Anda di halaman 1dari 81

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien kritis adalah adalah pasien yang terancam jiwanya sewaktu- waktu

karena kegagalan atau disfungsi satu atau lebih organ dan masih mempunyai

kemungkinan untuk dapat disembuhkan, melalui perawatan, pemantauan dan

pengobatan intensif (Kemenkes RI, 2017). Pasien dengan sakit kritis yang

dirawat di ruang ICU sebagian besar mengalami kegagalan multi organ dan

memerlukan support teknologi dalam pengelolaan pasien (Schulman, 2015).

Pasien yang dirawat di ruangan ICU membutuhkan perawatan dan penanganan

yang lebih, dikarenakan dari segi penyakit yang mengalami komplikasi dan

kondisi yang mengancam nyawa seseorang (Das et al., 2021).

Menurut World Health Organization (WHO), pasien kritis di (Intensive

Care Unit) ICU prevalensinya meningkat setiap tahunnya. Tercatat 9.8-24.6%

pasien sakit kritis dan dirawat di ICU per 100.000 penduduk, serta kematian

akibat penyakit kritis hingga kronik di dunia meningkat sebanyak 1,1 -7,4 juta

orang (WHO, 2016). Di Indonesia jumlah pasien kritis yang terpasang

ventilator menempati dua per tiga dari seluruh pasien ICU di Indonesia

(Bastian, Suryani, & Emaliyati, 2016).

Berdasarkan Data Dinas Provinsi Kepualauan Riau khususnya tercatat

pasien yang dirawat di ICU adalah dalam data kurun waktu 6 bulan terakhir

(data Agustus 2017-Januari 2018) diperoleh jumlah pasien kritis di ruang ICU

ada sebanyak 1.586 orang dengan presentasi penurunan kesadaran 97,8% yang

1
2

menggunakan ventilator dengan rata-rata lama penggunaan ventilator 3-10 hari

dan 575 pasien diantaranya meninggal dunia. Sedangkan data dari Kabupaten

Bintan Khususnya RSUD Bintan tercatat tahun 2021 total pasien sebanyak 243

dengan rincian pasien meninggal sebanyak 50 orang dengan 9 orang

menggunakan ventilator dan rata-rata lama hari rawatan 2,7.

Sebagian besar pasien di ICU mengalami immobiliasi yang sangat lama

dan hanya mampu untuk tidur di bed dikarenakan kondisi penyakit dan

penurunan kesadaran atau efek sedasi. Bed rest pasien kritis yang terlalu lama

akan menimbulkan berbagai masalah, yakni meningkatkan morbiditas,

mortalitas, memperlama waktu perawatan, dan menambah biaya perawatan .

Maka dari itu penting di lakukan suatu intervensi bagi perawat untuk

meminimalisir masalah tersebut yakni dengan mobilisasi. Dalam penanganan

pasien dengan penurunan kesadaran, dapat dilakukan penanganan secara

farmakologi melalui pemberian obat-obatan dan tindakan pembedahan, serta

tindakan non farmakologi (Musliha, 2019).

Berada di ruang ICU dapat menyebabkan komplikasi lain seperti

pneumonia terkait ventilator, atelektasis, kehilangan volume plasma, dan

kehilangan massa otot. Komplikasi ini biasanya terlihat, tetapi dapat dicegah

dengan mobilitas progresif. Semakin cepat pasien dimobilisasi, tubuhnya mulai

menyesuaikan diri dengan perpindahan cairan yang mencegah terjadinya

hipotensi dan komplikasi paru lebih kecil kemungkinannya terjadi, karena saat

pasien dimobilisasi, pasien cenderung mengambil napas yang lebih besar,

meningkatkan volume tidalnya untuk mencegah atelektasis dan pneumonia

terkait ventilator, hal ini dapat memperpendek penggunaan ventilator dan


3

mengurangi LOS. Mengembangkan protokol mobilitas progresif sangat

penting, tingkat mobilitas 1 sampai 5 dimulai dari mengkaji pasien,

meninggikan posisi pasien 30 derajat kemudian diberikan ROM pasif selama 2

kali sehari diberikan kepada pasien berdasarkan kemampuan untuk

berpartisipasi dalam sesi aktivitas. Setiap tingkat memiliki serangkaian

kegiatan yang pasien harus lakukan dihari itu (Mehta, 2015).

Length of stay merupakan rentang waktu sejak pasien diterima masuk ke

rumah sakit hingga keluar dari rumah sakit. Berakhirnya proses perawatan

dapat terjadi karena dinyatakan sembuh, meninggal, rujuk ke rumah sakit lain,

atau pulang paksa. Pada umumnya, rata-rata lama hari rawat pasien adalah 6

sampai 9 hari (Kemenkes RI, 2015). Semakin lama hari rawat pasien di rumah

sakit semakin beresiko untuk terjadi masalah pada pasien. Length of stay yang

panjang dapat menyebabkan dampak secara holistik (biologi, psikologi, sosial,

dan ekonomi) bagi pasien. Dampak secara biologi yaitu untuk sistem

muskuloskeletal, pasien akan mengalami disuse atrofi (pengecilan ukuran otot),

kontraktur, kekakuan nyeri sendi karena tidak digerakkan dan kehilangan

sebagian besar fungsi normalnya (Potter & Perry, 2015).

Dampak dari berbagai aspek memanjangnya LOS seperti dalam bentuk

medis dan ekonomi yang dapat memberikan kerugian baik untuk rumah sakit

maupun pasien. Akibat yang dirasakan pasien salah satunya berupa infeksi

nosokomial, semakin lama pasien di rawat, maka semakin tinggi resiko

terjadinya infeksi nosokomial. Selain itu, tingginya ekonomi merupakan aspek

biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang disebabkan karena adanya

infeksi nosokomial (Arefian et al., 2019). Akibat lain yang dialami rumah sakit
4

berupa kualitas, efisiensi dan keuangan rumah sakit itu sendiri (Dewi et al,

2009) dalam (Rosita & Tanastasya,2019). Data LOS digunakan sebagai

pelaporan keuangan, misalnya dalam membandingkan pasien dengan

kelompok diagnosis dalam Indonesian Case Base Group‘s INA-CBGs

(Hosizah & Maryati, 2018).

Untuk menghindari dampak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan

mobilisasi progresif, akan tetapi hal tersebut harus dimulai sejak dini. Oleh

karena itu, perawat harus memahami tingkat fungsional yang pasien miliki

untuk menentukan dan mempertimbangkan kebutuhan mobilisasi pasien di

tingkat berapa. Perawat memiliki tanggung jawab untuk menyusun rencana

mobilisasi sesuai dengan kondisi pasien masing – masing agar dapat kembali

ke tingkat fungsional yang bermakna. Dalam mencapai tujuan tersebut,

mobilisasi progresif menjadi intervensi yang sangat penting difahami oleh

perawat yang bekerja di ruang ICU (Mehta, 2015).

Tindakan mobilisasi progresif dapat memperpendek masa perawatan

pasien dan tindakan ini sangat bedampak positif khususnya pada pasien dengan

penyakit kardiovaskular, neurologis, muskuloskeletal, metabolik dan trauma

lainnya. Pasien yang tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan mobilisasi

dapat memperpanjang masa perawatannya di Ruang ICU (Tanujiarso &

Lestari, 2020).

Mobilisasi progresif suatu latihan yang dilakukan merangsang sirkulasi

darah, memelihara kekuatan otot dan mempertahankan jantung dan pernapasan,

khususnya pada pasien yang bedrest atau pasien yang ada gangguan pergerakan

atau tidak mampu melakukan mobilisasi akibat kelemahan otot dan lain
5

sebagainya. Mobilisasi progresif salah satu pendekatan komplementer yang

dapat mempengaruhi saturasi oksigen hal ini dikarenakan setelah diberikan

mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head of Bed, gravitasi akan menarik

diafragma kebawah sehingga terjad ekspansi paru (menyebarnya oksigen

dalam paru-paru) yang lebih baik sehingga oksigen yangdiikat oleh

hemoglobin meningkat maka terjadi peningkatan nilai saturasi oksigen, pada

saat diberikan ROM pasif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah maka

kebutuhan oksigen dalam sel meningkat, sebagai respon normal dari

jantungakan meningkatkan kerja jantung sehingga hemoglobin yang mengikat

oksigen juga maningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam sel oleh

karena itu nilai saaturasi oksigen juga meningkat (Suyanti et al., 2019).

American Association of Critical Care Nurses (AACN)

merekomendasikan intervensi mobilisasi progresif, yang meliputi tahapan

berikut: latihan di samping tempat tidur (HOB), latihan rentang gerak aktif dan

pasif (ROM), terapi rotasi lateral lanjutan, posisi pronasi, resistensi gerakan

gravitasi, kaki yang mengantung, pemosisian postur duduk, berjalan dan

berdiri. Mobilisasi bertahap yang diberikan kepada pasien diharapkan dapat

menimbulkan respon hemodinamik yang baik dan mencegah kelemahan otot

pada pasien ICU dengan kondisi bed rest dapat teratasi serta memperpendek

masa perawatan. Mobilisasi yang baik dapat mencegah terjadinya komplikasi

lebih lanjut pada pasien ICU (Cho, Huh, & Sohn, 2020).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanti & Kartika Putri

(2016), yang menunjukkan bahwa pemberian mobilisasi progresif tingkat I

berpengaruh terhadap tekanan darah pada pasien ICU dengan penurunan


6

kesadaran. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan

mobilisasi progresif tingkat I, memiliki tekanan darah lebih stabil. Suyanti,

Iswari, dan Ginanjar (2019) juga mendukung hasil penelitian tersebut, dimana

terdapat perbedaan yang bermakna antara tekanan darah sistol dan diastole

pada pre dan post pemberian mobilisasi progresif tingkat I, hal ini dapat

mempengaruhi LOS pasien.

Berdasarkan penelitian Aryanti (2020) yang bertujuan untuk

mengidentifikasi efektivitas mobilisasi progresif terhadap status fungsional dan

hemodinamik pada pasien tirah baring di ICU, menunjukkan bahwa usia

merupakan variabel perancu untuk status fungsional, keparahan penyakit

variabel perancu untuk tekanan darah dan saturasi oksigen dan terapi inotropik

yang diberikan variabel perancu untuk tekanan darah. Dapat disimpulkan

bahwa mobilisasi progresif efektif terhadap peningkatan status fungsional dan

stabilnya hemodinamik pada pasien tirah baring sehingga pasien dapat keluar

dari ruangan ICU.

