Anda di halaman 1dari 10

Masjid Merah Panjunan, Masjid Kuno Cirebon Hasil Akulturasi

Budaya Hindu, Islam, dan Tiongkok

Penulis : Muhamad Jupri

Abstrak:

Masjid Merah Panjunan merupakan masjid kuno di Cirebon yang dibangun oleh pria asal
Baghdad, Syarif Abdurrahman atau yang dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, pada
tahun 1480 Masehi. Masjid ini mempunyai dinding dan tembok pembatas yang berwarna
merah, sehingga dikenal dengan nama Masjid Merah Panjunan.

Masjid ini dibangun untuk penyebaran agama Islam. Di masjid ini juga, kerap dijadikan
tempat musyawarah para wali, sebelum dibangunnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa di
Kasepuhan. Uniknya, arsitektur masjidini merupakan perpaduan dari tiga budaya, yakni
Islam, Hindu, dan Tiongkok.

Meskipun masjid ini merupakan masjid kuno, namun di sini tidak diadakan salat Jumat.
Kesehariannya, masjid ini hanya digunakan untuk salat lima waktu, salat Tarawih, dan
pengajian. Selain itu, masjid ini juga digunakan untuk salat hari raya, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha.
Isi:

Mengunjungi Kota Cirebon, rasanya kurang pas jika tidak mencoba wisata religi yang ada di
sini. Sebab, Kota Cirebon sangat sarat dengan peninggalan bersejarah, terutama di zaman
para Wali Songo. Karena itu, tidak heran jika kota ini dinamakan Kota Wali.

Di Kota Cirebon, cukup banyak destinasi wisata religi. Salah satu tempat wisata religi yang
patut dikunjungi adalah Masjid Merah Panjunan. Letaknya berada di persimpangan jalan
antara Jalan Kolektoran dan Jalan Panjunan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan
Lemahwungkuk Kota Cirebon.

Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Cirebon. Dalam sejarahnya, masjid ini
awalnya bernama Tajug Al-Athyah, yang dibangun oleh Syarif Abdurrahman Al-Baghdad
atau Pangeran Panjunan pada tahun 1480 Masehi.

Dinamakan Masjid Merah Panjunan, karena masjid ini semuanya berwarna merah, baik dari
dinding maupun tembok pagar masjid. Hal tersebut lantaran material utamanya berasal dari
batu bata merah. Sehingga, masjid ini kerap dinamakan Masjid Abang atau Masjid Merah.

Adapun nama Panjunan, berasal dari kata 'anjun' yang berarti tanah liat atau gerabah. Hal ini
dikarenakan dulunya pada masa Kesultanan Cirebon, wilayah di sekitar masjid merupakan
sentra tanah liat atau gerabah. Sehingga, wilayah tersebut dinamakan Panjunan.

Dalam Babad Cirebon, dibangunnya masjid ini, berawal saat kedatangan tiga bersaudara
yang merupakan anak dari Sultan Baghdad, ke Cirebon pada abad ke 15. Mereka adalah
Syarif Abdurrahman, Syarif Abdurrahim, dan Syarifah Baghdad. Setelah tiba di Cirebon,
ketiganya berguru kepada Syekh Nurjati, kemudian diperkenalkan kepada Pangeran
Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana kemudian meminta Syarif Abdurrahman untuk membangun sebuah
pemukiman, yang kini dikenal dengan nama Panjunan. Syarif Abdurrahman kemudian
menjadi dikenal dengan nama Pangeran Panjunan.

Kemudian, Syarif Abdurrahim juga membangun sebuah pemukiman yang dikenal dengan
nama Kejaksan. Sehingga, dia menjadi dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan. Sementara
itu saudara perempuan mereka, Syarifah Baghdad, menikah dengan Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang tak lain adalah keponakan dari Pangeran
Cakrabuana. Dia pun turut membantu penyebaran agama Islam bersama saudara dan
suaminya.

