Anda di halaman 1dari 16

METODE PENELITIAN

MEMBUAT BAB 1 LATAR BELAKANG


Tugas ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian
Dosen pengampu : Agni Laili Perdani, M.S

Disusun Oleh :
120020
Intan Irawati

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI
JAWA BARAT
2021/2022
Outline :
1. Data populasi angka kejadian stroke di indonesia dan dunia
2. Alasan indonesia bisa memiliki kasus angka kejadian pasien yang mengalami
stroke yang tinggi
3. Self Manajemen pelayanan stroke afasia di indonesia
4. Penyebab penyakit stroke yang dialami oleh pasien
5. Menjelaskan pencegahan stroke afasia
6. Receach gap, efektivitas terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien
penyakit stroke
7. Membahas penelitian lain mengenai pengaruh atau keefektifan penerapan terapi
aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien penyakit stroke
8. Membahas pentingnya mengenai keefektifan terapi aiueo terhadap kemampuan
bicara pada pasien penyakit stroke
9. Menjelaskan alasan penerapan terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada
pasien penyakit stroke dengan bersifat inovative, meaningfull, dan practical
10. Membahas pentingnya mengetahui data pengaruh terapi aiueo terhadap
kemampuan bicara pada pasien penyakit stroke. Tujuan dari penelitian
Bab I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut world Health Organization (WHO) tahun 2018 stroke merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Stroke menempati peringkat ke tiga penyebab
kematian, pada tahun 2013 terdapat 5,5 juta orang meninggal dan meningkat sebanyak
12% pada tahun 2018 yaitu sekitar 14 juta orang (WHO, 2018). Berdasarkan hasil
riskesdas tahun 2018 prevalensi penyakit stroke di indonesia meningkat seiring
bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan berada di
wilayah kalimantan timur. Prevalensi stroke di Amerika Serikat setiap tahun sekitar
700.000 orang, dan stroke mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Prevalensi stroke di
Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik
terjadi kematian akibat stroke. Penderita stroke di Amerika Serikat berusia antara 55-64
tahun sebanyak 11% mengalami infark serebral silent, prevalensi meningkat sampai 40%
pada usia 80 tahun dan 43% pada usia 85 tahun (Medicastore,2016). Dari hasil Riskesdas
(2018) menunjukan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 7%
(2013) menjadi 10.9% (2018). WHO memperkirakan pada tahun 2020 7,6 juta orang akan
meninggal dikarenakan penyakit ini. Jumlah penderita stroke usia 45-54 sekitar 8%, kasus
stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun ke atas (43,1%)
dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke
berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki (7,1%), di bandingkan dengan
perempuan (6,8%) (Farida & Amalia, 2009).
Sekitar 70% penyakit stroke dan 87% kematian dan disabilitas akibat stroke terjadi
pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Selama 15 tahun terakhir, rata-rata
stroke terjadi dan menyebabkan kematian lebih banyak pada negara berpendapatan
rendah dan menengah dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi. Menurut
Yayasan Stroke Indonesia (YASTROKI) (2012), jumlah penderita stroke di Indonesia
terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Stroke juga merupakan penyebab
kecacatan serius menetap nomor 1 di seluruh dunia. Hasil data Riset Kesehatan Dasar
(Rikesda) tahun 2013 menemukan prevalensi stroke di Indonesia sebesar 12,1 per 1.000
penduduk. Angka tersebut naik sebesar 8,3 % dibandingkan Rikesda tahun 2007.
Perubahan gaya hidup; pola makan terlalu banyak gula, garam, dan lemak; serta kurang
beraktivitas adalah faktor risiko stroke. Banyak faktor yang menyebabkan penyakit
stroke. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor
risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, ras
dan genetik. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah diantarannya adalah hipertensi,
merokok, obesitas, diabetes mellitus, tidak menjalankan perilaku hidup sehat, tidak
melakukan medical check up secara rutin dan mengkonsumsi makanan yang mengandung
banyak garam. RSUD Indramayu merupakan salah satu rumah sakit rujukan terbesar di
Kabupaten Indramayu. Data pasien stroke dari Januari sampai Desember 2014 sebanyak
658. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui rata-rata pasien stroke yang dirawat di
RSUD Indramayu per bulannya adalah sebanyak 54 pasien per bulannya.
Self management hadir sebagai kekuatan individu untuk dapat lebih baik mengelola
penyakit kronis dan dengan demikian mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan.
Prinsip utama dari intervensi self managemen stroke adalah bahwa sebagai seseorang
yang meningkatkan kemampuan koping untuk menyesuaikan diri dan mengatur
kehidupan mereka pasca stroke, perasaan atas control mereka, dan peningkatan kualitas
hidup (Buono, 2017) Self management berarti individu yang memiliki pengetahuan
tentang kondisi penyakit, berkolaborasi dengan petugas kesehatan untuk pengobatan dan