Berdasarkan survey pendahuluan peneliti, pada beberapa perawat di

RSUD Bintan, mobilisasi yang sering dilakukan di ruang ICU pada pasien

kritis hanya dilakukan mobilisasi dini seperti miring kanan miring kiri, hingga

perubahan posisi fowler, serta mereka berkolaborasi dengan fisioterapi untuk

melakukan fisioterapi dada, dan massage. Dalam hal ini mobilisasi progresif

sudah dilakukan tetapi belum dilakukan semua tahapan. Perawat

mengungkapkan sebelum dilakukan mobilisasi pasien akan dikaji tingkat

kesadaran dan penggunaan ventilator. Tindakan mobilisasi pasien ICU sendiri

dilakukan 2 jam sekali. Perawat juga menyatakan bahwa mereka belum


7

mengetahui prosedur mobilisasi progresif sangat penting bagi pasien yang di

rawat di ICU. Padahal, mobilisasi progresif merupakan salah satu kebutuhan

dasar bagi pasien, sehingga perawat bertanggung jawab dalam memenuhinya

mengingat pasien di ICU adalah pasien dengan penurunan kesadaran dan

kondisi penyakit yang berat. Oleh karena itu, menjadi sangat penting

pemberian edukasi tentang mobilisasi progresif pada pasien di ruang ICU.

Perawat menyatakan bahwa panduan yang berbentuk jurnal memang tidak

terlalu diminati karena hanya berisi tulisan, apalagi jurnal berbahasa inggris.

Berdasarkan fenomena diatas, melihat belum pernah dilaksanakannya

mobilisasi progresif di RSUD Bintan. Maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang Pengaruh Mobilisasi Progresif Terhadap Length Of Stay (LOS) Pada

Pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah “Apakah ada pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay

(LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay

(LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan.

2. Tujuan Khusus
8

a. Diketahuinya karakteristik responden (usia, pekerjaan dan pendidikan,

GCS, diagnosa medis, penggunaan ventilator, tingkat keparahan).

b. Diketahuinya rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD

Kabupaten Bintan yang dilakukan dengan tindakan mobilisasi progresif.

c. Diketahuinya rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD

Kabupaten Bintan yang tanpa dlakukan dengan tindakan mobilisasi

progresif

d. Diketahuinya pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay

(LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk semua, yaitu :

1. Manfaat Aplikasi

a. Bagi Ilmu Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi infomasi bagi akademik

khususnya mahasiswa keperawatan untuk menambah pengetahuan

tentang tindakan keperawatan terapi mobilisasi progresif pada pasien

ICU dalam mempertahankan kesehatannya

b. Bagi Pelayananan Keperawatan

Sebagai cara meningkatkan mutu dalam pelayanan keperawatan

dalam hal membantu mengontrol atau mempercepat mengembalikan

kesehatan pada pasien ICU.

c. Bagi Peneliti

Peneliti berharap peneliti selanjutnya agar dapat mengaplikasikan

ilmu yang didapat dalam penelitian ini, dan juga dapat melanjutkan
9

penelitian dengan menggunakan judul yang sama atau berbeda akan

tetapi menggunakan metode tindakan non farmakologis yang berbeda.

2. Manfaat Akademik/Teoritis/Keilmuwan

Penelitian bermanfaat sebagai referensi bagi perawat ruang intensif

(ICU) dalam melakukan intervensi keperawatan berupa mobilisasi progresif

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kekuatan otot dan derajat

rentang gerak sendi pada pasien, mengurangi resiko dekubitus, menurunkan

lama penggunaan ventilator, untuk mengurangi insiden Ventilated Accute

Pneumonia (VAP), mengurangi waktu penggunaan sedasi, menurunkan

delirium, meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah dan

meningkatkan fungsi organ-organ tubuh.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Konsep Mobilisasi Progresif

a. Definisi Mobilisasi Progresif

Mobilisasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan

individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari berupa pergerakkan sendi,

sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Potter &

Perry, 2015).

Menurut teori Henderson manusia mempunyai 14 kebutuhan

dasar, salah satunya bergerak dan mempertahankan posisi yang

dikehendaki (mobilisasi). Ketika seseorang sakit dan harus dirawat di

rumah sakit akan terjadi gangguan kebutuhan mobilisasi. Kondisi

imobilitas yang dialami dapat mempengaruhi fisiologis sistem tubuh

yang

abnormal dan patologis seperti perubahan sistem muskuluskeletal, sistem

kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem urinari dan endokrin, sistem

integument, sistem neurosensori, perubahan metabolisme dan nutrisi,


11

perubahan eliminasi bowel, perubahan sosial, emosi, dan intelektual

(Potter & Perry, 2015).

Menurut Hartoyo (2017) mobilisasi mempunyai beberapa manfaat

pada tiap sistem. Seperti pada sitem respirasi, mobilisasi memiliki

fungsi untuk meningkatkan pengembangan diafragma, menurunkan

kerja pernafasan, meningkatkan aliran udara alveolar, meningkatkan

kedalaman dan frekuensi pada pernafasan meningkatkan frekuensi dan


10
kedalaman pernafasan. Untuk tindakan mobilisasi progresif

dilaksanakan pada 2 jam sekali dan memiliki waktu jeda atau istirahat

untuk merubah ke posisi lainnya selama kurang lebih 5 -10 menit.

Mobilisasi progresif adalah mobilisasi yang dilakukan secara

bertahap pada pasien dengan kondisi kritis yang dirawat di ruang ICU.

Protokol mobilisasi berdasarkan Debbie Stayer (2016) dan American

Association of Critical Care Nurses (2015) terdiri dari lima tahapan.

Mobilisasi progresif dimulai dengan safety screening untuk memastikan

kondisi pasien dan menentukan level dari mobilisasi yang dapat

dilaksanakan. Prosedur safety screening dilakukan setiap kali sebelum

pelaksanaan mobilisasi.

Sebelum melakukan mobilisasi progresif maka langkah awal yang

dilakukan adalah mengkaji pasien dari riwayat penyakit yang pernah

dialami, apakah pasien memiliki gangguan sistem kardiovaskuler serta

sistem pernafasan, suhu <38°C, RR 10-30x/menit, HR >60-<120x/menit.

MAP >55-<140, tekanan sistolik berkisar >90-<180 mmHg, Saturasi

oksigen berkisar >90%, tingkat kesadaran, pasien mulai sadar (RASS 5


12

sampai 3). Pada mobilisasi progresif dimulai dengan memberikan posisi

pasien 30 derajat lalu diberikan gerak pasif ROM selama dua kali sehari.

Setelah itu dilanjutkan dengan latihan continous laterally rotation

therapy (CLRT) latihan dilakukan setiap 2 jam. Bentuk latihan berupa

memberikan posisi lateral kanan dan lateral kiri disesuaikan dengan

kapasitas pasien.

b. Tujuan Mobilisasi Progresif

Tujuan dilaksanakan mobilisasi progresif pada pasien di Intensif

adalah mengurangi resiko dekubitus, menurunkan lama penggunaan

ventilator, untuk mengurangi insiden Ventilated Accute Pneumonia

(VAP), mengurangi waktu penggunaan sedasi, menurunkan delirium,

meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah dan meningkatkan

fungsi organ-organ tubuh. Sedangkan pelaksanaan mobilisasi progresif

dilaksanakan tiap 2 jam sekali dan memiliki waktu jeda atau istirahat

untuk merubah ke posisi lainnya selama kurang lebih 5-10 menit. Sebuah

studi di Inggris menunjukkan bahwa dalam jangka waktu delapan jam

kurang dari 3% pasien yang dirawat di ICU dilakukan perubahan posisi

tiap dua jam. Perawatan di ICU Inggris rata- rata perubahan posisi

dilakukan setiap 4 jam, bukan pada 2 jam sekali (Rahmanti & Kartika

Putri, 2016).

Perubahan posisi yang dilakukan 4 jam sekali guna meminimalkan

pergerakan pada pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yurida

(2015) yang berjudul pengaruh mobilisasi progresif level I terhadap nilai

hemodinamik non invasive melakukan mobilisasi hanya satu hari berbeda


13

dengan peneliti melakukan mobilisasi selama dua hari pada pasien

dengan ventilator mekanik.

c. Jenis Posisi Mobilisasi Progresif

Menurut Rahmanti & Kartika Putri (2016) jenis posisi mobilisasi

progresif adalah

1) Head of bed (HOB)

Memposisikan tempat tidur pasien secara bertahap hingga pasien

posisi setengah duduk. Posisi ini dapat dimulai dari 30° kemudian

bertingkat ke posisi 45°,65° hingga pasien dapat duduk tegak. Pada

pasien dimulai mobilisasi progresif. Sebelumnya dikaji dulu

kemampuan kardiovaskuler dan pernafasan pasien. Alat untuk

mengukur kemiringan head of bed bisa menggunakan busur atau pun

accu angle level. Alat ini dapat ditempelkan di posisi tempat tidur

(AACN, 2015).

Gambar 2.1 Elevasi Kepala (AACN, 2015)

2) Range of motion (ROM)

Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan

batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan

sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan sendi

abnormal. Range of Motion juga dapat didefenisikan sebagai jumlah


14

pergerakan maksimum yang dapat dilakukan pada sendi, disalah satu

dari tiga bidang, yaitu : sagital, frontal, transversal. (Potter, 2015).

Ketika otot mengalami imobilisasi akan terjadi pengurangan masa otot

dan mengalami kelamahan. Kegiatan ROM dilakukan pada semua

pasien kecuali pada pasien patah tulang dan tingkat ketergantungan

yang tinggi. Kegiatan Range of Motion dilakukan pada ekstremitas

atas dan bawah,dengan tujuan untuk menguatkan dan melatih otot

agar kembali ke fungsi semula. Kegiatan Range of Motion dialakukan

dalam 2-3 kali sehari (Potter, 2015).

Gambar 2.2 Range Of Motion (Potter, 2015)

3) Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)

Continous Lateraly Rotation Therapy merupakan suatu bagian dari

mobilisasi progresif, yang dilakukan untuk mengurangi komplikasi

fungsi pernafasan. Terapi ini dilakukan melalui gerakan kontinu

rangka tempat tidur yang memutar pasien dari sisi ke sisi. CLRT

mencapai hasil terbaik saat dilakukan setidaknya 18 jam/hari setiap 2

jam (Zakiyyah, 2015).


15

Gambar 2.3 Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)


(Zakiyah, 2015)
4) Posisi Prone

Latihan selanjutnya yaitu memberi posisi pasien pronasi atau

terlung

kup, kepala dan dada menghadap ke bawah. Bantal yang digunakan

harus kecil atau minim untuk mencegah fleksi servikal atau ekstensi

dan menjaga kesejajaran lumbal. Setelah itu tempatkan bantal di

bawah tungkai agar memungkinkan dorsofleksi pergelangan kaki dan

saat fleksi lutut yang mendukung relaksasi, jika bantal tidak tersedia,

pergelangan kaki perlu didorsofleksikan pada ujung bed. Walaupun

posisi terlungkup jarang diberikan, namun untuk mempertimbankan

posisi ini dapat mendukung pasien agar dapat tidur deng an posisi

pronasi sekali (Rahmanti & Kartika Putri, 2016).

Gambar 2.4 Posisi Prone (Rahmanti & Kartika Putri, 2016).

