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para
Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak,
Sunni-Syafii. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap
menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, Utawi Allah iku
nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin, (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) [bagian XLIV].
Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911)
pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.

2.Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan
yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia
inginkan. (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).

Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh
Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar
yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan
terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh
apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan
sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.

3. tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata
Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang
disebut sebangsa Allah (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)

Maksud bebas ungkapan tersebut adalah tidak usah kebanyakan bicara tentang teori
ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian)
Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui
segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada

17
Allah sebagai Tuhan.

4.Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita,
tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu
[Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita,
tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang
sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).

Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam
merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal
sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan
afal Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas
ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak
akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syariat dan tarekat. Apalagi
sekedar syariat lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan
tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah
pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.

5.marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang
sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allahsaya
menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan,
selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan
untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling
tersembunyi.] (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).

6.Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah
Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa
Tuhan yang lain selain saya. . Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat
merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada.
Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka
tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar,
bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun,
saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut. (Boekoe Siti Djenar, Tan
Khoen Swie, hlm. 18-20).

7.Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah
berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh.
Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci. (Suluk
Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).

Ungkapan no. 5, 6, dan 7...


Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri
Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi
pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya
badan. Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran ingsun yang dikemukakan secara
radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini
sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga
Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam

18
(pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama
dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada
para Walisanga kepada Sunan Giri.
Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus
diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang
akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
8.Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah
itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah taala. (Wawacan Sunan
Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).

Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi
manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan
pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur
al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul
dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.

Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul
dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para
ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fananya Bayazid al-Busthami, Junaid
al-Baghdadi, ana al-Haqq-nya Manshur al-Hallaj, juga Aynul Quddat al-Hamadani,
dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik
kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.

9. Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan
tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak
mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung.
Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk
menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi
kalimat yang diucapkan: Muhammad Rasulullah. Padahal sifat kafir berwatak jisim,
yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.
Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti
dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan
memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan
ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan
budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa
tujuan. Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat
dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan
tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga
pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya
kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya
menjumpai Ia sudah ada disana. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 45-48).

Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran
Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang
hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah

19
kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi
kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari
perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam
tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya
adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya
adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat
kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu
yang saling asing mengasingkan.

Kesejatian Hidup dan Kehidupan

10.Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau


sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu
sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad
Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya
ingsun (aku) ini sejatinya Allah. (Wejangan Walisanga: hlm. 5).

Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia
kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan
dalam tataran atau ukuran orang awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan
uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang Shalat Tarek Limang Waktu.

11.Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun
ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada
turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan
oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan


jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural
maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai
antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti
Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas
pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya
hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, Timur
dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah
Allah.
Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah
bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya
mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.

20
Tuhan dan Kemanusiaan

12.Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua
kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja
belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk
memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat
menerima keinginan yang lain. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 44).

Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat
kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah
dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa
dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam
al-Quran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan
tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan
antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini
berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.

13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa
antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik disana, maupun
di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar,
menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar
di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu
angkasa yang hampa." (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 30).

Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang
dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama
dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang
selalu menuruti raga disebut sebagai sesuatu yang baru dalam arti tidak mengikuti
iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga
hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya
menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi
perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.

14.Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah


adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia,
membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh,
tiada ditemukan wujud yang Mulia.
Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang
ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada
didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang
kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan
anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.

21
Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat,
bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan.
Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan
debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.

Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya
bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas
kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun.
Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan,
tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya
tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).

Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah
juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb,
namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah
ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing
manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil
manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar
tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang
akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah
kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu
ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.

*)sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah
tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya
disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama
keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada
Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang
merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnyaallahu
akbar

15.Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam
kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka.
Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari
alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu. (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).

Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya,


dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.Dengan badan wadag
yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di
dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah
manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan
sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial.
Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.

22
16.Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian
orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup
saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak
sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah
Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini,
mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan
pulang sendiri ke alam kehidupan sejati. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).

Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya,
maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan
manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang
menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang
muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada
dalam kondisi manunggal.
Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah
dimatikan atau dipulangkan, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal
mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian
adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami
pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu.
Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah
mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa
yang sedang dialami.

17.Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam
mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah
meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik,
lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong
kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung Tersasar, tersesat, lagi
terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu
orang remeh (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).

Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah
Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang
menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya
terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah
dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya,
demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu
menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup
selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan
dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan
diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke
atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan.
Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala,

23
menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang
menyaksikan.

Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan
terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran
ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu
sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan Aynul Quddat
al-Hamadani sebagai pendahulunya memang menuntut jasad sang Guru sebagai
martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai
syuhada bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru
Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.

AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar

18.Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul


kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila
sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang
ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).

Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu marifat secata bertahap,
yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan
al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1)
Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu
sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan
dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah
ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal
abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang
dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara
menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya
Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan
akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.

Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar

19.Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun,
lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran
Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya
Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir

24
ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun
kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar..
sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung
Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun. (R. Ng.
Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali
VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta,
1908, hlm.15-16).

Terjemahan, Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada
Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah
Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan
dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang
Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian,
sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku
yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.

Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat
Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R.
Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang
dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan
Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana
wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar
disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan
Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat
pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517,
sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama,
disambung dengan Kerajaan Pajang.

Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan


kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan
mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam
intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti
Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula
pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman
keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan
selubung syariat. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh
Siti Jenar tersimpul.

Kemanunggalan Ke-Iman-an

20.Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar


(mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:

a.Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah keberadaan Allah.

25
b.Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.

c.Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).

d.Imannya marifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kewaspadaan Allah

e.Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah menghadap Allah.

f.Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kehidupannya Allah.

g.Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kepunyaan keangungan Allah.

h.Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah pertemuan Allah.

i.Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kesucian Allah.

j.Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah wadahnya Allah.

k.Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kawimbuhaning (bertambahnya nimat dan anugerah) Allah.

l.Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah asma (Nama) Allah.

m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.

n.Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah juru bicara Allah.

o.Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia
akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin,
belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul
di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (alam al-khayal), maksudnya adalah
angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang
dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang
dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma afal, yang
disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat
kamal jamal. (Wedha Mantra, hlm. 54-55).

26
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam
bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi
manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul
nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan
kodrat yang berimbang. Semua bentuk syariat agama ternyata memiliki wujud
implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.

Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah
jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran
langit Allah berhasil dibumikan oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah
jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui
doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan
keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami keberadaan dari sisi
nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin
surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak
manusia bersama-sama merasakan Allah dalam diri pribadi masing-masing.

21.Adapun yang menjadi maksud:


a.Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b.Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c.Marifat, penglihatan roh.
d.Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e.Akal, pembicaraannya roh.
f.Niat, pakaremaning roh.
g.Shalat, menghadapnya roh.
h.Syahadat, keadaan roh. (Wedha Mantra, hlm. 54).

Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di


atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing
doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid,
marifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat
serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai
menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan
fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh
dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun
Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.

22.Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai.
Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam
merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada
membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera
bagaikan anak gumpitan lepas tertiup. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandangula, 31).

27
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan
bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat
dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh
adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi
adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya
adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan
kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng.
Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.

Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud
keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri
dan yang berhak merumuskan hanyalah perundingan antara pemilik iradah dengan
Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia.
Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha
Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar
manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.

Syahadat
23.Inilah maksud syahadat: Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah;
bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.

Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan
hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta
tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi
keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau
bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa
Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan
ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya
mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala
bahasa.

Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan
syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat
kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa
mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur. Syahadat Sunan
Bonang, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir
sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan
tanpa kerana. Dan syahadat Sunan Kalijaga, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat
kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari,
sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,(Wejangan
Walisanga, hlm. 50).

Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat
yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara
melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju
kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki
Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.

28
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan
kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan
sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi
oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni
pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan asyhadu dengan sarana
ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi
kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya
guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad
(Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib
al-Wujud. Maka diri manusia sebagai Pangeran (Tuhan) itulah yang perupakan
kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar
bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan
syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam
tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian
syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.

24.Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka
sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.
Lafalnya mengucapkan adalah : Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus
gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining
rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat
roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat,
eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci. (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).

(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya
pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada
yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal
sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti
dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap
hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat
raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).

Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana


diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan
iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang
manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga
mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam
kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat
yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih
ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal
harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap
berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat
yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan
laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga
lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma.

29
25.Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya,
lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring
sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.
(syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur
menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah
semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).

Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan


diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika
memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyf.

26.Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah Pangeransun, satuhune ora


ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh
(ashadu-keberadaanku, la ilaha bentuk wajahku, illallah Tuhanku, sesungguhnya
tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).

Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang
sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan
rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar
pengenalan akan nama-nama Allah.

