Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KASUS

RSUD SALEWANGENG

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA

KASUS CVD-SI SINISTRA

OLEH:

HARMIATI

PO.714.241.19.2.003

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV ALIH JENJANG

JURUSAN FISIOTERAPI TAHUN 2020


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus atas nama Harmiati Nim : PO.714241192003 dengan judul

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus CVD-SI Sinistra” telah disetujui untuk diajukan

sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan praktek klinik RSUD SALEWANGENG

MAROS, mulai tanggal 28 Desember – 12 Januari 2021.

Makassar, 12 Januari 2021

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

Ilham Hidayat N,S.Ft.Physio,M.Biomed Andi Halimah,SSt.Ft,M.Adm.Kes

NIP : 1981102042005021004 NIP : 196610051991032004


PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Azza Wa Jalla, yang telah
melimpahkan Rahmat beserta Hidayah-Nya sehingga penyusunan Laporan Kasus dengan judul
“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS CVD-SI SINISTRA” dapat
terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat untuk mendukung pelaksanaan Fisioterapi
Komprehensif

Laporan Kasus ini bisa terselesaikan dengan baik berkat arahan, dukungan, kesempatan dan
fasilisitasi dari berbagai sumbangsih dan pemikiran dari sahabat dan teman kelompok serta
komunikasi yang sangat baik dengan Clinical educator dan Preceptor dalam kegiatan Fisioterapi
Komprehensif ini.

Akhir kata, kami sangat berharap dengan adanya penyusunan makalah ini beserta segala
keterbatasan dan kekurangannya dapat memberikan sedikit kontribusi untuk menambah keilmuan
kita dalam ILMU FISIOTERAPI pada pendidikan yang sedang kami jalani. Besar harapan kami
agar para Dosen pembimbing dapat menuntun dan memberikan pelajaran dengan penuh kesabaran
atas segala keterbatasan kami ini. Oleh karena itu sebelum dan sesudahnya kami menghaturkan
banyak terima kasih atas peran serta semua pihak yang telah membantu.

Hormat Kami,

HARMIATI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke atau gangguan peredaran darah pada otak merupakan salah satu

sindrom yang diakibatkan oleh gangguan aliran peredaran darah ke otak yang

menimbulkan adanya gangguan fungsional pada otak yang berupa defisit

neurologik atau kelumpuhan pada saraf. Stroke menjadi penyakit ketiga

terbanyak setelah penyakit jantung koroner dan kanker, stroke menjadi

penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Di ASEAN stroke menjadi salah satu

masalah kesehatan yang menyebabkan kematian (Dinata, Safrita, & Sastri,

2013).

Menurut hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi

penyakit stroke di indonesia sebanyak 8 per 1000 penduduk, penyakit stroke

menjadi salah satu penyebab kecacatan kronik yang paling tinggi pada

kelompok umur diatas 45 tahun. Jumlah penderita stroke di Indonesia

diperkirakan sebanyak 500.000 orang pada setiap tahunnya, diperkirakan

sekitar 2,5 atau 250.000 orang yang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan

atau berat (Riyadina & Rahajeng, 2012).

Serangan stroke dipengaruhi oleh bertambahnya usia, dengan angka

kejadian sebesar 1-2 per 1000 orang pada usia 45-54 tahun dan pada usia 75-

84 tahun angka kejadian meningkat menjadi 20 per 1000 orang. Selain itu

faktor resiko lainnya, yaitu hipertensi yang menduduki peringkat tertinggi

sebesar 4,0-5,0 per 1000 orang, diabetes melitus sebesar 1,5 – 3,0 per 1000
orang, merokok 1,5 – 2,9 per 1000 orang dan hiperlipidemia 1,0 – 2,0 per

1000 orang (Gillen, 2011).

Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang

seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah

arteri. Dari seluruh kejadian stroke, duapertiganya adalah ischemic dan

sepertiganya adalah hemorrhagic. Dapat disebut stroke ischemic karena

adanya sumbatan pembuluh darah oleh thromboembolic yang mengakibatkan

daerah di bawah sumbatan tersebut mengalami ischemic sedangkan stroke

hemorrhagic yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang pecah (Dinata

et al., 2013).

Terdapat berbagai macam masalah yang sangat kompleks bagi kehidupan

penderita stroke, seperti gangguan pada fungsi vital otak yang menyebabkan

adanya gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol

postur, gangguan sensasi, dan ganguan refleks gerak yang akan menurunkan

kemampuan aktivitas fungsional individu sehari-hari (Irfan, 2010).

Masalah keseimbangan terjadi karena adanya ketidakmampuan tubuh

untuk mempertahankan posisi tubuh dalam menjaga base of support untuk

melakukan aktivitas sehari-hari. Masalah keseimbangan pada penderita stroke

biasanya terjadi akibat adanya kelemahan dari otot-otot core stability (Tyson,

Hanley, Chillala, Selley, & Tallis, 2006).

Sebagian besar pasien pasca stroke mengalami kelumpuhan yang akan

mengurangi kontrol otot, gerakan tubuh, postur, dan keseimbangan tubuh

sehingga pasien mengalami kesulitan saat berdiri atau berjalan. Pasien pasca
stroke dengan kelumpuhan akan mengalami kesulitan mengontrol trunkus

saat akan menyesuaikan postur.

Berdasarkan PERMENKES RI No. 80 Tahun 2013 tentang

penyelenggaraan pekerjaan dan praktik menjelaskan bahwa fisioterapi adalah

salah satu bentuk upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu

dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan

gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan

penanganan manual, peningkatan gerak maupun peralatan (fisik,

elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan fungsi, dan komunikasi.

Stroke adalah sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi pada otak fokal

atau global dengan tanda dan gejala yang terjadi selama 24 jam atau lebih,

sindrom yang terjadi ini dapat menimbulkan kematian tanpa adanya penyebab

lain selain vaskuler (Word Health Organitation- WHO, 2014). Stroke

disebabkan adanya gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara

mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam)

dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai

hasil dari infark cerebri (stroke iskemik) (America Heart Association- AHA,

2015).

Stroke merupakan salah satu permasalahan dunia yang menjadi penyebab

kematian ketiga di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker (Bartoli et al,

2013). Kejadian stroke di Amerika Serikat diperkirakan setiap tahunnya masih

terdapat sekitar 530.000 pasien stroke, dimana setiap 40 detik ditemukan

penderita stroke baru (DiLegge et al, 2012).

Secara luas stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik yang dapat


ditemukan dalam 80-85% kasus stroke, serta stroke hemoragik yang dapat

ditemukan dalam 15-20% sisa stroke (Goldszmidt and Caplan, 2013). Penentuan

diagnosis stroke iskemik ataupun stroke hemoragik dapat dilakukan dengan

pemeriksaan Head CT Scan yang merupakan pemeriksaan pasti untuk stroke

(Gofir, 2009). Tanda pasti yang dapat dilihat pada penderita stroke adalah

berkurangnya fungsi motoric. Selain itu, efek dari terjadinya stroke juga dapat

mengakibatkan defisit sensorik, defisit kesadaran, terjadinya afasia, terjadinya

buta separuh lapang pandang, dan devisit batang otak (De Freitas et al, 2009).

Kelemahan berupa hemiparesis dan hemiplegia dapat mengakibatkan terjadinya

keterbatasan dalam memposisikan dan menggerakkan tubuh secara maksimal

sehingga dapat mengurangi kemampuannya (Parker et al, 2009).

Fisioterapi merupakan program terapi dasar dari pemulihan pasien stroke

yang mengalami gangguan fungsi gerak. Pemberian Fisioterapi dapat

meningkatkan kemampuan pada penderita stroke yang mengalami kelemahan

dapat diberikan berupa latihan fisik. Latihan ini dapat diberikan selama 4

minggu dengan latihan 2 kali dalam seminggu dengan durasi 1 jam pada setiap

latihannya. Latihan fisik dapat diartikan sebagai gerakan yang terencana serta

disusun secara rapi serta akan dilakukan guna memelihara atau memulihkan satu

atau lebih aspek kebugaran (Hentu, 2018). Semakin cepat dilakukan rehabilitasi

pada pasien stroke maka semakin besar juga pengembalian fungsi gerak tersebut

(Purwanti, 2008).

B. Identifikasi Masalah

1. Gangguan yang ditemui pada kasus ini adalah hipertonus M. Biceps


Brachii, M. Triceps Brachii, M. Hamstring, spastisitas pada upper

extremity dan lower extremity sinistra, kelemahan upper extremity dan

lower extremity sinistra, kelemahan postural kontrol, kelemahan core

stability, keseimbangan duduk, berdiri dan berjalan serta mobilisasi

berjalan dan duduk ke berdiri.

