Anda di halaman 1dari 3

KISAH LENGKAP SUNAN GUNUNG JATI

CIREBON KASTOLANI

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya wali yang menyebarkan agama
Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif
Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat,
India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di Tanah Air. Kisah Sunan
Giri, Sukses Sebarkan Islam dengan Kesenian Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah
putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama
besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam
Husain. Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri
dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian
Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu
Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama
asli Idhafi Mahdi bin Ahmad: Kisah Sunan Kalijaga, Berdakwah dengan Metode Wayang Pada masa
remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di
Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Video Kepanikan Warga akibat Gunung
Tangkuban Parahu Erupsi Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut
Ilmu. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ke Tanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Di sana, Syarif Hidayatullah muda bersam ibunya disambut gembira oleh
pangeran Cakra Buana. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di Negeri Caruban
Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir terlebih dulu di Gujarat dan Pasai untuk
menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana dan
keluarganya. Syarifah Mada’in minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana
mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran
Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan
dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana
yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui
diplomasi dengan kerajaan lain. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut
Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan
gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama
pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu
Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak
mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan keSerang. Penduduk Serang sudah ada yang
masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ketempat
itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah
kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putranya itu Nyi RatuWinaondan Pangeran
Sebakingking. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung
Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat. Cara Penyebaran
Islam Sunan Gunung Jati Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak
bekerja sendirian. Sunan Gunung Jati sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan. Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan
Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.
Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan
rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para
penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah. Dengan berdirinya
Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan
lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja
Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan
prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati
yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak
berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan
menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon
maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan
Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati
menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode
dakwahnya yakni menggunakan metode “maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan”.
Selain itu, metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan
kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka
pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat
awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik
sehingga menarik perhatian umum. Ketiga, yakni metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul Ummah”,
dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran
islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata.
Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih
tetap dipraktekan dilingkungan pesantren. Sunan Gunung Jati di lingkungan masyarakatnya selain
sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai
budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek
sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan
penyebaran Islam selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai