Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem penangulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) merupakan sebuah
sistem yang mengkoordinasi sebuah unsur utama yang bersifat, multisektor dan memiliki
dukungan dari berbagai profesi yang bersifat multidisiplin dan multiprofesi dalam
melaksanakan layanan bagi pasien gawat darurat. SPGDT memiliki tiga subsistem yakni
sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem pelayanan di rumah sakit dan sistem pelayanan
antar rumah sakit. Dari semua sistem SPGDT bersifat berkesinambungan atau tidak dapat
dipisahkan dalam melakukan pelaksanaan sistem. Hal ini pelayanan SPGDT bersifat cepat,
cermat dan tepat dan bertujuan menolong nyawa pasien dan mencegah kecacatan (time
saving is life and limb saving) menurut (Lumbantoruan, 2015).
Keperawatan Gawat Darurat merupakan pelayanan kesehatan professional
yang menangani pasien kritis ataupun mengalami kegawatdaruratan berdasarkan triage.
Perawat yang bekerja di departemen gawat darurat telah mengikuti kegiatan ilmu
keperawatan kegawatdaruratan atau Basic Trauma Cardiac Life (BTLCS). Perawat wajib
mempunyai keahlian kegawat daruratan dan teknik saat memberikan pertolongan tanpa
menimbulkan masalah baru pada pasien. (HIPGABI, 2013).
Dalam memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan diberikan secara
utuh dan terarah, sehingga perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien secara professional dan berkompeten (Stillwel, 2012). Asuhan
keperawatan.yang terdiri dari 5 karakteristik yakni Pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan perencanaan, implementasi maupun evaluasi (Rosdahl & Kowalski, 2014).
Pengkajian primary dilakukan saat menangani pasien yang mengancam
nyawa sehingga perawat harus segera melakukan tindakan. Dalam proses pengkajian
primary survey memperlihatkan keadaan pasien melalui penilaian prioritas pada airway,
breathing, circulation, stimulasi ini dilakukan sampai keadaan pasien stabil (Sudiharto &
Sartono, 2011). Adapun Pengkajian secondary survey yang dilakukan oleh perawat
dalam melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe examination).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan sebuah pintu utama rumah sakit,
masuknya pasien ke bagian unit gawat darurat tidak dapat di prediksi tiap harinya. Dan
untuk tercapainya kualitas hidup pasien, para perawat memberikan seluruh rangkaian
pertolongan yang diberikan oleh pasien serta diberikan penanganan yang tepat waktu
saat pasien mengalami cedera. Suatu keadaan tersebut disebut waktu emas atau The
Golden Periode (Hipgabi, 2013).
Sekitar 1.13 miliar orang di dunia telah mengalami hipertensi, prevalensi
menyakatakan bahwa 1 dari 3 orang didunia yang telah terdiagnosa memiliki penyakit
hipertensi serta 9,4 juta orang telah meninggal dunia per tahunnya mengalami
peningkatan, yang diakibatkan oleh hipertensi dan sekitar 40% di negara berkembang
yang memiliki penyakit hipertensi sedangkan pada negara maju terdata riset bahwa
penduduk yang memiliki hipertensi sebanyak 35% (WHO, 2015).
Asia Tenggara terdata sekitar 1,5 juta jiwa, tercatat di negara indonesia
mecapai 63.309.620 jiwa (Riskesdas, 2018). Sekitar usia 18-24 tahun telah menderita
hipertensi sebanyak 8.356.869,84 jiwa dari 13,2%, usia sekitar 25-44 tahun dengan
jumlah 32.731.073,54 juta jiwa dari hasil presentase 51,7%. Dan usia 45-54 tahun telah
terdata sekitar 28.679.257, 86 juta jiwa dari hasil 45,3%, pada usia 55-64 tahun telah