2. Pembatasan masalah

Masalah pada kasus ini dibatasi dengan penatalaksanaan fisoterapi pada

kasus Hemiparese Sinistra e.c CVD Stroke Iskemik dengan

menggunakan kombinasi Pendekatan MRP (Motor Relearning

Programme) dan Core-Strengthening Terhadap Peningkatan

Keseimbangan Statis dan Dinamis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

1. Stroke

Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) merupakan

gangguan sistem saraf pusat yang paling sering ditemukan dan

merupakan penyebab utama gangguan aktivitas fungsional pada orang

dewasa (Irfan, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO) 2007 stroke

merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan

fungsi otak fokal atau global yang bersifat akut dan terjadi secara

mendadak yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dengan gejala

tergantung dengan bagian otak mana yang terganggu ataupun tingkat

keparahannya. Penyebab terjadinya stroke biasanya akibat dari

pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik) atau penyumbatan

pembuluh darah oleh gumpalan di otak (stroke iskemik).

Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan oleh sumbatan

akibat bekuan darah, penyumbatan arteri baik satu maupun banyak

yang mengarah ke otak, atau embolus yang terlepas dari jantung atau

arteri ekstrakranial (yang berada diluar tengkorak) yang menyebabkan

sumbatan di arteri intrakranial (yang berada didalam tengkorak),

penyebab ini banyak terjadi hampir 85% dari kasus stroke iskemik.
Sekitar 5-10% diakibatkan oleh gangguan darah, peradangan dan

infeksi. Dan penyebab stroke ini sering terjadi pada usia muda.

Sebagian stroke iskemik terjadi pada hemisfer otak yang biasanya

bersifat ringan. Biasanya terjadi kelemahan, namun bisa terjadi lebih

berat yang menimbulkan penurunan kognitif dan cacat berat.

2. Keseimbangan

Keseimbangan yaitu kemampuan mempertahankan kesetimbangan

tubuh, ketika tubuh ditempatkan di berbagai posisi. Keseimbangan

merupakan interaksi dari sistem sensorik seperti vestibular, visual, dan

somato sensorik yang termasuk propioceptor dan juga sistem

muskuloskeletal seperti otot, sendi dan jaringan lunak. Keseimbangan

juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti usia, motivasi,

kelelahan, lingkungan dan juga pengaruh obat.

Menurut O’Sullivan, keseimbangan bisa dikatakan sebagai

kemampuan mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu

terutama saat posisi tegak. Menurut Ann Thomson, keseimbangan yaitu

kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi keseimbangan

ataupun dalam keadaan statis atau keadaan dinamis dengan

menggunakan aktivitas otot yang minimal.

Keseimbangan juga bisa dikatakan sebagai kemampuan yang relatif

untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat

gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support).


Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan disetiap segmen tubuh

yang didukung oleh sistem muskuloskeletal.

Keseimbangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Keseimbangan Statis

Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dimana Center of Gravity (COG)

tidak berubah. Contoh keseimbangan statis yaitu saat berdiri

dengan satu kaki menggunakan papan keseimbangan.

b. Keseimbangan Dinamis

Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dimana COG selalu berubah,

contoh seperti saat duduk ke berdiri atau berjalan.

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Otak

Otak merupakan organ yang sangat penting karena merupakan

pusat dari semua alat tubuh. Otak terdiri dari bagian sistem saraf

pusat yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) dibungkus

oleh selaput otak (Syaifuddin 2006).


Gambar 2.1 Anatomi Otak
Sumber: Anatomy of the Brain

Menurut Hines 2013, secara garis besar otak dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu terdiri dari:

a. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian terbesar dari otak dan memiliki

dua hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan kiri. Hemisfer ini

digabungkan dengan fiber yang disebut corpus callosum yang

memberikan informasi dari satu sisi ke sisi yang lainnya.

Permukaan cerebrum berasal dari bagian yang menonjol (gyrus)

dan lekukan (sulcus).

Cerebrum dibagi menjadi empat lobus, yaitu frontal,

temporal, parietal, dan oksipital. Setiap lobus memiliki fungsi

yang sangat spesifik, yaitu:

1) Lobus frontal

Memiliki fungsi dalam mengatur kepribadian, perilaku,

emosi, pertimbangan, perencanaan, pemecahan masalah,


bahasa: berbicara dan menulis (broca area), gerakan tubuh

(motor strip), kecerdasan, konsentrasi, self awareness

2) Lobus parietalis

Memiliki fungsi dalam menafsirkan bahasa dan kata-

kata, rasa sentuhan, nyeri, suhu (sensorik strip), menafsirkan

sinyal dari penglihatan, pendengaran, motorik, sensorik dan

memori

3) Lobus Oksipital

Memiliki fungsi dalam menafsirkan warna, cahaya, dan

gerakan

4) Lobus temporal

Memiliki fungsi dalam mengatur pemahaman bahasa

(wernicke area), ingatan dan pendengaran.

b. Cerebellum

Cerebellum terletak dalam fossa cranial posterior, di bawah

tentorium cerebellum bagian posterior dari pons varoli dan

medula oblongata. Cerebellum mempunyai dua hemisfer yang

dihubungkan oleh fermis. Berat cerebellum sekitar 150 gram.

Fungsi cerebellum yaitu mengembalikan tonus otot di luar

kesadaran yang merupakan suatu mekanisme saraf yang

berpengaruh dalam pengaturan dan pengendalian terhadap:

1) Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan

keseimbangan dan sikap tubuh

2) Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada gerakan

di bawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek


keterampilan.

Setiap pergerakan memerlukan koordinasi pada setiap

otot. Otot antagonis harus mengalami relaksasi secara teratur dan

otot sinergis berusaha memfiksasi sendi sesuai dengan

kebutuhan yang diperlukan oleh berbagai gerakan.

c. Brain stem (batang otak)

Brain stem terdiri dari:

1) Diensefalon, merupakan bagian batang otak paling atas dan

terdapat diantara cerebellum dengan mesensefalon.

Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus

temporal terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap

ke samping. Fungsi dari diensefalon yaitu vasokonstriktor

(mengecilkan pembuluh darah), respiratori (membantu

proses pernapasan), mengontrol gerakan refleks dan

membantu kerja jantung.

2) Mesensefalon, terdiri dari empat bagian. Dua di bagian atas

disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua di bagian

bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Serat saraf

okulomotor berjalan ke ventral di bagian medial. Serat saraf

troklear berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke

sisi lain. Fungsi mesensefalon yaitu membantu pergerakan mata

dan mengangkat bola mata dan memutar mata dan pusat

pergerakan mata

3) Pons varoli, terletak di depan cerebellum di antara otak

tengah dan medula oblongata dan terdapat premotoksid


yang mengatur gerakan pernapasan dan refleks. Fungsi pons

varoli yaitu penghubung antara kedua bagian cerebellum

dan juga antara medula oblongata dengan cerebellum dan

pusat saraf nerve trigeminus.

4) Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang

paing bawah yang menghubungka pons varoli dengan

medulla spinalis. Fungsi medula oblongata yaitu

mengontrol kerja jantung, mengecilkan pembuluh darah

(vasokonstriktor), pusat pernapasan, dan mengontrol

gerakan refleks.

2. Vaskularisasi Otak

Darah dibawa ke otak oleh dua pasang arteri, yaitu arteri

vertebralis dan arteri karotis interna. Arteri karotis interna dan

eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada

arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri

karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans

posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior.

Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari

arteri subklavia sisi yang sama. Arteri vertebralis memasuki

tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan

medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri

basilaris. Arteri basilaris dan arteri karotid interna saling

berhubungan satu sama lain di otak yang disebut circulus willis.

Circulus wilis penting untuk mengkompensasi berkurangnya aliran


darah pada salah satu cabang arteri.

Gambar 2.2 Vaskularisasi Otak


Sumber: Anatomy of the Brain

Aliran darah vena dari otak diintegrasikan ke duramater untuk

membentuk sinus vena. Sinus vena mengumpulkan darah dari otak

dan menyebarkannya ke vena jugularis internal. Sinus sagital

superior dan inferior mengalirkan ke cerebrum sedangkan sinus

cavernosus mengalirkan ke anterior dasar tengkorak. Semua sinus

nantinya akan mengalir ke sinus sigmoid yang keluar dari tengkorak

seperti vena jugularis. Kedua vena jugularis hanya akan mengalirkan

ke otak.
Gambar 2.3 Circulus Wilis
Sumber: Anatomy of the Brain

C. Epidemiologi

Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2013, prevalensi stroke

menunjukkan bahwa sekitar 12,1 per 1000 penduduk mengalami stroke

dibandingkan pada tahun 2007 sekitar 8,3 per 1000 penduduk mengalami

stroke.

Penyakit stroke biasanya mengenai penderita pada usia < 45 tahun

sebanyak 11/8 persen, pada usia 45-65 tahun sebanyak 54,2 persen dan

pada umur >65 tahun sebanyak 33,5 persen. Pada umumnya angka

kejadian penyakit stroke ini lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibangdingkan dengan perempuan (Timur, 2011).

Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin adalah sama tinggi pada

laki- laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada

masyarakat dengan pendidikan rendah (16,5‰). Prevalensi stroke di kota

lebih tinggi dari di desa sebesar (8,2‰). Prevalensi lebih tinggi pada

masyarakat yang tidak bekerja baik (11,4‰) (Penelitian & Pengembangan,


2013).