Demi memudahkan dalam penyebaran ajaran agama Islam, Pangeran Panjunan pun
membangun sebuah tajug, yang diberi nama Al-Athyah. Tajug ini konon dibangun lebih
dahulu dibandingkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berada di Kasepuhan. Bahkan,
Tajug Al-Athyah kerap dijadikan sebagai tempat musyawarah dan pertemuan para wali,
sebelum adanya Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Selain itu, konon Tajug Al-Athyah juga merupakan tempat legalisasi para wali. Ibarat
wisuda, sebelum para wali itu bertugas menyiarkan Islam, maka disahkan terlebih dahulu di
tajug ini oleh Sunan Gunung Jati.

Awalnya, tajug ini dibangun berukuran 40 meter persegi, tanpa adanya tembok pagar
pembatas. Kemudian, pada masa Panembahan Ratu, dibangunlah kuta kosod atau pagar
pembatas yang mengelilingi bangunan tajug setinggi 1,5 meter dan ketebalan 40 centimeter,
pada tahun 1549. Bagian gerbangnya berbentuk candi bentar bergaya Majapahit, dengan daun
pintunya terbuat dari kayu jati ukir.

Kemudian pada masa kolonial Belanda, terdapat perluasan bagian serambi belakang ruang
salat atau sisi timur. Sehingga, tajug tersebut berubah menjadi masjid dengan luas 150 meter
persegi.
Meskipun masjid ini dibangun oleh Pangeran Panjunan yang keturunan Arab, namun sangat
sedikit sekali pengaruh budaya Arab di masjid ini. Arsitektur masjid ini justru merupakan
akulturasi dari budaya Hindu, Tiongkok, dan Islam. Kemungkinan, ini merupakan sebuah
pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran agama Islam pada masa itu.

Arsitektur masjid ini masih terpelihara keasliannya hingga sekarang. Beberapa bagian
bangunan masjid mempunyai keunikan tersendiri, salah satunya adalah pada bagian dinding.
Sama seperti bangunan-banunan kuno masa Kesultanan Cirebon, di Masjid Merah Panjunan
juga terdapat hiasan keramik khas Tiongkok, yang menempel di dinding maupun kuta kosod
atau tembok pagar.

Piring-piring tersebut, berasal dari daerah Kwangtung, China. Selain itu, ada juga beberapa
piring dari Eropa. Namun sayangnya, sebagian piring keramik yang asli telah hilang, dan
digantikan dengan piring-piring keramik sumbangan dari Keraton Kasepuhan.

Masjid ini mempunyai beberapa ruangan, seperti ruang utama untuk salat, serambi, tempat
wudhu, pawestren, dan serambi serta bilik tambahan di sisi selatan masjid. Ciri khas masjid
kuno Cirebon yang ada di Masjid Merah Panjunan, yakni adanya paduraksa.

Paduraksa adalah gerbang kecil berbentuk gapura, dengan ukuran pintu yang sangat kecil.
Biasanya paduraksa terletak di tengah masjid, dan menjadi pembatas antara serambi dan
ruang utama masjid. Dinding paduraksa cukup tebal, dan mirip dengan dinding kuta kosod.
Meskipun begitu, paduraksa hanya berfungsi sebagai dinding pembatas saja, dan tingginya
tidak sampai ke atap.

Jika seseorang mau masuk ke bagian utama masjid, maka harus melewati paduraksa dan
menundukkan tubuh dan kepalanya, karena saking sempitnya. Hal tersebut, mempunyai
filososi yang menandakan sifat rendah hati dan harus selalu menunduk saat akan menghadap
Allah.

Di bagian utama masjid, tepatnya setelah melewati paduraksa, terdapat sebuah mimbar khas
berbentuk tandu, dengan lengkung kalamakara pada sandaran gerbangnya. Selain itu, terdapat
juga tongkat cis yang biasa digunakan khatib saat khutbah. Di dalam ruang utama ini terdapat
mihrab putih dengan bagian atas berbentuk relung setengah lingkaran. Mihrab ini cukup
sederhana dengan ornamen bermotif geometris dan floral khas masjid-masjid kuno pada abad
ke 15.

Uniknya, bagian utama ini, hanya dibuka dua kali saja dalam setahun, yakni pada saat
perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga
kelestarian benda-benda kuno di masjid ini, terutama bagian utama. Adapun untuk
keseharian, salat berjamaah hanya dilakukan di serambi depan saja.

