Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan serta perkembangan suatu negara telah memberikan dampak
yang signifikan pada masyarakat, tidak terkecuali di Indonesia. Dampak tersebut
nyatanya kini telah mengubah pola struktur masyarakat dari agraris menjadi
industri, dari gaya hidup desa ke gaya hidup masyarakat perkotaan. Pola makan
pun berubah dari yang alami menjadi yang cepat saji, akibat dari perubahan pola
tersebut adalah terjadinya pergeseran penyakit dari kecenderungan penyakit
infeksi ke degeneratif yaitu kardiovaskuler dan stroke (Widyanto &Triwibowo,
2013:127).
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer et all, 2000 di kutip
dalam Widyanto &Triwibowo, 2013:128).
Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga, baik di Indonesia
maupun di mancanegara. Penyakit ini juga menimbulkan kecacatan terbanyak
pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya kasus stroke ini
salah satunya dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi
berbagai faktor risiko yang dapat menimbulkan stroke. Dalam skala global
berdasarkan data Word Health Organisation (WHO), diseluruh dunia diperkirakan
5,5 juta orang meninggal akibat stroke dan diperkirakan pada tahun 2020 penyakit

jantung dan stroke menjadi penyebab utama kematian di dunia(Widyanto &


Triwibowo, 2013:128).
Angka kejadian stroke di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun
2013. Hasil Riskesdas 2013 angka kejadian stroke berdasarkan diagnosa tenaga
kesehatan mencapai 7,0% dan berdasarkan diagnosa dokter/gejala yaitu 12,1%.
Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2007. Hasil Riskesdas
2007 angka kejadian stroke berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan yaitu 6,0%
dan berdasarkan diagnosa dokter/gejala yaitu 8,3% .Prevalensi tertinggi angka
kejadian stroke pada tahun 2013 terdapat di provinsi Sulawesi Utara 10,8% ,
sedangkan untuk daerah Lampung memiliki presentasi 5,4%.
(Laporan Riskesdas, 2007:156 ; Laporan Riskesdas, 2013:199).
Sekitar 90% pasien yang terserang stroke tiba-tiba mengalami kelemahan
atau kelumpuhan bagian sisi tubuh. Masalah-masalah yang timbul pada pasien
stroke menurut Mulyatsih (2010:1) adalah kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh,
tonus otot yang abnormal, menurunnya atau hilangnya rasa (sensibilitas),
gangguan lapang pandang, pasien melalaikan sisi yang lumpuh, gangguan
persepsi, status mental yang terganggu, masalah-masalah emosional, dan masalah
komunikasi.

Gangguan

mobilisasi

atau

imobilisasi

mengacu

pada

ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Beberapa klien


mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasiimobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan
berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Potter dan Perry, 2006:82).
Perubahan atau gangguan-gangguan tersebut dapat mempengaruhi struktur fisik
maupun mental (psikologi pasien stroke).

Menurut Dr. Rudd dkk (2010:131), 25% pasien yang terkena stroke
mengalami depresi. Depresi disebabkan oleh rusaknya satu bagian otak yang
mengatur perasaan. Penyebab lain dari depresi adalahperasaan gagal dikarenakan
pasien stroke umumnya kehilangan banyak kemandiriannya, seperti kehilangan
pekerjaan, kedudukannya, bahkan rasa hormat dan penghargaan dari temantemannya.
Menurut Dr. Rudd dkk (2010:19), sekitar 50% sampai 60% dari kasus
pasien stroke dapat kembali ke keadaan normal atau hampir normal. Pemulihan
akan terjadi bertahap sebagai suatu bentuk adaptasi terhadap peradangan dan akan
membuat sel-sel otak kembali bekerja. Lamanya pulih tergantung dari tingkat
keparahan stroke, beberapa orang akan pulih sempurna pada hari pertama atau
kedua, sementara yang lain harus berjuang berbulan-bulan dan dilanjutkan dengan
usaha perbaikan hingga 2 tahun setelah terkena serangan stroke.
Penderita

stroke

yang

mengalami

kelemahan

atau

kelumpuhan

membutuhkan program rehabilitasi. Program rehabilitasi adalah bentuk pelayanan


kesehatan yang terpadu dengan pendekatan medik, psikososial, educationalvocational yang bertujuan mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin
dan mencegah serangan berulang. Salah satu bentuk rehabilitas awal adalah
mobilisasi. Menurut Lingga (2013:136) latihan mobilisasi merupakan salah satu
bentuk latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai cukup efektif untuk
mencegah terjadinya kecacatan pada penderita stroke. Rehabilitasi dini yang
diberikan yakni berupa latihan Range Of Motion (ROM), baik pasif (latihan
dengan dibantu perawat) dan aktif (latihan yang dilakukan sendiri).
Kozier et all, (2010:588) mengemukakan bahwa latihan pada penderita
stroke dilakukan beberapa kali dalam sehari untuk mencegah komplikasi,

mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot, mencegah perburukan kapsul


sendi, ankilosis, kontraktur, dan mempertahankan fleksibilitas sendi. Latihan
mobilisasi dilakukan setiap hari sebanyak 2x latihan dan setiap latihan dilakukan
sebanyak 3x. Apabila latihan mobilisasi ini rutin dilakukan maka penderita stroke
memiliki kesempatan untuk mengalami penyembuhan dengan baik.
Latihan ini adalah salah satu bentuk intervensi fundamental perawat dalam
upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen pada penderita stroke,
sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan penderita pada keluarga,
meningkatkan harga diri dan mekanisme koping penderita. Perawat mempunyai
peran yang sangat luas yang dapat mempengaruhi penatalaksanaan klien stroke di
unit perawatan dengan melakukan rehabilitasi tersebut. Menurut survei yang
ditanyakan pada perawat di Ruang Bougenfil ada sekitar 30%-40% penderita
stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna asalkan ditangani dalam jangka
waktu 6 jam atau kurang dari 6 jam.
Menurut hasil penelitian Agus Pahrianto 2013 yang berjudul Gambaran
Pelaksanaan Mobilisasi Pada Pasien Stroke Oleh Perawat di RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan dari 32 responden, yang mendapatkan
pemberian mobilisasi dengan baik sesuai SOP yaitu sebesar 7 pasien (21,9%) dan
yang mendapatkan pemberian mobilisasi kurang baik sesuai dengan SOP sebesar
25 pasien (78,1%). Hal ini menujukan bahwa pelaksanaan mobilisasi yang
diberikan oleh perawat masih sangat kurang, dilihat dari jenis, frekuensi, serta
durasi yang kurang baik.
Berdasarkan data survei dari Rekam Medik, di Ruang Bougenvil RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung diperoleh data bahwa jumlah penderita
penyakit stroke yang dirawat selama 1 tahun terakhir (Januari-Juni 2014)

berjumlah 271 orang dan (Juli-Desember 2014) berjumlah 369 orang.


Berdasarkan pre survei yang dilakukan peneliti di Ruang Bougenvil RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek provinsi Lampung perawat mengatakan ada protokol tentang
mobilisasi pada pasien stroke dan dari 12 pasien penderita stroke yang di rawat di
ruang Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek hanya 2 diantaranya yang tidak
mengalami gangguan mobilisasi dengan penurunan tonus otot.
Menurut pengalaman peneliti pada saat praktik di ruang Bougenvil RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek terdapat banyak pasien stroke yang mengalami masa
pemulihan yang sangat lama dan banyak yang tidak mengalami perubahan
terutama pada penurunan tonus otot bahkan ada pasien yang hingga mengalami
dukubitus, berbeda dengan dibandingkan di ruang Unit Stroke RSPAD Gatot
Soebroto, menurut pengalaman peneliti saat praktik di ruang Unit Stroke RSPAD
Gatot Soebroto, terdapat pasien yang mengalami masa pemulihan yang cepat dan
terlihat setiap hari pasien di latih untuk pemulihan ototnya dengan latihan ROM
oleh perawat. Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti gambaran
pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat di ruang Bougenvil
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian di atas rumusan masalah penelitian ini adalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat di

Ruang Bougenvil, Rumah Sakit Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun
2015 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahui gambaran pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke di Ruang
Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
2. Tujuan khusus
a. Diketahui karakteristik responden (umur, jenis kelamin, jenis stroke,
skala kelumpuhan) di Ruang Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung
b. Diketahui pelaksanaan mobilisasi oleh perawat dalam katagori baik.
c. Diketahui pelaksanaan mobilisasi oleh perawat dalam katagori
kurang baik.
D. Manfaat Penelitian
1 Manfaat Bagi RS. Abdul Moeloek
Sebagai bahan evaluasi dalam memberikan pelayanan keperawatan
2

dalam hal pelaksanaan mobilisasi terhadap pasien stroke.


Manfaat Bagi Pendidikan DIII Keperawatan
Merupakan bahan referensi dan pengembangan ilmu pengetahuan
mengenai pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke.

Manfaat Bagi Peneliti


Merupakan proses pembelajaran bagi penulis, dalam rangka aplikasi ilmu
pengetahuan yang pernah diterima selama dalam masa perkuliahan dan
sebagai tugas akhir program pendidikan DIII Keperawatan. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup
Lingkup materi peneliti yaitu gambaran pelaksanaan mobilisasi pada pasien
stroke oleh perawat. Lokasi penelitian di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2015. Penelitian ini menggunakan


desain deskriptif. Penelitian dilakukan pada tanggal 10 Mei-30 Mei 2015. Jumlah
sampel yang bersedia menjadi responden sejumlah 36 orang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Stroke
1 Definisi stroke
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer et al, 2000 di kutip
dalam Widyanto & Triwibowo, 2011:128).
Stroke atau gangguan peredaran darah otak merupakan penyakit neurologis
yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Ada banyak

sekali terminologi dan definisi stroke, salah satunya : stroke adalah suatu sindrom
klinis yang ditandai oleh serangan akut / mendadak yang mengakibatkan
kelumpuhan salah satu sisi badan secara persisten, gangguan bicara, dan proses
berpikir daya ingat. Menurut World Health Organition (WHO) 1988, stroke
adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun
global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama
24 jam ataupun lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan,
selain tanda-tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Namun dalam
bahasa yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa stroke adalah suatu serangan
mendadak yang terjadi di otak yang melibatkan pembuluh darah di otak
(tersumbat atau pecah), dan akhirnya bermanifestasi dalam beragam gejala (mulai
dari kelumpuhan, bicara pelo, dan gangguan menelan) (Sofwan, 2010:1).

Penyebab Stroke
Beberapa penyebab stroke menurut Muttaqin, (2008:128-129) :
a

Trombosis Serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan
oedema dan kongesti di sekitarnya. Penurunan aktivitas simpatis dan

penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.


Hemoragi
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke
dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran
dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak,
edema dan mungkin herniasi otak.

Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum :

1 Hipertensi yang parah


2 Henti jantung-paru
3 Curah jantung tururn akibat aritmia
Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat :
1
2

Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid.


Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

Faktor Risiko Stroke


Beberapa faktor-faktor risiko terkena stroke menurut Mulyatsih & Ahmad,

2010:2 :
a Faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah hipertensi.
Keadaan hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya
penebalan dinding pembuluh darah. Penebalan ini dapat menyumbat
b

atau merusak dinding pembuluh darah yang kemudian dapat pecah.


Penderita kencing manis dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol.
Pada penderita ini sering terjadi stroke jenis iskemik atau infark karena

sumbatan umumnya pada pembuluh darah kecil.


Usia tua
Makin tua umur seseorang makin besar risiko untuk mendapatkan
stroke. Oleh karena itu digolongkan juga sebagai penyakit degeneratif.
Selain itu jenis kelamin laki-laki lebih sering terkenal stroke
dibandingkan dengan perempuan, tetapi pada perempuan yang telah

mengalami menapouse risiko terkena stroke sama dengan laki-laki.


Obesitas
Penambahan berat badan yang berlebihan dapat memperbesar risiko
terkena stroke.
Penyakit jantung

10

Terutama yang memberikan gejala gangguan irama jantung merupakan


faktor risiko untuk kejadian stroke.
f

Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok telah terbukti antara lain dapat mengganggu
kemampuan darah untuk mengikat oksigen dan merusak keenturan sel
darah merah. Kebiasaan ini akan menambah risiko untuk menderita

stroke.
Kebiasaan makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi
Makanan yang mengandung kolesterol tinggi misalnya makanan yang
banyak mengandung lemak hewani atau minyak goreng tertentu akan
mempercepat proses kerusakan dinding pembuluh darah.

Klasifikasi Stroke
a Stroke Iskemik atau Penyumbatan
Stroke iskemik disebabkan karena adanya penyumbatan pada pembuluh
darah yang menuju ke otak. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh dua hal.
Yang pertama adalah karena adanya penebalan pada dinding pembuluh
darah (atheroschlerosis) dan bekuan darah bercampur lemak yang menempel
pada dinding pembuluh darah, yang dikenal dengan istilah thrombus. Yang
kedua adalah akibat tersumbatnya pembuluh darah otak oleh emboli, yaitu
bekuan darah di jantung ini biasanya terjadi pada pasien yang terpasang
katup jantung buatan, setelah serangan miokard infark akut, atau pasien
dengan gangguan irama jantung berupa febrilasi atrial, yaitu irama jantung
yang tidak teratur yang berasal dari serambi jantung (Mulyatsih & Ahmad,
2010:5).
Stroke ini biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun
tidur, dan di pagi hari. Umumnya pada penderita stroke iskemik
kesadarannya baik (Muttaqin, 2008:130).

11

Stroke Hemoragi (perdarahan)


Sekitar 70% stroke perdarahan disebabkan oleh pecahnya pembuluh

darah ke otak oleh karena tekanan darah tinggi atau hipertensi. Sisanya
disebabkan oleh rupture atau pecahnya aneurysma, yaitu pembuluh darah
yang bertekstur tipis dan mengembang, atau bisa juga karena rupture pada
arterovenomalformation (AVM), yaitu suatu bentuk yang tidak sempurna
dari pembuluh darah arteri dan vena. Kedua jenis penyebab stroke
perdarahan, yaitu Aneurysma dan AV merupakan kelainan anatomis
pembuluh darah yang terbawa sejak lahir (Mulyatsih & Ahmad, 2010:6).
Stroke hemoragi biasanya kejadiaannya saat melakukan aktivitas atau
saat aktif, namun bisa juga terjadi saat beristirahat. Kesadaran penderita
stroke ini umumnya menurun (Muttaqin, 2008:129).
5

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala serangan stroke bervariasi, tergantung pada lokasi dan

besarnya kerusakan sel otak akibat kurangnya suplai oksigen. Sekitar 90% pasien
yang terserang stroke tiba-tiba mengalami kelemahan atau kelumpuhan separo
badan. Tanda dan gejala lainnya adalah tiba-tiba kehilangan rasa peka, bicara
cedal atau pelo, mulut mencong atau tidak simetris ketika menyeringai, gangguan
daya ingat, nyeri kepala hebat, vertigo, dan bisa sampai menurunnya kesadaran
(Mulyatsih & Ahmad, 2010:7).
Menurut Dr. Anthony Rudd, (2010:203) hampir semua stroke menyebabkan
masalah yang datang dari salah satu sisi tubuh. Gejala yang paling umum adalah
kelemahan di lengan, kaki atau keduanya, dapat berupa rasa kebas atau rasa geli.
Hilangnya penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata, baik yang kanan
maupun kiri, dapat menandakan terjadinya stroke. Terjadinya gangguan pada
masalah bahasa, misalnya ketidakmampuan untuk memahami perkataan orang