27.Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya
iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah,
Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya
shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang
kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang
agung kang kinasihan. (mantra Wedha, hlm. 53).
Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang
hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian
sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada
dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang
berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku,
Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada
Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.

Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat
akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan
mengamalkan syahadat sakarat wiwitane pati ini.

28.Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati,
mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing
sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine,

30
angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. (mantra Wedha, hlm. 54).

(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak
terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian,
yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak
lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah,
hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal
menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).

Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu
penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti
syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau
kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam
pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan,
dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam
pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran
manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya
keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain
manusia. Di sinilah arti penting adanya syafaat sang Utusan (Rasulullah) dalam
bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh
kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur
Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar
bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian
dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.

Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju
keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum
awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara
sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak
kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap
sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong
manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang
Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup),
sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju
kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.

29.Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati,
kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku
wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud
sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah. (mantra Wedha, hlm. 54).

(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman
hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah,
menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya
manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah,
pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).

31
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi
yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan
tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi
untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.

30.Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat
perkara :

1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka
bacaan syahadatnya adalah, la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.

2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah la
ilaha illa Anta.

3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya la ilaha illa Huwa.

4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya
keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak
sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa
kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika
rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka
syahadatnya roh adalah la ilaha illa Ana. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).

Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi
orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan
prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah
mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh
Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu.
Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya.

Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi
kalangan awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara
sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.

Shalat (tarek dan Daim)


Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan
shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syariat. Shalat
tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan
adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat,
sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam

32
keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan , mungkin efeknya adalah berbentuk
suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.

Kata tarek berasal dari kata Arab tarki atau tarakki yang memiliki arti
pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang
disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam
kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat
yang hanya sekedar melaksanakan perintah syariat adalah tindakan kebohongan, dan
merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek
Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).

Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya
dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk
memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam
kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari
pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget.))
Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syariat
sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat
perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syariat, anggota wudhu yang harus
dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat
tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut,
tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat,
ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu
untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).

Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan,
akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran
shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh
kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat
saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di
kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah
mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk,
(bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan
tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah
mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang
dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang
menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara
mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi,
mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti
Jenar).

Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang
terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling
efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian

33
seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam
kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.

31. Shalat Subuh


Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing
Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti,
sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajro-ning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
awakku.

(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah.
Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam
gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu
akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan Ya Hu, Ya
Hu. Seratus kali.

Niatnya, Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep
madhep langgeng weruh ing sirku.
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar,
tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).

Malaikatnya Haruman, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.

Kemudian memuji; ya Rajamu, ya Rajaku. (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali

32.Shalat Luhur

Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing

34
Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan.
Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku).
Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu.
Seratus kali.

Niatnya, Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu taala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing osikku.
(Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah taala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus
kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

33.Shalat Ashar

Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing
Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning
sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala
Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan.
Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban
dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.

Niatnya, Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar,
tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar,

35
tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).

Malaikatnya Mikail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.


Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus
kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.

34.Shalat Maghrib

Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing
Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad.
Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban
dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.

Niatnya, Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).

Malaikatnya Israfil, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.


Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus
kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.

36
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali

35.Shalat Isya

Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip.
urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing uripku.
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam
nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.

Niatnya, Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing karepku.
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar,
tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).

Malaikatnya Izrail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.


Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus
kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.

36.Inilah shalat satu rakaat salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan
purnama), dengan waktu tengah malam tepat.

a.Inilah niatnya, Ushalli urip dzatullah Allahu akbar (Aku berniat melaksanakan
shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).

37
b.Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, aku pan
Sukma (Aku sang pemilik Sukma)

c.Melakukan ruku dengan menyebut, langgeng urip dzatullah (Kehidupan abadi


dzatullah).

d.Sujud dengan mengucapkan, ibu bumi dzatullah.

e.Duduk di antara dua sujud dengan doa, langgeng urip dzatullah tan kena pati
(kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).

f.Sujud lagi dengan bacaan, Ibu bumi dzatullah.

g.Tahiyat dengan membaca, Urip dzatullah.

h.Membaca syahadat dengan bacaan, Ashadu uripingsun lan sukma (Ashadu


kehidupanku dan Sukma).

i.Salam dengan bacaan, Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan
yang tidak terkena kema-tian.

j.Membaca doa, Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati
(Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena
mati).

k.Kemudian berdoa dalam hati, Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci
dhiriningsun (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri
[ingsun]).

Dalam Islam dikenal shalat satu rakaat, namun itu hanya sebagian dari shalat witir
(shalat penutup akhir malam dengan rakaat yang ganjil).
Shalat satu rakaat salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun
shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh
takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun
(yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri),
bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa
ajam (selain bahasa Arab).

37.Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati
menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima,
dengan segala keberanian yang dimiliki. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 33).

Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk
tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai
wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh

38
karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan
ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak
begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang
tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

38.Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya
melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan
keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah
Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak
dapat dibayangkan. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
37).

Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga
tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah
Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan
pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai
kebohongan syariat yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya
akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan
busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyunya shalat sebenarnya adalah
letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.

Sehingga dalam al-Quran, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki
sifat riya dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan
mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS.
Al-Maun/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa
orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu. Dan
shalat yang khusyu itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1)
menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak
menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan
sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan
amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam
kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi;
kemanunggalan.

Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat.
Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan
digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan
khusyu tersebut. Khusyu itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya
adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam,
penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah
atau jabariyah, fana atau ittihad.

Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula
meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan

39
pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang
telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model
shalatnya para pencuri.

Puasa Zakat dan Haji

39.Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu
seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu
yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan
jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama.
Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda
satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja,
yaitu Gusti Zat Maulana. .

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah omong
kosong belaka, atau wes palson kabeh(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syariat Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syariat
tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah iku wes palson kabeh, yg artinya
itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua. Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata iku palsu kabeh atau itu palsu semua.

Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syariat Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian
syariat itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun
berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada
unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat
dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup
manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan
(seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syariat juga tidak lagi memahami
makna dan manfaat syariat itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syariat yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syariat menjadi hampa makna dan
menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan
tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat
sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg
melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar
dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya,
karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara

40
iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalatlima waktu? Shalat lima waktu
dalam hal ini menjadi tata krama syariat atau shalat nominal.

Makna Ihsan
40.Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan
menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip
dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh
dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai
menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar
berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati,
sifat Muhammad yg kudus.

41.Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar,
lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa,
pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa,
rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada
nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam
semesta, Ngidraloka.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar,
bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi
dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi
si Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Mabud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah,
sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.

Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk
dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas
pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan
ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam menyaksikan langsung
ada-NYA Allah. Persaksian langsung itulah terjadi dalam proses manunggal.

42.Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang,
sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati
saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi
perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang
lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa
Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia
bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai. .

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta
cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap
dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati
adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling

41
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu
sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan
masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang WidhiAllah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
Sesungguhnya mereka tidak mengerti).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia
sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang
oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat
tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba
Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syariat Islam.

43.Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri,
sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak.
Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus
terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada
bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.

Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu
hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai
puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat
Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg
dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung
secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui
kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini
terjadi.

Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi
yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan
serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat
ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan
tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.

44.Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah,
kang murba amisesa. .

Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya,
dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut.
Secara garis besar maknanya adalah, Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan
Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya

42
adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran).
Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang
disebut mirah al-haya (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana cermin tersebut akan muncul,
yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah
terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya
beradu-satu (adhep-idhep), aku ini kau, tapi kau aku. Maka jadilah dia yang
menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti
memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya,
menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

45.Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini
merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan
menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera
tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran,
angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali
tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak
kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan
kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama
dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya. .

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat
dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali.
Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul
Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal
adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib
Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus
dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha
Budi.

Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu.
Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon,
Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak
perlu disembah. Jebakan nama dalam syariat justru malah merendahkan Nama-Nya.

46.Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa
rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu
kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru.
Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan
baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi
tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia. .

Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar

43
memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang
sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal
Tuhannya. Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya
merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah
sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar
termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa
sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot,
darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang
suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan
kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi,
manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam afal Allah. Tentu ke-Esa-an bukan
sekedar afal, sebab afal digerakkan oleh dzat. Sehingga afal yang menyatu
menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana afal itu dipancarkan.

47.Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah afal
(perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya
adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang
baik dari Allah dan yang buruk selain Allah. Afal Allah harus dipahami dari
dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa
Allahu khalaqakum wa ma tamalun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah
yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung
makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya
saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar
kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz
ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang
melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun
pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni afal Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-aliyi al-adzimi.
Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya
tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.

48.Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci
sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib
mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal
al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik
al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .

Bis.............................. kedudukannya............. ubun-ubun


Millah...........................kedudukannya..... .........rasa

44
Al-Rahman-al-Rahim.......kedudukannya...............penglihatan (lahir batin)
Al-hamdu.....................kedudukannya............ ...hidupmu (manusia)
Lillahi...........................kedudukannya.... ..........cahaya
Rabbil-alamin................kedudukannya..............n yawa dan napas
Al-Rahman al-Rahim.......kedudukannya...............leher dan jakun
Maliki..........................kedudukannya...... .........dada
Yaumiddin....................kedudukannya......... ......jantung (hati)
Iyyaka........................kedudukannya........ .......hidung
Nabudu.......................kedudukannya........ .......perut
Waiyyaka nastain.........kedudukannya................dua bahu
Ihdinash......................kedudukannya........ ........sentil (pita suara)
Shiratal.......................kedudukannya....... .........lidah
Mustaqim.....................kedudukannya......... ......tulang punggung (ula-ula)
Shiratalladzina..............kedudukannya......... .......dua ketiak
Anamta.......................kedudukannya........ ........budi manusia
alaihim........................kedudukannya...... .........tiangnya (pancering) hati
Ghairil.........................kedudukannya...... ..........bungkusnya nurani
Maghdlubi....................kedudukannya......... .......rempela/empedu
alaihim........................kedudukannya...... ..........dua betis
Waladhdhallin...............kedudukannya.......... ......mulut dan perut (panedha)
Amin...........................kedudukannya....... .........penerima

Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti,
sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan
sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu
disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan
dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran
tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang
sering dialami.

Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Quran
merupakan kalam yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif.
Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir
kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna
di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).

49.Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk
dan bercampur tanahKetahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak
berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu
sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka.
Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati.
Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya
hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari
kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih
terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka
warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak
melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak
mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang
terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian.

45
Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan. .

Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki
hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia.
Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam
setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada
di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan.
Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag
yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan
berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.

50.Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad,


yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga,
bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini
merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi
tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak
dapat dipakai sebagai pedoman hidup.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera,
tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung,
lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan
jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya. .
Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya,
sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan
yang memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan
diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali
saja. .

Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut
Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera,
akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan
pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan
bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan
ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa,
kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang
bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafaat, Syekh Siti Jenar berpandangan
bahwa syafaat tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari.
Justru syafaat Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya
Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia
asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus
merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad,
untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses

46
Manunggaling Kawula-Gusti.

51.Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun
bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru,
andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke
segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi
baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena
bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang
memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.

Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami),
tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya
memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi
seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik
negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki
dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada
juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam
semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam
yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala
sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama
Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan
nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang
sesungguhnya. New York
: Ballatine, 1993>. Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai menjebak
manusia hanya untuk memperdebatkan nama.

Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar

52.Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Marifat aliman, seperti dijelaskan
di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas
Yang dari Malaikat : budi, iman
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak
Inilah maksud dari lafal kulusyaun halikun ilawajahi, maksudnya semua itu akan
rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .

Kitab Marifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi,
yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat kulusyaun halikun ilawajahi lebih tepatnya berbunyi kullu syai-in halikun
illa wajhahu (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya
(penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh
Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti

47
asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti illa wajhahu, (kecuali
wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori
kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna
Dzatullah.

Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur
yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat
dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia
(seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan
pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan
itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian
manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam
kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.

53.Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang


tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak
pernah kehilangan apa-apa. .

Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud
adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi
kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah
berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa,
otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk
(manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa dimiliki manusia) tidak bisa
saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.

Orang yang masih selalu merasa memiliki akan makhluk lain, pasti tidak akan
berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan
sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk
manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu
maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan
keikhlasan.

54.Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah
engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya.
Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai
manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus,
hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa
saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi
pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak
bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada
hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula
yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua
itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.

Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya.

48
Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin
buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang
yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang
memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu. .

Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang
Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali
atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak
akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk
lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian
seseorang.

Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian
hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat
adalah bahwa para auliya Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy.
Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam
wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh
Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu
berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah
bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah
perbuatan atau afal al-Waliy.

Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah
mengungkapkan pernyataan, di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya
Allah, serta ungkapan sebaliknya di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar. Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau
kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk
penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan
pertama di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah, memang benar
adanya. Namun pernyataan kedua, di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar, tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.

Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Firaun yang menganggap


kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai
makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih
naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada
Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.

AJARAN YANG DISEBARKAN PARA MURID DAN PELAKSANAAN ILMU


KASAMPURNAAN

Metode dan Pokok Ajaran Syekh Siti Jenar

1. Semua ajaran yang disampaikan Ki Ageng Pengging meyakinkan, jelas, teratur


dan terus-terang. Tiada yang dirahasiakan, tanpa tedeng aling-aling, tiada pula
selamatan atau sajian kepada Rosul, bahkan kain putih saja tidak diperlukan. Siapa

49
saja yang datang diberi pengetahuan, ilmu tentang rahasia alam semesta. Tiada
bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal. Hidup di dunia
dipakai sebagai contoh perumpamaannya. Di dunia ini kepercayaan didesak oleh
syahadat. Serta dipalsukan dengan perumpamaan ilmu gaib yang kosong. Berdzikir
dan sembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang diajarkan para sahabat
waliullah. .

Wejangan dan Larangan Syekh Siti Jenar

2. Sudah diketahui secara umum bahwa wejangan (ajaran-ajaran) Syekh Siti Jenar
dirumuskan dalam ajaran Sasahidan. Adapun yang menjadi sesuatu yang harus
dicegah oleh para pengikut dan pengamal ajarannya adalah (Sabda Sasmaya, hlm. 45,
47):
*Tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.
*Tidak boleh berbohong.
*Tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar dan
menyakiti orang.
*Tidak boleh memakan daging (darat, udara maupun air).
*Tidak boleh memakan nasi, kecuali terbuat dari bahan jagung.
*Tidak boleh berkhianat kepada sesama manusia.
*Tidak boleh minum air yang tidak mengalir.
*Tidak boleh membuat dengki dan iri hati.
*Tidak boleh membuat fitnah.
*Tidak boleh membunuh seluruh isi jagat.
*Tidak boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak
bersisik atau tidak berbulu.

3. Manusia yang sejati itu ialah ia yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan Yang
Maha Kuasa, serta berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma,
sedang Hyang sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa
dan kehampaan ini meliputi alam semesta..

4. Adanya Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu
akan adanya zat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang
Maha Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya Dia ya Saya.
Maka di dalam hati timbul gagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi zat yang mulia.
Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, di manapun sama saja, hanya
manusia yang adaAllah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak ada,
jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian itu
hanya karena nama saja. nama Tuhan itu berasal dari manusia. .

5. Manusia yang melebihi sesamanya, memiliki duapuluh sifat, sehingga dalam hal
ini antara agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu rupa
dan nama sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi untuk mengerti akan hal ini dan
semuanya sangat mudah dipahami. .

6. Manusia hidup dalam alam dunia ini hanya menghadapi dua masalah yang saling
berpasangan, yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan
mati, Tuhan berhadapan dengan hamba-Nya.

50
7. Orang hidup tiada merasakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat
buruk dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang
bijaksana, yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari
kemuliaan kematian, hidup terserah kehendak orang masing-masing. .

8. Menurut ajaran Siti jenar dulu, keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudera
dan gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di
mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai
makhluk yang terutama.< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II
Asmarandana, 8>.

9. Allah bukan johar manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan bukan
rahasia yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh II Asmarandana, 9>.

10. Akhirat itu di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya di dunia ini..

11. Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena
terbiasa waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tuapun berkumpul
dengan orang-orang tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama yang sunyi
hampa, saling bohong-membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka bicarakan
itu tidak mereka ketahui..

12. Saya di sini membuka hutan, bercocok tanam di huma untuk penghidupan atas
kehendak Hyang Manon, Yang Maha Tahu. Jika tanaman saya memberi hasil jagung,
kentang dan ketela saya makan bersama Hyang Agung, Yang Maha Agung, yang
memberi perintah kepada saya. Tatkala saya mencangkul, saya bersama Gusti
Tuhan. Ketika saya mengambil hasil cocok tanaman saya, saya bersama Pengeran
Tuhan. Sekarang ada sesama orang memanggil saya ke Bintara. Di sini ada apa selain
Pangeran dengan nama-Nya, yang serambutpun tiada terpisahkan. Jika saya
dipanggil ke Demak, sesungguhnya saya menolak, tidak mau jika tidak bersama
dengan Yang Mengasuh Jiwa Raga Saya. Sekalipun saya mau, akan tetapi Yang Maha
Kuasa tidak mau, bagaimana saya dapat berjalan? .