D. Etiologi

Stroke tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor penyebab sehingga

muncul stroke pada diri individu. Berikut akan dijelaskan penyebab

terjadinya stroke secara umum.

Faktor Resiko Terjadi Stroke


No.
Modifikasi Non-Modifikasi
1. Hipertensi Usia
2. Penyakit Jantung Jenis kelamin
3. Kolesterol RAS-etnik
4. Diabetes Melitus Genetik
5. Masalah penggumpalan darah
6. Merokok
7. Konsumsi alkohol
8. Obesitas
9. Pola hidup

Tabel 2.1 Faktor Resiko Terjadi Stroke


Sumber: Understanding Stroke

1. Faktor Modifikasi

a. Hipertensi

Hipertensi dapat dikatakan faktor resiko atau penyebab yang

paling penting dan 50% bertanggung jawab secara keseluruhan

untuk semua tipe stroke, terutama pada stroke hemoragik (Goldstein,

2009).

b. Penyakit Jantung
Penyakit jantung merupakan faktor resiko terjadi stroke.

Serangan jantung biasanya karena penyumbatan pada arteri di

jantung dari aterosklerosis. Sebenarnya aterosklerosis adalah proses

awal. Jika arteri pada jantung yang terpengaruh, arteri pada otak

juga mungkin akan terpengaruh (Silva, 2014).

c. Kolesterol

Terlalu banyak kolesterol yang berada di dalam darah

menyebabkan penyempitan dan pengerasan dalam dinding arteri

(aterosklerosis). Plak tersebut dapat menutup arteri di otak. Namun,

dalam beberapa kasus, gumpalan darah sudah terbentuk plak dari

dinding arteri dan berjalan hingga arteri otak. Kolesterol darah tinggi

dapat dikurangi dengan diet dan olahraga, dan jika diperlukan dapat

disertai dengan konsumsi obat (Silva, 2014).

Masih banyak faktor resiko yang kemudian dapat menjadi

penyebab dan dapat dimodifikasi. Namun, tiga faktor utama diatas

yang paling sering menjadi faktor penyebab seseorang mengalami

stroke. Arti modifikasi pada faktor resiko ini adalah tiap individu

dapat mengontrol atau konsultasi ke dokter untuk segera mendapat

penanganan lebih lanjut. Apabila tidak terkontrol, dapat beresiko

dikemudian hari terkena stroke.

2. Faktor Non-Modifikasi

a. Usia

Meskipun stroke dapat berdampak pada semua usia, tetapi paling


umum terjadi pada populasi yang lebih tua; resiko stroke dua kali

lipat untuk usia diatas 55 tahun (Goldstein, 2009).

b. Jenis Kelamin

Seperti gangguan kardiovaskuler, prevalensi stroke lebih tinggi

pada pria dibandingkan pada wanita, dan ini berlaku untuk seluruh

kelompok usia, kecuali dari 35-44 tahun dan seseorang yang berusia

diatas 85 tahun (Goldstein, 2009).

E. Patofisiologi

Dengan meningkatnya aktivitas fisik seseorang maka kebutuhan darah

yang membawa oksigen akan semakin membesar. Hal tersebut akan

direspon oleh pembuluh darah dengan melebarnya diameter pembuluh

darah yang kemudian akan meningkatkan tekanan darah pada tubuh

manusia (Hermawan et al. 2012).

Apabila proses ini terus berlangsung maka keadaan darah akan

semakin mengental dan saat terjadi penyumbatan pembuluh darah (arteri)

di dalam otak, jaringan sekitar yang memerlukan suplai oksigen serta

nutrisi akan terhenti. Darah tersebut tidak sampai pada otak dan

menghentikan aktivitas kerja otak secara tiba-tiba. Jika hal tersebut terjadi

dalam kurun waktu beberapa menit tanpa penanganan segera, akan

menimbulkan kematian sel. Hal inilah yang disebut dengan Stroke Iskemik

(Silva, 2014).

Stroke Iskemik terbagi menjadi dua tipe, yaitu trombotik dan embolik.

Stroke trombotik terjadi ketika arteri tersumbat oleh pembentukan bekuan

darah di dalamnya. Arteri mungkin rusak akibat endapan kolesterol


(aterosklerosis). Kemudian penyumbatan total selanjutnya terjadi karena

penggumpalan sel darah (trombosit) atau zat lain yang biasanya ditemukan

dalam darah. Pada stroke emboli juga disebabkan oleh gumpalan dalam

arteri, tetapi dalam kasus ini bekuan (embolus) terbentuk di tempat lain

selain di otak itu sendiri. Bekuan darah (misal dari jantung) atau lemak

(misal dari arteri lain) seperti di leher yaitu penyakit arteri karotid keluar

dari tempat mereka terbentuk kemudian memasuki sirkulasi darah dan

masuk ke otak. Sehingga secara fisiologis, hal tersebut menghentikan

semua informasi yang seharusnya sampai pada otak dan tidak tejadi proses

sinaps akibat kematian jaringan/sel (Silva, 2014).

Gambar 2.4 Patofisiologi stroke


iskemik Sumber: Understanding
Stroke

F. Manifestasi Klinis

Menurut Syahailatua 2014, manifestasi klinis yang timbul pada pasien

stroke berdasarkan pembuluh darah arteri yang terkena antara lain:

1. Kontra lateral paralisis (kelumpuhan atau kehilangan daya untuk


bergerak) atau parisese (kelumpuhan ringan).

2. Hilangnya sensorik dan motorik, paling nyata pada muka, leher dan

ekstremitas atas.

3. Afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara) yang terutama ekspresif.

4. Gangguan persepsi, termasuk perubahan tingkah laku.

5. Kontra lateral hemianova (hilangnya penglihatan berupa gangguan

lapangan pandang yang bersifat fasial atau komplit).

6. Gangguan motorik: gerakan yang tidak terkordinasi.

7. Gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran atau

hilangnya kesadaran (pingsan, koma).

8. Sakit kepala

9. Gangguan keseimbangan jatuh berhubungan dengan ketidakmampuan

untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot

yang menurun sehingga keseimbangan tubuh menurun. Pasien dengan

stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol postural, sehingga

menghambat gerakan mereka (Susanti, n.d.).

G. Prognosis

Jumlah pasien stroke hemoragik relatif lebih sedikit, tetapi kasus yang

meninggal lebih besar daripada kasus yang bertahan hidup, karena stroke

hemoragik berisiko kematian lebih besar. Biasanya 50% kasus stroke

hemoragik akan berakhir pada kematian sedangkan pada stroke iskemik

hanya 20%. Hal yang sama dikemukakan peneliti bahwa lokasi stroke

hemoragik merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan

prognosis dan tipe stroke ini memiliki prognosis yang lebih buruk

dibandingkan dengan stroke iskemik lain (Besral & Mulyani, 2007).


Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor

klinis. Penelitian Wardlaw, dkk (1998) didapatkan data pada 993 pasien

stroke memperlihatkan infark yang terlihat pada gambaran CT Scan kepala

akan meningkatkan risiko kematian sebesar 4,5 kali, dan ketergantungan

hidup sebesar 2,5 kali. Penelitian de Jong, dkk (2002) didapatkan data pada

333 pasien memperlihatkan bahwa pasien stroke dengan lebih dari satu

infark lakuner memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan

satu infark lakuner. Angka mortalitas yang lebih tinggi (33% VS 21%),

angka frekurensi stroke yang lebih tinggi (21% VS 11%), dan nilai status

fungsional yang lebih rendah dihubungkan dengan infark lakuner yang

lebih dari satu. Pada kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih

tinggi. Penelitian Larsen, dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan

menunjukkan bahwa angka mortalitas akut adalah 27% (Ramadhini,

Angliadi, & Angliadi, 2011).

Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran

saat masuk RS, dan ukuran hematoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003)

pada 1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan angka kematian pada

perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark

serebral sebesar 9% (Ramadhini et al., 2011).

H. Komplikasi

Hemiplegia bukanlah kelainan progresif, kecuali dalam kondisi

progresif seperti tumor otak yang tumbuh. Setelah cedera terjadi, gejalanya

seharusnya tidak memburuk. Namun, karena kurangnya mobilitas,

komplikasi lain dapat terjadi.

1. Atrofi otot. Didefinisiskan sebagai penurunan massa otot yang terjadi


akibat degradasi protein lebih besar dibandingkan dengan sintesis protein,

yang mengarah ke pengurangan miofibers dan penurunan kekuatan otot.

Pemicu potensial dari pengecilan otot adalah imobilisasi jangka panjang,

malnutrisi, luka bakar parah, penuaan serta berbagai penyakit serius dan

sering kronis (Fanzani, 2012).

2. Inkontinentia urine. Inkontinensia urin adalah masalah umum pada pria

maupun wanita lanjut usia merupakan pengeluaran urin yang tidak

terkendali dan keadaan ini dapat menyebab masalah fisik, emosional,

sosial, dan hygine pada penderita (Cameron, 2013).