terdata sebanyak 34.946.910, 24 juta jiwa dari 55,2%, usia 65-74 tahun sebanyak
40.011.679, 84 juta jiwa dari hasil 63,2% yang telah di data, dan usia 75 tahun keatas
memiliki angka hipertensi tertinggi dibandingkan umur kurang dari 75 tahun yakni
sebesar 69,5% setara dengan 44.000.185,9 juta jiwa, sedangkan di DKI Jakarta memiliki
data sekitar 27,195 orang (Riset Kesehatan Dasar Indonesia, 2018) dan terdapat riset
angka penderita di Jakarta timur sebanyak 100,00 orang (JJPKMI, 2020).
Komplikasi yang dialami pasien hipertensi yakni penyakit cardiovascular,
stroke, serta retinopati (Yogiantoro, 2010). Dalam prevalensi tercatat bahwa, hipertensi
terjadi karena pola hidup manusia yang tidak efesien seperti mengonsumsi rokok,
alkohol serta tidak melakukan kegiatan olahraga hal ini bisa terjadinya munculnya
obesitas (Murwani, 2011). Faktor stres dapat memicu terjadinya hipertensi dikarenakan,
aktivitas saraf simpatis yang memberikan efek naiknya tekanan darah secara tidak
menentu yang menimbulkan stres (Andria, 2013). Hormon adrenalin akan dilepaskan
sehingga terjadinya adanya peningkatan pada tekanan darah melalui arteri
(vaskokontriksi) dan terjadinya peningkatan pada denyut jantung bila terus menerus
terjadi akan mengalami hipertensi (South, 2014). Pada usia diatas 50 tahun yang
memiliki tekanan darah sistolik ≥140 mmhg akan mudah terkena cardiovaskular
dibandingkan diastolik yang nilainya lebih tinggi, sehingga darah sulit mengalir dan
meningkatnya tekanan bilik arteri (WHO, 2013).
Hipertensi bila terus terjadi akan memberikan reaksi tubuh yang tidak baik
yakni akan terjadinya kerusakan pada organ tubuh, gejala hipertensi terdapat efek yang
sangat mengganggu seperti munculnya sakit kepala atau rasa nyeri di bagian tekuk
kepala, penglihatan kabur serta dapat membuat penderita menjadi pingsan, adapun
cara penatalaksanaan para penderita hipertensi yakni dalam pemberian non
farmakologi maupun farmakologi (PAPDI, 2014). Penatalaksanaan pada farmakologi
dapat diberikan kepada pasien hipertensi dengan standar obat seperti golongan
diuretik, menekan simpatetik atau simpatolitik, vasodilator arteriol, antagonis
angiotensin atau di sebut ace inhibitor, serta penghambat saluran kalsium (blocker
calcium antagonis) menurut (Muttaqin, 2012). Penatalaksanaan non farmakologi yakni
melakukan diet atau mengurangi berat badan, tidak mengkonsumsi rokok, menghindari
kopi maupun alkohol dan mengurangi kadar garam yang berlebihan, makanan yang
berlemak, hal ini dapat dilakukan dengan olahraga dengan teratur dan menjalani
sesuatu yang membuat tubuh menjadi relax (Maryam, 2010).
Triage merupakan pembagian kelompok kegawat daruratan pasien
berdasarkan tingkat berat cedera sehingga dapat menentukan jenis perawatan kepada
pasien tersebut (Pusponegoro, 2010). Keberhasilan triage dapat di dukung dengan
kecepatan para tenaga medis dalam menemukan atau memilah pasien, tenaga medis
dapat memberikan pertolongan pertama ditempat kejadian. Triage memiliki tiga tingkat
klarifikasi yakni berwarna merah di posisi pertama yang digunakan untuk pasien dalam
keadaan mengancam jiwa, bila tidak ditangani secara cepat akan mengancam nyawa
pasien. Adapun triage berwarna kuning yakni prioritas tingkat ke dua, dan dapat juga
mengancam jiwa pasien, bila tidak ditangani dengan cepat, adapun proritas tingkat
ketiga yang berwarna hijau yang mengartikan bahwa keadaan pasien tidak mengancam
jiwa atau tidak dalam kondisi gawat darurat. Sedangkan prioritas keempat yakni