rehabilitasi, aktif dalam membuat keputusan dengan petugas kesehatan, memonitor dan
mengatasi gejala penyakit, mengatur dampak penyakit terhadap fisik, sosial dan emosi,
memiliki gaya hidup yang dapat meningkatkan kesehatan. Pemberian self management
program yang berisi edukasi pengelolaan penyakit kronis diharapkan dapat membangun
persepsi positif melalui learning process, sehingga menghasilkan pemahaman untuk
mengubah tingkat awareness pasien terhadap kesehatan dengan perubahan sikap dan
norma subyektif klien dengan penyakit kronik, maka selanjutnya akan terbentuk perilaku
sehat yaitu kepatuhan berobat diharapkan menghasilkan peningkatan koping dan
didukung dengan niat berprilaku sehat tinggi (Fatimah & Ilmi, 2018). Self Management
dapat menawarkan jalan bagi penderita stroke untuk mempromosikan pemulihan mereka.
Program manajemen mandiri untuk orang dengan stroke dapat mencakup pendidikan
khusus tentang stroke dan dampak , tetapi pada dasarnya juga berfokus pada pelatihan
keterampilan untuk mendorong orang untuk aktif dalam manajemen mereka. Pelatihan
keterampilan semacam itu dapat mencakup pemecahan masalah, penetapan tujuan,
pengambilan keputusan dan keterampilan koping. (fryer et al, 2016) Efek dari program
self management yang diaplikasikan pada pasien pasca stroke salah satunya ialah dapat
menjadikan pasien pasca stroke lebih baik dalam pengelolaan mandiri pada dirinya
sendiri yang meliputi peningkatan sikap, kepercayaan diri dan keterampilan
memanajemen diri sehingga membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik
(Pamungkas, 2017). Beberapa penelitian tentang self management pada pasien stroke
memberi keberhasilan pada pasien stroke dari fase akut hingga paska akut. Intervensi self
management pada pasien stroke terdiri dari beberapa komponen yaitu perencanaan
tindakan yang bersifat aktif, dukungan antar sesama pasien stroke, pendidikan tentang
konsekuensi stroke, pengaturan emosi negatif, hubungan dan dukungan social serta
partisipasi sosial (Lennon & Blake, 2018) Stroke jangka panjang yang dialami
memerlukan strategi self management, dimana dideskripsikan sebagai kemampuan
individu untuk mengelola gejala-gejala, gaya hidup, resiko fisik dan psikologis yang
melekat pada penderita penyakit kronis. Self management telah terbukti mengurangi
morbiditas dan pemanfaatan perawatan kesehatan, khususnya stroke, dukungan
manajemen diri holistik bertujuan untuk memberdayakan individu dengan keterampilan
untuk mengelola kondisi medis mereka, pertahankan atau ubah perilaku/ peran hidup dan
pengendalian emosi demi kelangsungan hidup. Komponen inti dari self management
termasuk penetapan tujuan, perencanaan tindakan dan pemecahan masalah, rehabilitasi
setelah stroke dipengaruhi oleh aktivitas kehidupan sehari-hari (Lennon & Blake, 2018).
Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Khusus Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan jumlah penderita stroke pada tahun 2017 sebanyak 932 orang,
sedangkan pada tahun 2018 sebanyak 809 orang. Menurut data di Poli saraf RSKD Dadi
Prov. Sulsel jumlah pasien pasca stroke yang menjalani rawat jalan adalah 70 orang
terhitung dari bulan februari sampai dengan april 2019.
Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan
bicara, pecahnya pembuluh darah diotak. Gumpalan darah akan masuk kealiran darah
sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang cedera, menyumbat
arteri otak, tumor otak, akibatnya fungsi otak berhenti proses berfikir sebagai akibat
menjadi gangguan penurunan fungsi otak (Muttaqin, Fransisca, bare 2008,).
Menurut Saraswati (2009), upaya pencegahan terjadinya stroke yaitu dengan
mengendalikan hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, hyperkolesterol, obesitas,
dan menjauhi rokok, mengkonsumsi alkohol, serta menghindari gaya hidup tidak sehat
dan stress. Menurut Dinkes Kebumen (2013), upaya pencegahan terjadinya stroke yakni
dengan menjauhi obat-obatan terlarang, menghindari cedera kepala dan leher, dan tidak
memakai kontrasepsi oral jenis lama. Hindari makanan yang mengandung lemak tinggi,
terlebih lagi lemak jenuh, serta kurangi asupan garam. Diet yang mengandung banyak
serat, seperti buah-buahan dan sayuran serta rendah garam terbukti dapat mencegah
stroke (Indrawati, 2016).
Hal ini sejalan dengan hasil Ita et al., (2012) dengan hasil diketahuinya bahwa di
kategori sebelum dilakukan intervensi paling banyak responden hanya mampu
berkomunikasi secara pasif yaitu sebanyak 9 (45 %) responden. Responden lebih efektif
diberikan terapi AIUEO karena responden lebih mudah untuk menirukan pembentukan
vokal, gerak lidah bibir, rahang. Terapi AIUEO merupakan tindakan yang diberikan
kepada individu yang mengalami gangguan komunikasi, gangguan bahasa dan gangguan
bicara yang dibahas berfokus pada terapi bicara pada pasien dengan masalah-masalah
dengan neurologis, di antaranya pasca stroke. Penjelasan ini didukung oleh penelitian
Sofiatun et al., (2012) menyatakan bahwa Responden lebih efektif diberikan terapi
AIUEO karena responden lebih mudah untuk menirukan pembentukan vokal, gerak lidah
bibir, rahang.