12

lain katakan atau kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat,
kesulitan dalam mengoordinasikan lengan, kegoyahan saat berjalan, tiba-tiba
mengalami penglihatan ganda. Tanda-tanda tersebut dapat datang dengan cepat
dalam beberapa menit, meskipun tanda-tanda tersebut dapat datang dan pergi
selama periode dalam beberapa jam sebelum akhirnya menetap.
6

Masalah Yang Timbul Pada Pasien Stroke


Masalah-masalah yang timbul pada pasien stroke menurut Lingga,

(2013:71-81) :
a Kelumpuhan
Kelumpuhan adalah cacat paling umum dialami oleh penderita stroke.
Stroke umumnya ditandai dengan cacat pada salah satu sisi tubuh
(hemiplegia), jika dampaknya tidak terlalu parah hanya menyebabkan
anggota tubuh tersebut menjadi tidak bertenaga atau dalam bahasa medis
disebut hemiparesis. Kelumpuhan dapat terjadi diberbagai bagian tubuh,
mulai dari wajah, tangan, kaki, lidah, dan tenggorokan.
Skala kelumpuhan akibat stroke menurut Neil F. Gorden :
1

Skala 1
Pasien masih mampu melakukan hal-hal ringan yang sebelumnya
mampu dilakukannya.

Skala 2
Pasien tidak mampu melakukan semua pekerjaan seperti semula,
namun

tanpa

bantuan

melakukannya sendiri,
3

Skala 3

orang

lain

masih

bisa

berusaha

13

Pasien memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan pekerjaan


tertentu, namun masih dapat berjalan tanpa dibantu orang lain
meskipun harus menggunakan tongkat.
4

Skala 4
Pasien tidak dapat berjalan lagi tanpa di papah oleh orang lain.
Mereka juga memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan
pekerjaan yang sebelumnya dilakukan sendiri, misalnya mandi, ke
toilet, menyisir rambut.

Skala 5
Pasien tidak lagi dapat melakukan aktivitas fisik apapun. Semua
aktivitas dan kebutuhan hidupnya bergantungan bantuan orang lain
serta memerlakukan perhatian seseorang yang merawatnya.

Gangguan berkomunikasi
Gangguan komunikasi yang dialami setiap pasien berbeda-beda ada

yang sulit berbicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain, dapat


berbicara tetapi kacau atau sulit diartikan, tidak dapat membaca dan
munulis, atau bahkan tidak dapat lagi mengenali bahasa isyarat yang
dilakukan oleh orang lain untuknya.
Beberapa istilah yang terkain dalam gangguan berkomunikasi :
1 Dysarthia
Gangguan komunikasi ini disebabkan oleh otot lidah, tenggorokan
dan otot di sekitar muka melemah sehingga menyebabkan kesulitan
2

untuk berbicara.
Afasia anomik
Disebabkan kerusakan ringan pada otak yang menyebabkan pasien
lupa nama orang atau benda tertentu yang sebelumnya telah

dikenalnya.
Afasia ekspresif

14

Pasien

yang

mengalami

afasia

ekspresif

masih

dapat

menyampaikan pikirannya tetapi sulit mengutarakannya dalam


4

bentuk kata-kata.
Afasia represif
Kesulitan untuk mengerti bahasa lisan atau tulisan yang
disampaikan oleh orang lain. Kata-kata yang diucapkan tidak

mengandung arti.
Afasia global
Afasia global menyebabkan pasien tidak lagi mengerti bahasa yang
semula dipahaminya dan tidak lagi mampu menyampaikan buah
pikirannya kepada orang lain.

Perubahan mental
Tubuhnya yang lemah, nyeri di sekujur tubuh yang sering dirasakannya,

kelumpuhan, sulit berkomunikasi, serta beragam dampak stroke lain yang


dialaminya menyebabkan pasien akhirnya mengalami stres, depresi, mudah
tersinggung, mudah marah, dan sedih.
d Gangguan emosi
Trauma pasca stroke menyebabkan pasien mengalami gangguan emosi
dan perubahan kepribadian. Kondisi seperti ini menyebabkan pasien mudah
tersinggung, cenderung marah tanpa sebab yang jelas, lesu, apatis, dan
minder.
e Depresi
Kebanyakan pasien berubah menjadi individu yang murung dan selalu
tampak sedih sepanjang hari, tidak tertarik pada kegiatan yang biasanya
disukai, kehilangan nafsu makan, tidak dapat berkonsentrasi, sulit
mengingat, dan tidak sanggup membuat sesuatu keputusan. Ada pula pasien
yang sering menangis tanpa sebab yang jelas, minder karena merasa
bergantung pada orang lain, dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri
karena merasa putus asa dengan kondisi tubuhnya yang tidak berdaya.

15

Penatalaksanaan
a Penatalaksanaan keperawatan klien stroke fase akut menurut Widyanto
dan Triwibowo (2013:139) :
1 Mempertahankan jalan nafas, dengan pemberian oksigen dan
2
3

mengatur posisi klien.


Membersihkan lendir
Monitoring fungsi nafas, cek analisa gas darah, observasi gerakan

4
5

dada.
Mengkaji tanda vital secara periodik sesuai kondisi klien.
Mengkaji status neurologik secara periodik : glasgow coma scale
(GCS), pupil, fungsi motorik dan sensorik, fungsi saraf cranial, dan

reflek.
6 Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit.
7 Melakukan pencegahan kejang jika perlu.
8 Mengkaji kemampuan menelan klien.
Penatalaksanaan keperawatan klien stroke fase pasca akut
1 Melakukan perawatan kebersihan badan secara rutin.
2 Monitor tanda vital, status neurologis, dan fungsi kognisi secara
3
4

teratur.
Melibatkan klien dalam perawatan diri sesuai kemampuan klien.
Melakukan Range Of Motion (ROM) pasif atau aktif, 3 sampai 4

kali sehari.
Melakukan perawatan kulit setiap 4 jam, perhatikan adanya

kemerahan atau iritasi.


Merubah posisi setiap 2 jam, ganjal bantal pada lengan atau tungkai

7
8

lemah.
Meninggikan bagian tempat tidur 30 derajat.
Memperhatikan bersihan jalan nafas, bila klien sadar anjurkan

untuk latihan batuk efektif.


9 Monitoring fungsi bowel, keseimbangan cairan.
10 Melakukan bladder training atau fisioterapi dada sesuai indikasi.
11 Menyesuaikan teknik komunikasi dengan kemampuan klien yaitu
bicara pelan dengan suara normal, jadilah pendengar yang baik,
serta menjelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan.
12 Mengobservasi adanya komplikasi.

16

B Mobilisasi
1 Definisi
Menurut Mubarak dan Chayatin, (2008:220), mobilisasi adalah kemampuan
seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilitas atau mobilisasi merupakan suatu kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktifitas dalam rangka mempertahankan kesehatannya (Hidayat &
Uliyah, 2012:56).
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak
dengan bebas. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di
antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi
imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Potter dan
Perry, 2006:82).