3. Deep Vein Trombosis. Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan

penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah

dalam. Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang

sering mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada

jantung, infeksi, atau imobilisasi lama dari anggota gerak (Wijaya, 2013).

4. Spastisitas. Spastisitas merupakan suatu keadaan dimana tonus otot lebih

tinggi dari normal yang disebabkan oleh hilangnya Kontrol supra spinal

terhadap aktivitas stretch refleks karena adanya lesi di otak (Wisnu,

2016).

5. Pressure ulcers/ ulkus dekubitus /Bed sores. Dekubitus merupakan

kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh

tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan

atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014). Dekubitus

adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari

tekanan dari luar yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak

sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa, gangguan ini terjadi pada

individu yang berada diatas kursi atau diatas tempat tidur, seringkali pada

inkontinensia, malnutrisi, ataupun individu yang mengalami kesulitan

makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter &

Perry, 2005 dalam Supriyadi 2017)

6. Depresi. Depresi adalah suatu kondisi medis serius yang berpengaruh

negatif terhadap perasaan, cara berpikir, dan cara bertindak. Depresi

menyebabkan perasaan sedih dan / atau kehilangan minat pada aktivitas

yang pernah dinikmati. Ini dapat menyebabkan berbagai masalah


emosional dan fisik dan dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk

berfungsi di tempat kerja dan di rumah (APA, 2019).

7. Joint stiffness atau kaku sendi yang terjadi akibat imobilisasi yang terlalu

lama sehingga menyebabkan perlengketan jaringan lunak sekitar sendi

dan luas gerak sendi berkurang.

I. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Smeltzer & Bare (2008); Black Hawks (2005) dalam Damhudi

(2008), pemeriksaan diagnostic yang sering dilakukan pada pasien stroke

adalah sebagai berikut:

1. CT-scan. Pemeriksaan awal untuk menentukan apakah pasien termasuk

stroke hemoragik atau non hemoragik. Pemeriksaan ini dapat melihat

adanya edema, hematoma, iskemia, dan infark.

2. Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara

spesifik, seperti perdarahan atau obstruksi arteri, ada tidaknya oklusi atau

ruptur.

3. Pungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada

trombosisi, emboli serebral, TIA.

4. MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, kelainan

bentuk arteri-vena.

5. EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan

mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

6. Ultrasonografi Doppler untuk mengidentifikasi artiovena atau biasa

disebut dengan masalah sistem arteri pada karotis (munculnya plak)

(Pudiastuti, 2013).
J. Teknologi Fisioterapi

Untuk menangani pasien stroke banyak metode yang dapat digunakan

untuk mengatasi problem yang terjadi, seperti terapi latihan,

Proprioceptive Neuromuscular Facilitation, Bobath, Valdenkrais,

Brunnstorm, Motor Relearning Programme dan masih banyak lagi metode

yang dapat digunakan (Rehani, Kumari, & Midha, 2015).

K. Penatalaksanaan Fisioterapi

Fisioterapi sebelum memberikan penatalaksanaan selalu dimulai dengan

melaksanakan berbagai pemeriksaan yang terdiri dari :

1. Identitas Pasien

Data yang terdapat dalam identitas pasien ini berupa nama, jenis

kelamin, tempat tanggal lahir, alamat, agama, pekerjaan, hobi, tanggal

masuk, diagnosa medis dan medika mentosa. Data tersebut harus diisis

secara tepat karena data tersebut dapat memudahkan fisioterapis

mengenali karakteristik dari pasien dan dapat juga digunakan untuk

membantu dalam melakukan penatalaksaan fisioterapi kepada pasien.

2. Asesmen/Pemeriksaan

a. Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang

dilakukan dengan mengadakan tanya jawab kepada pasien secara

langsung (auto anamnesis) ataupun dengan mengadakan tanya

jawab kepada keluarga pasien secara langsung (hetero anamnesis)


mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Anannesis yang

dilakukan meliputi:

1) Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan alasan utama pasien untuk

datang ke fisoterapi. Keluhan utama pasien dijadikan sebagai

acuan dalam menggali informasi lebih dalam, melakukan

pemeriksaan, dan pemberian tindakan

2) Keluhan Penyerta

Keluhan penyerta merupakan keluhan lain yang dirasakan

oleh pasien selain keluhan utama.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat penyakit sekarang menceritakan tentang awal

perjalanan penyakit itu timbul sampai dilakukan intervensi

fisioterapi.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit dahulu merupakan penyakit yang dulu

pernah dialami oleh pasien yang nantinya dapat menjadi

pertimbangan apakah penyakit yang dialami pasien dahulu

berpengaruh terhadap penyakit yang dialami sekarang.

5) Riwayat Sosial

Data ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku dan

beberapa aktivitas pasien yang berhubungan dengan kegiatan

dilingkunganya. Fisioterapis perlu mengetahui untuk

mengetahui apakah dari kegiatan pasien mempengaruhi

kesehatannya.
6) Kemampuan Sebelumnya

Kemampuan sebelumnya merupakan kemampuan yang

dimiliki pasien sebelum pasien terkena penyakit.

7) Goal/Harapan Pasien

Merupakan harapan yang diinginkan pasien setelah

mendapatkan intervensi dari fisioterapi.

b. Pemeriksaan Umum

1) Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan

respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan.

Penilaian kesadaran dapat diukur menggunakan glasgow coma

scale (GCS).

2) Tekanan Darah

Tujuan mengetahui tekanan darah pasien untuk

mengetahui kondisi dari pasien dalam menentukan dosis

intervensi yang akan diberikan fisioterapis kepada pasien.

3) Nadi

Tujuan mengetahui denyut nadi untuk melihat besarnya

kerja yang dilakukan oleh jantung dan digunakan juga untuk

menentukan dosis intervensi akan diberikan fisioterapis kepada

pasien.

4) Pernafasan

Kecepatan pernafasan diukur pada saat satu kali inspirasi

dan ekspirasi. Apabila kecepatan pernafasan lebih dari 20

kali/menit maka dikatakan bahwa pasien mengalami sesak


nafas.

5) Kognisi dan Persepsi

Penilaian kognisi dan persepsi dapat dilakukan oleh

fisioterapis dengan melihat apakah pasien dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh fisioterapis.

c. Pemeriksaan Fisioterapi

1) Observasi

2) Kemampuan Sensorik

Kemampuan sensorik dapat dilakukan dengan two point

descrimination, soft palpation, dan tajam tumpul, apabila

kemampuan sensorik pasien baik maka pasien dapat

merasakan input yang diberikan oleh fisioterapis.

3) Kondisi Keseimbangan

Kemampuan yang dimiliki untuk mempertahakan posisi

tubuh.

4) Koordinasi

Kemampuan ini dapat dilakukan dengan mengarahkan jari

ke hidung (finger to nose), jari-jari pasien (figer to finger) atau


jari pasien dengan jari terapis (finger to finger therapist)

5) Kemampuan Fungsional

Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas

fungsionalnya sehari-hari. Pengukuran kemampuan fungsional

dapat diukur dengan Index Barthel. Dengan kriteria penilaian

sebagai berikut:

a) Makan

b) Kebersihan diri

c) Berpakaian

d) Defekasi

e) Miksi

f) Penggunaaan toilet

g) Transfer

h) Mobilitas

i) Naik tangga

6) Analisa Gerakan

a) General Postural Alignment

Gambaran bentuk postur pasien secara umum,

dilakukan dalam satu posisi misanya posisi tidur, posisi

duduk, atau posisi berdiri.

b) Kualitas Gerakan

Kemampuan gerakan yang dilakukan oleh pasien,

apakah kualitas gerakan pasien baik atau buruk.

c) Kompensasi

Gerakan yang diluar dari gerakan fungsional yang


semestinya.

d) Pola Gerakan

Dilihat dari struktur anatomi tubuh baik dalam kondisi

tidur, duduk, serta berdiri.

e) Gerakan Involunter

Suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak

bertujuan dan tidak dikendalikan.

7) Deformitas

Deformitas yaitu kelainan bentuk dari struktur anatomi

tubuh, seperti skoliosis, lordosis, subluksasi dan lain-lain.

8) Pemeriksaan Khusus dan Pengukuran

a) Ashworth scale

Skala yang dapat dipakai untuk menilai derajat

spastistitas tonus otot, Asworth scale banyak digunakan

dan memiliki reabilitas cukup baik.

(1) Nilai 0 : tidak ada kenaikan dalam tonus otot

(normal)

(2) Nilai 1 : Kenaikan ringan dalam tonus otot muncul

ketika dipegang dan dilepas atau dengan

tahanan minimal pada 1/3 akhir dari LGS.

(3) Nilai 1+ : Kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul

ketika di pegang diikuti dengan tahanan

minimal pada sisa (<50%) dari LGS

(ringan).
(4) Nilai 2 : kenaikan yang lebih jelas dalam tonus otot,

pada sebagian besar LGS sampai bagian

yang terkena dapat di gerakkan dengan

mudah (sedang).