13. Takdir tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang
Murba Wasesa, Yang Menguasai segala kejadian. Orang mati tiada merasa sakit.
Yang merasa sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya
selesai menjalankan tugasnya, dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang
tenteram bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan
bahaya apapun. .

14. Menurut pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak
kelihatan oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak
itu ada. Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat
hidup itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa
yang mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta
nirmaya. Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang Sena
dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di uning
unong uninong aning. < Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III

51
Dandanggula, 16-17>.

15. Sesungguhnyalah, saya ini orang mati setiap hari kematian saya berkurang.
Berapa lamakah kiranya saya mati di dunia ini. Masih lama lagi hidup saya nanti.
Saya tentu kembali hidup. Mati kaya akan dosa dan siksaan neraka yang banyak saya
alami ini. Balik kalao besok apabila saya sudah hidup, tiada terhitung kebahagiaan
yang saya alami, langgeng untuk selama-lamanya.

16. yang mengatakan sekarang hidup, besok disebut mati, itu ucapan santri yang
terkutuk, ma-buk tobat mengharap-harapkan sesuatu yang belum pasti. .

17. Mana ada Hyang Mahasuci? Baik di dunia, maupun di akhirat sunyi. Yang ada
saya pribadi. Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan! Di situlah
Dzatullahu mesra bersatu menjadi saya!
Karena saya di dunia ini mati, luar dalam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku
besok, yang di luar kematianku sekarang. .

18. Orang yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid
Syekh Siti Jenar, sebab ia sudah paham dan menguasai sebelumnya. Di sini di tahu
rasanya di sana, di sana ia tahu rasanya di sini.
Yang disebut mati itu keinginan pribadi. Perihal pulangnya Syekh Siti Jenar ke
alam kehidupan, saya bermaksud menyusulnya, hidup bersama dia dalam alam yang
tiada terbayangkan. Sebentarlagi saya akan pulang. .

19. Tiada bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam keheningan, tersimpan
hati sanubari, terbukalah tirai, tal lain antara sadar dan tidur, ibarat keluar dari mimpi,
menyusui rasa jati. .

Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang

* Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada
putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji.
Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran
disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan
kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.
Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbul
alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena
orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga,
hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?
Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa,
baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur
seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak
dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan.
Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang
bijaksana.

* Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan
yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat ullahu, kemudian ada rupa dan
inilah yang ia anggap Hyang Widi.

52
Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang
kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzatllahu yang
rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara sebagai syariat, jika Jumat ke
mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap,
bukan yang di sana, bukan yang di sini.
Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat
menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya
ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan
Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka
makan. Hal itulah gambaran raja penipu!
Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang
akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang
pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui
panas, sedih, haus, dan lapar. .

* Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama
janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya
kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang
indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.Demikian pula kayu dan
batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu
hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat
dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja
musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak
urung mereka menuruti kamu, mabuk doa, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam
yakunil.
orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu
jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu. .

Khotbah Perpisahan Sunan Panggung

Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka
semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain.
Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang
dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan
sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa
guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan."

Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak


memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg
diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah
orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah
ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran
(asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.

53
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati,
sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap
ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi.
Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal,
mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu
mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang
menjadi berhala."

"Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan
pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan
bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau
menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat
sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung
segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.

Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan....Alif menjadi panutan
sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif
menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif
wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa.
Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari'at.

Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu
sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir
batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.

Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar


melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini
merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan
yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam.
Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah. Malang
Sumirang, Pupuh 4>

Kematian di Mata Sunan Geseng

Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah

54
tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya
belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.

Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang
yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan
daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu
yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini
nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat
gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia
akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.

Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang
mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi
orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini
hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.

Syari'at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula

Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu,
dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya
besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya
menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.

Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan
orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul,
tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk
akan Allah, buta lagi tuli.

Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para
Wali, yang mengkukuhkan Syari'at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh
Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur'an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.

Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh

Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:

Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah
kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini
ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali.
Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam

55
semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.

Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan
merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud
itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang
sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian
hamba.

Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke


manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab
nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan,
dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba
mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang
sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya,
sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya
tahu sedikit tentang ilmu.

Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di
Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang
bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat
kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.

Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha
Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul
insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu
baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah
rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga
apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung,
karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba
seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.

Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para
siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang
utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia
ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan
dibuktikan dengan nyata.

Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai
selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara
terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian
musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru
lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik,
seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh
sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.

Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu'min, diberitahu
akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba.
Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan

56
menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada
patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha,
tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng
Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan
agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan
Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.

Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih
sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi
samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan
mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat
mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali
orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan
memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan
paduka.

Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga

Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda
Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua
manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa
memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi
dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan

57
tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan
rela.

Praktek shalat Tarek Syekh Amongraga

Guna mencapai keadaan ekstasi Amongraga melakukan shalat Sunat Awabin dengan
enam raka'at dan tiga salam. Sesudah itu olah kiparat wawajuh (pemulihan dan terarah
kepada Tuhan) dengan dua salam. Sesudah itu ia duduk tidak bergerak. Sambil
mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan. Ia melakukan wirid menurut
(tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya. Ia duduk
tersimpuh, hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan. Kemudian tiba-tiba ia
mengawali dzikirnya dengan kata-kata, la mujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain
Allah). Dzat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiannya, dasar
penyangkalan dan pengakuan. Dengan itulah hatinya diselaraskan. Kepalanya mulai
bergerak memutar, silih berganti menyanngkal dan mengakui. Pada lingkaran lam
terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah kepalanya
bergerak, ke kanan ke atas ke arah bahunya. Pada saat ia berkata ila inderanya
memsuki penyangkalan tersembunnyi ilalah ialah pengakuan gaib di sebelah kiri
dadanya. Demikian nakirah menjadi paripurna. Kata-kata la ilaha ilallahu
didaraskannya 50 kali dalam satu pernapasan. Kemudian 300 kali ilalah pada
pernapasan berikut. Istirahat sebentar, lalu hu, hu 1000 kali dalam satu pernapasan
panjang. Demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantaraan
dzikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tidak
ada arti lagi. Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ii, uu atau lain sebagainya,
terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara orang-orang
(yang tiba-tiba hilang seketika). Pada saat yang sama bata bata dan bentuk terlepas,
artinya badan dan budi mesing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mekrad
(mi'raj), terlebur dalam dzat ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.

Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya perupakan ketiadaan sejati,


kosong, sepi. Tak ada daratan, maupun laut, terang dan gelap tiada lagi. Yang ada
hanya itulah yang meliputi batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha
Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada
lagi perbedaan, hanya kesamaan dan sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi.
Sesudah tarakki menyusullah tanazzu, ia turun dari alam lahir dan batin (wahyu
jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dzat Yang Mahaluhur.
Di sana terdapat empat hal, sifat jalal yang gaib, Keindahan, Kesempurnaan dan
Kekuasaan (jamal, kamal, kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib
mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.

Adapun hakikat Gusti itu ialah jalal, kamal, dan jamal, adapun siat-sifat kawula itu
ialah ahadiyah, wahda, wahidiya, alam arwah, (alam) agsam, alam mitsal, dan insan
kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat
itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu

58
sejati. Sesudah ekstasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah
batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketka kembali dalam keadaan makhluk
dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).Sesudah
kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang sambil mengucapkan
satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.

Pertanyaan Hakikat Hidup Warisan Syekh Siti Jenar

Apa sebab kamu mengenakan hidup? Asal muka kehidupan itu dari mana/apa?
Sebelum berjuta-juta tahun, sekarang berwujud hidup ini. Dari siapakah hidup ini?

Pertanyaan yang kedua. Kamu dikatakan hidup, mengenakan tidur. Siapa yang
mengajak tidur? Selama kamu tidur terkadang kamu bermimpi kadangkala tidak.
Jawablah pertanyaan ini dengan jelas.

Pertanyaan yang ketiga, Apa sebab orang mati? Dalam alam kematian ada apa?

Pertanyaan yang keempat. Apabila kamu telah mati, apakah besok kamu akan
kembali menjadi bayi, apakah tetap di sana saja? .

Aji Pameling (Ilmu Keheningan) Syekh Siti Jenar

Maksud dan pengertian Semedi atau Laku Hening. Maksud dari aji adalah ratu/raja,
pameleng adalah pasamaden (laku semedi, hening), memiliki pengharapan sebagai
tanda keinginan yg paling luhur. Adapun jenis perbuatannya disebut dengan
manekung, pujabrata, mesu budi, mesu cipta, mengheningkan, atau meluhurkan
pandangan, matiraga dan sejenisnya.