Jenis-jenis mobilisasi
Menurut Hidayat dan Uliyah, (2012:56-57) :
a

Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secarapenuh, bebas tanpa pembatasan jelas yang dapat mempertahankan


untuk berinteraksi sosial dan menjalankan peran sehari-harinya.
b Mobilisasi sebagian

17

Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak


dengan batasan jelas, tidak mampu bergerak secara bebas, hal tersebut dapat
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuh
seseorang. Mobilisasi sebagian ini ada dua jenis, yaitu :
1 Mobilisasi sebagian temporer
Mobilisasi sebagian temporer merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan bersifat sementara, hal tersebut dapat
disebabkan adanya trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
2

sebagai contoh : adanya dislokasi sendi dan tulang.


Mobilisasi sebagian permanen
Mobilisasi sebagian permanen merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan bersifat menetap, hal tersebut disebabkan
karenanya rusaknya sistem saraf yang reversibel sebagai contoh
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegia karena injuri tulang
belakang, dan pada poliomielitis karena terganggunya sistem saraf
sensorik dan motorik.

Tabel 1
Derajat kekuatan otot

0
1

Prosentase
Kekuatan Normal
0
10

25

3
4

50
75

100

Skala

Karekteristik
Paralisis sempurna
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau
di lihat
Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan
topangan
Gerakan yang normal melawan gravitasi
Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan
melawan tahanan minimal
Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal
melawan gravitasi dan melewati tahanan penuh

(Sumber : Hidayah & Uliyah, 2012:120)

18

Tujuan mobilisasi
Menurut Hidayat dan Uliyah, (2012:59) tujuan mobilisasi adalah :
a Mempertahankan fungsi jantung dan pernafasan
b Memperbaiki tonus otot
c Meningkatkan mobilisasi sendi
d Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
e Mengurangi kehilangan tulang

Range Of Motion (ROM)


Kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan

ini membutuhkan tindakan keperawatan. Salah satu tindakan keperawatan pada


gangguan mobilisasi adalah latihan ROM (Hidayat & Uliyah, 2012:56).
ROM adalah pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi.
Rentang pergerakan sendi bervariasi dari individu ke individu lain dan ditentukan
oleh susunan genetik, pola perkembangan, ada atau tidaknya penyakit dan jumlah
aktivitas fisisk yang normalnya dilakukan seseorang (Kozier dkk, 2010:588).
Latihan ROM merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan
gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan
ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal.
Tabel 2
Tipe pergerakan sendi
Pergerakan
Fleksi
Ekstensi
Hiperekstensi
Abduksi
Aduksi
Rotasi
Sirkumduksi
Eversi
Inversi
Pronasi
Supinasi

Kerja
Menurunkan sudut sendi (misal, menekuk siku)
Meningkatkan sudut sendi (misal, meluruskan lengan dibagian siku)
Ekstensi yang lebih jauh atau pelurusan sendi (misal, menekuk kepala
ke belakang)
Pergerakan tulang menjauhi garis tengah tubuh
Pergerakan tulang menuju garis tengah tubuh
Pergerakan tulang mengelilingi sumbu pusatnya
Pergerakan bagian distal tulang membentuk sebuah lingkaran sementara
ujung praksimal tetap
Menggerakan telapak kaki ke arah luar dengan menggerakan sendi
pergelangan kaki
Menggerakan telapak kaki ke arah dalam dengan menggerakan sendi
pergelangan kaki
Menggerakan tulang lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
ke bawah saat diletakkan didepan tubuh
Menggerakan tulang lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
ke atas saat diletakkan didepan tubuh

19

(Sumber : Kozier et all, 2010:588)

Klasifikasi Range Of Motion (ROM)


Range Of Motion (ROM) di bagi menjadi 2, yaitu :
a

Range Of Motion (ROM) aktif


Latihan gerak sendi aktif adalah klien menggunakan ototnya sendiri

untuk melakukan gerakan (Lingga, 2013:136).


Menurut Kozier et all, (2010:588) latihan ROM aktif adalah latihan isotonik
yaitu klien menggerakan setiap sendi tubuh dengan serangkaian pergerakan
yang komplet, peregangan secara maksimal semua kelompok otot dalam
setiap bidang sendi. Latihan ini dapat mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan daya tahan otot, dan dapat memcegah perburukan kapsul
sendi, ankilosis, dan kontraktur.
b Range Of Motion (ROM) pasif
Latihan gerak sendi pasif adalah perawat menggerakan anggota gerak
dan memerintahkan keikutsertaan klien agar terjadi gerakan penuh (Lingga,
2013:138). Menurut Kozier et all, (2010:589) latihan ROM pasif adalah
latihan dengan menggunakan orang lain untuk menggerakan sendi klien
melalui serangkaian pergerakan yang komplet dengan merengangkan semua
kelompok otot secara maksimal dalam setiap bidang di setiap sendi. Oleh
karena itu, latihan ROM dilakukan pada klien yang tidak mampu melakukan
pergerakan secara aktif.
6

Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan aktif


Menurut Hidayat dan Uliyah, (2012:122-126) latihan ROM dapat meliputi

fleksi dan ekstensi tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan
bawah, fleksi bahu, abduksi dan adduksi bahu, rotasi bahu, fleksi dan ekstensi

20

jari-jari, infersi dan effersi kaki, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan
ekstensi lutut, rotasi pangkal paha, abduksi dan adduksi pangkal paha.
Sikap dan posisi pasien harus diperhatikan, terutama anggota badan yang
lumpuh untuk mencegah terjadinya kecacatan dan juga untuk memberikan rasa
nyaman kepada pasien. Selain memperhatikan sikap dan posisi pasien, perawat
juga harus memberikan latihan fisik berupa ROM pasif dan aktif anggota gerak
atas dan bawah yang berguna untuk mencegah terjadinya kekakuan otot dan sendi
(Mulyatsih, 2010:6).

Posisi pasien
Posisi pasien harus di rubah setiap 2-3 jam berupa terlentang, miring ke sisi
yang sehat dan miring ke sisi yang sakit (tidak lebih dari 20 menit).
Latihan Range Of Motion (ROM) pasif anggota gerak atas dan bawah
ROM pasif dilakukan oleh perawat diberikan pada pasien stroke yang
mengalami kecacatan /kelumpuhan (hemiplegia). Menurut Mulyatsih

(2010:7-9) bentuk latihan ROM pasif, yaitu :


1. Menekuk dan meluruskan sendi bahu
2. Menekuk dan meluruskan siku
3. Memutar pergelangan tangan
4. Menekuk dan meluruskan pergelangan tangan
5. Memutar ibu jari
6. Menekuk dan meluruskan jari-jari tangan
7. Menekuk dan meluruskan pangkal paha
8. Menekuk dan meluruskan lutut
9. Menggeser kaki menjauhi dan mendekati badan
10. Memutar pergelangan kaki
Latihan Range Of Motion (ROM) aktif anggota gerak atas dan bawah
Bila keadaan umum pasien telah stabil atau pada pasien stroke yang tidak
terlalu parah hanya menyebabkan anggota tubuh tersebut menjadi tidak
bertenaga atau dalam bahasa medis disebut hemiparesis, pasien di latih
perawat untuk melakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif anggota
gerak atas dan bawah sedini mungkin.

21

C Perawat
1 Definisi Peran Perawat
Peran adalah tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang
lain dalam hal ini perawat untuk memberikan asuhan keperawatan, melakukan
pembelaan pada klien, sebagai pendidik tenaga perawat dan masyarakat,
koordinator dalam pelayanan pasien, kolaborator dalam membina kerjasama
dengan profesi lain dan sejawat, konsultan pada tenaga kerja dan pasien,
pembaharu sistem, metodologi dan sikap (Peran Perawat, CHS, 1989 di kutip
dalam Wahit, 2006:1).
Peran perawat menurut Lokakarya Nasional, 1983 adalah: sebagai pelaksana
keperawatan, pengelola pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan, sebagai
pendidik dalam keperawatan, peneliti dan pengembang keperawatan. Kozier dan
Barabara, (1995:21) mendefinisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu
sistem.
Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang
pada situasi sosial tertentu. Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk
menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan
pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk
menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara profesional sesuai
dengan kode etik profesional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri
terpisah demi untuk kejelasan (Wahit dkk, 2006: 3).