5) Posisi Duduk
16

Cara melatih pasien yang dirawat di ruang intensif dapat diawali

dengan membiasakan pasien untuk duduk bertumpu pada bed,

kemudian dengan memberikan latihan duduk dengan posisi pada

kursi duduk pantai dengan kaki menggantung melawan arah gaya tarik

bumi. Apabila pasien dapat mempertahankan hal tersebut maka pasien

dapat mencapai mobilisasi progresif level II. Pada level II pasien

dapat dilatih dengan posisi duduk sebanyak dua kali sehari. Apabila

pasien telah dilatih duduk maka akan mempunyai kriteria

hemodinamik stabil, tidak terdapat perdarahan, nadi : 60-120x/menit,

MAP >60, SpO2>90%, pernafasan >30x/menit, PaO2 >60mmHg,

pasien tidak terlihat kelelahan, nyeri dan tidak nyaman (Vollman KM,

2015).

Gambar 2.5 Posisi Duduk (Vollman KM, 2015)

6) Posisi Berdiri

Pada saat posisi berdiri dapat diawali dengan pasien berdiri di

samping bed. Saat pasien dapat mempertahankan posisi tersebut maka

bisa dilanjutkan dengan berdiri tanpa bantuan dan melangkah. Jika

pasien dapat melakukan posisi pada tahap ini maka pasien berada di

level IV dalam tahapan mobilisasi progresif. Ditahap ini umumnya


17

pasien dapat membaik dan bersiap untuk dialihkan ke ruang

perawatan biasa (Vollman KM, 2015).

7) Posisi Berjalan

Untuk pasien yang menggunakan ventilator portable dapat

diberikan posisi berjalan. Proses tersebut dapat diawali dengan

memakai

alat bantu jalan

atau walker.

Saat proses ini

pasien berada di level V pada tahapan mobilisasi progresif. Tindakan

awal sebelum latihan berjalan adalahdengan berlatih duduk, kemudian

berdiri dan dilanjutkan melangkah. Untuk latihan posisi berjalan dapat

dipraktekan sebanyak 2 sampai 3 kali dalam satu hari (Vollman KM,

2015).

Gambar 2.6 Posisi Berjalan (Vollman KM, 2015)

d. Tahapan Mobilisasi Progresif

Tindakan mobilisasi progresif terdapat 5 tahapan atau leveldalam

pelaksanaannya yang disebut Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)

yang meliputi :

1) Level 1
18

Diawali dengan melakukan pengkajian pada pasien tentang

riwayat penyakit seperti, gangguan kardiovaskuler dan respirasi. RR

10-30x/menit, HR >60<120x/menit, saturasi oksigen berkisar >90%,

PaO2 : FiO2 > 250, nilai PEEP. <10, suhu <38 0C. MAP >55 <140,

tekanan sistolik berkisar >90 <180 mmHg, Tingkat kesadaran, pasien

perlahan sadar dengan respon mata baik dengan nilai RASS -5 sampai

-3. Skala sedasi agitasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan

mengukur agitasi, serta kedalaman sedasi. Pada 2002 diperkenalkan

Skala Richmond Agitation Sedation Scale (RASS). Skala RASS

dirancang untuk memiliki ketepatan, definisi yang tidak rancu untuk

tingkatan sedasi pada penilaian bangun, kesadaran, serta ketahanan

respons umum (buka mata, kontak mata, gerakan fisik) terhadap

stimuli suara dan fisik yang ada pada perkembangan logis (Suhandoko

dkk., 2014).

Gambar 2.7 Skor Agitasi Dan Sedasi Richmond


19

Saat level I tindakan diawali dengan meninggikan posisi pasien

atau bed pasien >300 kemudian diberikan ROM pasif selama dua kali

dalam sehari. Kemudian dilanjutkan continous lateraly rotation

therapy (CLRT). Latihan ini berupa memberikan posisi miring kanan

dan miring kiri disesuaikan dengan kemampuan pasien dan dapat

dilakukan setiap 2 jam sekali.

Gambar 2.8 Mobilisasi Progresif Level 1 (Klein, K., Mulkey, 2015)

2) Level 2

Jika status hemodinamik pasien stabil serta tingkat kesadaran

meningkat maka pasien dapat membuka mata namun kontak belum

baik nilai RASS -3. Mobilisasi progresif level II diawali dengan

tindakan ROM pasif sebanyak 3 kali per hari dan mulai merencankan

ROM aktif. Kemudian meninggikan posisi atau bed pasien hingga 450-

650yang dilakukan setiap 15 menit lalu melanjutkan dengan melatih

pasien untuk posisi

duduk selama 20

menit.
20

Gambar 2.9 Mobilisasi Progresif Level 2 (Klein, K., Mulkey, 2015)

3) Level 3

Mobilisasi progresif level III bertujuan untuk melatih kekuatan otot

pasien sampai pasien dapat mentolelir gravitasi. Pada level ini pasien

belum sepenuhnya sadar namun sudah ada kontak mata dengan nilai

RASS-1. Tindakan mobilisasi progresif level III diawai dengan

melakukan latihan duduk di tepi bed pasien kemudian kaki diletakkan

menggantung untuk mentolerir gravitasi selama 15 menit dan

dilakukan 2 kali sehari.

Gambar 2.10 Mobilisasi Progresif Level 3 (Klein, K., Mulkey, 2015)

4) Level 4

Mobilisasi pada

level IV diawali dengan


21

duduk seperti duduk di kursi pantai dengan waktu 20 menit sebanyak

3 kali sehari kemudian dilanjutkan dengan duduk di tepi bed pasien

dengan mandiri. Lalu berpindah duduk ke tempat tidur atau kursi

khusus. Kesadaran pasien pada level ini sudah penuh dan dalam

kondisi tenang dengan nilai RASS -0

Gambar 2.11 Mobilisasi Progresif Level 4 (Klein, K., Mulkey, 2015)

5) Level 5

Mobilisaisi progresif level V memiliki tujuan yaitu untuk

meningkatkan kemampuan pasien dalam berpindah maupun bergerak.

Pasien dalam kondisi kooperatif dan sadar penuh dengan nilai RASS -

0. Tindakan mobilisasi pada level ini dilakukan dengan duduk di kursi

khusus kemudiaan dilanjutkan berdiri lalu berpindah tempat. Tindakan

ini dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam sehari.

Gambar 2.12 Mobilisasi Progresif Level 5 (Klein, K., Mulkey, 2015)


22

e. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam melakukan Mobilisasi

Progresif

1) Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen

antidisritmia dalam 24 jam terakhir

2) Tidak ditemukan iskemik Miokard dalam 24 jam terakhir

3) Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam

terakhir

4) FiO2 < 0.6; PEEP < 10 cmH2O (Zaelani K, 2018)

f. Indikasi

Kriteria pasien yang dapat dimobilisasi menurut (Handayani, 2017):

1) M-Myocardial stability

2) Tidak ditemukan iskemik miokard dalam 24 jam terakhir.

3) Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen

antidisritmia dalam 24 jam terakhir.

4) Oxygenation adequate on:

5) FiO2 < 0.6

6) PEEP < 10 cmH2O

7) V- Vasopressor (s) minimal

8) Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam

terakhir.

9) E- Engages to voice

10) Pasien memberikan respon terhadap stimulasi suara.

g. Kontra Indikasi
23

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan mobilisasi

progresif adalah sebagai berikut (Handayani, 2017):

1) Ditemukan iskemik miokard dalam 24 jam terakhir.

2) Ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen antidisritmia

terakhir.

3) Adanya peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam

terakhir

h. Manfaat Mobilisasi

Menurut Kozier, et al. (2017), manfaat yang dapat diperoleh dari

mobilisasi bagi sistem tubuh adalah sebagai berikut :

1) Sistem muskuloskeletal

Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung

dapat dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat

ditingkatkan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat

ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat. Dengan

melakukan latihan, tonus otot dan kemampuan kontraksi otot

meningkat serta dapat meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range

of motion.

2) Sistem kardiovaskular

Melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat

meningkatkan denyut jantung, menguatkan kontraksi otot jantung, dan

menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa

oleh jantung meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah
24

darah yang dipompa oleh jantung normal adalah 5 liter/menit, dengan

mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit.

3) Sistem respirasi

Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi)

meningkat. Ventilasi normal sekitar 5-6 liter/menit. Pada mobilisasi

yang berat, kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari

kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah

penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha

pernapasan.

4) Sistem gastrointestinal

Beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan

tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi

seperti kembalinya mempercepat pemulihan peristaltik usus dan

mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi

abdomen.

5) Sistem metabolik

Dengan latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme,

dengan demikian peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil

pembuanganSelama melakukan aktivitas berat, kecepatan

metabolisme dapat meningkat sampai 20x dari kecepatan normal.

Berbaring di tempat tidur dan makan diit dapat mengeluarkan 1.850

kalori per hari. Dengan beraktivitas juga dapat meningkatkan

penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi

tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh.


25

6) Sistem urinari

Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah,

tubuh dapat memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan

demikian dapat mencegah terjadinya statis urinary. Kejadian retensi

urin juga dapat dicegah dengan melakukan aktivitas

2. Konsep Dasar ICU

a. Pengertian

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit

yang dilengkapi dengan staff dan peralatan khusus untuk merawat dan

mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang

mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi

organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat

menyebabkan

kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif

oleh

karena memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan

monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan yang terjadi atau

akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Kemenkes RI,

2017).

Association of Critical Care Nursing (2016), peran perawat ICU

dalam keperawatan kritis adalah salah satu keahlian khusus didalam ilmu

perawatan yang menghadapi secara rinci terhadap manusia dan

bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa, Pelayanan

keperawatan kritis di lCU merupakan pelayanan yang diberikan kepada


26

pasien dalam kondisi kritis yang mengancam jiwa, sehingga harus

dilaksanakan oleh tim terlatih dan berpengalaman di ruang perawatan

intensif.

Pelayanan keperawatan kritis bertujuan untuk memberikan asuhan

bagi pasien dengan penyakit berat yang membutuhkan terapi intensif dan

potensial untuk disembuhkan, memberikan asuhan bagi pasien

berpenyakit berat yang memerlukan observasi atau pengawasan ketat

secara terus-menerus, untuk mengetahui setiap perubahan pada kondisi

pasien yang membutuhkan intervensi segera (Kemenkes, 2017).

Kemampuan mengobservasi dan pengawasan ketat dibidang perawatan

kegawatan, salah satunya adalah kegawatan dalam monitoring

hemodinamik pada pasien kritis.

b. Ruang lingkup pelayanan ICU

Menurut Kemenkes (2017) meliputi hal- hal sebagai berikut:

1) Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit akut yang mengancam

nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit

sampai beberapa hari.

2) Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus

melakukan penatalaksanaan spesifik problema dasar.

3) Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap

komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenic.

4) Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya

sangat tergantung oleh alat atau mesin dan orang lain

c. Kriteria pasien ICU


27

Menurut Pedoman Pelayanan Instalasi Rawat Intensif RSUP Dokter

Kariadi Semarang (2016) yaitu:

1) Pasien prioritas 1

Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang

memerlukan terapi intensif dan tertitrasi seperti: dukungan ventilasi,

alat penunjang fungsi organ, infus, obat vasoaktif/inotropik obat anti

aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah kardiotoraksis, sepsis

berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang

mengancam nyawa.