Tempat yang digunakan untuk melaksanakan laku tersebut adalah panepen, penekung,
sanggar pemujan, pamurcitan, pahoman, paheningan dan lain-lain. Sedangkan uraian
pengetahuan disebut daiwan, dawan, tirta-amerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala,
mahosadi, kawasanan, kawaspadaan, kawicaksanaan, sastracetha, atau
sastrajendrayuningrat pangriwating-diyu dan sebagainya.

Adapun kegunaan pengetahuan dan lelaku di atas, perlu digunakan sebagai sarana
menyembah untuk mendapatkan kawilujengan (keselamatan disertai kesejahteraan,
kedamaian, dan ketentraman), sebab dengan begitu dapat melaksanakan segala
sesuatu perbuatan yang baik, ataupun sebagai sarana ketika kita memiliki keinginan

59
mewujudkan anugerah hidup kita pribadi (Pangeran), juga meminta apapun yang
lumrah bisa dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya dengan
tidak meninggalkan kehati-hatian.

Asal Mula Ilmu Hening

Adapun permulaan datangnya pengetahuan pasamaden di dunia ini, menurut tata


bahasanya, banyak yang memakai bahasanya, banyak yang memakai bahasa
sansekerta. Jadi dengan demikian, berarti mulanya pengetahuan pasamaden berasal
dari kebijaksanaan bangsa Hindu pada zaman kuno, yang sudah tidak diketahui
hitungan ribuan tahunnya. Kemungkinan saja tersebarnya pengetahuan (Kawruh)
pasamaden bersamaan dengan ketika bangsa Hindu mulai membuat Candi-candi
beserta arca-arcanya. Semula, pengetahuan itu hanya untuk bangsa Hindu (India)
yang beragama apa saja, pasti ditentukan memakai dan menghayati pasamaden. Sebab
hanya dengan pengetahuan pasamaden itulah yang menjadi permulaan pengetahuan
semesta, dan juga menjadi pengajaran agama paling utama.

Lama-kelamaan, bangsa India dengan Hindunya menyebar sampai ke Tanah Jawa dan
sebagainya, termasuk penyebaran agama beserta pengetahuan-pengetahuan yang lain,
termasuk pengetahuan pasamaden. Kawruh pasamaden di Tanah Jawa dapat
berkembang pesat, sebab orang Jawa tidak memandang derajad, sudah senang dan
akrab dengan laku puruta (Pasamaden), dan dapat menerapkan pengolahan
pengetahuan itu, sebab dengan kawruh itu dapat cocok dengan dasar-dasar batin dan
rohani orang Jawa. Sehingga dengan mudah segera merasuk ke dalam tulang sumsum
orang Jawa. Ditambah lagi bahwa kemudian banyak orang India dan Hindu yang
menjadi Jawa menyebarkan ajaran agama dan pengetahuan olah rohani, serta ilmu
kebijaksanaan (kawicaksanaan). Ibarat sekejapan mata, bangsa Jawa di semua pelosok
memeluk agama Hindu, dan juga, dengan kawruh pasamaden dan kawicaksanan,
sudah merasakan keberuntungan, kemuliaan, kebahagiaan, dan sebagainya, sebab dari
buah pengetahuan lelaku hening tersebut.

Kemudian datanglah orang-orang bangsa Arab yang masuk di Pulau Jawa, yang
membawa pengetahuan dan agama yang disiarkan Nabi Muhammad, yang disebut
agama Islam, yang mengurangi pengaruh agama Hindu, disebabkan oleh bapaknya
orang yang memeluk Islam. Hanya saja penyebaran agama Islam tidak membawa dan
tidak mengandung ilmu pasamaden seperti yang disebutkan di atas.

Perseteruan Ilmu Hening dengan Kerjaan Demak

60
Setelah kelompok orang Islam dapat mendirikan Negara, yang ditandai dengan
berdirinya Kerajaan Bintoro ( Demak ), Kemudian muncul larangan keras bagi orang
Jawa tidak boleh menerapkan pengetahuan pasamaden, demikian juga , diharuskan
untuk meninggalkan agama lama, dan harus masuk Islam.
Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta bangsa Jawa kemudian mau secara
sukarela memeluk Islam semua, kemauan memeluk Islam itu lebih disebabkan karena
takut hukuman pejabat Negara ( Sultan ). Jadi Islam nya hanya berada pada tataran
permukaan, atau Islam pengaran aran ( Islam KTP ), sedangkan secara batin dan
perilaku masih tetap memegang kepercayaan lama. Maka masalah pengetahuan
pasamaden tetap banyak dilaksanakan, hanya saja pengajaran dan penyebaran ilmu
pasamaden yang dinamakan wejangan ( wijang-wijang ) dilaksanakan secara
diam-diam, sedangkan pelaksanaan laku hening dilakukan pada tengah malam, serta
tempat pelaksanaannya bukan pada tempat terbuka, seperti tanah lapang, hutan,
sungai dan sebagainya tempat yang sepi. Wejangan diberikan secara berbisik, tidak
boleh didengar orang lain, termasuk rumput dedaunan, hewan,
sebangsa gegremetan ( melata ), kutu, wereng dan sebagainya. Oleh karena itu posisi
duduk guru berhadap-hadapan langsung dengan mengadu jidat dengan para murid.
Sedangkan bagi guru harus betul-betul berwasiat agar para murid tidak boleh
menularkan wewejangan pengetahuannya kepada orang lain, kalau belum diberikan
izin guru, kalau melanggar akan mendapatkan akibat kemurkaan Pangeran. Tindakan
seperti itu pada mulanya hanya digunakan untuk menjaga diri dan hati-hati, agar
pengajaran ilmu tersebut tidak ketahuan oleh pejabat pemerintahan. Sebab kalau
ketahuan akan mendapatkan hukuman.

Pola Pengajaran Ilmu Hening

Sampai pada zaman sekarang, walaupun Negara sudah tidak mengharu-biru terhadap
wewarahan pasamaden, namun tindakan memberikan pelajaran secara
sembunyi-sembunyi masih tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kemudian pengetahuan
pasamaden diberikan sebutan oleh mereka yang tidak menyukai ilmu pasamaden, atau
orang Islam yang hanya menerapkan syariaat Islam saja, sebagai Ilmu klenik. Setelah
muncul istilah ilmu klenik, kemudian dibuat sekarang dengan istilah abangan dan
putihan. Yang disebut abangan adalah mereka yang tidak melaksanakan syariat Islam
secara ketat, sedangkan istilah putihan digunakan bagi mereka yang memeluk Islam
secara ketat serta melaksanakan aturan syariatnya, yang juga disebut dengan nama
Santri. Oleh karena itu santri disebut putihan, karenan menurut anggapan orang-orang
Islam, santri dalam segala sesuatu merasa lebih bersih atau suci dibanding orang yang
tidak memeluk dan melaksanakan aturan agama Islam.
Kembali kepada masalah pengetahuan pasamaden yang penuh dengan kerahasiaan,
karena yang menjadi sebab telah diutarakan diatas. Tetapi sebetulnya, yang
dinamakan rahasia-rahasia tersebut memang tidak ada. Jadi boleh saja diajarkan
kepada semua orang, siapa saja, tidak memandang tua muda, dan boleh diwejangkan
sewaktu-waktu, asal memang orang tersebut membutuhkan pengetahuan pasamaden
tersebut. Sebab adanya semua itu perlu agar bisa diketahui oleh orang banyak,
lebih-lebih pengetahuan pasamaden itu senyatanya memang pembuka semua
pengetahuan. Maka wajib disebarluaskan kepada semua lapisan masyarakat tua muda,
tanpa memandang tinggi rendahnya derajat.

61
Syekh Siti Jenar : Bapak Ilmu Hening Jawa

Bersamaan dengan berkembangnya masa, kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku
yang tidak disangka-sangka. Dikemudian hari pengetahuan pasamaden tadi muncul
diterima oleh kalangan orang Islam, sebab yakin kalau pengetahuan pasamaden
tersebut memang menjadi mustikanya keinginan dan cita-cita yang dapat
mendatangkan keselamatan, kemuliaan, ketenteraman dan hal-hal semacamnya. Oleh
karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan
batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga menjadi pembimbing agama Islam berpangkat
wali, kemudian tercantum didalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan
daim, yang berasal dari kata daiwan yang disebut diatas. Kemudian juga menjadi
bagian dari sarana manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya,
kemudian muncul istilah shalat daim ( shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan
bahasa Sansekerta ). Adapun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk perhatian
untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah meresapi agama Islam.
Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua perkara. Pertama,
shalat limawaktu, yang disebut shalat Syariat, maksudnya adalah panembah lahir.
Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin, maksudnya adalah menekadkan
( meng -Itikadkan) manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal ( dua
yang menyatu [Kawula-Gusti, Ingsun-Gusti] ).

Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai pokok
pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak,
sholat limawaktu dan syara agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan kemudian
tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya lelaku shalat daim saja.
Maka orang jawa yang semula memeluk Islam, apalagi yang belum, hampir semuanya
berguru kepada Syekh Siti Jenar, karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.

Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan pasamaden, sebagai teman


diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi
muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng
Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah
mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh
Siti Jenar juga diajarkan kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang
juga berpangkat wali. Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki
Cakrajaya, yang semula bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga,
termasuk anggota walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti
Jenar, lalu berguru kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Pagelen (Purworejo).
Kemudian ajaran tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga
sahabat-sahabat Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar
kemudian mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama
semakin berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama
para wali yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara. Seandainya gerakan
itu dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.

62
Pembantaian Terhadap Penganut Ajaran Syekh Siti Jenar

Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar
serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya,
dengan perintah Sultan Demak. Demikian juga Pangeran Panggung tidak ketinggalan,
dipidana dimasukan kedalam bara api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai
peringatan agar msyarakat merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau
membuang ajaran Syekh Siti Jenar. Diceritakan Pangeran Panggung tidak mempan
oleh amuk api, dan kemudian melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak.
Sultan Bintara dan segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta
terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan Panggung, hanya kamitenggengen
( terdiam) seperti tugu. Sesudah sementara waktu, Pangeran Panggung sudah jauh,
Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana,
serta merasa kalah. Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya
pergi menyusul sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan
melampiaskan kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa
ditangkap dibantai. Dilakukan pengejaran besar-besaran terhadap semua orang yang
dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikut yang tidak
tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari selamat.
Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan
eprguruan Syekh siti Jenar tentang pengetahuan pasamaden, tetapi kemudian dibalut
dengan pengajaran syariat Islam, agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang
menjadi alat Negara.

Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )

Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan


pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran
shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya. Pengajaran shalat daim
itu disebagian kalangan disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku
pengajarannya disebut tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum
murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan
wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian
terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang
disertai dengan pengajaran syara rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai
sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang,
yang mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat)

63
naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut
berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian para Kiai dan Guru tadi
melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut ajaran Jawa yang berasal dari
pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga para guru dan kiai tadi senang memberikan
sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan,
Sedang nama Kiai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.

2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya
dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan
peraban/sebutan klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak
pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:

a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.

b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.

c. Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada
sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.

d. Pandai dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak


perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan
jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau
sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta benda
yang gemerlapan.

e. Susila anor-raga, selalu memelihara tata karma, mengendalikan akibat penglihatan


( apa yang dilihat ) dan pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak
yang terkena.

Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata dengan
melaksanakan laku semedi, yaitu amesu ciptamengheningkan teropong penglihatan
( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai
pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara diatas harus diajarkan kepada
semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang. Karena itu
dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi
tetap semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas. Oleh
karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan tentram menyebabkan
makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak demikian, sampai
rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh
roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.

Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

64
Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah,
yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan
diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan
menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh
oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.

Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa
semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan
wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna
di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa
cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal
atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut.
Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur
berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku
atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun
pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian.
Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran
atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian
memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi
kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata
cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan
kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua
itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap
hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan
kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui
kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya
mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut
hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata,
yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya
harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan
membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian
anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep
(tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau
tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki
lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu
kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan
mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan
bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta
mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan
dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu,
adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.

Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari
arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan
(ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran
napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti

65
yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas
tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan
secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra
adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak),
yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita
melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi
cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau
hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun,
sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.

Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan


keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh
dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan hu
disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai
ubun-ubun. Kemudian Ya disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas
dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan
cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra cetha. Karena ketika mengucapkan
dua mantra sastra: hu-ya, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari
kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ;
hu-ya pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; hu-Allah,
penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah,
penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan
nafas.)

Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu
mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai
kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ).
Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian
seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin
lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri
= tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas
kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan
( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti,
maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun,
kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah
terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi
daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan
secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya
nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari
rahsa.

Seperti telah diketahui banyak orang, Syekh Siti Jenar merupakan wali tanah jawa
yang paling nyentrik (unique). Ajaran-ajarannya cukup controversial dibandingkan
dengan ajaran islam sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Syekh Siti Jenar
menempatkan Islam bathini atau hakiki (esoteris) memiliki kedudukan seimbang
dengan Islam dzahiri atau syarI (eksoteris). Bahkan kemudian ada kesan aspek
syariat tidak diperhatikan.

66
Jelas kesimpulan ini salah. Sebagaimana tampak dalam berbagai wejangan mistik dan
ajaran-ajarannya, Syekh Siti Jenar tidak menihilkan syariat. Hanya saja dia juga tidak
mau umat Islam terjebak dalam formalisme syariat, sehingga agama tidak lagi
memiliki makna utuh bagi kehidupan manusia, baik didunia maupun dialam
kehidupan sejati.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah, tuduhan ( yang sebenarnya berasal dari para
peniliti Belanda) bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan pertempuran antara
Kejawen dan Islam (struggle between Javanism and Islam), dimana ajaran Syekh Siti
Jenar dituduh sebagai rekayasa budaya untuk menyerang Islam. Repotnya lagi,
analisis negative ini dikembangkan, bahwa corak perlawanan budaya Jawa bersifat
struggle form with in ( gerilya dari dalam). Jadi Islamnya orang Jawa dituduh hanya
sebagai siasat dan strategi budaya untuk melumpuhkan Islam dari dalam. Tuduhan ini
bermula dari artikel G.W.J Drewes dan Th. Pigeaud, yang kemudian menjadi acuan
bagi kebanyakan peneliti Islam dan Jawa. Mungkin jika tuduhan itu dialamatkan
khususnya pada Serat Darmogandul sebagai basis penelitian, dan lebih lagi pada Serat
Gatoloco, agak ada benarnya. Namun jika tuduhan itu dialamatkan kepada ajaran
Syekh Siti Jenar (dan ini kesimpulan mereka) sangatlah tidak benar.

Dari segi perkembangan sejarahnya, antara budaya Jawa dan Islam tidak pernah
terjadi perbenturan. Bahkan antara keduanya saling mengisi, saling melengkapi
membentuk system peradaban baru yang bisa saja disebut sebagai Islam-Jawa. Justru
kebudayaan Jawa banyak sekali (dominan) menyerap peradaban Islam, yang secara
kreatif disinergikan menjadi budaya Jawa.

Dengan strategi inilah justru kehadiran Islam, yang ternyata sudah banyak dianut
masyarakat pedalaman Majapahit diterima oleh masyarakat pedalaman Jawa. Sedikit
gejolak dan perbenturan justru terjadi pada masa awal Kerajaan Demak, dikarenakan
Kerjaan Demak menerapkan Islam formal berbasis pada aturan ketat fiqih sebagai
agama resmi Negara. Seorang intelektual Islam-Jawa, Soebardi membantah
sinyalemen para peneliti Belanda, bahwa kalaupun Syekh Siti Jenar dan para
pengikutnya banyak dihukum mati, hal ini bukan karena mereka menjadi musuh Islam.
Yang terjadi hanyalah karena mereka menyebarkan ajarannya yang bertentangan
dengan paham resmi kerajaan.

Sedangkan dari segi ajarannya, justru banyak yang menunjukan rasa simpati dan
bahkan membenarkan pendapat-pendapat Syekh Siti Jenar. Sehingga dalam Serat
Centini diceritakan, bahwa setelah tiga hari wafatnya, para wali melihat jenazah
Syekh Siti Jenar masih utuh, bagus, dan berbau harum. Pada saat itulah, dari jenazah
tersebut terdengar suara ucapan salam dan ungkapan selamat tinggal. Syekh Siti Jenar
juga mendoakan para wali dan Sultan agar mendapat barakah dan hidayah
sepeninggalnya.

Syekh Siti Jenar menampilkan versi Islam yang sejiwa dengan kebudayaan dan
peradaban masyarakat yang berkembang. Oleh karenanya beberapa aspek ajaran
Islam, yang di TimurTengah menjadi bahasan pokok keagamaan, oleh Syekh Siti
Jenar justru kurang dijadikan materi pokok bagi ajarannya, misalnya tentang hari
kebangkitan dan surga serta neraka. Ini bukan berarti bahwa Syekh Siti Jenar menolak
kenyataan adanya surga dan neraka, serta keberadaan akhirat.

67
Namun ada tiga alasan pokok mengapa Syekh Siti Jenar tidak menjadikan keimanan
kepada hari akhirat sebagai bagian pokok ajarannya. Pertama, kepercayaan akan
adanya surga dan neraka sebagai puncak keimanan hari akhir, bukanlah hal baru bagi
agama Islam, sebab semua agama dan kepercayaan kuno juga mengajarkannya.
Demikian pula masyarakat Indonesia saat itu, sudah tidak asing lagi dengan berbagai
mitologi tentang surga dan neraka. Oleh karenanya kekurang-yakinan masyarakat
Jawa pada saat itu terhadap Islam Formal, karena mereka mendapatkan bahwa nasib
dan keadaan mereka akan sama saja, baik dunia maupun akhirat, apakah dengan
memeluk Islam atau tetap pada kepercayaan lama. Toh Islam juga penuh dengan
mitologi eskatologis ( hari akhirat yang tidak dapat dibuktikan). Dalam hal inilah
Syekh Siti Jenar memberikan makna baru tentang akhirat dan surga-neraka sebagai
yang riil sejak manusia ada di dunia.