22

Fungsi Perawat
a Definisi Fungsi
Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perannya. Fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain
b

(Wahit dkk, 2006:11).


Fungsi Perawat Dalam Melaksanakan Perannya
Fungsi perawat dalam melaksanakan tugasnya menurut Wahit dkk,
2006:12 adalah :
1 Fungsi Independent
Yaitu fungsi dimana perawat melaksanakan perannya secara
mandiri, tidak tergantung pada orang lain atau tim kesehatan
lainnya.
Fungsi Dependent
Kegiatan ini dilakukan dan dilaksanakan oleh seorang perawat atas

instruksi dari tim kesehatan lainnya (dokter, ahli gizi, radiologi, dan
lainnya).
Fungsi Interdependent
Fungsi ini berupa kerja tim yang sifatnya saling ketergantugan baik

dalam keperawatan dan kesehatan.


Fungsi lainnya (Lokakarya Nasional Keperawatan, 1983 di kutip dalam
Wahit dkk, 2006:12) :

Fungsi I
Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat
akan pelayanan keperawatan, serta sumber sumber yang tersedia

dan potensi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


Fungsi II
Merencanakan tindakan dan tujuan asuhan keperawatan sesuai
dengan keadaan pasien.
Fungsi III

23

Melaksanakan rencana keperawatan yang mencakup upaya


peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan,
pemulihan, pemeliharaan kesehatan, dan termasuk pelayanan
pasien dalam keadaan terminal.
Kompetensi :
a Menggunakan dan menerapkan konsep serta prinsip ilmu
perilaku, ilmu sosial budaya, dan ilmu biomedik dasar dalam
melaksanakan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga,
b

kelompok dan masyarakat.


Menerapkan keterampilan

keperawatan

untuk

memenuhi

kebutuhan manusiawi pasien, diantaranya :


1 Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
2 Kebutuhan nutrisi
3 Kebutuhan eliminasi
4 Kebutuhan oksigen dan karbondioksida
5 Kebutuhan aktifitas dan istirahat
6 Kebutuhan keselamatan dan keamanan
Merawat pasien dengan gangguan fungsi :
1 Gangguan sistem pernafasan
2 Gangguan sistem kardiovaskuler
3 Gangguan sistem persarafan
4 Gangguang sistem pencernaan
5 Gangguan bicara
6 Gangguan sistem pendengaran
7 Gangguan sistem reproduksi
8 Gangguan sistem integumen
9 Gangguan sistem perkemihan
10 Gangguan sistem endokrin
11 Gangguan sistem muskoloskeletal
Merawat pasien dengan masalah mental yang berhubungan

dengan penyesuaian dan adaptasi psikososial.


Merawat pasien yang memerlukan pelayanan kebidanan dan

penyakit kandungan.
Memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat dengan menggunakan sumber yang


ada secara optimal.

24

Berperan serta dalam merumuskan kebijakan, merencanakan

h
i
j

program, dan melaksanakan pelayanan kesehatan.


Merawat pasien usia lanjut.
Merawat pasien dengan keadaan atau penyakit terminal.
Melaksanakan kegiatan keperawatan sesuai kewenangan dan

tanggung jawabnya serta etika profesi.


Fungsi IV
Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan

Fungsi V
Mendokumentasikan proses keperawatan

Fungsi VI
Mengidentifikasikan hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari dan
merencanakan studi khusus untuk meningkatkan pengetahuan

serta pengembangan keterampilan dalam praktik keperawatan.


Fungsi VII
Berpartisipasi dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada

pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.


Fungsi VIII
Bekerjasama dengan profesi lain yang terlibat dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok, dan

masyarakat.
Fungsi IX
Mengelola perawatan pasien dan berperan serta sebagai team

dalam melaksanakan kegiatan keperawatan.


10 Fungsi X
Mengelola institusi pendidikan Keperawatan
11 Fungsi XI
Berperan serta dalam merumuskan kebijaksanaan perencanaan
pelaksanaan perawatan kesehatan primer.
D Penelitian Terkait

25

Menurut hasil penelitian Agus Pahrianto 2013 yang berjudul Gambaran


Pelaksanaan Mobilisasi Pada Pasien Stroke Oleh Perawat di RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan dari 32 responden, yang mendapatkan
pemberian mobilisasi dengan baik sesuai SOP yaitu sebesar 7 pasien (21,9%) dan
yang mendapatkan pemberian mobilisasi kurang baik sesuai dengan SOP sebesar
25 pasien (78,1%). Hal ini menujukan bahwa pelaksanaan mobilisasi yang
diberikan oleh perawat masih sangat kurang, dilihat dari jenis, frekuensi, serta
durasi yang kurang baik.
E Kerangka Teori
Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk
mengidentifikasikan variabel-variabel yang akan diteliti (diamati) yang terkait
dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan
kerangka konsep penelitian (Natoatmodjo, 2010:83).
Pelaksanaan mobilisasi dilakukan pada kriteria pasien yang hemiplegia atau
hemiparesi seperti latihan fisik yaitu Range Of Motion (ROM) aktif dan pasif.

Masalah yang timbul


pada pasien stroke :
1
2

4
5
6

Kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh
Tonus otot yang
abnormal
Menurunnya atau
hilangnya
sensibilitas
Gangguan lapang
pandang
Status mental yang
terganggu
Masalah komunikasi

(Mulyatsih, 2010:1-4)

Peran Perawat
Peran Keluarga

Latihan
fisik
Range Of
Motion
(ROM) :
1 Akti
f

26

Gangguan
mobilisasi

Gambar 1
Kerangka Teori
F Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk abstraksi yang
terbentuk oleh generalisasi

dari hal-hal yang khusus. Konsep merupakan

abstraksi, makan konsep tidak dapat langsung diamati atau di ukur. Konsep hanya
dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel.
Variabel adalah symbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan
konsep. Variabel adalah sesuatu yang bervariasi (Notoatmodjo, 2012: 100).
Dalam hal ini peneliti akan meneliti tentang gambaran pelaksanaan
mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat yang akan digambarkan dalam
kerangka kerja sebagai berikut :

Pelaksanaan mobilisasi
latihan fisik ROM oleh
perawat pada pasien stroke :
1

Baik
2 Kurang baik

27

Gambar 2
Kerangka Konsep
G Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep penelitian
tertentu (Notoatmodjo, 2012:103). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
variabel tunggul atau univariat.
H Definisi Operasional
Untuk membatasi ruang lingkup atau membatasi pengertian varibel yang
diamati / teliti dari variabel tersebut perlu diberi batasan atau definisi operasional.
Definisi operasianal bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau
pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan
instrument (alat ukur) (Notoatmodjo, 2012:111).

Tabel 3
Definisi operasional
No.

Variabel

Defisi
operasional

Cara ukur

Alat ukur

Hasil ukur

Skala
ukur

28

1.

Pelaksanaan
mobilisasi
pada pasien
stroke.

Tindakan
Wawancara
pemberian latihan
fisik berupa
Range Of Motion
(ROM) pasif yang
dilakukan oleh
perawat kepada
pasien stroke
berdasarkan
persepsi pasien.