2) Pasien prioritas 2

Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di

ICU, sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif

segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary

arterial catheter. Contoh pasien yang mengalami penyakit dasar

jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah

mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas

2 tidak mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa

berubah.

3) Golongan pasien priorotas 3

Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status

kesehatan sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang mendasarinya

atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan

sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat

kecil. Sebagai contoh antara lain pasien dengan keganasan metastatik


28

disertai penyulit infeksi, pericardial tamponande, sumbatan jalan

nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai

kmplikasi penyakit akut berat.

d. Penatalaksanaan

1) Farmakologis

Pada umumnya, pasien yang sakit kritis mendapatkan terapi

sedasi atau analgesik untuk mengatasi rasa nyeri dan kecemasan yang

bertujuan untuk meningkatkan toleransi terhadap lingkungan ICU

(Reade C, Finfer Simon, 2015).

a) Sedasi dengan Benzodiazepin

Benzodiazepin adalah obat jenis sedatif yang popular di

ruang ICU. Dari 13 obat benzodiazepin, terdapat 3 jenis obat yang

diberikan secara intravena yaitu midazolam, lorazepam, dan

diazepam. Pemberian dosisi benzodiazepin yang berlebih dapat

menyebabkan hipotensi, depresi pernapasan dan sedasi yang

dalam.

b) Sedasi dengan propofol

Propofol adalah salah satu obat anestesi yang paling sering

digunakan di ruang ICU yang memiliki sifat mula kerjanya yang

cepat, efektif, dapat dititrasi dan lama kerja yang singkat. Beberapa

penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan propofol

berhubungan dengan pengurangan waktu penggunaan ventilasi

mekanik dibandingkan dengan sedasi menggunakan benzodiazepin.

c) Sedasi dengan haloperidol


29

Haloperidol adalah suatu obat sedatif pilihan untuk pasien

ICU karena tidak menimbulkan depresi kardiorespirasi. Obat ini

efektif untuk menenangkan pasien dengan kondisi delirium.

Haloperidol menghasilkan sedasi dan antipsikosis dengan memblok

reseptor dopamin di sistem saraf pusat. Setelah pemberian dosis

intravena, sedasi dapat timbul dalam 10-20 menit dan lama kerja

beberapa jam.

d) Analgesik opoid

Opoid adalah obat yang sering digunakan dalam mengatasi

nyeri dan sedasi ringan di ICU, tanpa memiliki efek amnesia.

Opoid yang paling banyak digunakan adalah morfin, fentanyl, dan

hydromorfon.

2) Non Farmakologis

Terapi ini merupakan terapi tambahan di luar terapi utama

(medis) dan berfungsi sebagai terapi pendukung untuk mengontrol

gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi terhadap

penatalaksanaan pasien secara keseluruhan diantaranya dapat berupa

relaksasi dalam, terapi musik, mobilisasi (Widyatuti, 2018).

3. Konsep Length of Stay

a. Definisi Length of Stay


30

Length of Stay (LOS) atau lama rawat merupakan jumlah hari pasien

dirawat di rumah sakit, mulai hari masuk sampai dengan hari keluar atau

Rumus : LOS = Tanggal Keluar – Tanggal Masuk


pulang dan LOS di gunakan rumah sakit sebagai indikator pelayanan

(Hosizah & Maryati, 2018).

Tabel 2.1 Rumus LOS

Keterangan :

Perhitungan tanggal masuk atau tambahkan hari berikutnya jika terjadi

pada bulan yang berbeda

Total Length of Stay (TLOS) atau total lama rawat merupakan jumlah

keseluruhan lama rawat dari sekelompok lama rawat pasien pulang pada

waktu tertentu. TLOS dapat digunakan untuk menghitung rata-rata lama

hari perawatanatau Average length of stay (AvLOS). Average length of

stay (AvLOS) merupakan salah satu indikator yang sering digunakan

sebagai bahan evaluasi dan perencanaan sumber daya rumah sakit yang

dapat di tentukan dalam perhitungan bulanan ataupun tahunan serta dapat

dinyatakan dengan perawatan setiap kelas. AvLOS atau rata-rata lama

rawat merupakan rata-rata lama rawat dari pasien keluar (H+M) pada

periode tertentu (Hosizah & Maryati, 2018).

b. Total Length of Stay

Total Length of Stay (TLOS) atau total lama rawat merupakan jumlah

keseluruhan lama rawat dari sekelompok lama rawat pasien pulang pada

waktu tertentu. TLOS dapat digunakan untuk menghitung rata-rata lama

hari perawatan.
31

Tabel 2.2 Contoh Perhitungan Total LOS


Nama Usia Layanan Tgl masuk Tgl pulang LOS
(hari)
A 30 Bedah 10 feruari 19 februari 9
B 35 Umum 15 februari 20 feruari 5
Total 14
LOS

c. Average Length of Stay

Average lengthof stay (AvLOS) merupakan salah satu indicator yang

sering digunakan sebagai bahan evaluasi dan perencanaan sumber daya

rumah sakit yang dapat di tentukan dalam perhitungan bulanan ataupun

tahunan serta dapat dinyatakan dengan perawatan setiap kelas (Safitri &

Kun, 2016). AvLOS atau rata-rata lama rawat merupakan rata-rata lama

rawat dari pasien keluar (H+M) pada periode tertentu (Hosizah &

Maryati, 2018). Adapun rumus AvLOS sebagai berikut :

AvLOS = Total Lama Rawat (Total LOS)

Total Pasien Keluar (H+M)

d. Tinjauan Umum Tentang Faktor-Faktor yang berhubungan dengan

LOS

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan antara lain usia,

jenis kelamin, status nutrisi, kondisi medis pre dan post operatif seperti

anemia, diabetes, hepatitis, gagal ginjal, skor anastesi, kelelahan

intraoperatif, rupture material sutura, pembedahan elektif atau


32

emergensi, infeksi luka atau peningkatan tekanan intra abdominal.

Komplikasi ini mengakibatkan kesakitan, kematian dan sosial ekonomi.

(Velnar, Bailey & Smrkolj, 2019)

1) Jenis penyakit

Menurut Nugraheni, Wiyatini, & Wiradona (2018) Penyakit

merupakan sebuah fenomena kompleks yang berdampak negatif pada

manusia. Penyakit merupakan kondisi dimana terjadinya gangguan

fungsi tubuh yang menyebabkan penurunan kemampuan fisik maupun

psikis yang dapat menyebakan masa harapan hidup normal

memendek.

Menurut Kozier et al., (2015) dalam Rinjani & Triyanti (2016)

penyakit digolongkan menjadi 2 yaitu penyakit akut dan penyakit

kronis. Penyakit akut ditandai dengan gejala berat dalam waktu yang

relatif singkat dan muncul tiba-tiba secara cepat sedangkan pada

penyakit kronis dapat berlangsung lebih lama dalam waktu kurang

dari sama dengan 6 bulan atau seumur hidup terhadap penderita

tersebut serta gejala sering muncul kembali.Setiap jenis jenis penyakit

yang diderita oleh pasien sangat mempengaruhi rata-rata LOS.

2) Tingkat keparahan penyakit

Tingkat keparahan penyakit terbagi menjadi 3 gradasi diantaranya

tingkat keparahan 1 atau ringan yaitu tanpa komplikasi maupun

komordibiti, tingkat keparahan 2 atau sedang yaitu penyakit dengan

mild komplikasi dan komordibiti, dan tingkat keparahan tiga atau

berat yaitu penyakit dengan major komplikasi dan komordibiti


33

menurut (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base

Groups (INA-CBGs), 2016).

Komplikasi adalah penyakit yang timbul dalam masa pengobatan

dan memerlukan pelayanan tambahan sewaktu episode pelayanan,

baik yang disebabkan oleh kondisi yang ada atau muncul akibat dari

pelayanan yang diberikan kepada pasien (Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indnesia Nomor 76 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) Dalam

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, 2017). Komplikasi atau

diagnosa ganda merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi proses lama rawat pasien. Adanya diagnosis ganda

atau komplikasi pada seorang pasien memiliki pengaruh yang besar

pada LOS (Arefian et al., 2019).

3) Usia

Usia atau umur merupakan satuan waktu yang digunakan untuk

mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk baik hidup

maupun mati. Kelompok usia yang rentan terserang penyakit ialah

balita dan lansia, yang dimana pada balita memiliki sistem imun yang

belum sempurna dan pada lansia terjadi penurunan sistem imunitas

tubuh (Nugraheni, Wiyatini, & Wiradona, 2018).

Menurut Kemenkes RI (2016) seiring dengan bertambahnya usia

terjadi proses penuaan yang mengakibatkan penurunan fungsi

fisiologis sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada lanjut


34

usia serta mengalami masalah degeneratif yang dapat menurunkan

daya tahan tubuh sehingga lansia rentan terkena infeksi penyakit

menular.

4) Ketepatan penentuan masalah dan tindakan keparawatan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki kemampuan atau keterampilan

melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan (Kemenkes, 2017).

Pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat disadari bahwa

penyembuhan seseorang bukan hanya bergantung pada obat-obatan

saja tetapi dapat juga dipengaruhi oleh cara pelayanan yang diberiakan

petugas kesehatan seperti sikap, keterampilan maupun pengetahuan

dalam bidang profesi masing-masing (Rikomah, 2017). Tenaga

kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar

masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber

daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.

e. Dampak Memanjangnya LOS terhadap rumah sakit

Dampak dari berbagai aspek memanjangnya LOS seperti dalam

bentuk medis dan ekonomi yang dapat memberikan kerugian baik untuk
35

rumah sakit maupun pasien. Akibat yang dirasakan pasien salah satunya

berupa infeksi nosokomial, semakin lama pasien di rawat, maka semakin

tinggi resiko terjadinya infeksi nosokomial. Selain itu, tingginya ekonomi

merupakan aspek biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang

disebabkan karena adanya infeksi nosokomial (Arefian et al., 2019).

Akibat lain yang dialami rumah sakit berupa kualitas, efisiensi dan

keuangan rumah sakit itu sendiri (Dewi et al, 2009) dalam (Rosita &

Tanastasya,2019). Data LOS digunakan sebagai pelaporan keuangan,

misalnya dalam membandingkan pasien dengan kelompok diagnosis

dalam Indonesian Case Base Group‘s INA-CBGs (Hosizah & Maryati,

2018).