Kedua, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa alam akhirat dengan surga dan nerakanya
hanyalah mahluk sebagaimana manusia. Sedangkan tempat kembali manusia yang
sesungguhnya adalah Allah, darimana ia sebenarnya berasal (inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun; sesungguhnya semua berasal dari Allah, dan hanya kepada-Nyalah semua
kembali; Allah iku sangkan paraning dhumadi). Manusia yang sudah manunggal
(sampurna al-insan al-kamil) akan langsung kembali kepada Allah, tidak melewati
alam lintasan yang disebut akhirat. Sebab alam akhirat (sejak dari alam barzakh
sampai neraka dan surga) sebenarnya hanyalah alam lintasan, untuk menyempurnakan
roh bagi manusia yang saat mengalami kematian masih belum mencapai kasampurnan.
Oleh karena itu, segala bentuk kenikmatan fisik itu, termasuk surga sekalipun, bagi
Syekh Siti Jenar tetap dianggap sebagai penderitaan.

Sebagaimana banyak dikemukakan oleh Al-Quran sendiri, konsepsi surga dan neraka
masih berkutat pada konteks jisim, yakni pencukupan kenikmatan dan siksaan
jasmaniah, dengan fungsi utama menyempurnakan roh manusia. Dari kedua alam
lintasan itulah roh disempurnakan lagi tahap demi tahap menuju kesempurnaannya.
Sama dengan proses kematiaan yang terjadi pada manusia. Bagi orang yang sudah
mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya telah dipersiapkan sesempurna
mungkin, baik waktu, tempat serta bagaimana ia menempuh kematian, dan arah
selanjutnya kemana sudah jelas, sesuai dengan kesepakatan iradah dan kodrat
antara kawula-Gusti.Disini kematian termasuk dalam kodrat Pribadi.

Sementara orang yang belum mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya


dipaksakan, yakni Allah mengutus malaikat pencabut nyawa untuk memaksa
mengeluarkan roh dari jasad orang tersebut. Kematian jenis inilah yang masih
mengharuskan orang tersebut menempuh berbagai lintasan-lintasan kehidupan pasca
pengalaman kematiannya , guna mencapai kesempurnaan. Kalaupun nantinya
memperoleh kesempurnaan, maka Kasampurnan yang diperoleh tentu tidak
sesempurna manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan. Kalaupun
nantinya memperoleh kesmperunaan, maka kasampurnan yang diperoleh tentu tidak
sesempurna manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan.

Ketiga, alam akhirat bukanlah sejenis pengetahuan yang hanya diimani begitu saja.
Alam akhirat yang sejati adalah alam kemanunggalan, bukan surga dan neraka.
Demikian pula teologi tentang kiamat bagi Syekh Siti Jenar bukanlah penting, sebab

68
kiamat sudah terjadi sejak manusia lahir didunia ini, yang disebut Syekh Siti Jenar
sebagai alam kematian. Maka didunia ini pula manusia harus mampu bangkit sebagai
pribadi., dengan menemukan sang Ingsun Sejati agar meraih kemanunggalan. Dalam
teologi Syekh Siti Jenar, kiamat dan alam akhirat bukanlah hal substansial, tegasnya
lagi tidak termasuk dalam rangka rukun keimanan.
Lalu bagaimana Syekh Siti Jenar memahami mengamalkan konsep Rukun Iman dan
Rukun Islam?

Sebagaimana sudah diketahui dari ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku ini,
teologi Syekh Siti Jenar bercorak aplikatif dan lintas madzhab atau paham keagamaan
tertentu. Teologinya merupakan ramuan dari ajaran keagamaan, Islam terapan,
kebudayaan dan peradaban yang berkembang dalam lokus masyarakat tertentu, dan
yang lebih penting lagi, agama yang menyejarah berbasis pada pengalaman spiritual
yang nyata.
Maka dalam mempelajari dan memahami ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku
inipun, harus bersifat integrative dan sinergis, tidak bisa saling
dipisahkan. Mempelajari ilmu dan pengetahuan (belajar), melatih diri, dan mengalami
adalah prinsip dasar agama Islam yang sesungguhnya

Dalam teologi Syekh Siti Jenar, Rukun Islam juga dipahami dari sudut ilmiah,
amaliah, dan empiric. Antara nalar rasional, aplikasi perbuatan, dan spiritualitas
menyatu-padu dalam satu pribadi.

Syahadat memiliki substansi watak temen (bersungguh-sungguh, konsisten, disiplin,


beretos tinggi). Ukuran utamanya adalah pada pembicaraannya, yaitu nuhoni ( selalu
sesuai, benar, jujur, tidak pernah menyimpang) dalam hal pembicaraannya. Itulah
yang disebut tetapnya syahadat. Antara lisan, hati, dan pikiran manunggal. Tidak fasik,
munafik, berlainan lisan dan hati. Prinsipnya jujur dan benar.

Puasa adalah laku nrima (menerima dengan penuh kerelaan). Segala sesuatu yang
menjadi sebab munculnya keinginan tidak menggoyahkan mental dan moral, serta
keyakinannya.

Zakat adalah laku utama, terutama kesabaran dalam hal keinginan yang muncul dari
mata, atau kepuasan pribadi. Dengan demikian, apa yang ada dalam dirinya siap
hilang untuk kepentingan kemanusiaan dan masyarakat.

Shalat adalah olah batin, meredam segenap pancaindera, daya rohaninya selalu
menghadap Allah. Segala aktivitasnya hanya berorientasi pada tekad lillahai taala,
sebagai aplikasi dalam menempuh kodrat hidup.

Dan akhirnya adalah Haji, yang hakikatnya terletak pada penyesalan serta menepati
janji, baik janji Ilahiyah (untuk manunggal) dan janji kemanusiaan (mendatangkan
manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan semesta, sebagai khalifatullah, wujud
nyata wakil Allah; sebagai Allah yang hadir langsung dibumi).

Sementara aplikasi Rukun Iman dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.

69
Keimanan kepada allah adalah menepati jalan hidup jasad fisik sebagai kodrat Pribadi,
dan merasa bahwa kehadiran manusia didunia ini tidak lain menjadi sifat Allah yang
sejati. Manusia sempurna adalah pengejawantahan Allah di dunia (khalifatullah).
Oleh karenanya harus selalu menjaga kesucian jasad, batin suci, bersih, dan selalu
terjaga dari nafsu. Dan segala perilaku selalu berarah pada keutamaan.

Keimanan kepada malaikat adalah penjagaan atas pengelihatan, pembicaraan,


perasaan, pengrasa bau, pendengaran dan segala panca indera. Jadi manusia harus
hati-hati dalam melakukan segala bentuk aktivitas, agar tidak menyimpang dari
kebenaran dan kemanfaatan.

Malaikat Jibril adalah symbol dari kalam (pembicaraan yang benar); Mikail pada
indera pembau; Israfil pada indera penglihatan; Izrailpada pendengaran dan
perasaan; Haruman pada nyawa; Munkar dan Nakir pada nafsu; Kiraman dan
Katibin pada akal-budi. Dengan menjaga seluruh aspek itulah seseorang baru bisa
dikatakan beriman kepada malaikat Allah.

Kepercayaan kepada Rasul dan Nabi (utusan) sebenarnya adalah menerapkan


ketajaman perasaan (rahsa) yang selalu diasah. Kuncinya adalah mengendalikan
perasaan dan mengheningkan cipta, sehingga dapat connect (menyambung) dan
manunggal dengan Allah. Itulah hakikat keimanan kepada utusan Allah. Ini
berhubungan erat dengan keimanan kepada Kitabullah, yaitu memahami dan menjaga
keadaan nyawa, awas dan waspada dalam perjalanan hidup, selalu ingat dan mengerti
asal mula kejadian manusia, batin selalu dzikir kepada Allah, dan diupayakan selalu
berbicara dengan Allah.

Keimanan kepada nasib baik dan buruk adalah kemampuan menjalani kodrat hidup
didunia. Manusia harus mengerti bahwa terwujudnya nafsu berasal dari pengelolaan
dan pengolahan budi dan pribadi. Oleh karenanya manusia harus selalu pasrah dan
menyesal pada dzat manusia pribadi, akan keberadaannya dialam kematian didunia ini.
Segala langkah hidupnya hanya diarahkan pada proses menuju kemanunggalan.