Hasil penelitan menunjukkan ada pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan


bicara pasien stroke yang mengalami afasia motorik. Menurut Wardhana (2011hlm.167)
penderita stroke yang mengalami kesulitan bicara dapat diberikan terapi AIUEO yang
bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Teknik yang
diajarkan pasien afasia adalah menggerakkan otot bicara yang akan digunakan untuk
mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar,
sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan artikulasi organ bicara.
Pengartikulasia bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh koordinasi tiga unsur, yaitu
unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan
unsur yang beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada) (Gunawan,
2008, hlm.18). Hal ini sesuai dengan Gunawan (2008, hlm.55) yang menggunakan
metode (phonetic placement method) dan metode imitasi. Pelaksanaan metode
penempatan fonetik ini menuntut pasien untuk memperhatikan gerak dan posisi organ
bicara, sehingga pasien mampu mengendalikan pergerakan organ bicara untuk
membentuk atau memproduksi bicara yang benar. Latihan pembentukan huruf vokal
terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas keluar mulut tanpa mendapat halangan.
Dalam sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O. Dalam
pembentukan vokal yang penting diperhatikan adalah letak dan bentuk lidah, bibir,
rahang, dan langit-langit lembut (velum) (Gunawan, 2008, hlm. 72-74). Hal ini juga
diperkuat Wiwit (2010, hlm.49), pasien stroke yang mengalami gangguan bicara dan
komunikasi, salah satunya dapat ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk
menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kemampuan bicara mulai mengalami peningkatan pada hari ke 3
setelah diberikan terapi AIUEO, sedangkan pengaruh terapi AIUEO menjadi bermakna
dalam meningkatkan kemampuan bicara (p value <0,05) dimulai pada hari ke 5 sampai
dengan hari ke 7. Agar para penderita afasia dapat memperoleh kembali bahasanya, maka
ditempuh berbagai perlakuan (treatment), seperti rehabilitasi, training, dan terapi.
Treatment dan prosedur treatment didefinisikan sebagai suatu hal yang perlu sebagai
prasyarat jawaban bersifat percobaan. Treatment yang didasarkan pada prosedur
pembiasaan, latihan dan target pencapaian waktu pada umumnya tergambar dengan baik
dan menjadi hal menarik serta dapat menjadi model bagi para perancang terapi bicara dan
bahasa pada afasia agar lebih efektif, efisien dan manjur (Siguroardottir & Sighvatsson,
2006). Pemulihan berbahasa afasia sangat ditentukan oleh efektivitas treatment yang
diterapkan. Salah satunya penilaiannya adalah pada intensitas treatment. Intensitas
treatment dalam studi ini digambarkan dalam terminologi jam terapi dalam periode
belajar (Dachrud, 2010). Penelitian ini dilejaskan bahwa dalam memberikan terapi
AIUEO dilakukan dalam 2 kali sehari dalam 7 hari. Hal ini dalam memberikan treatment
dengan sesering mungkin dapat meningkatkan kemampuan bicara. Menurut (Bakhiet,
et.al, 2007), latihan secara intensif dapat meningkatkan neuralplasticity, reorganisasi peta
kortikal dan meningkatkan fungsi motorik. Neuroplastisitas otak merupakan perubahan
dalam aktivitas jaringan otak yang merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan
adanya kemampuan ini kemampuan motorik klien yang mengalami kemunduran karena
stroke dapat dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otak terjadi melalui proses
substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal, melalui terapi latihan dan proses
kompensasi yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu fungsi tertentu
(Wirawan, 2009).
Metode yang digunakan dalam terapi AIUEO yaitu dengan metode imitasi, di mana
setiap pergerakan organ bicara dan suara yang dihasilkan perawat diikuti oleh pasien.
Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran udara yang diterima oleh saraf pendengaran.
Melalui saraf pendengaran, rangsangan diterima dan diolah sebagai informasi (Gunawan,
2008, hlm.56). Informasi yang didapat dari hemisfer akan diteruskan ke area asosiasi
auditif, di mana area asosiasi auditif ini dapat dianggap sebagai pusat identifikasi kata
atau area wernicke. Suara yang telah diidentifikasi sebagai simbol bahasa akan diteruskan
ke area asosiasi visual, di mana area ini berfungsi sebagai tempat terjadinya pengenalan
atau identifikasi simbol bahasa. Proses tersebut akan diterima sampai kepusat