B. Kerangka Teoritik

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan penjelasan tentang teori yang dijadikan

landasan dalam suatu penelitian, dapat berupa rangkuman dari berbagai

teori yang dijelaskan dalam tinjauan pustaka. Didalam kerangka teori

tergambar asumsi-asumsi teoritis yang digunakan untuk menjelaskan

fenomena (Dharma, 2015). Kerangka teori mengenai pengaruh mobilisasi

progresif terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD

Kabupaten Bintan dapat digambarkan seperti bagan pada bawah ini


36
37

Pasien ICU

Penurunan kesadaran, obat


sedasi, keparahan
penyakit

Bed Rest dan Immobilisasi


Pada Pasien Kritis di ICU

Penurunan kekuatan otot

Intensive Care Unit – Acquired


Weakness (ICU-AW)

Komplikasi
Pneumonia, atelaktasis, kehilangan volume
plasma dan kelinganan massa otot

Intervensi Mobiilisasi LOS


Progresif

Tonus otot dan kemampuan kontraksi otot meningkat, meningkatkan kecepatan


metabolisme

Gambar 2.13
Kerangka Teoritis
Sumber : Modifikasi dari Kemenkes (2017), Association of Critical Care Nurses
(2015)

= Variabel diteliti = Variabel yang tidak diteliti

C. Kerangka Konseptual

Kerangka Konsep adalah suatu uraian dan vissualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel

yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin di teliti

(Notoatmodjo, 2018).
38

Adapun kerangka konsep mengenai mobilisasi progresif terhadap

length of stay (LOS) pada pasien ICU dapat digambarkan seperti bagan berikut

ini :

Mobilisasi Progresif

length of stay (LOS)

Tanpa Mobilisasi
Progresif

Gambar 2.14
Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Hipotesis berfungsi untuk menentukan ke arah pembuktian (Notoatmodjo,

2018). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay (LOS) pada

pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan”.

H0 : Tidak ada pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay (LOS)

pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan”.


39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Quasi Experimental menggunakan

pendekatan rancangan penelitian non-equivalent control group design. Non-

equivalent Control Group adalah sebuah rancanagan penelitiandengan melibatkan

2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok control (Aziz, 2017).

Bentuk desain penelitian yang dipilih adalah Post-test Only Control Group

Design. Dalam desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak

dipilih secara random. Dalam desain ini baik kelompok eksperimen maupun

kelompok kontrol dibandingkan. Kelas eksperimen yang mendapatkan perlakuan

sedangkan kelas kontrol tidak mendapatkan perlakuan (Sugiyono, 2018). Skema

Post-test Only Control Group Design ditunjukkan pada tabel 3.1 sebagai berikut:

Gambar 4.1 Skema Desaign Penelitian


A.
O1 X O3

O2
B. X1 O4
40

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan:
O1 : Kelompok intervensi

O2 : Kelompok kontrol
O3 37 dilakukan mobilisasi progresif pada
: Mengukur rerata LOS setelah
kelompok intervensi
O4 : Mengukur rerata LOS tanpa dilakukan mobilisasi progresif pada

kelompok kontrol

X : intervensi Mobilisasi Progresif

X1 : tanpa intervensi Mobilisasi Progresif

Dalam rancangan ini, pengelompokan sampel pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol tidak dilakukan secara random atau acak. Pada penelitian ini di

pilih pasien ICU yang diawali dengan observasi pengukuran selama pasien di

rawat di ICU.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Ruang ICU RSUD Kabupaten Bintan

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu :

b. Tahap Persiapan

Tahap persiapan dilakukan mulai bulan 22 September 2022 sampai

dengan bulan 22 Oktober 2022. Kegiatan pada tahap ini adalah

pengajuan judul, studi pendahuluan, studi kepustakaan, pengurusan surat

izin pengambilan data, menyusun proposal, konsultasi dengan


41

pembimbing I dan pembimbing II sampai mendapatkan persetujuan dari

pembimbing untuk ujian proposal dan revisi proposal.

c. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan dilakukan mulai bulan 17 November 2022

sampai 10 Januari 2022. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah

pengurusan surat izin penelitian, kontrak waktu dan tempat untuk

melakukan penelitian, pembagian responden sesuai dengan kriteria

inklusi. Kemudian, data yang sudah terkumpul akan dilakukan analisis.

d. Tahap penyusunan laporan

Penyusunan laporan dilakukan pada bulan 24 Januari 2022, pada

tahap ini memuntuk hasil pengolahan data, menyusun laporan hasil

penelitian, konsultasi pembimbing I dan pembimbing II sampai mendapat

persetujuan pembimbing untuk ujian skripsi dan revisi skripsi.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU RSUD Kabupaten Bintan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik

tertentu yang akan diteliti (Nursalam, 2017). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien ICU di RSUD Bintan. Jumlah populasi pada


42

penelitian ini adalah pasien ICU di RSUD Bintan dari bulan Juni sampai

dengan Agustus 2022 yang berjumlah 31 orang.

2. Sampel

a. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2018).

Pada penelitian eksperimen, untuk mengantisipasi kemungkinan

subyek terpilih yang drop out, loss to follow up, atau subyek yang tidak

taat maka dilakukan koreksi dari tiap kelompok perlakuan akan dihitung

menggunakan rumus Federer. Satu kelompok perlakuan (moblisasi

progresif) dengan satu kelompok kontrol (tidak dilakuka mobilisasi

progresif).

Rumus Federer: (n-1) (t-1) ≥ 31; (Sopyudin, 2018).

dengan t = jumlah kelompok = 2 (1 kelompok eksperimen dan 1 kelompok

kontrol)

n = jumlah sampel

(n-1) (2-1) ≥ 31

1 (n-1) ≥ 31

n ≥ 32 (Sopyudin, 2018).

Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu sebesar 24 sampel yang

terdiri dari 16 keompok kontrol 16 kelompok eksperimen.


43

b. Teknik Sampling

Teknik Sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang

digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah

sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Notoatmodjo,

2018). Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan metode totale sampling yaitu teknik pengambilan sampel

dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2017). Pada

penelitian ini, penulis menetapkan sampel dari jumlah populasi sampel

yang di ambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a) Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sampel

(Notoatmodjo, 2018).

1) Pasien baru yang dirawat di Ruangan ICU

2) Pasien berumur >18 tahun

3) Pasien /keluarga yang bersedia untuk diteliti dengan

menandatangani surat persetujuan peserta penilitian.

4) Pasien dengan tanda-tanda vital yaitu MAP>55 <140, tekanan

sistolik 90-180 mmHg, saturasi oksigen >90%, RR 10-30, HR >60

<120, suhu >380C

5) SOFA Skor <7

b) Kriteria Eksklusi

Kriteria Eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat

diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2018).


44

1) Pasien dengan fraktur

2) Pasien dengan infark miokard dala 24 jam terakhir

3) Adanya peningkatan dosis pemberian vassopresor dalam 2 jam

terakhir

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki oleh satuan peneliti tentang suatu konsep pengertian

tertentu, misalnya umur, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin.

a. Variabel Bebas (Independen)

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau

dianggap menentukan variabel terkait. Pada variabel bebas di penelitian ini

yaitu mobilisasi progresif

b. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini variabel

terikat adalah LOS (Length of Stay)

2. Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah suatu batasan untuk membatasi ruang

lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati/diteliti. Definisi

operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran

atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang berangkutan serta

pengembangan instrumen (alat ukur) (Notoatmodjo, 2018).


45

Tabel 3.1
Pengaruh Mobilisasi Progresif Terhadap Length Of Stay (LOS) pada
pasien ICU
Definisi Cara Alat Hasil
No Variabel Skala
Operasional Ukur Ukur Ukur
1. Independen
Mobiliasi Kegiatan Dilakukan Lembaran 1. Nominal
Progresif mobilisasi setiap 2 SOP Dilakukan
yang jam untuk 0. Tidak
dilakukan miring dilakuka
secara kanan dan n
bertahap kiri, jeda
pada pasien waktu
dengan HOB
kondisi kritis dilakukan
dumulai setiap 15
dengan menit dan
pemeriksaan 20 menit
status untuk
hemodinami Latihan
kdan RASS. duduk
kegiatan
tersebut
meliputi
HOB (head
of bed)
30,45,65
derajat,
mobilisasi
miring
kanan kiri,
Latihan
ROM pasif
dan aktif dan
melatih
pasien
duduk.
2. Dependen
LOS Lama hari Observasi Lembar Dalam Interval
(Length of pasien Observasi satuan hari
Stay) dirawat (efektif 3-
mulai dari 12 hari)
masuk
sampai
dengan
keluar ICU
46

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh penulis sendiri. Rangkaian kegiatan

selama penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Meminta permohonan ijin penelitian dari institusi Stikes Hang Tuah

kepada Direktur RSUD Kabupaten Bintan.


47

2. Meminta data kematian di ICU dan jumlah pasien lama rawatan di Dinas

Kesehatan Provinsi Kepri, Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan dan RSUD

Bintan.

3. Menentukan jadwal penelitian

4. Meminta surat ijin penelitian pada institusi dan menyerahkannya pada pihak

RSUD Bintan

5. Mendapatkan surat izin penelitian dari pihak RSUD Bintan

6. Melakukan penelitian di Ruang ICU RSUD Bintan

7. Melakukan informed consent pada keluarga

8. Mengambil data karakteristik responden

9. Melakukan mobilisasi progresif dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

10. Melakukan post test dengan melihat rerata hari rawatan

11. Melakukan pengolahan data penelitian

F. Alat Pengumpulan Data

Instrumen merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti

dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi

sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto, 2019). Alat yang digunakan

pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data rekam medik. Dalam hal

ini peneliti menggunakan lembar observasi dan SOP mobilisasi progresif.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji Validitas (Keakuratan/Keandalan)


48

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2018).Validitas merupakan

ketepatan pengukuran suatu instrumen, artinya suatu instrumen dikatakan

valid apabila instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Jadi

validitas merupakan penentu suatu penilitian yang akurat dengan didukung

alat ukur yang valid dengan desain penelitian apapun. Intrumen pada

penelitian ini tidak dilakukan uji valliditas karena menggunakan lembar

observasi dan SOP mobilisasi progresif.

b. Uji Reliabilitas (Kekonsistensian)

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

mengukur dapat dipercayai atau dapat diandalkan. Uji Reliabilitas adalah uji

yang dilakukan untuk mengetahui sebuah instrumen yang digunakan telah

reliable. Suatu instrumen dianggap reliabel apabila instrumen tersebut dapat

dipercaya sebagai alat ukur data penelitian (Notoatmodjo, 2018). Pada

penelitian ini, penulis tidak melakukan uji reliabilitas, karena penulis

menggunakan lembar observasi yang sudah sesuai dengan teori.

H. Teknik Analisa Data

1. Prosedur Pengolahan Data

Setelah mengumpulkan data, maka dilakukan pengolahan data dengan

komputerisasi dengan langkah-langkah pengolahan data antara lain :

a. Editing
49

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Seacara umum editing dilakukan untuk

mengecek, atau perbaikan isi lembar observasi atau penulisan hasil dari.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng “kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat

atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Setelah semua lembar

observasi diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan peng “kodean”

atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan.