Kuesioner
wawancara

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

0=kurang
baik jika
hasil
prosentase
50%
1=baik jika
hasil
prosentase
> 50%

Ordinal

29

A Rancangan Penelitian
Desain penelitian atau disebut juga rancangan penelitian ditetapkan dengan
tujuan agar penelitian dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan survey yaitu
suatu penelitian yang hanya menggambarkan suatu objek tertentu (Suyanto, 2011:
32). Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif untuk mengetahui
pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat di Ruang Bougenville
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2015.
B Subjek Penelitian
1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010:115). Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien stroke
yang dirawat di Ruang Bougenville RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung 2015. Berdasarkan hasil pre survei 1 tahun terakhir penderita stroke di
ruang Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek provinsi Lampung, didapatkan
rata-rata perbulan penderita stroke 52 orang.
2

Sampel
Sampel adalah penelitian yang hanya mengambil sebagian dari objek yang

di teliti dan di anggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010:115).


Pengambilan sampel harus sedemikian rupa sehingga dapat mewakili populasi.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental
sampling, yaitu pengambilan sampel secara accidental yakni mengambil sampel
dari responden atau kasus yang kebutulan ada pada saat itu (Notoatmodjo, 2010).

30

Sampel yang di ambil dalam penelitian pada tanggal 4 Mei-30 Mei 2015 sejumlah
36 responden dengan kriteria sampel :
a
b

Kesadaran composmentis
Penderita stroke yang mengalami gangguan mobilisasi dengan penurunan

tonus otot dan dapat berkomunikasi


Dirawat di Ruang Bougenville RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung
Bersedia menjadi responden
C Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 4 Mei-30 Mei 2015 di Ruang Bougenville

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

D Pengumpulan Data
1 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpulan data adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data. Alat pengumpulan data berupa kuesioner, formulir observasi,
atau yang lainnya (Notoatmodjo, 2010:131). Alat pengumpulan data yang
digunakan peneliti adalah lembar kuesioner yang berbentuk checklist dengan
pilihan selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah. Jumlah kuesioner 12
pertanyaan di isi oleh peneliti.

Teknik Pengumpulan Data


Peneliti mendapatkan surat izin pre survey pada tanggal 29 januari 2015 lalu

peneliti melakukan penelitian untuk mendapat data awal pada tanggal 3 Febuari
2015. Judul peneliti di terima oleh penguji dan penelitian dilanjutkan kembali
pada awal bulan April. Peneliti mendapatkan surat izin penelitian dari RSUDAM
pada tanggal 29 April 2015 dan peneliti memulai penelitian di ruang Bougenvil

31

pada tanggal 4 Mei 2015 didapatkan 36 responden. Data dikumpulkan dengan


cara wawancara ke pasien stroke dengan kriteria pasien sadar, mengalami
gangguan mobilisasi dengan penurunan tonus otot dan bisa berkomunikasi.
Sebelum responden di wawancara peneliti memberikan penjelasan tentang
penelitian dan melakukan persetujuan dengan memberikan inform consent yaitu
surat pernyataan bersedia menjadi responden. Responden diminta menjawab
dengan jujur apa yang ditanyakan oleh peneliti kemudian peneliti yang mengisi
lembar kuesioner wawancara tersebut. Peneliti melakukan wawancara dengan cara
mengaplikasikan sebuah gerakan, cara ini bisa bermanfaat untuk menambah
pengetahuan latihan gerak pada responden.
E Etika Penelitian
Etika dalam penelitian ini menurut Notoatmodjo (2010:203-204), adalah :
1

Informed Consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan


diberikan sebelum penelitian kepada respoden yang akan diteliti. Lembar ini
dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian, sehingga sunjek
mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti
tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak hak subjek.
2 Anonimity
Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode
pengganti nama responden.
3 Confidentiality

32

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin


kerahasiaannya oleh penliti dan hanya akan digunakan untuk pengmbangan
ilmu.
4 Prinsip Keadilan
Subjek penelitian ini diperlakukan secara adil baik sebelum, selama
maupun sesudah keikutsertaannya dalam penelitian.
F Pengolahan Data
Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu langkah yang
penting. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari penelitian
masih mentah, belum memberikan informasi apa apa dan belum siap untuk
disajikan (Notoatmodjo, 2010:176).
Menurut Notoatmodjo (2010:176-177), proses pengolahan data ini melalui
tahap tahap sebagai berikut :
1

Editing
Hasil wawancara, angket atau pengamatan dari lapangan dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah kegiatan


untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.
2

Coding
Setelah semua kuesioner di edit atau di sunting, selanjutnya dilakukan

pengkodean atau coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka atau bilangan. Coding atau pemberian kode ini sangat berguna
dalam memasukkan data (data entry). Dalam penelitian ini jawaban selalu di beri
kode 4, sering=3, kadang-kadang=2, dan tidak pernah=1. Dikatakan selalu bila
dilakukan setiap hari, sering 5x dalam seminggu, kadang-kadang 3x dalam
seminggu dan tidak perna bila tidak dilakukan.

33

Processing
Setelah semua lembar hasil pengukuran terisi lengkap dan benar, langkah

selanjutnya adalah processing, yaitu jawaban jawaban dari masing masing


responden yang dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam
program atau software komputer.
4

Cleaning
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan kemungkinan


adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan
pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data (data cleaning).
G Analisa Data
1 Analisa Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel
dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan
distribusi dan presentase dari tiap variabel. Tujuan dari analisa ini adalah untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian
(Notoatmodjo, 2010:182).
Distribusi frekuensi prosentase menggunakan rumus:

f
P=

x 100%

Keterangan:
P = persentase
F = jumlah skor yang sesuai jawaban responden
n = jumlah skor keseluruhan
Hasil prosentase dan pemberian skor penelitian untuk subvariabel
diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria:

34

1
2

Dilakukan dengan baik apabila hasil prosentasi > 50%


Tidak dilakukan dengan baik apabila hasil prosentasi 50%

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


RSUD Dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung adalah
institusi pemerintah yang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat luas dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal dan termasuk dalam rumah sakit tipe B. Rumah sakit ini didirikan sejak
tahun 1914 oleh perkebunan (Onderneming) Pemerintah Hindia Belanda untuk
merawat buruh perkebunan. Pada waktu itu bangunan rumah sakit semi permanen
dengan kapasitas tempat tidur 100.

35

Berdasarkan

Surat

Keputusan

Gubernur

Provinsi

Lampung

No.

G/369/RSUD/HK/1996, Visi RSUDAM Provinsi Lampung adalah rumah sakit


profesional kebanggaan masyarakat Lampung, misinya adalah memberikan
pelayanan prima disegala bidang pelayanan rumah sakit, menyelenggarakan dan
mengembangkan pusat-pusat pelayanan unggulan, dan mewujudkan RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagai rumah sakit pendidikan. Motto
RSUDAM Provinsi Lampung adalah ASRI (Aktif, Segera, Ramah dan Inovatif).
Berdasarkan Perda Provinsi Lampung No. 8 Tahun 1995 tentang Organisasi
dan Tata Kerja RSUDAM Provinsi Lampung mempunyai tugas yaitu
melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksakana secara
serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan
upaya rujukan. RSUDAM Provinsi Lampung juga mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a.

Melaksanakan upaya pelayanan medis

b.

Melaksanakan upaya rehabilitasi medis

c.

Melaksanakan usaha pencegahan akibat penyakit dan peningkatan


serta pemulihan kesehatan

d.

Melaksanakan upaya perawatan

e.

Melaksanakan upaya diklat

f.

Melaksanakan sistem rujukan

g.