(5) Nilai 3 : Kenaikan yang besar dalam tonus otot,

dimana gerakan pasif sulit dilakukan (agak

berat).

(6) Nilai 4 : Bagian yang terkena kaku dalam gerakan

fleksi dan ekstensi (berat).

b) Functional Reach Test

Functional Reach Test yaitu mengukur kemampuan

dalam meraih dari posisi berdiri tegak.Fisioterapis

menandai pada dinding sejajar ujung jari tangan subjek.

Subjek diberikan instruksi untuk meraih sejauh-jauhnya

dengan membungkukan badan tanpa memindahkan posisi

kaki dan tandai lagi pada dinding sejajar ujung jari subjek.

Hitung selisih titik kedua dan titik pertama. Tujuan

Pengukuran yaitu untuk mengukur kemampuan dalam

gerakan meraih benda dari posisi berdiri tegak.

Alat : Penanda dan penggaris

Waktu tes : 15 detik

Prosedur tes :
Pasien berdiri tegak dan rileks dengan sisi tubuh yang kuat

dekat dengan dinding, kedua kaki diberi jarak ±10 cm atau

selebar bahu. Pasien mengangkat lengan sisi yang kuat

(fleksi 900). Fisioterapi menandai pada dinding yang

sejajar dengan ujung jari tangan pasien. Pasien diberikan

instruksi untuk melakukan gerakan meraih sejauh

mungkin (dengan membungkukkan badan). Setelah itu,

fisioterapi menandai titik dimana ujung jari pasien mampu

meraih. Kemudian fisioterapi mengukur jarak antara titik

penanda pertama dan penanda kedua.

Skor normal :

Usia 20-24, laki-laki : 42 cm, dan wanita : 37 cm

Usia 41-69, laki-laki : 38 cm, dan wanita : 35 cm

Usia 70-87, laki-laki : 33 cm, dan wanita : 27 cm

c) Postural Assesment Scale for Stroke Patients (PASS)

PASS adalah sebuah pengukuran yang digunakan

untuk mengetahui kondisi postural pasien stroke, yang

terdiri dari 12 penilaian. Bentuk pengukuran terlampir.

d) Clinical Test of Sensori Interaction of Balance (CTSIB)

Tes ini digunakan untuk mengukur visual, vestibular

dan interaksi somatosensori yang memungkinkan untuk

menjaga keseimbangan dari kekuatan gravitasi.

Petunjuk Umum:
Klien diminta untuk melepaskan alas kakinya. Klien

diminta berdiri tegak tanpa bergerak, menatap lurus ke

depan selama mungkin atau sampai tes selesai. Dilakukan

dalam waktu 30 detik disetiap jenis tesnya.

Jenis tes:

(a) Mata terbuka: berdiri di permukaan yang keras

(b) Mata tertutup: berdiri di permukaan yang keras

(c) Konflik visual (memakai dome): berdiri di permukaan

yang keras

(d) Mata terbuka: berdiri di atas foam

(e) Mata tertutup: berdiri di atas foam

(f) Konflik visual (memakai dome): berdiri diatas foam

Skor normal:

Umur 25-44 tahun : mampu melakukan semua tes

dengan waktu 30 detik

Umur 45-64 tahun : mampu melakukan semua tes sesuai

dengan waktu 30 detik dengan

sedikit penurunan pada jenis tes

huruf f.

Umur 65-84 tahun : mampu mempertahankan 30 detik

untuk 3 tes pertama, 29 detik untuk

tes huruf d, 17 detik untuk tes huruf

e, dan 9 detik untuk tes huruf f.


e) Trunk Impairment Scale (TIS)

Terdiri dari 3 item yaitu keseimbangan duduk statis,

keseimbangan duduk dinamis dan koordinasi.

Nilai total keseimbangan statis 7

Nilai total keseimbangan dinamis 10

Nilai total koordinasi 6

Bentuk pengukuran terlampir.

d. Pemeriksaan Penunjang

Merupakan data-data yang dapat dijadikan referensi dalam

mengetahui kondisi pasien. Misalnya hasil dari Pemeriksaan

Radiologi (CT-Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI),

Rontgen) dan Pemeriksaan Laboratorium.

3. Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi merupakan kesimpulan dari hasil pengkajian

data dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Saat ini, dalam menentukan

diagnosa fisioterapi mengacu kepada International Classification

Functioning and Health (ICF), yaitu :

a. Problematika Fisioterapi

1) Body Function and Structure Impairment

Ketidaknormalan struktur anatomi dan fungsi dari tubuh

pasien.
2) Activity Limitation

Keterbatasan atau ketidakmampuan pasien dalam

melakukan aktifitas fungsional.

3) Participation Restriction

Masalah yang berkaitan dengan kemampuan pasien

terhadap lingkungannya.

b. Diagnosa Fisioterapi Berdasarkan ICF

Suatu diagnosa yang dikeluarkan fisioterapi berdasarkan ICF

dengan menyimpulkan hasil dari body function and structure

impairment, activity limitation, dan participation restriction.

4. Perencanaan Fisioterapi

Program intervensi yang diberikan fisioterapis untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Tujuan dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Tujuan jangka pendek merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam

waktu dekat, bisa dicapai dengan 1 kali intervensi.

b. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai.

Biasanya dapat dicapai dengan lebih dari 1 kali intervensi.

5. Intervensi Fisioterapi

a. Intervensi Fisioterapi

Intervensi diberikan berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang

telah dilakukan. Selain hasil pemeriksaan, intervensi juga

dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dari


fisiotreapis. Prinsip intervensi fisioterapi dengan pendekatan

problem solving.

b. Edukasi/ Home Program

Informasi yang diberikan fisioterapis berupa tindakan yang

dapat dilakukan oleh keluarga atau pasien dirumah untuk

menunjang pemulihan kemampuan gerak dan fungsi dari pasien.

6. Evaluasi

Hasil yang didapatkan setelah dilakukan intervensi. Penilain

evaluasi meliputi subjektif, objektif, assesmen, dan planning.


L. Kerangka Pikir Studi Kasus

Stroke

Hemoragik Iskemik

Hemisphere kanan Hemisphere kiri

M. Biceps Inhibisi Spastisitas

Trunk Control
UE dan LE Sinistra
Hypertone
M. Hamstring Spastik menurun
standing balance
Meningkatnya

Kelemahan
Strengthening
Exercise

Core

Gangguan
MRP
kontrol postural
Meningkatnya

Keseimbangan
BAB III

STATUS KLINIS

A. IDENTITAS KLIEN

1. No. MR : xx-xx-xx-xx

2. Nama : Tn. YS

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Tempat/Tanggal Lahir : Maros/ 8 Maret 1968 (53 tahun)

5. Alamat : Samping Pasar Maros

6. Agama : Islam

7. Pekerjaan : Mandor Tukang Bangunan

8. Hobi : Bermain sepak bola

9. Tanggal Masuk : 06 Januari 2021

10. Diagnosa Medis : CVD-SI Sinistra

11. Medika Mentosa : Amlodiphin, Neuraid

12. Tanggal Pemeriksaan : 05 Januari 2021

13. Tanggal Serangan : 01 Januari 2021

B. ASESMEN/PEMERIKSAAN

1. Anamnesis

a. Keluhan Utama

Kelemahan anggota gerak pada sisi tubuh bagian kiri


b. Keluhan Penyerta

Nyeri Dada Kiri

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Sekitar ± 2 minggu yang lalu, os tiba-tiba merasa lemas seluruh

anggota gerak tubuh sisi kiri saat os baru bangun tidur jam 04.00

WIB ketika ingin solat subuh. Kemudian os segera dibawa oleh

keluarga ke RSUD Salewangeng pada jam 04.30 WIB

menggunakan mobil. Saat sampai di RSUD Salewangeng, os

segera mendapat penanganan di IGD dan segera dilakukan

tindakan CT-Scan. Kemudian di rawat inap selama 6 hari (satu

minggu) kemudian dipulangkan. Lalu, keluarga os meminta

rujukan rawat jalan dan selanjutnya dirujuk kepoli Fisioterapi dan

os sampai sekarang menjalani Fisioterapi rawat jalan selama

kurang lebih telah menjalani sesi Fisioterapi selama seminggu

hingga hari ini. os sudah mendapat Fisioterapi sebanyak 6 kali.