1. Usia

a. Usia <45 tahun diberi kode = 1

b. Usia 45-60 tahun diberi kode = 2

c. Usia ≥60 tahun diberi kode = 3

2. Jenis Kelamin

a. Laki-Laki diberi kode = 1

b. Perempuan diberi kode = 2

3. Pendidikan

a. SD diberi kode = 1

b. SMP diberi kode = 2

c. SMA diberi kode = 3

d. Diploma diberi kode = 4

e. S1 diberi kode = 5

4. Pekerjaan
50

a. IRT diberi kode 1

b. Nelayan diberi kode 2

c. Buruh diberi kode 3

d. Pegawai Swasta diberi kode 4

e. Guru diberi kode 5

f. Pegawai Negeri Sipil diberi kode 6

5. Diagnosa

a. Bedah diberi kode 1

b. Non Bedah diberi kode 2

6. GCS

a. GCS <10 diberi kode 1

b. GCS ≥10 diberi kode 2

7. Tingkat Keparahan

a. 0-6 diberi kode 1

b. 7-9 diberi kode 2

8. Peggunaan Ventilator

a. Ya diberi kode 1

b. Tidak diberi kode 2

c. Entry Data

Entry data, yakni memasukkan jawaban-jawaban dari kuesioner

yang diisi responden dimasukkan ke dalam program pengolahan data

agar dapat dianalisis. Data yang telah dimasukkan diolah dengan

menggunakan program computer ke dalam master tabel. Setelah semua

isian kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah melewati proses
51

pengkodingan maka langkah selanjutnya peneliti memproses data agar

dapat dianalisis.

d. Scoring

Data yang diolah telah dimasukan dan diberikan penilaian angka

masing-masing sehingga data tersebut dapat dianalisisa.

e. Cleanning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini

disebut pembersihan data (Notoatmodjo, 2018).

2. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian menggunakan komputasi/perangkat

lunak.

a. Uji Univariat

Uji univariat merupakan analisa bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk uji

univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis

ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan prentasi dari setiap

variabel (Notoatmodjo, 2018). Pada penelitian ini, analisis univariat

digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik responden, LOS yaitu

data ratio, disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase.


52

b. Uji Bivariat

Analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

peneliti ingin menguji normalitas data terlebih dahulu, kemudian jika

hasil normalitas maka maka peneliti menggunakan uji independent t test

dengan kriteria :

1) Bila nilai p ≤ 0,05 Ha diterima, menunjukkan ada pengaruh mobilisasi

progresif terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD

Kabupaten Bintan

2) Bila nilai p > 0,05 H0 ditolak, menunjukkan tidak ada pengaruh

mobilisasi progresif terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU

Di RSUD Kabupaten Bintan

I. Pertimbangan Etik

Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapat izin dari RSUD Bintan

untuk melakukan penelitian. Setelah mendapat izin, barulah melakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika. Penelitian menggunakan etika

sebagai berikut (Nursalam, 2017) :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed

consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,

mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus


53

menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka

peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi yang harus ada

dalam informed consent tersebut antara lain: partisipasi pasien, tujuan

dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur

pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasian,

informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain.

2. Anonimity ( tanpa nama )

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data hasil penelitian yang akan

disajikan, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil

penelitian.

3. Kerahasiaan ( confidentiality )

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

penelitian

4. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)

Penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional,

berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,

keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius

subyek penelitian. Menekankan kebijakan penelitian, membagikan


54

keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan,

kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Peneliti mempertimbangkan aspek

keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama

baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.

Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel secara convenience yaitu

memilih sampel berdasarkan keinginan peneliti, jadi semua catatan medik

pasien mempunyai kesempatan yang sama untuk jadi responden penelitian.

5. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)

Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian

guna mendapatkan hasil yang bennanfaat semaksimal mungkin bagi subyek

penelitian dan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence).

Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek

(nonmaleficence).
55

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini menjelaskan hasil penelitian tentang pengaruh mobilisasi progresif

terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 2022 sampai 10

Januari 2022, dengan jumlah responden sebanyak 32 orang yang terdiri dari 16

kelompok intervensi dan 16 kelompok konttrol. Proses penelitian dilakukan

pada setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi sampel penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Di RSUD Kabupaten Bintan. Jika responden

bersedia menjadi responden, maka responden wajib mengisi informend

concent terhadap responden dan dilanjutkan dengan perlakuan mobilisasi

progresif dan posttest.

1. Analisis Univariat

Analisa univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

karakteristik responden yang terdiri dari usia, pekerjaan dan pendidikan,

GCS, diagnosa medis, penggunaan ventilator, tingkat keparahan.

a. Karakteristik Responden

Karakteristik responden berdasarkan usia, pekerjaan dan

pendidikan, GCS, diagnosa medis, penggunaan ventilator, tingkat

keparahan merupakan data kategorik dan akan disajikan dalam bentuk ju

mlah dan persentase.


56

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis
52
Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Diagnosa Medis, GCS, Penggunaan
Ventilator, Tingkat Keparahan di Ruang ICU RSUD Kabupaten Bintan

NO Karakteristik Responden Kelompok Kelompok


Intervensi Kontrol
f % f %
1 Usia
a. <45 Tahun 1 6,3 5 31,3
b. 45-60 Tahun 8 50,0 7 43,8
c. ≥60 Tahun 7 43,8 4 25,0

2 Jenis Kelamin
a. Laki-Laki 7 43,8 6 37,3
b. Perempuan 9 56,2 10 62,5

3 Pendidikan
a. SD 4 25,0 2 12,5
b. SMP 2 12,5 4 25,0
c. SMA 1 50,0 8 50,0
d. Diploma 1 6,3 0 0,0
e. S1 1 6,3 2 12,5
3 Pekerjaan
a. IRT 8 50,0 6 37,5
b. Nelayan 3 18,8 2 12,5
c. Buruh 3 18,8 4 25,0
d. Pegawai Swasta 1 6,3 2 12,5
e. Guru 1 6,3 0 0,0
f. Pegawai Negeri Sipil 0 0,0 2 12,5
4 Diagnosa Medis
a. Bedah 0 0.0 3 18,8
b. Non Bedah 16 100,0 13 81,2
4 GCS
a. GCS <10 1 6,3 0 0,0
b. GCS ≥10 15 93.8 15 100,0
5 Tingkat Keparahan
c. 0-6 15 93,8 15 93,8
d. 7-9 1 6,3 1 6,3
6 Pengggunaan Ventilator
a. Ya 0 0,0 0 0,0
b. Tidak 16 100,0 16 100,0
Total 16 100 16 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah responden

dalam penelitian ini adalah sebanyak 32 orang yang terdiri dari 16


57

kelompok intervensi dan 16 kelompok kontrol. Pada kelompok

intervensi, sebagian besar responden berusia 45-60 tahun yaitu 8 orang

(50%) dan 7 orang (43,8%) pada kelompok kontrol. Jenis kelamin

responden pada kelompok intervensi sebagian besar berjenis kelamin

perempuan yaitu 9 orang (56,2%) dan 10 orang (62,5%) pada kelompok

kontrol. Pendidikan responden pada kelompok intervensi sebagian besar

SD , yaitu 4 orang (25%) dan pada kelompok kontrol Sebagian besar

SMA yaitu 8 orang (50%). Pekerjaan responden sebagian besar ibu

rumah tangga, yaitu 8 orang (50%) pada kelompok intervensi dan 6

orang (37,5%) pada kelompok kontrol. Diagnosa Medis resonden

sebagian besar non bedah yaitu 16 orang (100%) pada kelompok

intervensi dan 13 orang (81,2%) pada kelompok kontrol. Hasil GCS

responden sebagian besar lebih dari 10 yaitu 15 orang (93,8%) pada

kelompok intervensi dan 15 orang (100%) pada kelompok kontrol.

Tingkat keparahan penyakit pada responden sebagian besar 0-6 yaitu 15

orang (93,8%) pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. semua

pasien tidak menggunakan ventilator yaitu 16 orang (100%) pada

kelompok intervensi dan kelompok perlakuan.

b. Rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten

Bintan yang dilakukan dengan tindakan mobilisasi progresif

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Rerata Length Of Stay (LOS) Pada Pasien ICU
Di RSUD Kabupaten Bintan Yang Dilakukan Dengan Tindakan
Mobilisasi Progresif

Kelompok Mean Minimal Maksimal SD


Intervensi 2,00 1 3 0,816
58

Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata lama hari

rawatan pada pasien ICU yang dilakukan Tindakan mobilisasi progresif

yaitu 2,00 dengan standar deviasi 0,816

c. Rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten

Bintan yang tidak dilakukan dengan tindakan mobilisasi progresif

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Rerata Length Of Stay (LOS) Pada Pasien ICU
Di RSUD Kabupaten Bintan Yang Tidak Dilakukan Dengan
Tindakan Mobilisasi Progresif

Kelompok Mean Minimal Maksimal SD


Kontrol 4,31 2 7 1,352

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata lama hari

rawatan pada pasien ICU yang tidak dilakukan Tindakan mobilisasi

progresif yaitu 4,31 dengan standar deviasi 1,352

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh mobilisasi

progresif terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD

Kabupaten Bintan, Berdasarkan analisa data uji Independent t test.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Pengaruh Mobilisasi Progresif Terhadap Length
Of Stay (LOS) Pada Pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan
Mean Diference t test p value
Lama Hari 2,00 5,164 0,000
Rawatan

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa pengaruh mobiliasi

progresif terhadap lama hari rawatan pasien ICU menggunakan uji

indenpendent t-tes menunjukkan p value = 0,000 (p value <0,05). hal ini


59

berarti ada perbedaan lama hari rawatan pasien ICU yang dilakukan

mobilisasi progresif dan yang tidak dilakukan mobilisasi progresif

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden kelompok

intervensi tergolong usia lansia awal dan akhir atau berusia 45-60 tahun

sebanyak 50% dan untuk kelompok kontrol diketahui sebagian besar juga

tergolong usia lansia awal dan akhir sebanyak 43,8%. Berdasarkan teori

yang dikemukakan oleh Kemenkes (2015) menyebutkan batasan usia lansia

adalah dimulai dari 46-65 tahun dan dibedakan menjadi usia lansia awal dan

lansia akhir.

Semakin bertambahnya usia seseeorang, maka akan

mengakibatkan perubahan pada fisiologis karena proses penuaan.

Perubahan fisiologis tersebut akan menimbulkan dampak bagi

kesehatan. Kondisi inilah yang menyebabkan lansia lebih banyak di rawat

di rumah sakit. Akibat dari lamanya usia hidup seseorang merupakan

penyebab tunggal meningkatnya jumlah pasien kritis lansia dengan

penyakit multiple serta penyakit akut. (Hartoyo & Rachmilia, 2017)

Menurut Kozier (2015), hemodinamik pada setiap rentang usia

berbeda-beda, pada kajian ini tampak pada perbedaan tekanan darah,

frekuensi nadi dan napas. Pada usia dewasa frekuensi nadi berkisar antara

60-100 kali permenit, napas 18-20 kali/ menit dan tekanan darah sistolik

berkisar 90-140 mmHg, tekanan diastolik 60-80 mmHg. Pada usia dewasa
60

lanjut terkadang dikategorikan pada lansia biasanya mengalami penurunan

pada frekuensi nadi 70 -80 kali/menit, napas 16-18 kali/menit dan tekanan

darah mengalami peningkatan pada diastolik. Pada landasan teori telah

dikemukaan bahwa kondisi biologis individu, penurunan jumlah sel

fungsional, penurunan penggunaan oksigen, pompa darah, regangan otot,

hormon dan aktivitas yang mempengaruhi fungsi.