Kemudian keimanan kepada hari akhir, pada hakikatnya mengetahui dan


mempersiapkan diri untuk titis pati (wafat dengan husnul khatimah). Kematian
sebenarnya berdasarkan pada kesiapan dan kesediaan dzat manusia pribadi. Dalam hal
ini, tekad terhadap kenyataan kemanunggalan menjadi kunci bagi pengetahuan dan
pengalaman kematian, yang dengan kematian itulah, gerbang kehidupan abadi-sejati,
dan segala kasampurnan kehidupan diraih. Uninong, aning, unong. Manusia yang
telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, berada dalam kebahagiaan hidup sejati yang
abadi, tidak akan mengalami kerusakan lagi.

Dari berbagai hal yang telah dikemukakan dalam buku ini, nampak bahwa ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti bukan semata ajaran mistik. Terbukti dari aplikasi
ajaran tersebut, baik oleh Syekh Siti Jenar sendiri, ataupun oleh murid dan
pengikutnya, mereka telah mampu menjadi manusia-manusia yang shalih dalam hal
spiritualitas religius, bermanfaat secara social, menjadi motor bagi peradaban pada
zamannya, memiliki etos kerja yang tinggi serta produktif, serta aktif pula dalam
gerakan kemanusiaan melawan segala bentuk kedzaliman.

70
Sering kita membaca dalam berbagai analisis mengenai Syekh Siti Jenar, bahwa wali
Tanah Jawa ini, hanyalah merepresentasikan ajaran Manshur al-Hallaj dariBaghdad.
Bahkan banyak analisis yang menyebutkan bahwa sejarah Syekh Siti Jenar tidak lain
cuplikan kisah al-Hallaj yang diberi warna Islam-Jawa. Jelas analisis ini perlu
diluruskan.

Memang ada sedikit kesamaan antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sebagaimana
disebutkan sendiri oleh Syekh Siti Jenar bahwa tarekatnya,yaitu al-Akmaliyah,
Substansi ajarannya pernah diajarkan secara terbuka oleh Al-Hallaj dalam bentuk
tarekat al-Anfusiyah. Akan tetapi kesamaan ajaran ini sebatas pada kesamaan jenis
ajaran wujudiyahnya. Sama halnya substansi ajaran dengan al-Syuhrawardi al-Maqtul,
Aynul Quddat al-Hamadani, Ibnu Arabi, al-Jilli, bahkan dengan Hamzah Fansuri
dan Nuruddin al-Sumatrani. Dalam beberapa hal juga terdapat substansi Karkhi,
Syekh Abdul Qadir al-Jaylani, serta Junaid al-Baghdadi. Tentu saja kalau kesamaan
ajaran dijadikan dasar duplikasi peristiwa bahwa keduanya sama sama dibunuh, dan
dituduh melawan pemerintah yang berkuasa, disamping factor tuduhan ajaran yang
sesat. Bukan hanya al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang mengalami peristiwa itu, toh
Syuhrawardi dan Aynul Quddat al-Hamadani juga dibunuh, dan dituduh terlibat
persekongkolan politik, serta dituduh ajarannya sesat. Sementara dari berbagai fakta
sejarah dan data kepustakaan jelas membuktikan bahwa mereka adalah manusia
sejarah yang pernah hadir dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda. Adapun nasib
Hamzah Fansuri, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abu Yazid al-Bushtami dan
beberapa sufi wujudiyah yang lain, memiliki nasib duniawi yang agak lebih baik,
karena tidak dijatuhi vonis hukuman mati, karena memang tidak sedang terjadi
pertentangan politik yang sengit.

Dalam hal kesamaan nasib tragis antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, juga terdapat
perbedaan dalam sebabnya. Keduanya sama-sama dibunuh karena alasan politis.
Bedanya, Syekh Siti Jenar lebih mendekati pada pertimbangan dasar demi
kepentingan kerajaan (dalam hal ini Kesultanan Demak), sementara al-Hallaj juga
sangat dekat dengan penguasa.

Terdapat banyak hal yang khusus pada Syekh Siti Jenar. Ajaran Manunggaling
Kawula Gusti, bukan semata-mata bentuk kefanaan dan juga bukan semata-mata
ittihad, yang lebih bersifat pasif, sebab keaktifan hanya ada pada sisi lahutiyah-nya
(unsure ke-Tuhanan), sementara unsur nasutiyah pasif sebagai yang ketempatan.
Sedangkan dalam Manunggaling Kawula Gusti sama-sama aktif antara kawulan
dengan Gustinya. Jadi konsep rajiun (kembalinya manusia kepada Allah) bersifat
final dan total. Dan secara terbuka dengan analisis yang tajam, berdasarkan al-Quran,
Sunnah, atsar sahabat, pengalaman para auliya terdahulu, serta pengalaman
Pribadinya. Pengalaman dalam moment Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran
Syekh Siti Jenar betul-betul menjadi bukti nyata bagi adanya al-halawat al-iman
(lezat-manis-nya rasa buah keimanan), sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah
Muhammad.

Dalam hal masalah ajaran inilah, para ahli sepakat, bahwa dalam kesamaan ajaran
antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar sangat jarang dijumpai. Termasuk Zoetmulder
pun memiliki kesimpulan bahwa dalam ajaran Syekh Siti Jenar tidak terdapat

71
bekas-bekas dari ajaran otentik al-Hallaj. Tentu saja kesimpulan ini tidak sepenuhnya
benar, sebab dalam hal dasar mistik, yakni tauhid al-wujud, memiliki fondasi spiritual
yang sama.

Hanya saja focus al-Hallaj hanya pada aktivitas mistik atau kesufiannya (termasuk
program penyebaran ajarannya yang sama-sama miyak warana sebagaimana Syekh
Siti Jenar ). Sementara Syekh Siti Jenar, disamping aktivitas kesufian, ia juga sangat
menaruh perhatian pada pendidikan keislaman yang utuh, sehingga ia merasa perlu
membuat dua pesantren, yang satu di Giri Amparan Jati sebagai pusat pengajaran
dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam, sedang yang satunya lagi Paguron Lemah Abang
(juga disebut dengan Krendhasawa) sebagai pusat pengajaran tasawuf Manunggaling
Kawula Gusti. Paguron Lemah Abang ini kemudian diperluas melalui cabang-cabang
Paguron dan Pedukuhan Lemah Abang diberbagai daerah se-Jawa.

Syekh Siti Jenar juga sangat dikenal disamping keterbenamaannya dalam kecintaan
dan kemanunggalan kepada Ilahi sebagai seseorang yang mandiri, menjamin
kebebasan akal dan ilmu, memiliki solidaritas tinggi terhadap agama dan kepercayaan
lain, berjiwa inklusif dalam keagamaan dan spiritualitas, dan sebagai motor penggerak
bagi kesadaran social, budaya, dan politik bagi masyarakat. Syekh Siti Jenar
mempelopori gerakan masyarakat untuk bangkit dengan segenap hak-haknya sebagai
manusia, serta bangkit daya spiritualnya, yang kemudian diabdikan bagi kepentingan
kemanusiaan dan semesta, dalam rangka mengejawantahkan dirinya sebagai
khalifatullah, tangan kanan Allah yang menyejarah di bumi.

Maka wajar jika dikemudian hari, Syekh Siti Jenar menjadi wali yang paling digemari
oleh rakyat, yang sampai hari ini, riwayatnya serta ajaran ajarannya masih tetap
hidup ditengah masyrakat Islam (khususnya Islam-Jawa di Indonesia). Dan yang
terkesan istimewa adalah, bahwa studi mistik jawa baru dianggap tuntas jika sudah
menyentuh ajaran Syekh Siti Jenar. Karena memang puncak spiritualitas Islam-Jawa
berada pada ajaran Syekh Siti Jenar.

Jadi benarlah bahwa Syekh Siti Jenar merupakan guru mistik yang brilian. Tokoh
mistik sejati dan wali yang kontekstual. Ia menyampaikan ajaran Islam secara empiric,
realitas, dan mampu menggugah bangkitnya kesadaran Pribadi, mengoptimalkan
seluruh daya hidup, untuk menjalani kodrat didunia secara tuntas, sehingga ketika
mati tinggal menuju kemanunggalan dengan Gusti, tanpa melalui lintasan barzakh,
mahsyar, neraka dan surga.

Kejeniusannya juga dibuktikan melalui ajaran-ajarannya yang dituangkan dalam


beberapa karya tulis, diantaranya yang disebutkan langsung oleh Syekh Siti Jenar
adalah Kitab Balai Mubarak, Talmisan, dana Musakhaf. Sayangnya warisannya dalam
bentuk karya tulis sampai saat ini belum berhasil ditemukan. Ini berhubungan dengan
larangan atas ajaran-ajarannya sejadk abad ke-16, yaitu sejak dia dijatuhi hukuman
mati, sehingga tampatknya kitab-kitab tersebut ikut dimusnahkan.

Tampaknya , memang melalui Syekh Siti Jenar, titik kulminasi mistik Jawa, sekaligus
titik kulminasi spiritualitas Islam (tasawuf) telah terjadi.

72

Anda mungkin juga menyukai