Kemajuan os saat ini, os sudah mampu melangkah 1-2 langkah

tanpa tongkat.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

1) Hipertensi sejak tahun 2019 (tidak terkontrol)


2) Riwayat Cardiomegali

e. Riwayat Sosial

Saat ini tinggal bersama anak dan istri

f. Kemampuan Sebelumnya
Dapat beraktifitas sehari-hari secara mandiri

g. Goal/Harapan Klien

Dapat berjalan secara mandiri

2. Pemeriksaan Umum

a. Kesadaran : Compos Mentis

b. Tekanan darah : 145/85 mmHg

c. Denyut nadi : 76x/menit

d. Pernafasan : 18x/menit

e. Kognisi dan Persepsi : Baik

3. Pemeriksaan Fisioterapi

a. Observasi

Keterangan:
: Nyeri

: Hipertonus

: Hipotonus

: Kelemahan

: Spastik

(Tandai bagian tubuh yang bermasalah)

b. Kemampuan Sensorik

1) Two point discrimination: os mampu membedakan titik

sentuhan
2) Soft palpation: os mampu merasakan raba halus dan kasar

3) Superficial pain: os mampu membedakan rasa tajam dan

tumpul

c. Kondisi Keseimbangan

Terganggu (sesuai dengan pemeriksaan khusus yang dilakukan)

d. Koordinasi

1) Finger to Nose: (+) dapat dilakukan

2) Finger to Finger: (-) tidak dapat dilakukan

e. Kemampuan Fungsional

1) Barthel Index

a) Makan 5

b) Mandi 0

c) Kebersihan diri 5

d) Berpakaian 5

e) Defekasi 10

f) Miksi 10

g) Penggunaan toilet 5

h) Transfer 5

i) Mobilitas 5

j) Naik tangga 0

+
50

Interpretasi : os membutuhkan bantuan sedang


f. Analisa Gerakan (General Postural Alignment, Kualias Gerakan,

Kompensasi, Pola Gerakan, Gerakan Involunter)

1) General Postural Alignment

a) Posisi duduk di pinggir bed

Regio Dextra Sinistra


Neck Cenderung fleksi
Shoulder Protraksi
Elbow Ekstensi Fleksi
Forearm Supinasi Pronasi
Wrist Ekstensi Fleksi
Finger Semi fleksi Fleksi
Trunk Semi fleksi
Pelvic Posterior tilting
Hip Fleksi Eksorotasi, fleksi
Knee Fleksi Fleksi
Ankle Netral (menapak di lantai) Inversi (menapak di lantai)
Toes Netral Fleksi

b) Posisi berdiri

Regio Dextra Sinistra


Neck Forward head
Shoulder Protraksi
Elbow Ekstensi Fleksi
Forearm Netral Supinasi
Wrist Ekstensi Fleksi
Finger Semi fleksi Fleksi
Trunk Fleksi
Pelvic Posterior tilting
Hip Ekstensi Eksorotasi, ekstensi
2) KKnee Ekstensi Ekstensi
Ao nkle Menapak di lantai Menapak di lantai
Toes Netral Fleksi
m

2) Kompensasi Gerakan

Ada gerakan deviasi ke arah kanan ketika os berdiri ke duduk

3) Pola Gerakan

Ke berdiri : os ada gerakan kompensasi ke arah kanan saat

duduk ke berdiri dan berjalan. Os cenderung

weight bearing pada kaki yang sehat

4) Gerakan

Involunter Tidak

ada

g. Deformitas

Tidak ada

h. Asymmetry

- Inspeksi Statis

1) Pasien nampak cemas.

2) Pasien berbaring ditempat tidur dengan bagian tubuh sinistra lemah.

3) Terpasang infus pada tangan kanan.

4) Keadaan pasien baik dan kooperatif.

- Inspeksi Dinamis

Pasien sedang keadaan bedrest dan sulit untuk berpindah posisi baring.

42
- Palpasi

5) Suhu : DBN.

6) Kontur kulit : DBN.

7) Oedem :-

8) Tenderness :-
i. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Tabel 2. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Aktif Pasif
Sendi Gerakan
Sin Dx Sin Dx
Fleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ekstensi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Abduksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Adduksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Eksorotasi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Endorotasi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Shoulder
Protaksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Retaraksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Elevasi
Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Shoulder
Depresi
Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Shoulder
Fleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Elbow
Ekstensi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Fleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ekstensi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Deviasi
Wrist Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ulnar
Deviasi
Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Radial
Fleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ekstensi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Abduksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
43
Adduksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Hip
Eksorotasi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Endorotasi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Knee Fleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ekstensi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Dorsofleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Plantarfleksi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Ankle
Inversi Terbatas Mampu Terbatas Mampu
Eversi Terbatas Mampu Terbatas Mampu

4. Restrictive

a. Range of motion (ROM) : terjadi limitasi ROM pada ekstremitas

superior dan inferior terutama pada gerakan aktif.

b. Activity Daily Living (ADL) : pasien mengalami gangguan

ADL (Dressing, toileting, walking dan self care).

c. Pekerjaan : semenjak pasien sakit, pasien tidak dapat bekerja.

d. Rekreasi: sudah tidak dapat melakukan aktivitas rekreasinya yaitu

jogging.

5. Tissue Impairment

a. Psikogen : Kecemasan.

b. Neurogen : parese N.III sinistra

c. Musculotendinogen : Kelemahan otot-otot ekstremitas superior dan

ektremitas inferior.

d. Osteoartrogen: -

6. Specific Test

a. Vital Sign

TD : 145/85 mmHg

DN: 90/ menit


44
T : 36oC

R : 20x/ menit

b. Zona latihan:

DL = DI + (30%-40%)(220-Usia-DI)

Batas bawah Batas atas

DI = 90 + 30% (220-53-90) DI = 90 + 40% (220-53-90)

DI = 115,5 DI = 124

Batas denyut nadi latihan untuk pasien adalah antara 115,5 – 124 x/m.

Ket:
DNI : Denyut nadi istirahat
DNM : Denyut nadi maksimum

c. Tes VAS (Visual Analog Scale)

Nyeri diam :0

Nyeri gerak :0

Nyeri tekan :0

d. Tes Sensorik

a) Tes rasa nyeri (tajam, tumpul)

b) Tes rasa raba (halus, kasar)

c) Tes diskriminasi (1 titik atau 2 titik)

Hasil: Sensorik pasien normal

Interpretasi : Tidak ada gangguan

sensasi.

e. MMT(Manual Muscle Testing):

1) Ekstremitas superior sinistra : 0

2) Ekstremitas superior dextra :5

3) Ekstremitas inferior sinistra :1

45
4) Ekstremitas inferior dextra :5

f. Pemeriksaan Indeks

Barthel Hasil : 9

Interpretasi : ketergantungan sedang

g. Resiko Jatuh (Skala

Morse) Hasil : 25

Interpretasi : resiko sedang

h. Tes ROM (Range of Motion)

Table 3. Pemeriksaan ROM


Aktif
Sendi Gerakan
Sin Dx
Fleksi
Ekstensi 0° DBN
Cervical
Lateral Fleksi 0° DBN
Rotasi 0° DBN
Fleksi 0° DBN
Ekstensi 0° DBN
Abduksi 0° DBN
Adduksi 0° DBN
Eksorotasi 0° DBN
Shoulder
Endorotasi 0° DBN
Protaksi 0° DBN
Retaraksi 0° DBN
Elevasi Shoulder 0° DBN
Depresi Shoulder 0° DBN
Fleksi 0° DBN
Elbow
Ekstensi 0° DBN
Fleksi 0° DBN
Wrist Ekstensi 0° DBN
Deviasi Ulnar 0° DBN

46
DeviasiRadial 0° DBN
Fleksi 0° DBN
Ekstensi 0° DBN
Abduksi 0° DBN
Hip
Adduksi 0° DBN
Eksorotasi 0° DBN
Endorotasi 0° DBN
Fleksi 0° DBN
Knee
Ekstensi 0° DBN
Dorsofleksi 0° DBN
Plantarfleksi 0° DBN
Ankle
Inversi 0° DBN
Eversi 0° DBN

7. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi (13 September 2019)
WBC 16,45 4,00-10,00 103/uL
RBC 5,39 4,00-6,00 106/uL
HGB 15,3 12,0-16,0 g/dL
HCT 46,3 37,0-48,0 %
MCV 85,9 80,0-97,0 fL
MCH 28,4 26,5-33,5 Pg
MCHC 33,0 31,5-35,0 g/dL
PLT 452 150-400 103/uL
RDW-SD 40,3 47,0-54,0 fL
RDW-CV 13,0 10,0-15,0 %
PDW 10,8 10,0-18,0 fL
MPV 9,8 6,5-11,0 fL
P-LCR 23,6 0,15-0,50 %
PCT 0,44 0,00-99,0 %

47
NRBC 0,000 33,0-66,0 103/uL
NEUT 13,60 19,0-45,0 103/uL
LYMPH 0,90 1,0-8,1 103/uL
MON 1,18 1,0-3,1 103/uL
EOS 0,71 0,0-1,0 103/uL
BASO 0,06 0,0-72,0 103/uL
IG 0,11 0,00-99,99 103/uL
Kimia Darah (05 September 2019)
GDP 75 <110 mg/dl
GD2PP 112 < 200 mg/dl
Albumin 3,4 3,5-5,0 gr/dl
Kolesterol total 157 200 mg/dl
Kolesterol HDL 23 L (> 55), P (> 65) mg/dl
Kolesterol LDL 98 <130 mg/dl
Trigliserida 110 0-200 mg/dl
Urinalisa (09 September 2019)
Ureum Urine 8 12-20 gr/24 jam
Kimia Darah (13 September 2019)
GDS 102 140 mg/dl
Ureum 37 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,90 L(<1,3), P (<1,1) mg/dl
SGOT 138 <38 U/L
SGPT 264 <41 U/L
Albumin 3,6 3,5-5,0 gr/dl
Natrium 145 136-145 mmol/l
Kalsium 3,9 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 115 97-111 mmol/l

C. Diagnosa Fisioterapi

Gangguan fungsi gerak ekstremitas superior dan inferior sinistra berupa

hemiparese e.c CVD-SI sejak 3 minggu yang lalu.