Menurut asumsi peneliti, usia responden dalam penelitian ini

merupakan usia lansia dimana secara struktur anatomi maupun fungsional

terjadi kemunduran (degenerasi) pada banyak organ dan system yaitu

menurunnya daya tahan tubuh atau imunitas sehingga sangat rentan

terhadap penyakit, kapasitas vital paru menurun, indeks cardiac menurun

sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas.

Untuk karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada

masing-masing kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol

didominasi responden berjenis kelamin perempuan 56,2% dan 62,5%. Hal

ini juga dipengaruhi oleh gaya hidup tidak sehat seperti Kebiasaan Merokok

yang banyak dilalukan oleh laki-laki dimana efek Merokok dapat

menyebabkan gangguan pertukaran dan trasprotasi oksigen didalam tubuh.

Rokok banyak mengandung bahan beracun seperti nikotin, tar, dan zat

adaptif yang dapat menempel dipermukaan saluran pernafasan. Bahan

beracun tersebut dapat mengganggu pertukaran gas antara alveoli dan

pembuluh darah diparu. Hambatan diatas tentu akan mempengaruhi

terhadap tubuh dalam mengambil oksigen (Hapsari, 2014).


61

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Rachmilia pada tahun 2017 bahwa kelompok terbesar responden adalah

jenis kelamin perempuan yaitu 10 responden (66,7%) dan responden laki-

laki berjumlah 5 responden (33,3%). Selain itu, penelitian ini juga sejalan

dengan penelitian Suyanti (2019) di Ruang ICU RS Muhammadiyah

Palembang. Pada penelitian ini didapatkan hasil responden perempuan

lebih banyak daripada responden laki-laki yaitu sejumlah 10 responden

(62,5%) kemudian untuk laki laki 6 orang (37,5%).

Menurut asumsi peneliti, laki-laki cenderung memiliki kebiaaan hidup

yang tidak sehat seperti Kebiasaan Merokok sehingga mengganggu

pertukaran gas antara alveoli dan pembuluh darah diparu. Hambatan diatas

tentu akan mempengaruhi terhadap tubuh dalam mengambil oksigen.

Untuk karakteristik responden berdasarkan pendidikan responden

pada kelompok intervensi sebagian besar SD 25% dan pada kelompok

kontrol sebagian besar SMA 50%. Menurut teori Notoatmodjo (2018)

mengatakan jika tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang untuk menerima sebuah informasi dan mengolahnya

sebelum menjadi sebuah perilaku yang baik maupun buruk sehingga dapat

berdampak terhadap status kesehatannya.

Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

responden rata-rata berpendidikan rendah yaitu SD. Tingkat pendidikan

rendah pada responden dapat mempengaruhi kemampuannya dalam

menerima informasi terkait informasi kesehatan yang akan berpengaruh

pada perilaku hidup sehatnya.


62

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar ibu

rumah tangga, yaitu 50% pada kelompok intervensi dan 37,5% pada

kelompok kontrol. Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan

terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga

(Nursalam, 2015), maka jika seseorang tidak mempunyai pekerjaan akan

memberi dampak dalam keluarganya karena tidak dapat menunjang

kehidupan. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa responden bekerja

sebagai wiraswasta (Sugimin, 2017), dan swasta (Retnaningsih & Etikasari,

2016). terdapat beberapa fungsi dalam keluarga yang dapat dilihat dan telah

diterapkan oleh masyarakat yaitu fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi,

perawatan, dan fungsi ekonomi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

Faktor pekerjaan berpengaruh terhadap lama hari rawat yang sesuai

dengan hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden kelompok

perlakuan dan kontrol pekerjaan swasta dimana hal ini disebebkan karena

pekerjaan akan menentukan pendapatan dan ada atau tidaknya jaminan

kesehatan untuk menanggung biaya perawatan. Adanya kecenderungan

pasien yang biaya perawatannya ditanggung oleh perusahaan atau pihak

asuransi mempunyai lama rawat yang lebih lama dari pada pasien yang

menanggung sendiri biayanya. Hal ini dapat disebabkan karena proses

penyelesaian administrasi yang memakan waktu dan kondisi sosial ekonomi

pasien. Kondisi sosil ekonomi yang rendah dapat mengakibatkan seorang

pasien mempercepat lama rawatnya untuk menghindari mengeluarkan


63

banyak biaya atau justru memperlama karena tidak memiliki biaya untuk

memenuhi administrasi selama perawatan (Wartawan, 2015).

Menurut asumsi peneliti, orang yang tidak bekerja dapat

mempengaruhi dalam hal status perawatan pasien ICU dalam hal ekonomi.

Karakteristik responden berdasarkan diagnosa Medis resonden

sebagian besar non bedah (100%) pada kelompok intervensi dan 81,2%

pada kelompok kontrol. Data ini sesuai dengan informasi yang

dikumpulkan oleh Hospital Episode Statistics (2014) yang menunjukkan

data bahwa lebih dari setengah yaitu 53,4% pasien yang masuk ke

unit perawatan kritis merupakan kasus emergensi akibat dari penyakit akut

yang tidak terdugadan sebesar 34,5% merupakan kasus pembedahan.

Pasien-pasien ICU adalah Pasien yang dalam kondisi kritis dan perlu

penanganan yang mendetail dan komprehensif dikarenakan penyakit pada

pasien ICU sangat kompleks dimana terdiri lebih dari 1 diagnosa penyakit

dan sebagian besar merupakan penyakit kronik. Menurut (Aprina, 2017)

Responden dengan diagnosis penyakit komplikasi berpeluang 6,8 kali lebih

lama perawatan

Menurut asumsi peneliti, pasien di ICU adalah dalam kategori pasien

sedang atau tidak begitu kritis.

Hasil GCS responden sebagian besar lebih dari 10 93,8% pada

kelompok intervensi dan 100% pada kelompok kontrol. Pasien dengan

penurunan kesadaran memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan

kontak sosial dengan keluarga dan kerabat, pasien mengalami

ketidakmampuan memproses stimulasi secara optimal karena mengalami


64

penurunan kesadaran, sebagian pasien juga mengalami retriksi mobilitas dan

tirah baring yang lama. Hal-hal tersebut merupakan faktor terjadinya

deprivasi sensori, dimana pasien akan mengalami gangguan persepsi sensori

sehingga mengalami defisit perawatan diri, hambatan komunikasi dan

gangguan memori. Hal tersebut di atas dapat menambah kegawatan pada

pasien apabila tidak ditangani sejak dini (Lumbantobing, 2015). Dalam hal

ini menurut asumsi peneliti, didapatkan bahwa hasil GCS pasien adalah

lebidah dari 10 sehingga untuk lama perawatan tidak begitu lama

Tingkat keparahan penyakit pada responden sebagian besar 0-6 yaitu

93,8% pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. semua pasien tidak

menggunakan ventilator yaitu 100% pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tobi dan

Frederick (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 49 pasien yang

terpasang ventilator mekanik dari total 175 pasien yang dirawat ICU

terjadi perpanjangan LOS pada 27 pasien (30%) sedangkan 22 pasien

(24,4%) tidak mengalami perpan-jangan LOS. Penelitian oleh Baueret

al10mengenai waktu tindakan intubasi terhadap pasien-pasien di ICU

menunjukkan bahwa pasien yang diintubasi lebih lambat akan lebih

cenderung meningkatkan LOS di ICU maupun LOS di rumah sakit

dibanding dengan pasien yang lebih cepat diintubasi

Menurut asumsi peneliti, penggunaan ventilator sangat berdampak

terhadap lamanya hari rawat, dalam hal ini responden tidak menggunakan

ventilator sehingga lama hari rawatan tidak begitu lama.


65

2. Rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten

Bintan yang dilakukan dengan tindakan mobilisasi progresif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa rata-rata lama hari

rawatan pada pasien ICU yang dilakukan Tindakan mobilisasi progresif

yaitu 2,00 dengan standar deviasi 0,816. Pada pasien kritis lebih baik untuk

diberikan mobilisasi dari pada pasien dibiarkan dalam posisi supine secara

terus menerus. Karena dengan membiarkan pasien dalam keadaan

imobilisasi akan memberi dampak yang buruk pada organ- organ tubuh.

Maka dari itu perawat perlu merencanakan kegiatan mobilisasi kepada

pasien. Mobilisasi adalah kegiatan fundamental keperawatan yang

membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan untuk menerapkan secara

efektif untuk pasien sakit kritis. Mobilisasi dapat menghasilkan outcome

yang baik bagi pasien seperti meningkatkan pertukaran gas, mengurangi

angka VAP , mengurangi durasi penggunaan ventilator, dan meningkatkan

kemampuan fungsional jangka panjang (Vollman, 2015)

Pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan

pasien kritis yang dalam keadaan terancam jiwanya karena kegagalan atau

disfungsi pada satu atau multipelorgan yang disertai gangguan

hemodinamik. Pasien kritis dalam keadaan penurunan kesadaran memiliki

keterbatasan. Pasien kritis atau membutuhkan perawatan dan pemantauan

yang cukup ketat dari tenaga medis. Mulai dari pasien yang baru saja

menjalani operasi, kecelakaan, atau mengalami cedera di kepala (Maulana,

2019). Pasien kritis yang menjalani perawatan di ICU memiliki berbagai

kondisi yang mengharuskan pasien untuk bed rest. Kompleksitas program


66

terapi dan pemantuan pasien kritis menekankan perawat untuk fokus

terhadap stabilisasi kondisi respirasi, sirkulasi, dan status fisiologis lainnya

untuk mempertahankan kehidupan pasien. Hal ini menyebabkan mobilisasi

terkadang terlewatkan oleh perawat (Nofianto, 2016).

Pada pasien kritis konsekuensi terbesar dari bedrest atau imobilisasi

adalah sistem pernafasan meliputi pengembangan kompresi atelectasis dari

pembentukan edema dengan pasien posisi supine dan kelemahan fungsi

paru, reflek batuk, dan drainase tidak bekerja dengan baik ketika pasien

dalam posisi supine (Vollman, 2015). Menurut Ristanto (2018), respirasi,

umumnya dilakukan melalui pengukuran RR. Frekuensi pernafasan

merupakan salah satu komponen tanda vital, yang bisa dijadikan indikator

untuk mengetahui kondisi pasien, terutama kondisi pasien kritis. Menurut

Perry & Potter (2015), Respiratory Rate (RR) adalah jumlah siklus

pernafasan (inspirasi dan ekspirasi penuh) yang dihitung dalam waktu 1

menit atau 60 detik.