pendengaran yang berfungsi menggerakkan otot bicara untuk mengucapkan bunyi
tersebut. Otot bicara dalam hal ini yaitu bibir, lidah, dan velum yang akan memproduksi
suara atau bunyi vokal, suku kata, atau kata yang dihasilkan (Lumbantobing, 2006,
hlm.156-159). Penilitian yang dilakukan oleh Haryanto (2014) menunjukkan bahwa
sebagian besar responden sebelum mendapatkan terapi AIUEO berada pada kategori
gangguan bicara sedang yaitu sebesar 14 responden (66,7%), sedangkan sesudah
diberikan terapi AIUEO jumlah tersebut berkurang menjadi 2 responden (9,5%).
Penelitian pada hari pertama sampai hari ke tujuh menunjukkan bahwa kemampuan
bicara mulai mengalami peningkatan pada hari ke tiga setelah diberikan terapi AIUEO,
sedangkan pengaruh terapi AIUEO menjadi bermakna dalam meningkatkan kemampuan
bicara (p valeu 0,05) dimulai pada hari ke lima sampai dengan hari ke tujuh. Terapi
AIUEO merupakan terapi wicara yang ditekankan pada huruf vokal pada alfabet, terapi
ini digunakan untuk menangani pasien stroke yang mengalami gangguan bicara (Wiwit,
2010, hlm.49). Kelebihan terapi AIUEO menurut Haryanto (2014) merupakan terapi yang
sangat simple, tidak membutuhkan alat/media yang digunakan. Dibandingkan dengan
terapi lain yang digunakan untuk pasien afasia, terapi AIUEO yang tidak menggunakan
alat/media. Dengan kelebihan itu perawat bisa melakukan terapi AIUEO sebagai
intervensi keperawatan, karena perawat berada 24 jam di samping pasien. Hasil penelitian
Haryanto (2014) menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan
berbicara pada penderita stroke yang mengalami afasia motorik.
Keluhan utama yang sering dirasakan pasien stroke adalah pasien sulit berbicara
(pelo) dan sering merasa sakit kepala (pusing). Sulit berbicara dan sakit kepala
merupakan salah satu menifestasi klinik stroke hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa sering pusing, mengalami gangguan kognitif dan deminsia ketika
berkomunikasi dengan orang lain (Lingga, 2013). Berbicara sulit (pelo) merupakan salah
satu manifestasi klinik hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa mengalami
gangguan kognitif dan demensia ketika berkomunikasi dengan orang lain (Lingga, 2013).
Kemampuan bicara kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan terapi AIUEO
pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik di RSUD Ahmad Thabib
Tanjungpinang. Terjadi peningkatan kemampuan bicara pada kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah dilakukan terapi AIUEO. Dari 9 responden pada kelompok
perlakuan pada saat pre-test didapat 89% responden berkemampuan bicara sedang. Hasil
pada saat post-test didapat 78% responden berkemampuan bicara baik. Hal ini terlihat
jelas terdapat peningkatan yang signifikan pada kelompok perlakuan setelah dilakukan
terapi AIUEO selama 1 bulan. Afasia motorik adalah kesulitan berkata-kata tetapi dapat
mengerti pembicaraan. Afasia motorik timbul akibat gangguan pada pembuluh darah
karotis internal, yaitu cabangnya yang menuju otak bagian tengah tepatnya pada cabang
akhir, afasia Motorik ini disertai kelemahan lengan lebih berat dari pada tungkai. Afasia
motorik disebut juga Afasia Borca. Paul Borca ilmuan Prancis, menemukan suatu area
pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan mengakibatkan kehilangan daya
pengutaraan pendapat dan perasaan dengan kata-kata. Tidak ada kelumpuhan alat bicara
pada gangguan ini. Daerah otak tersebut dikenal sebagai area borca (Mardjono, 2006).
Hal ini juga sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Sunardi (2006) dalam Speech
Therapy (Terapi Wicara) Post Laringotomy, yaitu salah satu bentuk terapi rehabilitasi
gangguan afasia adalah dengan memberikan terapi wicara salah satunya terapi AIUEO.
Terapi wicara merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami
gangguan komunikasi, gangguan berbahasa bicara, gangguan menelan. Terapi wicara ini
berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis, diantaranya pasien pasca
stroke. Terapi AIUEO merupakan terapi untuk membantu seseorang menguasai
komunikasi bicara dengan lebih baik. Terapi ini memfokuskan pada perbaikan cara
berbicara penderita stroke yang pada umumnya mengalami kehilangan kemampuan
bicara akibat adanya saraf yang mengalami gangguan. Terapi wicara membantu penderita
untuk mengunyah, berbicara, maupun mengerti kembali kata-kata. Wardhana (2011)
menyatakan bahwa penderita stroke yang mengalami kesulitan bicara akan diberikan