D. Problem Fisioterapi

1. Problem

Primer

Kelemahan otot

2. Problem Sekunder

a. Penurunan rasa percaya diri

b. Nyeri

c. Keterbatasan Range of Motion (ROM)

d. Mencegah dekubitus

3. Problem Kompleks

Gangguan keseimbangan dan Activity of Daily Living (ADL)

E. Tujuan Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Pendek

a. Mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa percaya diri

b. Meningkatkan kekuatan otot

c. Menurunkan nyeri

d. Meningkatkan Range of Motion (ROM)

e. Mencegah decubitus

2. Tujuan Jangka Panjang

Pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) seperti dressing,

walking, toileting, dan self care secara mandiri.

F. Intervensi Fisioterapi

Tabel 5. Rancangan Program Fisioterapi

Problem FT Modalitas FT Dosis FT


Penurunan rasa Komunikasi F : 2x sehari
percaya diri/cemas Terapeutik I : selama pasien fokus
T : komunikasi
antarpersonal
T : selama proses
fisioterapi
Tidak ada tonus otot Electro therapy F : 1x sehari
I : 20 mA
T : muscle stimulan
(muscle grup)
T : 30 menit
Manual therapy F : 1x sehari
I : 3 repetisi
T : MMBTS
T : 3 menit
Limitasi ROM sendi Exercise therapy F : 1x sehari
I : 8 hitungan, 3 repetisi
T : PROMEX
T : 3 menit
Exercise therapy F : 1x sehari
I : 8 hitungan, 3 repetisi
T : pump articular
T : 2 menit
Gangguan ADL Exercise therapy F : 1x/ hari
I : 3 repetisi
T : PNF ekstremitas
superior dan inferior
sinistra
T : 3 menit

G. Evaluasi Fisioterapi

Setelah melakukan tindakan intervensi fisioterapi kepada pasien, maka

untuk melihat hasil intervensi terhadap perkembangan kondisi pasien, maka

perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi tersebut dapat dilakukan setiap selesai


melakukan intervensi dan atau dilakukan setelah beberapa kali tindakan

intervensi, biasanya setiap tiga kali dan atau setelah enam kali setelah

tindakan fisioterapi.

Hasil evaluasi juga bisa mengantarkan pasien untuk melakukan

pemeriksaan kembali pada pasien terkait dengan adanya perubahan

patofisiologi kondisi pasien atau adanya problem baru yang muncul dimana

pada pemeriksaan pertama belum ada.

H. Home Program

Edukasi Pasien/Keluarga: Positioning, yaitu membolak-balikkan badan

ke arah side lying atau supine tiap kurang lebih sepuluh menit untuk

mencegah terjadinya dekubitus.

I. Modifikasi

Modifikasi program disesuaikan dengan hasil evaluasi yang didapatkan

oleh pasien selama menjalani terapi. Adapun modifikasinya dapat berupa

perubahan dosis dan jenis latihan yang diberikan.

J. Kemitraan

Melihat kondisi pasien, kemitraan dari berbagai profesi sangat

diperlukan. Kemitraan dapat dilakukan dengan tenaga kesehatan lainnya

seperti dokter spesialis patologi klinik, dokter spesialis penyakit dalam,

hingga ahli gizi.


BAB IV

PEMBAHASAN

Pertimbangan Hematologi terhadap Pemberian Exercise Therapy

A. Pemeriksaan Hematologi

Jumlah leukosit (WBC) menunjukkan adanya infeksi akibat virus, bakteri

atau prose metabolic toxic dan inflamasi yang dapat meningkatkan kebutuhan

oksigen tubuh, sehingga mempengaruhi toleransi pasien terhadap excercise

yang diberikan oleh fisioterapis (pasien mudah lelah). Prinsip Fisiotetapi pada

pasien yaitu berdasarka nilai WBCnya adalah

1. <5000 dan disertai demam, Tidak boleh dilakukan/pemberian exercise

(ditunda)

2. >5000, Exercise ringan atau resisted,sesuai dengan kemampuan pasien

3. >11000 exercise diberikan dengan memerhatikan vital sign,aktif transfer,

ambulasi,ADL,zona latihan dan psikis alert.

Pemberian latihan membutuhkan banyak oksigen sebagai sumber energi

otot. Kondisi leukositosis dan leukopeni yang tinggi juga memerlukan oksigen

yang sehingga jika diberikan latihan, pasien akan bernafas cepat dan dangkal

sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan oksigen di jaringan dan hal ini akan

menyebabkan sesak nafas. Apabila kadar leuokosit melebihi dari batas normal

maka dicurigai adanya infeksi atau radang akut, maka aksi FT sementara

ditunda. Pada pemeriksaan leukosit pada pasien Tn.A nilai WBC sebanyak

16,45 103/uL sehingga pasien dapat diberikan exercise tetapi tetap

memperhatikan status vital dan zona latihan pasien.


B. Pemeriksaan Kimia Darah

Penelitian yang dilakukan di Korea dengan tujuan untuk melihat hubungan

kadar transaminase (SGPT dan SGOT) dengan insiden stroke menunjukkan

bahwa peningkatan kadar transaminase merupakan predictor terhadap kejadian

pendarahan intraserebral (Kim et al, 2005). Pemeriksaan kimia darah pada Tn.

A menunjukkan tingginya nilai SGOT sebesar 138 U/L dan SGPT 264 U/L.

Hasil SGOT yang meningkat merupakan indikasi kerusakan pada sistem

energi di dalam siklus krebs yang biasanya organ jantung, hati, ginjal, pankreas

mengalami kerusakan, sehingga latihan yang diberikan tidak dimungkinkan

karena adanya masalah pada sistem energi pada organ-organ tersebut. Prinsip

exercise berdasarkan nilai SGOT:

a. <38 Intervensi FT pemberian latihan aman dilakukan pasif, aktif, ADL,

transfer ambulasi dengan memperhatikan zona latihan.

b. >38 intervensi FT ditunda

Peningkatan SGPT mengindikasi dari kerusakan sel-sel hati, infark

miokard akut atau adanya pendarahan pada hati, kondisi ini absolut tidak bisa

dilakukan tindakan FT kecuali passiveexercise untuk memelihara ROM dan

mencegah stiffness. Prinsip exercise berdasarkan nilai SGPT:

a. <41 Intervensi FT pemberian aman dilakukan pasif, aktif, ADL, transfer

ambulasi dengan memperhatikan zona latihan.

b. >41 (2 kali nilai normal) intervensi FT hanya sebatas passiveexercise

dengan memperhatikan psikis pasien.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada kasus Tn. A hanya dapat

dilakukan passive range of motion exercise (PROMEX) untuk tetap

memelihara
lingkup gerak sendi pasien serta mencegah terjadinya stiffness. Selain itu, perlu

juga diperhatikan kondisi psikis pasien dengan selalu memberikan komunikasi

terapi.
DAFTAR PUSTAKA

American Stroke Association & American Heart Association (AHA). 2015. The
Stroke Family Caregiver.
Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin
Kementrian kesehatan RI. 2013. Data Riset kesehatan Dasar.
Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin
Kementrian kesehatan RI. 2018. Data Riset kesehatan Dasar.
Bartoli F., et al. 2013. Depression after Stroke and Risk of Mortality: A Systematic
Review and Meta-Analysis. Stroke Research and Treatment. 2013:1-11.
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Cameron A, Joel J, Heidelbaugh & Masahito Jimbo. (2013). Diagnosis and office-
based treatoment of urinary incontinence in adults. Therapeutic
Advances in Urology, 181.
Centers for Disease Control and Prevention.2004. Data collection of primary
central nervous system tumors. National Program of Cancer Registries
Training Materials. Atlanta, Georgia: U.S. Department of Health and
Human Services Centers for Disease Control and Prevention. Pp. 16-25.
Damhudi, Dedi. 2008. Tesis Efektifitas Pengkajian Metode NIHSS dan ESS
(Fokus Neurologi) dalam mebuat Diagnosa Keperawatan Aktual pada
Pasien Stroke Berat Fase Akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Jakarta:
Univesitas Indonesia.
De Freitas G. R., Christoph D. D. H., Bogousslavsky J. 2009. Topographic
Classification Of Ischemic Stroke, In Fisher M. (Ed). Handbook Of
Clinical Neurology, Vol. 93 (3rd Series). Elsevier BV.
DiLegge S., et al. 2012. Stroke Prevention: ManagingModifiable Risk Factors.
Stroke Research and Treatment. 2012:1-1.