menandakan bahwa pasien memiliki tingkat hidup yang sangat kecil, dikarenakan
terjadinya mati batang otak atau tidak ditemukan proses penyembuhan pada pasien,
pasien dalam katagori prioritas keempat telah mengalami trauma kepala, spinal injury
dan multiple injury (Mardalena, 2018).
Kegawatdaruratan hipertensi dapat menyerang pasien yang memiliki
hipertensi kronik serta tidak terkontrol dalam jangka waktu yang sangat lama, hipertensi
akan menyebabkan kegawat daruratan dan memungkinkan memiliki gejala yang
berbahaya yaitu mengalami peningkatan tekanan darah secara sistemik yang sangat
cepat serta, adaptasi vaskular terhadap hipertensi kronik yang akan menyebabkan
kerusakan organ. Kegawat daruratan hipertensi akan terjadi apabila pasien memiliki
tekanan yang lebih rendah dan kedaruratan hipertensi dapat muncul apabila tekanan
darah diastolik dapat bertahan diatas angka 130 mmhg serta akan menimbulkan
kerusakan pada organ akhir, adanya urutan dari dekompensasi fisiologis yang diawali
dengan tigkat krisis hipertensi yang akan muncul baik secara sistemik maupun lokal
pada jaringan vascular hal ini akan menimbulkan terjadinya peningkatan vasoreaktifitas.
(FK UI, 2015).
Dalam memberikan perawatan, perawat diharuskan berintegritas dalam
menangani pasien, kompetensi, pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam
meningkatkan percaya diri, dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Hal
ini didukung hasil penelitian Erita (2017) mengatakan bahwa permasalahan perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan adanya rasa cemas, rasa percaya diri yang
kurang, merasa kaku, stres yang tinggi, takut salah, tidak tahu apa yang dikerjakan, takut
berkomunikasi, takut melakukan tindakan. Apabila perawat yang percaya diri akan
mampu melaksanakan tugas dengan baik, bertanggung jawab serta mempunyai rencana
terhadap masa depannya. Caring sangat diperlukan untuk meningkatkan percaya diri
serta kompetensi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien.
Terkait nilai- nilai UKI yakni rendah hati, berbagi, perduli professional,
disiplin, bertanggung jawab, dan berintegritas mahasiswa keperawatan menjadikan
sebuah habit dalam mengimplementasikan nilai- nilai UKI dalam melakukan tindakan
keperawatan, salah satunya yakni caring yang membantu perawat untuk mendapatkan
rasa percaya pasien atau memberikan kenyamanan kepada pasien pada saat tindakan
keperawatan berlangsung.
Perawat di Instalasi Gawat Darurat tidak hanya dituntut dalam kesigapan
menolong pasien secara cepat ataupun terlatih, akan tetapi perawat IGD dapat
mengaplikasikan perannya dalam memberikan asuhan keperawatan yakni care giver
secara langsung kepada pasien maupun tidak langsung yang diberikan kepada keluarga
pasien guna memberikan edukasi kesehatan. Sebelum melakukan care giver perawat
IGD diharuskan menggunakan metode pendekatan kepada pasien maupun keluarga
pasien, agar proses anamnesa atau pengkajian pasien dapat tertulis dengan benar dan
perawat dapat menegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan kondisi pasien di
instalasi gawat darurat dan memberikan pendidikan kesehatan baik secara audio- visual
maupun non audio- visial sangatlah penting untuk memperoleh tingkat pengetahuan
pasien. (Adventus, 2018). Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik
mengambil judul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pasien Hipertensi Dengan
Tindakan Primary And Secondary Survey Di RSUD Koesma Tuban “