terapi AIUEO yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh
orang lain. Orang yang mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami
kegagalan dalam berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuaian ruangan
supraglottal. Kemampuan bicara kelompok kontrol sebelum dan sesudah terapi AIUEO
pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik di RSUD Ahmad Thabib
Tanjungpinang. Pada tabel 2 dapat dilihat nilai kemampuan bicara pada kelompok kontrol
sebelum dan sesudah terapi AIUEO, didapatkan dari 9 responden 78% memiliki
kemampuan bicara sedang pada saat pre-test dan pada saat post-test bertambah menjadi
89%yang memiliki kemampuan bicara sedang. Responden mengalami peningkatan
sebanyak 11% dengan katagori sedang. Hal ini terjadi dikarenakan penurunan fungsi
komunikasi yang tidak dilatih, karena afasia motorik adalah sebuah gangguan atau
penyumbatan pada area borca, sehingga pasien akan mengalami gangguan berbicara serta
kegagalan fungsi komunikasi. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi AIUEO tidak dapat mengalami
perkembangan. Hal ini didorong oleh beberapa faktor antara lain adanya sebagian pasien
mengalami gangguan fungsi kognitif yang membuat pasien merasa tidak mampu untuk
bersosialisasi seperti sebelumnya dan hal ini bisa membuat seorang penderita stroke
mengalami penurunan motivasi untuk pulih. Dikarenakan setiap individu memiliki sifat
yang unik, ada sebagian orang memiliki tingkat motivasi yang rendah dan sebagian yang
tinggi.
Hasil penerapan menunjukkan peningkatan kemampuan bicara pada pasien setelah
diberikan terapi AIUEO selama 7 hari, dimana skor penilaian dengan lembar observasi
skala komunikasi Fungsional Derby pada pasien meningkat dari yang awalnya bernilai 9
meningkat menjadi 11. Hasil perapan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Haryanto (2014) tentang “pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pasien
stroke yang mengalami afasia motorik di RS Telogorejo Semarang” bahwa terdapat
peningkatan terapi wicara AIUEO pada pasien dengan afasia motorik dengan pvalue
0,000. pasien lebih efektif diberikan terapi AIUEO karena responden lebih mudah untuk
menirukan pembentukan vokal, gerak lidah bibir, rahang. Berdasarkan hasil penerapan
diatas, bahwa penerapan yang penulis lakukan belum mendapat hasil yang signifikan
terhadap peningkatan kemampuan komunikasi verbal. Hal tersebut dikarenakan penulis
hanya menggukan 1 orang subyek dan hanya dilakukan minimal 2 kali dalam sehari
selama 7 hari sehingga hasil dalam penerapan ini kurang optimal, jika latihan terapi
AIUEO tersebut dilakukan lebih sering dan secara rutin maka dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi verbal secara signifikan.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalah dalam
penelitian ini yaitu efektifitas terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien afasia
motorik :
1. Bagaimana kondisi pasien stroke afasia motorik ?
2. Bagaimana pelaksanaan terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien
stroke afasia motorik ?
3. Faktor apa yang mempengaruhi penatalaksanaan terapi aiueo terhadap
kemampuan bicara pada pasien stroke afasia motorik ?
1.3 Tujuan studi kasus
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dala studi kasus ini yaitu :
1. Mengindentifikasi kondisi pasien stroke afasia motorik
2. Mengidentifikasi pelaksanan terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien
stroke afasia motorik
3. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi penatalaksaan terapi aiueo terhadap
kemampuan bicara pada pasien stroke afasia motorik
1.4 Manfaat studi kasus
Berdasarkan uraian diatas, pentingnya penelitian ini dilakukan mengingat dari manfaat
penelitian tersebut yaitu :
1. Ruangan
Sebagai tindakan awal untuk menginspirasi dalam pemberian intervensi di
ruangan dan sebagai data dasar yang bisa digunakan untuk mengevaluasi
penatalaksaan terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien afasia motorik
2. Bagi pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan dibidang keperawatan dalam
penatalaksaan terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien afasia motorik
3. Bagi subjek studi kasus
Sebagai tindakan yang sangat berharga dan dapat menambah wawasan peneliti
mengenai efektifitas terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien afasia
motorik
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA

Outline :
1. Pengertian stroke
2. Gejala dari penyakit stroke
3. Jenis-jenis stroke
4. Faktor-faktor terjadinya stroke
5. Masalah kesehatan penyakit stroke
6. Karakteristik stroke
7. Pengertian afasia motorik
8. Dampak dari afasia
9. Pengertian terapi aiueo
10. Pengaruh terapi aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang
mengalami afasia motorik
Bab III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan studi kasus


Desain penelitian ini menggunkan studi kasus deskriptif dimana metode
penelitian yang dilakukan yaitu dengan subjek tunggal. Studi kasus yang dilakukan ini
bertujuan untuk mengetahui pelaksaan terapi aiueo yang di berikan kepada pasien
stroke secara berulang-ulang dalam waktu tertentu untuk peningkatan kemampuan
berbicara.

B. Subjek studi kasus


Subjek studi kasus pada penelitian ini yaitu pada pasien stroke dengan kriteria :
1. Kriteria inklusi
a. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan
b. Rentang usia 50-65 tahun ke atas
c. Pasien yang bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi
a.
C. Fokus studi
Fokus studi yang dijadikan acuan penelitian dengan metode studi kasus
penatalaksaan terapi aiueo terhadap peningkatan kemampuan berbicara pada pasien
stroke.