Sebagai tempat penelitian


Ruang Bougenvil RSUDAM memiliki kapasitas 37 tempat tidur. Ruang

Bougenvil memiliki 12 ruangan yang terdiri dari satu ruang kepala ruangan, satu

36

ruang perawat, satu ruang kantor ketua SMF, satu ruang dokter muda, satu ruang
aula, enam ruang rawat inap, satu dapur dan satu gudang.
Ketenagaan di Ruang Bougenvil terdiri dari:
1.

Tenaga Perawat
a. Sarjana Keperawatan
b.

2.

D III Keperawatan

Tenaga Pekarya

: 2 orang
: 12 orang
: 5 orang

Metode keperawatan yang digunakan di ruang Bougenvil yaitu metode Tim.


Ruang Bougenvil memiliki banyak gambar dinding tentang kesehatan, salah
satunya ada tentang mobilisasi beserta latihan gerakannya. Pemberian mobilisasi
pada pasien stroke di Ruang Bougenvil hanya dilakukan pada pagi hari
selanjutnya perawat meminta keluarga yang membantu pasien melakukan latihan
mobilisasi. Ruang Bougenvil juga memiliki prosedur tetap atau SOP setiap
tindakan, prosedur pada tindakan mobilisasi yaitu :
1.
2.

Mencuci tangan
Memberikan penjelasan kepada klien dan keluarganya tentang gerakan yang

3.

akan dilaksanakan beserta tujuannya


Melatih gerak pasif, dengan mengangkat dan menekuk tangan secara
berulang-ulang pada masing-masing persendian, sesuai dengan rentang

4.

gerak dari sendi yang bersangkutan


Melatih gerak aktif dengan menganjurkan kepada klien untuk melakukan
gerak persendiannya sesuai dengan rentang gerak dari sendi yang

5.
6.

bersangkutan
Mengobservasi respon klien, mencuci tangan
Mencatat dalam catatan keperawatan : tanggal, waktu, jenis gerakan,
lamanya latihan, hasil yang dicapai serta respon klien.
B. Hasil Penelitian

37

Penelitian dilakukan di Ruang Bougenvil RSUDAM Provinsi Lampung dari


tanggal 4 Mei 2015 30 Mei 2015 dan didapatkan 36 orang pasien stroke yang
bersedia dijadikan sebagai responden.
1.

Karakteristik responden penelitian


Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,

jenis stroke, dan skala kelumpuhan. Peneliti mendistribusikan sebagai berikut :


a. Umur
Berikut adalah karakteristik responden berdasarkan umur :

Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur Pada Pasien Stroke di Ruang Bougenvil
Mean
59.06

Median
59

Modus
48

Minimum
40

Maksimum
81

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui rata-rata umur responden adalah


59 tahun, umur termuda yaitu 40 tahun dan yang tertua 81 tahun.
b. Jenis kelamin
Berikut adalah karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin :
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pasien Stroke di Ruang Bougenvil
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Frekuensi
16
20
36

Persentase (%)
44
56
100

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 orang (56%).
c. Jenis stroke

38

Berikut adalah karakteristik responden berdasarkan jenis stroke :


Tabel 6
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Stroke Pada Pasien Stroke di Ruang Bougenvil
Jenis stroke
Stroke hemoragik
Stroke non hemoragik
Total

Frekuensi
13
23
36

Persentase (%)
36
64
100

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


dengan stroke non hemoragik berjumlah 23 orang dengan persentase 64%.
d. Skala kelumpuhan
Berikut adalah karakteristik responden berdasarkan skala kelumpuhan :
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Skala Kelumpuhan Pada Pasien Stroke di Ruang Bougenvil
Skala
Kelumpuhan
1
2
3
4
5
Total

Frekuensi

Persentase (%)

0
5
12
10
9
36

0
14
33
28
25
100

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


berjumlah 12 orang mengalami kelumpuhan skala 3 dengan persentase 33%.
2.

Gambaran pelaksanaan mobilisasi oleh perawat


Tabel 8
Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Mobilisasi
Pada Responden Oleh Perawat di Ruang Bougenvil
Katagori
Baik
Kurang baik
Total

Frekuensi
15
21
36

Persentase (%)
42
58
100

39

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan mobilisasi


pada pasien stroke oleh perawat sebagian besar responden berjumlah 21
orang mendapatkan tindakan mobilisasi yang kurang baik dengan persentase
58%.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar pelaksanaan mobilisasi pada
responden oleh perawat masih kurang baik yaitu sejumlah 21 orang responden
(58%). Menurut Kozier et all (2010:588) mengemukakan bahwa latihan pada
penderita stroke dilakukan beberapa kali dalam sehari untuk mencegah
komplikasi, mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot, mencegah
perburukan kapsul sendi, ankilosis, kontraktur, dan mempertahankan fleksibilitas
sendi. Latihan mobilisasi dilakukan setiap hari sebanyak 2x latihan dan setiap
latihan dilakukan sebanyak 3x. Apabila latihan mobilisasi ini rutin dilakukan
maka penderita stroke memiliki kesempatan untuk mengalami penyembuhan
dengan baik. Karakteristik rata-rata umur responden dari 36 orang adalah berumur
59 tahun, umur termuda yaitu berumur 40 tahun dan yang tertua berumur 81
tahun. Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin perempuan
(56%), dan berdasarkan jenis stroke yang di derita sebagian besar berdiagnosa
stroke non hemoragik (64%).
Sekitar 90% pasien yang terserang stroke tiba-tiba mengalami kelemahan
atau kelumpuhan bagian sisi tubuh (Mulyatsih, 2010:1). Berdasarkan tabel 7
distribusi frekuensi menurut skala kelumpuhan yang di derita pasien stroke yang
di teliti peneliti dari 36 responden diketahui bahwa tingkat kelumpuhan terbanyak
yaitu skala 3 yaitu pasien memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan

40

pekerjaan tertentu, namun masih dapat berjalan tanpa dibantu orang lain meskipun
harus menggunakan tongkat. Penderita stroke yang mengalami kelemahan atau
kelumpuhan membutuhkan program rehabilitasi. Program rehabilitasi adalah
bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pendekatan medik, psikososial,
educational-vocational

yang

bertujuan

mencapai

kemampuan

fungsional

semaksimal mungkin dan mencegah serangan berulang. Menurut Lingga


(2013:136) latihan mobilisasi merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses
rehabilitasi yang dinilai cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada
penderita stroke. Rehabilitasi dini yang diberikan yakni berupa latihan ROM, baik
pasif (latihan dengan dibantu perawat) dan aktif (latihan yang dilakukan sendiri).
Menurut asumsi peneliti, perawat di Ruang Bougenvil hanya melakukan
latihan mobilisasi 1x dalam sehari dan hanya sebagian gerakan yang diberikan
kepada pasien. Dari hasil wawancara 36 responden skor gerakan tertinggi yang
diberikan oleh perawat adalah gerakan menekuk dan meluruskan siku lalu diikuti
dengan gerakan menekuk dan meluruskan lutut karena SOP di ruangan tidak
begitu jelas, hanya tertulis menekuk dan meluruskan siku, gerakan lain hanya
tertuliskan dibagian-bagian sendi yang bersangkutan sehingga terjadi kesalahan
persepsi yang membuat SOP ruangan tidak sesuai dengan SOP teori yang
seharusnya. Perawat juga melibatkan keluarga dalam melakukan latihan mobilisai
untuk mengajarkan keluarga cara latihan tersebut dan selanjutnya perawat hanya
menyarankan kepada keluarga untuk melatih pasien dengan gerakan yang telah
diberikan. Pada beberapa pasien yang mendapatkan pemberian latihan mobilisasi
yang baik sebagian besar berjenis kelamin perempuan, di lihat dari hasil ini
berhubungan dengan perawat di ruang bougenvil kebanyakan berjenis kelamin