2. Tujuan Umum
Diharapkan penulis dapat memperoleh pengalaman dan menerapkan Asuhan Keperawatan
Gawat Darurat Pasien Hipertensi Dengan Tindakan Primary And Secondary Survey Di IGD
RSUD Koesma Tuban

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pasien Hipertensi Dengan
Tindakan Primary and Secondary Survey Di IGD RSUD koesma Tuban
b. Mampu menetapkan diagnosa Keperawatan Kegawatdaruratan Pasien hipertensi dengan
tindakan primary and secondary survey di IGD RSUD Koesma Tuban.
c. Mampu menyusun Rencana Tindakan asuhan keperawatan gawat darurat pasien
hipertensi dengan tindakan primary and secondary survey di IGD RSUD Koesma Tuban
d. Mampu melaksanakan tindakan asuhan keperawatan gawat darurat pasien hipertensi
dengan tindakan primary and secondary survey di IGD RSUD Koesma Tuban
e. Mampu melakukan evaluasi tindakan asuhan keperawatan gawat darurat pasien
hipertensi dengan tindakan primary and secondary survey di IGD RSUD Koesma Tuban

3. Manfaat Studi Kasus


a. Penulis Mengimplementasikan asuhan keperawatan kegawat daruratan di awali dengan
pengkajian primary survey and secondary survey sampai dengan evaluasi.
b. Profesi Tenaga kesehatan mampu memberikan asuhan keperawatan kegawat daruratan
yang efisien, efektif pada pasien hipertensi.
c. Rumah Sakit Memberikan peningkatkan mutu pelayanan dalam asuhan keperawatan
kegawat daruratan pada pasien hipertensi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar penyakit Hipertensi


2.1.1 Definisi
Menurut Masriadi (2016) hipertensi adalah penyakit dengan tanda adanya
gangguan tekanan darah sistolik maupun diastolik yang naik diatas tekanan darah
normal. Tekanan darah sistolik adalah tekanan puncak yang tercapai ketika jantung
berkontraksi dan memompakan darah keluar melalui arteri. Tekanan darah diastolik
diambil tekanan jatuh ketitik terendah saat jantung rileks dan mengisi darah kembali.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah
dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung dan memompa
keseluruh jaringan dan organ–organ tubuh secara terus-menerus lebih dari suatu
periode. Hal ini terjadi bila arteriolarteriol konstriksi. Konstriksi arterioli membuat darah
sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri.
Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat
menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Irianto, 2014). Hipertensi sering
juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg
dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg (Triyanto, 2014) 8

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi


Klasifikasi tekanan darah sistolik dan diastolik dibagi menjadi empat klasifikasi
(Smeltzer, 2012), yaitu :
Tabel 2.1

Kategori TD Sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)


Normal < 120 mmhg < 80mmhg
Prahipertensi 120-139 mmhg 80-89mmhg
Stadium I 140-150mmhg 90-99mmhg
Stadium II >160mmhg >100mmhg

(Sumber : Triyanto, 2014) 9


2.1.3 Etiologi
a. Hipertensi primer atau esensial

Hipertensi primer atau esensial adalah tidak dapat diketahuin penyebabnya.


Hipertensi esensial biasanya dimulai sebagai proses labil (intermiten) pada individu
pada akhir 30-an dan 50-an dan secara bertahap “ menetap “pada suatu saat dapat
juga terjadi mendadak dan berat, perjalanannya dipercepat atau “maligna“ yang
menyebabkan kondisi pasien memburuk dengan cepat. Penyebab hipertensi primer
atau esensial adalah gangguan emosi, obesitas, konsumsi alkohol yang berlebihan,
kopi, obat – obatan, faktor keturunan (Brunner & Suddart, 2015). Sedangkan
menurut Irianto (2014), beberapa faktor yang berperan dalam hipertensi primer atau
esensial mencakup pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan seperti :stress,
kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah
besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah kenaikan tekanan darah dengan penyebab tertentu


seperti penyempitan arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, berbagai obat, disfungsi
organ, tumor dan kehamilan (Brunner & Suddart, 2015). Sedangkan menurut Wijaya
& Putri (2013), penyebab hipertensi sekunder diantaranya berupa kelainan ginjal
seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta, kelianan endokrin lainnya
seperti obesitas, resistensi insulin, hipertiroidisme dan pemakaian obat-obatan
seperti kontasepsi oral dan kartikosteroid.

2.1.4 Faktor-Faktor Resiko Hipertensi

Faktor-faktor resiko hipertensi yang tidak dapat diubah dan yang dapat
diubah oleh penderita hipertensi menurut Black & Hawks (2014) adalah sebagai
berikut

2.1.4.1 Faktor-faktor resiko yang tidak dapat diubah

Riwayat keluarga Hipertensi dianggap poligenik dan multifaktorial yaitu, pada


seseorang dengan riwayat keluarga, beberapa gen berinteraksi dengan yang lainnya
dan juga lingkungan yang dapat menyebabkan tekanan darah naik dari waktu ke
waktu. Klien dengan orang tua yang memiliki hipertensi berada pada risiko
hipertensi yang lebih tinggi pada usia muda.