D. Definisi operasional
Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul secara mendadak dan
terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke penyakit serebrovaskuler (pembuluh
darah otak) yang ditandai dengan gangguan fungsi otak karena adanya kerusakan atau
kematian jaringan otak akibat berkurang atau tersumbatnya aliran darah dan oksigen
ke otak. Aliran darah keotak dapat berkurang karena pembuluh darah otak mengalami
penyempitan, penyumbatan, atau perdarahan karena pecahnya pembuluh darah
tersebut (Lily & Catur, 2016).
Terapi AIUEO merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang
mengalami gangguan komunikasi, gangguan bicara yang dibahas berfokus pada terapi
bicara pada pasien dengan masalah-masalah dengan neurologis, di antaranya pasca
stroke. Teknik aiueo ialah dengan cara menggerakan otot bicara yang akan digunakan
untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola
standar seperti huruf A.I.U.E.O., terapi aiueo bertujuan untuk memperbaiki ucapan
supaya dapat dipahami oleh orang lain. Terapi ini mengalami peningkatan pada hari
ke 3 setelah diberikan terapi AIUEO, sedangkan pengaruh terapi AIUEO menjadi
bermakna dalam meningkatkan kemampuan bicara (p value <0,05) dimulai pada hari
ke 5 sampai dengan hari ke 7. (Gunawan, 2008).

E. Tempat dan waktu


- Tempat : Rumah Sakit / kediaman masing-masing
- Waktu : 2 September – 30 Oktober 2022

F. Prosedur pengumpulan data


Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan anggota gerak,
gangguan bicara, pecahnya pembuluh darah diotak. Gumpalan darah akan masuk
kealiran darah sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang
cedera, menyumbat arteri otak, tumor otak, akibatnya fungsi otak berhenti proses
berfikir sebagai akibat menjadi gangguan penurunan fungsi otak (Muttaqin, Fransisca,
bare 2008,).

G. Instrumen studi kasus


Instrumen data yang digunakan dalam studi kasus ini adalah format
wawancara terstruktur yang berupa pertanyaan mengenai gambaran situasi klien di
rumah sakit atau kediaman masing-masing dan pertanyaan intervensi yaitu terapi
aiueo.

H. Penyajian data
Penyajian data disesuaikan dengan rancangan studi kasus deskriptif yang
dipilih. Untuk studi kasus, data yang disajikan secara tekstular/narasi yang memuat
mengenai uraian hasil yang diperoleh dari studi kasus beserta uraian yang membahas
hasil temuan studi kasus yang ditemukan pada penelitian terapi aiueo berdasarkan
wawancara dan observasi yang telah dilakukan, juga dapat disertai dengan cuplikan
ungkapan verbal dari subjek studi kasus yang merupakan data pendukung.

I. Etika studi kasus


1. Persetujuan penelitian (informed consent), partisipan telah diberikan informasi secara
lengkap mengenai tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk
bebas berpartisipasi atau menolak menjadi partisipan.
2. Tanpa nama (anonymity), data yang diberikan oleh partisipan dirahasiakan, tidak
dicantumkan nama pada laporan studi kasus.
3. Kerahasiaan (confidentiality), data yang diberikan oleh partisipan dirahasiakan, dan
menggunakan informasi tersebutut hanya untuk kegiatan penelitian.
4. Menguntungkan (beneficience), intervensi memberikan inspirasi sebagai tindakan
yang bisa dilakukan diruangan dan discharge planning, juga bermanfaat bagi
pengembangan asuhan keperawatan.

1) Prinsip etik berbuat baik :


- Risiko penelitian harus wajar (reasonable)
- Desain penelitian memenuhi syarat ilmiah (scientific sound)
- Penelitian mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga
kesejahteraan subjek penelitian
- Menentang kesengajaan yang merugikan subjek penelitian (do no harm)
2) Prinsip keadilan (justice) :
- Kewajiban memperlakukan setiap manusia secara baik dan benar
- Memberikan apa yang menjadi haknya
- Tidak membebani dengan apa yang bukan menjadi kewajibannya
- Memperhatikan masalah kerentanan (vulnerability)
3) Prinsip etik dalam penelitian kesehatan :
- Menghormati otonomi partisipan, penjelasan kepada partisipan tentang derajat
dan lama keterlibatan tanpa konsekuensi negatif dari penelitian (autonomy)
- Mencegah, meminimalkan kerugian dan atau meningkatkan manfaat bagi
semua partisipan (beneficence)
- Menghormati kepribadian partisipan, keluarga dan nilai yang berarti bagi
partisipan (respect)
- Memastikan bahwa keuntungan dan akibat dari penelitian terdistribusi secara
seimbang (non-maleficence)

Anda mungkin juga menyukai