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student & Junior
Doctors. 11th edition. USA: Blackwell Publishing.
Fanzani, Alessandro et al. 2012. Molecular and cellular mechanism of skeletal
muscle atrophy: an update. J Cachexia Sarcopenia Muscle. 2012 Sep;
3(3): 163–179. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3424188/
Florensya, C., & Ardikal. (2013). Anatomi Fisiologi. Jakarta Timur.
Ginsberg L., 2008. Lecture Notes Neurology. Jakarta: Erlangga.
Gofir A., 2009. Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press. Goldszmidt A.J., Caplan L.R., 2013. Stroke Esensial. Jakarta:
Indeks.
Gofir A., 2009. Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press. Goldszmidt A.J., Caplan L.R., 2013. Stroke Esensial. Jakarta:
Indeks.
Guyton A.C., Hall J.E., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hentu, Ardin S. 2018. Tesis Efektifitas Latihan Range of Motion (ROM) dan
Gerakan Bola Karet Terhadap Kekuatan Otot Menggenggam dan Fungsi
Menggenggam Pada Pasien Stroke Di RSUD Sleman. Yogyakarta:
Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Handayani, F. 2013. Angka Kejadian Serangan Stroke Pada Wanita Lebih Rendah
Daripada Laki-Laki. Jurnal Keperawatan Medical Bedah. Vol 1/ no.
1:2013. Diakses pada tanggal 17 November 2015 pukul 19.00
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=1229067&val=5087
Junaidi, Iskandar, 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: ANDI.
Khan M.N., Khan H.D., Ahmad M., Umar M., 2014. Serum Total and HDL-
Cholesterol in Ischemic and Hemorrhagic Stroke.Ann. Pak.Inst.Med.
Sci.10 (1): 22-6.
Kim, H.C. et al. 2005. Elevated Serum Aminotransferase Level as a Predictor of
Intracerebral Hemorrhage: Korea Medical Insurance Corporation Study.
Stroke 36, p. 1642-1647.
Muttaqin, A. (2011). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
National Pressure Ulcer Advisory Panel. (2014). Pressure Ulcer Category/Staging
Illustrations. Diakses 13 September 2019 dari
http://www.npuap.org/resources/educational-and-
clinicalresources/pressure-ulcer-categorystaging-illustrations/.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
Pinzon R., Asanti L. 2010. Awas Stroke! Pengertian, gejala, tindakan, perawatan,
dan pencegahan. Yogyakarta Andi: 1-4.

Pudiastuti, D, W. (2013). Penyakit-penyakit Mematikan. Jogjakarta: Nuha Medika.


Purwanti, O., Maliya, A. 2008. Rehabilitasi Pasca Stroke. Jurnal Berita Ilmu
Keperawatan, Vol. 1 No. 1: 43.
Supriyadi. 2017. Tesis Pengaruh Penataan Tempat Tidur Terhadap Kejadian
Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yoyakarta.
Utomo, W. 2008. Tesis: Pengaruh Range of Motion (ROM) ekstremitas atas
dengan menggunakan bola karet terhadap kekuatan otot pada pasien
stroke di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo. Depok: Program Studi
Pasca Sarjana FIK UI.
Wijaya, Wimardy Leonard. 2013. Pengaruh Pemberian Heparin Subkutan
Sebagai Profilaksis Trombosis Vena Dalam (Tvd) Terhadap Jumlah
Trombosit Pada Pasien Sakit Kritis Di ICU RSUP Dr Kariadi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Wisnu, Rio Hanata. 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Post Stroke
Hemiparase Non Haemoragik Dextra Di RST Dr Soedjono Magelang.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wiwit, S., 2010. STROKE & Penanganannya. Jogjakarta: Katahati
World Health Organization (WHO). (2014). Health Topics: Stroke,
Cerebrovascular Accident
LAMPIRAN

Lampiran 1. Index Barthel

Pada pasien yang mengalami gangguan ADL dapat diukur menggunakan

Indeks Barthel. Indeks Barthel merupakan suatu instrument pengkajian yang

berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan

mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan

fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan keseimbangan.

Kriteria Penilaian:

a. 0 – 4 : Sangat cacat berat (Ketergantungan sangat berat)

b. 5 – 9 : Cacat berat (Ketergantungan berat)

c. 10 – 14 : Cacat sedang (Ketergantungan sedang)

d. 15 – 19 : Cacat ringan (Ketergantungan ringan)

e. 20 : Bebas dan fungsional penuh (Mandiri)

No. Kemampuan Penilaian Skor


1. Saya dapat mengendalikan 1 : Tak pernah
defekasi (buang air besar) 2 : Kadang-kadang 2
3 : Selalu
2. Saya dapat mengendalikan 1 : tak pernah (dikateter &
kencing (kandung kencing) tak dapat mengatur)
2 : Kadang-kadang 2
3 : Selalu
3. Mengenai Pemeliharaan diri 1 : Selalu
(muka, rambut, gigi, cukur), 2 : Tak pernah 0
saya perlu bantuan
4. Menggunakan toilet, saya 1 : Tergantung pada orang
lain
2 : Kalau perlu minta 0
bantuan
3 : Bebas
5. Mengenai makan, saya 0 : Tergantung orang lain 1
1 : Kalau perlu minta
bantuan
2 : Bebas
6. Naik & turun dari kursi dan 1 : Tak mampu duduk dan
tempat tidur, saya tergantung pada orang lain
untuk pindah
2 : Mampu duduk tapi perlu 0
banyak bantuan
3 : Perlu sedikit bantuan
untuk pindah
4 : Bebas
7. Mengenai jalan, saya 0 : Tidak dapat, saya terbatas
pada kursi yang didorong
orang lain
1 : Tidak dapat meskipun
saya di kursi roda, saya dapat
menjalankan sendiri 0
2 : Dapat tetapi hanya
dengan bantuan fisik atau
kata-kata dari orang lain
3 : Bebas penuh dan tak
perlu bantuan orang lain

8. Berpakaian, saya 0 : Tergantung orang lain


1 : Perlu bantuan
2 : Bebas, saya dapat 0
mengancing baju, risleting,
menalikan sepatu dll
9. Mengenai naik tangga, saya 0 : Tak mampu
1 : Perlu bantuan 0
2 : Bebas
10. Mandi, saya 1 : Tergantung pada
oranglain
2 : Bebas, saya tak perlu 0
bantuan, termasuk
masuk
dan keluar dari kamar mandi
TOTAL SKOR 5

Interpretasi: Cacat berat (Ketergantungan berat)


Lampiran 2. Skala Manual Muscle Test

Nilai/
Kategori Interpretasi
Skor
5 Normal Full ROM, menahan tahanan maksimum
4 Baik Full ROM, menahan tahanan sedang
Full ROM, melawan gravitasi dan mampu
3+ Cukup +
melawan tahanan minimum
3 Cukup Full ROM melawan gravitasi
Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, lebih
3- Cukup -
dari setengah ROM melawan gravitasi
Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, kurang
2+ Lemah +
dari setengan ROM melawan gravitasi
2 Lemah Full ROM tanpa pengaruh gravitasi
2- Lemah - Parsial ROM tanpa pengaruh gravitasi
Sedikit kontraksi (Inspeksi atau Palpasi),
1 Sangat Lemah
tanpa ada gerakan sendi
Tidak ada kekuatan
0 Tidak ada kontraksi sama sekali
sama sekali
Lampiran 3. Resiko Jatuh (Skala Morse)

FAKTOR SCORE PENILAIA PENILAIA


SKALA
RESIKO STANDA HASIL N N
R (14/9/2019) (15/9/2019)
YES 25
RIWAYAT
JATUH NO 0 0 0
DIAGNOSIS YES 15 15 15
SEKUNDER NO 0
FURNITUR 30
MENGGUNAKA ALAT
N ALA-ALAT PENOPAN 15
BANTU G/
WALKER
BED REST 0 0 0
YES 20
OBAT
NO 0 0 0
TERGANGGU 20
GAYA LEMAH 10 10 10
BERJALAN
NORMAL 0
LUPA/PELUP 15 15 15
KESADARAN A
BAIK 0
JUMLAH SCORE 40 40

Keterangan:
Risiko Tinggi : ≥45
Risioko Sedang : 25-44
Risiko Rendah : 0-24

Interpretasi: Risiko jatuh sedang

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Dari hasil studi kasus yang telah dilakukan, penulis mengambil

kesimpulan bahwa pasien Tn. YS dengan keluhan kelemahan pada sisi tubuh

bagian kiri yang disebabkan oleh CVD SI. pada kasus CVD SI dirasa belum

cukup untuk menilai tingkat keberhasilan metode karena terapi yang

dilakukan terkendala oleh waktu dan jadwal sesi terapi yang diberikan blum

terlakana secara maksimal oleh pasien yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Sehingga membutuhkan tindakan yang lebih baik lagi kedepannya untuk

mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses penyembuhan pasien

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan yaitu:

1. Waktu yang cukup dapat membantu pengoptimalan terapi

2. Latihan dengan dosis yang tepat akan membantu keefektifitasan terapi

Anda mungkin juga menyukai