41

perempuan jadi perawat lebih antusias melatih yang perempuan dibanding yang
laki-laki. Pasien yang menderita stroke non hemoragik cenderung lebih baik
pemberian mobilisasinya dibanding pasien yang hemoragik, di lihat dari hasil ini
berhubungan dengan fase penyembuhan pada stroke non hemoragik lebih cepat
jadi penanganan tingkat kelumpuhan dengan mobilisasi bisa cepat teratasi di
banding stroke hemoragik yang sudah parah karena pecahnya pembuluh darah ke
otak. Pemberian tindakan mobilisasi pada pasien yang menderita tingkat skala
kelumpuhan 2 cenderung lebih baik di banding skala kelumpuhan 3,4 dan 5, di
lihat dari hasil ini berhubungan dengan tingkat ketergantungan. Pasien yang
mengalami skala kelumpuhan 2 masih mampu berusaha melakukan aktivitasnya
tanpa bantuan orang lain jadi fase penyembuhan pada skala 2 ini lebih cenderung
cepat karena pasien dengan skala kelumpuhan 2 sangat antusias dalam
keinginannya untuk sembuh dibanding pada pasien dengan skala kelumpuhan 5
banyak yang sudah putus asa, hal ini yang membuat perawat lebih senang melatih
mobilisasi pada pasien dengan skala kelumpuhan 2 karena antusiasnya pasien
melakukan latihan. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Agus (2013) yang berjudul Gambaran Pelaksanaan Mobilisasi
Pada Pasien Stroke Oleh Perawat di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo didapatkan dari 32 responden, yang mendapatkan pemberian mobilisasi
dengan baik sesuai SOP yaitu sebesar 7 pasien (21,9%) dan yang mendapatkan
pemberian mobilisasi kurang baik sesuai dengan SOP sebesar 25 pasien (78,1%).
Hal ini menujukan bahwa pelaksanaan mobilisasi yang diberikan oleh perawat
masih sangat kurang, dilihat dari jenis, frekuensi, serta durasi yang kurang baik,
namun di lihat dari hasil penelitian Agus (2013) pelaksanaan mobilisasi di Ruang

42

Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung masih lebih baik dari
RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berpendapat untuk diperbaharui
kembali SOP ruangan dan disesuaikan dengan standar rahabilitasi yang sudah
ditentukan atau sesuai dengan teori Mulyatsih yang kini digunakan sebagai
program rehabilitasi di unit stroke Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta dan lebih
ditingkatkan

pelayanan

kesehatannya

dengan

tidak

membeda-bedakan

karakteristik pasien misalnya usia, jenis kelamin, dan tingkat keparahan pasien
kemudian ditingkatkan juga pelayanan kesehatannya sesuai fungsi Rumah Sakit
yaitu salah satunya yang bersangkutan dengan mobilisasi adalah melaksanakan
upaya rehabilitasi medis. Latihan mobilisasi adalah salah satu bentuk intervensi
fundamental perawat dalam upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen
pada penderita stroke, sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan
penderita pada keluarga, meningkatkan harga diri dan mekanisme koping
penderita. Perawat mempunyai peran yang sangat luas yang dapat mempengaruhi
penatalaksanaan klien stroke di unit perawatan dengan melakukan rehabilitasi
tersebut.
D. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah
1. SOP ruangan tidak sesuai dengan SOP teori
2. Jumlah perawat yang berdinas setiap sift berbeda, seperti pada pagi hari lebih
banyak di banding sore hari jadi pelaksanaan mobilisasi dilakukan hanya 1x
dalam sehari yang seharusnya dalam teori sehari 2x. Pada sore hari perawat
yang berdinas hanya 2 orang sedangkan jumlah pasien 20 pasien, yang
menderita stroke setiap harinya bisa mencapai 15 orang, jadi pelaksanaan
mobilisasi pada sore hari jarang dilakukan.

43

3. Kriteria responden seharusnya ditambahkan dengan minimal 4 hari sudah di


rawat diruangan.
4. Faktor subjek misalnya ketidaksenangan pasien dengan perawat di ruangan
membuat jawaban wawancara yang diberikan oleh peneliti tidak jujur
sehingga mempengaruhi hasil penelitian.
5. Jawaban responden dengan indikator sering, selalu dan kadang-kadang
memiliki interprestasi yang berbeda.
6. Terdapat pasien yang belum mendapatkan jadwal rehabilitasi.

44

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada tanggal 4 Mei 2015-30 Mei 2015 dengan
jumlah responden yang bersedia 36 responden dapat disimpulkan bahwa :
1. Karakteristik responden berdasarkan umur diketahui rata-rata responden
adalah 59 tahun, umur termuda yaitu 40 tahun dan tertua 81 tahun,
berdasarkan jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin perempuan (56%),
berdasarkan jenis stroke yang di derita sebagian besar berdiagnosa stroke non
hemoragik (64%) dan berdasarkan dengan skala kelupuhan sebagian besar
mengalami kelumpuhan dengan skala 3 (33%).
2. Gambaran pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat di Ruang
Bougenvil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagian besar
pemberiaan mobilisasi oleh perawat masih kurang baik (58%).
B Saran
1 Bagi Rumah Sakit Dr. H. Abdul Moeloek
a Diharapkan peran dan fungsi penyuluhan kesehatan terhadap
pasien stroke ditingkatkan lagi terutama pendidikan kesehatan
yang berkesinambungan tentang latihan mobilisasi, dapat berupa
brosur, leaflet, poster maupun media informasi lainnya dan
diperbaharui kembali SOP ruangan disesuaikan dengan standar
rahabilitasi yang sudah ditentukan atau sesuai dengan teori
Mulyatsih yang kini digunakan sebagai program rehabilitasi di
unit stroke Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta

45

Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat di Ruang Bougenvil


RSUD Dr. H. Abdul Moeloek diharapkan lebih ditingkatkan
pelayanan

kesehatannya

dengan

tidak

membeda-bedakan

karakteristik pasien misalnya usia, jenis kelamin, dan tingkat


keparahan pasien dan ditingkatkan pelayanan kesehatannya sesuai
fungsi Rumah Sakit yaitu salah satunya yang bersangkutan
dengan mobilisasi adalah melaksanakan upaya rehabilitasi medis
karena latihan mobilisasi adalah salah satu bentuk intervensi
fundamental perawat dalam upaya pencegahan terjadinya kondisi
cacat

permanen

pada

penderita

stroke,

sehingga

dapat

menurunkan tingkat ketergantungan penderita pada keluarga,


meningkatkan harga diri dan mekanisme koping penderita.
2

Bagi ilmu dan profesi keperawatan


Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar dalam melakukan
penelitian selanjutnya khususnya di lingkup/bidang keperawatan, yang
hasilnya dapat menambah pengetahuan para pembaca.

Bagi peneliti
Hasil penelitian ini harusnya dilengkapi lagi dengan faktor-faktor lain
yang dapat mendukung pelaksaan mobilisasi agar dapat lebih
diketahui faktor mana yang paling berpengaruh dalam proses latihan
mobilisasi. Penelitian juga seharusnya dilakukan dengan observasi dan
kriteria pasien yang jelas sehingga hasil penelitian lebih akurat.

Bagi peneliti selanjutnya


Penulis merekomendasikan
mengidentifikasi

faktor

lain

penelitian
yang

lebih

lanjut

mempengaruhi

untuk

kurangnya

46

pelaksanaan mobilisasi pada pasien stroke oleh perawat seperti


hubungan pengetahuan, kebudayaan, pendidikan, dukungan kepala
ruangan mengenai pelaksanaan mobilisasi, selain itu dapat dilakukan
penelitian dengan judul yang sama tetapi dengan cara observasi.

Anda mungkin juga menyukai