Langit-langit masjid ini ditopang oleh 17 sakaguru atau tiang, yang mempunyai filosofi
jumlah rakaat dalam salat lima waktu. Dari tiang-tiang tersebut, 16 tiang berbentuk silinder
dan 1 tiang berbetuk kotak. Umpak pada tiang penyangga juga memperlihatkan pengaruh
kebudayaan lama. Uniknya, masjid ini tidak menggunakan konstruksi tumpang sari sebagai
penopang atap utama, seperti yang biasanya ada di masjid-masjid kuno Cirebon lainnya.

Keunikan lain Masjid Merah Panjunan terletak pada bagian atapnya. Di bagian ruang utama
masjid, atapnya berbentuk tajug tumpang dua. Sementara bagian serambi depan berbentuk
limasan. Penggunaan sirap sebagai material penutup atap masjid, masih tetap dipertahankan
hingga sekarang.

Dulunya, Masjid Merah Panjunan mempunyai menara, yang dibangun sekitar tahun 1978
oleh masyarakat setempat. Menara tersebut terletak di sebelah selatan masjid, dan
mengakibatkan dibongkarnya pintu jati berukir di gerbang depan. Bentuk arsitektur menara
tersebut mengikuti bentuk atap pada masjid, serta diberi warna merah.
Namun setelah beberapa pertimbangan, menara tersebut akhirnya dibongkar, lantaran masjid
tersebut aslinya memang tidak ada menara. Apalagi, masjid-masjid kuno di Cirebon
umumnya memang tidak mempunyai menara.

Kini, masjid ini hanya digunakan untuk salat lima waktu, salat Tarawih, serta pengajian dan
tawasul. Masjid ini tidak dipergunakan untuk salat Jumat, karena pelaksanannya dilakukan di
masjid yang lebih besar, yang terletak tidak jauh dari Masjid Merah Panjunan. Dengan
demikian, mimbar yang ada di bagian utama masjid hanya digunakan ketika khutbah di hari
raya saja.

Dengan begitu saratnya makna sejarah dan religi di Masjid Merah Panjunan, maka tidak
heran jika masjid yang sudah tercatat dalam cagar budaya ini, sangat pas untuk dijadikan
salah satu destinasi wisata religi. Hal ini pun membuat Pemerintah Kota Cirebon, bersama
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Cirebon, makin serius melakukan penataan
destinasi wisata religi yang ada di Kota Cirebon, salah satunya di Masjid Merah Panjunan.

Menurut Kepala KPwBI Cirebon, Bakti Artanta, konsep wisata religi yang digarap membuat
pengunjung lebih betah berlama-lama di Cirebon, karena mengedepankan 3A2P, yakni
Amenitas, Atraksi, Akses, Pelaku usaha, dan Promosi.

"Kita tidak ingin wisatawan hanya datang satu kali lalu selesai. Kita ingin wisatawan itu terus
hadir, terus terkenang dan terus punya memori lalu ingin hadir kembali," katanya beberapa
waktu lalu.

Jadi, mari berkunjung ke Masjid Merah Panjunan di Kota Cirebon. Selain untuk beribadah,
pengunjung juga bisa merasakan suasana historis di masjid kuno ini, dan pastinya tidak akan
pernah terlupakan.
Referensi:

1. Masjid Kuno Cirebon (Dr. Eng. Bambang Setia Budi, dkk)

2. Masjid Panjunan (Wikipedia)

3. Kisah Masjid Merah Panjunan, Tempat Pengesahan Para Wali (Detik.com)

4. Bank Indonesia Dukung Pemkot Cirebon Matangkan Konsep Wisata Religi (Kumparan)
Foto-foto:
Biodata penulis:

Nama : Muhamad Jupri

TTL : Cirebon, 5 April 1990

Alamat : Jl. Bahagia Gg. Badari no. 94 RT 04 RW 05 Kelurahan Panjunan Kecamatan


Lemahwungkuk Kota Cirebon

Email : muhamadjupri182@gmail.com

Instagram : @muhamadjupri182

Telepon : 083824226182

Profesi : Jurnalis Times Indonesia

Blog pribadi : bangcadel.com

Anda mungkin juga menyukai