1) Usia
Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun. Peristiwa
hipertensi meningkat dengan usia 50-60 % klien yang berumur lebih dari 60 tahun
memiliki tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Diantara orang dewasa,
pembacaan tekanan darah sistolik lebih dari pada tekanan darah diastolic karena
merupakan predictor yang lebih baik untuk kemungkinan kejadian dimasa depan
seperti penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung, dan penyakit ginjal.
2) Jenis kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita sampai kira-
kira usia 55 tahun. Resiko pada pria dan wanita hamper sama antara usia 55
sampai 74 tahun, wanita beresiko lebih besar.
2.1.4.2 Faktor-faktor resiko yang dapat diubah
1) Diabetes mellitus
Hipertensi telah terbukti terjadi lebih dua kali lipat pada klien diabetes
mellitus karena diabetes mempercepat aterosklerosis dan menyebabkan
hipertensi karena kerusakan pada pembuluh darah besar.
2) Stress
Stress meningkat resistensi vaskuler perifer dan curah jantung serta
menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Stress adalah permasalahan persepsi,
interpretasi orang terhadap kejadian yang menciptakan banyak stressor dan
respon stress.
3) Obesitas
Obesitas terutama pada tubuh bagian atas, dengan meningkatnya jumlah
lemak disekitar diafragma, pinggang dan perut, dihubungkan dengan
pengembangan hipertensi. Kombinasi obesitas dengan faktorfaktor lain dapat
ditandai dengan sindrom metabolis, yang juga meningkatkan resiko hipertensi.
4) Nutrisi
Kelebihan mengosumsi garam bias menjadi pencetus hipertensi pada
individu. Diet tinggi garam menyebabkan pelepasan hormone natriuretik yang
berlebihan, yang mungkin secara tidak langsung menigkatkan tekanan darah.
Muatan natrium juga menstimulasi mekanisme vaseoresor didalam system saraf
pusat. Penelitan juga menunjukkan bahwa asupan diet rendah kalsim, kalium, dan
magnesium dapat berkontribusi dalam pengembangan hipertensi.
5) Penyalahgunaan obat
Merokok sigaret, mengosumsi banyak alcohol, dan beberapa penggunaan
obat terlarang merupakan faktor-faktor resiko hipertensi. Pada dosis tertentu
nikotin dalam rokok sigaret serta obat seperti kokain dapat menyebabkan naiknya
tekanan darah secara langsung.
2.1.5 Patofisiologi Menurut Padila (2013)
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Tubuh
mempunyai sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut.Sistem tersebut ada yang bereaksi ketika terjadi perubahan tekanan darah dan
ada juga yang bereaksi ketika terjadi perubahan tekanan darah secara akut.Sistem
tersebut ada yang bereaksi ketika terjadi perubahan tekanan darah dan ada yang
bereaksi lebih lama. Sistem yang cepat tersebut antara lain reflek kardiovaskular
melalui baroreseptor, reflek kemorereptor, respon iskemia susunan saraf pusat, dan
reflek yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis, dan otot polos. Sistem lain yang
kurang cepat merespon perubahan tekanan darah melibatkan respon ginjal dengan
perngaturan hormon angiotensin dan vasopresor. Kejadian hipertensi dimulai dengan
adanya atherosklerosis yang merupakan bentuk dari arterioklerosis (pengerasan
arteri). Antherosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang progresif pada dinding
arteri sehingga mengurangi volume aliran darah ke jantung, karena sel-sel otot arteri
tertimbun lemak kemudian membentuk plak, maka terjadi penyempitan pada arteri
dan penurunan elastisitas arteri sehingga tidak dapat mengatur tekanan darah
kemudian mengakibatkan hipertensi. Kekakuan arteri dan kelambanan aliran darah
menyebabkan beban jantung bertambah berat yang dimanisfestasikan dalam bentuk
hipertrofo ventrikel kiri (HVK) dan gangguan fungsi diastolic karena gangguan relaksasi
ventrikel kiri sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah dalam sistem
sirkulasi. Berdasarkan uraian patofisiologi hipertensi diatas dapat disimpulkan bahwa
hipertensi dimulai adanya pengerasan arteri. Penimbunan lemak terdapat pada
dinding arteri yang mengakibatkan berkurangnya volume cairan darah ke jantung.
Penimbunan itu membentuk plak yang kemudian terjadi penyempitan dan penurunan
elastisitas arteri sehingga tekanan darah tidak dapat diatur yang artinya beban jantung
bertambah berat dan terjadi gangguan diastolik yang mengakibatkan peningkatan
tekanan darah.

2.1.6 Pathway

Faktor Prediposisi: Usia, Jenis Kelamin, Merokok, Stres, Kurang Olaraga, Faktor Genetik, Alkohol, Konsentrasi
Garam, Obesitas

Cardiac output Hipertensi


menurun

Perubahan situasi Informasi Yang


Minim

Ketidakefektifan perfusi
Gangguan perfusi
jaringan otak
oksigen miokard

Nyeri kepala Ketidakefektifan koping

Kerusakan vaskuker

nyeri

Perubahan struktur
jantung

Retensi Natrium

Kelebihan volume cairan

edema
Sumber : (NANDA NIC-NOC, 2015).

2.1.7 Manifestasi Klinis


Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus
berat edema pupil (edema pada diskus optikus) (Brunner & Suddart, 2015). Individu
yang menderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun –
tahun.Gejala, bila ada, biasanya menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan
manifestasi yang khas sesuai system organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah
bersangkutan. Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling
menyertai hipertensi. Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respons peningkatan
beban kerja ventrikel saat dipaksa berkontraksi melawan tekana sistemik yang
menigkat. Apabila jantung tidak mampu lagi menahan peningkatan beban kerja, maka
dapat terjadi gagal jantung kiri (Brunner & Suddart, 2015). Wijaya & Putri (2013),
menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul :

a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekana intracranial.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.

c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.

e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Hemoglobin / hematokrit : mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan


(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko seperti hipokoagulabilitas,
anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.

c. Glukosa : Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi) dapat


diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).

d. Kalium serum : hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama


(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.

e. Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi.

f. Kolesterol dan trigeliserida serum : peningkatan kadar dapat mengindikasikan


pencetus untuk/adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiofaskuler)

g. Pemeriksaan tiroid : hipertiroidisme dapat mengakibatkan vasikonstriksi dan


hipertensi.

h. Kadar aldosteron urin dan serum : untuk menguji aldosteronisme primer (penyebab).

i. Urinalisa : darah, protein dan glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau
adanya diabetes.

j. VMA urin (metabolit katekolamin) : kenaikan dapat mengindikasikan adanya


feokomositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat 17 digunakan untuk pengkajian
feokromositoma bila hipertensi hilang timbul.

k. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko terjadinya
hipertensi. l. Steroid urin : kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme,
feokromositoma atau disfungsi ptuitari, sindrom Cushing’s; kadar rennin dapat juga
meningkat.

m. IVP : dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit parenkim ginjal,


batu ginjal dan ureter.

n. Foto dada : dapat menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub; deposit pada
dan/ EKG atau takik aorta; perbesaran jantung.

o. CT scan : mengkaji tumor serebral, CSV, ensevalopati, atau feokromositoma.


p. EKG: dapat menunjukkan perbesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi.
Catatan : Luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit
jantung hipertensi. (Anonim, 2013).

2.1.9 Komplikasi

Hipertensi yang tidak ditanggulangi dalam jangka panjang akan menyebabkan


kerusakan arteri didalam tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut.
Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ tubuh menurut Wijaya & Putri (2013),
sebagai berikut :

a. Jantung
b. Hipertensi dapat menyebab terjadinya gagal jantung dan penyakit jantung koroner. Pada
penderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor
dan berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak lagi
mampu memompa sehingga banyaknya cairang yang tetahan diparu maupun jaringan
tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal
jantung.
c. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke, apabila tidak diobati resiko
terkena stroke 7 kali lebih besar.

c. Ginjal

Hipertensi juga menyebabkan kerusakan ginjal, hipertensi dapat menyebabkan kerusakan


system penyaringan didalam ginjal akibat lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat
yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan terjadi penumpukan di
dalam tubuh.

d. Mata

Hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan


kebutaan.

Anda mungkin juga menyukai