Mobilisasi progresif salah satu pendekatan komplementer yang dapat

mempengaruhi saturasi oksigen hal ini dikarenakan setelah diberikan

mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head of Bed, gravitasi akan menarik

diafragma kebawah sehingga terjad ekspansi paru (menyebarnya oksigen

dalam paru-paru) yang lebih baik sehingga oksigen yang diikat oleh

hemoglobin meningkat maka terjadi peningkatan nilai saturasi oksigen, pada

saat diberikan ROM pasif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah

maka kebutuhan oksigen dalam sel meningkat, sebagai respon normal dari

jantungakan meningkatkan kerja jantung sehingga hemoglobin yang


67

mengikat oksigen juga maningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen

dalam sel oleh karena itu nilai saaturasi oksigen juga meningkat (Suyanti et

al., 2019).

Menurut teori Henderson manusia mempunyai 14 kebutuhan

dasar, salah satunya bergerak dan mempertahankan posisi yang

dikehendaki (mobilisasi). Ketika seseorang sakit dan harus dirawat di

rumah sakit akan terjadi gangguan kebutuhan mobilisasi. Kondisi

imobilitas yang dialami dapat mempengaruhi fisiologis sistem tubuh yang

abnormal dan patologis seperti perubahan sistem muskuluskeletal, sistem

kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem urinari dan endokrin, sistem

integument, sistem neurosensori, perubahan metabolisme dan nutrisi,

perubahan eliminasi bowel, perubahan sosial, emosi, dan intelektual (Potter

& Perry, 2015).

Mobilisasi progresif dapat mempengaruhi saturasi oksigen hal ini

dikarenakan setelah diberikan mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head

of Bed, gravitasi akan menarik diafragma kebawah sehingga terjadi ekspansi

paru (menyebarnya oksigen dalam paru-paru) yang lebih baik sehingga

oksigen yang diikat oleh hemoglobin meningkat maka terjadi peningkatan

nilai saturasi oksigen. Selain itu Mobilisasi progresif juga dapat

mempengaruhi tekanan darah hal ini dikarenakan setelah diberikan

mobilisasi progresif level 1 pada posisi head of bed menunjukkan aliran

balik darah dari bagian inferior menuju ke atrium kanan cukup baik karena

resistensi pembuluh darah dan tekanan atrium kanan tidak terlalu tinggi,

sehingga volume darah yang masuk (venous return) ke atrium kanan cukup
68

baik dan tekanan pengisian ventrikel kanan (preload) meningkat, yang dapat

mengarah pada peningkatan volume jantung dan cardiac output (Suyanti et

al., 2019).

Implementasi program mobilitas progresif dini di ICU dapat

menyebabkan pengurangan hari LOS dan ventilator, serta peningkatan fisik

dan mental hasil kesehatan untuk populasi yang sakit kritis. Instansi entitas

pemerintah memiliki mengamanatkan rumah sakit untuk mengurangi lama

tinggal dan menjadi lebih hemat biaya, keluar organisasi perawatan

kesehatan untuk menggabungkan praktik terbaik untuk meningkatkan hasil

pasien (Szubski et al., 2014).

Dalam hal ini, peneliti melakukan mobilisasi progresif diawali dengan

menilai keamanan pasien berdasarkan beberapa kriteria salah satunya

dengan menggunakan kriteria RASS (Richmon Agitation Sedation Scale).

RASS juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kesadaran pasien

di ruang ICU. Peningkatan level di dalam mobilisasi progresif juga akan

dinilai berdasarkan RASS dari masing-masing pasien sehingga pasien

mampu untuk meningkat ke level selanjutnya. Kemudian peneliti

melakukan HOB (head of bed) 30,45,65 derajat, mobilisasi miring kanan

kiri, Latihan ROM pasif dan aktif dan melatih pasien duduk. Peneliti

melakukan setiap 2 jam untuk miring kanan dan kiri, jeda waktu HOB

dilakukan setiap 15 menit dan 20 menit untuk Latihan duduk. Hasil

penerapan mobilisasi progresif menjunjukkan bahwa terdapat peningkatan

kondisi pasien di ICU setelah dilakukan mobilisasi progresif sehingga dapat

mengurangi lama hari rawatan.


69

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yurida

(2015) yang berjudul pengaruh mobilisasi progresif level I terhadap nilai

hemodinamik non invasive melakukan mobilisasi hanya satu hari berbeda

dengan peneliti melakukan mobilisasi selama pasien yang dirawat pada

pasien tanpa ventilator mekanik.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alaparthi dan

Maheswaran menunjukkan bahwa mobilisasi dini pada pasien ICU dapat

mengurangi komplikasi seperti penuruan volume paru, disfungsi oot

pernafasan, retensi sputum dan penurunan oksigenasi. Mobilisasi membawa

dampak positif bagi pasien kritis dan menurunkan hari rawat pasien

(Alaparthi et al , 2020). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Suyanti,

Iswari, dan Ginanjar (2019) dimana terdapat perbedaan yang bermakna

antara tekanan darah sistol dan diastole pada pre dan post pemberian

mobilisasi progresif tingkat I, hal ini dapat mempengaruhi LOS pasien.

Menurut asumsi peneliti, penurunan LOS terjadi karena mobilitas

progresif memberikan perbaikan fungsi fisik dan mental pasien, selain itu

juga karena mereka tidak menggunakan ventilator mekanis selama mereka

tinggal di ICU.

3. Rerata length of stay (LOS) pada pasien ICU Di RSUD Kabupaten

Bintan yang tidak dilakukan dengan tindakan mobilisasi progresif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama hari rawatan pada

pasien ICU yang tidak dilakukan Tindakan mobilisasi progresif yaitu 4,31

dengan standar deviasi 1,352. Hal ini sejalan dengan teori Potter and Perry

(2015), dalam bukunya menyatakan bahwa nilai normal MAP 70 - 100


70

mmHg. Sehingga berdasarkan hasil analisis, nilai awal MAP yang

didapatkan sebelum diberikan perlakuan pada penelitian ini berada dalam

rentang normal. Nilai ini juga sesuai dengan teori Vollman bahwa kriteria

inklusi diperbolehkannya mobilisasi progresif diterapkan jika nilai MAP >

55 dan < 140 mmHg, nilai ini dianggap sebagai batas aman untuk dilakukan

mobilisasi (Vollman, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Alfaray (2019) di ICU di RSUD Dr.

Mohammad Hosein Palembang ditemukan bahwa pasien dengan

penggunaan ventilator mekanik lebih dari 5 hari beresiko tinggi mengalami

VAP dan tidak dilakukannya mobilisasi sehingga mempengaruhi lama

perawatan . Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Awalin, dkk pada tahun 2019 di ICU RSU Provinsi Banten yang

mengatakan bahwa pasien yang menggunakan ventilator mekanik >48 jam

memiliki resiko tinggi menagalami VAP. Penelitian serupa dilakukan oleh

Nency cahyo, ddk (2015) mengatakan bahwa lama penggunaan ventilator

mekanik mempengaruhi onset timbulnya VAP. Hal serupa juga di sebutkan

oleh Diling WU, et al (2019) bahwa penggunaan ventilasi mekanik yang

berkepanjangan dapat menyebabkan resiko infeksi dan berbagai komplikasi

seperti VAP sehingga mempengaruhi lama perawatan.

Menurut asumsi peneliti, dalam hal ini peneliti tidak melakukan

mobilisasi progresif pda kelompok kontrol, peneliti hanya memberikan

pendidikan Kesehatan saja tentang perawatan pada pasien kritis. dalam hal

ini terlihat bahwa lama perawatan pada pasien dikarenakan oleh faktor usia

dan faktor penyakit yang diderita oleh pasien.


71

4. Pengaruh Mobilisasi Progresif Terhadap Length Of Stay (LOS) Pada

Pasien ICU Di RSUD Kabupaten Bintan

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaruh mobiliasi

progresif terhadap lama hari rawatan pasien ICU menggunakan uji

indenpendent t-tes menunjukkan p value = 0,000 (p value <0,05). hal ini

berarti ada perbedaan lama hari rawatan pasien ICU yang dilakukan

mobilisasi progresif dan yang tidak dilakukan mobilisasi progresif

Menurut Suyanti (2018), mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head

of Bed, gravitasi akan menarik diafragma kebawah sehingga terjadi

ekspansi paru (menyebarnya oksigen dalam paru-paru) yang lebih baik

sehingga oksigen yang diikat oleh hemoglobin meningkat maka terjadi

peningkatan nilai saturasi oksigen, pada saat diberikan ROM pasif pada

ekstremitas atas dan ekstremitas bawah maka kebutuhan oksigen dalam sel

meningkat, sebagai respon normal dari jantungakan meningkatkan kerja

jantung sehingga hemoglobin yang mengikat oksigen juga maningkat untuk

memenuhi kebutuhan oksigen dalam sel oleh karena itu nilai saturasi

oksigen juga meningkat. Kemudian saat pasien diberikan posisi miring

kanan dan miring kiri maka akan terjadi peningkatan ventilasi paru dan

pertukaran gas akan lebih optimal dan mem-perbaiki nilai saturasi oksigen.

Menurut Hartoyo (2018), pengaruh ini dapat terjadi karena ketika

pasien diberikan perubahan posisi maka secara fisiologis tubuh akan

beradaptasi untuk mempertahankan kardiovaskular homeostatis. Sistem

kardiovaskular biasanya melakukan penyesuaian dengan dua cara yaitu


72

dengan perubahan volume plasma yang dapat menyebabkan transmisi pesan

kepada sistem saraf autonomic untuk merubah elastisitas pembuluh darah,

atau dengan respon yang diberikan oleh telinga bagian dalam atau respon

vestibular yang mempengaruhi sistem kardiovaskular selama perubahan

posisi. Pasien sakit kritis pada umumnya memiliki elastisitas pembuluh

darah yang jelek, siklus umpan balik autonomic yang tidak berfungsi dan

atau cadangan kardiovaskular yang rendah. Seringnya, pasien ditinggalkan

pada posisi tidak berubah untuk periode waktu yang lama dan menetapkan

sebuah “gravitasi equilibrium” dari waktu ke waktu, sehingga semakin sulit

untuk beradaptasi perubahan posisi. Untuk pasien-pasien yang status

hemodinamiknya tidak seimbang yang tidak bisa berpindah secara manual,

solusi yang dapat disarankan adalah dengan melatih pasien untuk toleransi

perubahan posisi dari pada membiarkannya dalam posisi supine. Terapi

rotasi dapat membantu pasien bertoleransi pada perpindahan karena

kecepatan dari perpindahan terapi rotasi lebih lambat dari pada perpindahan

secara manual.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakiyyah (2016)

setelah dilakukan mobilisasi progresif level I pada pasien kritis terpasang

ventilator di ruang ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta terdapat peningkatan

pada parameter saturasi oksigen secara signifikan (p=0,000). Hasil di

dukung penelitian Agustin dkk (2020), dengan judul Pengaruh Mobilisasi

Progresif Terhadap Status Hemodinamik Pada Pasien Kritis Di Intensive

Care Unit, rerata Respiratory Rate (RR) sebelum mobilisasi progresiv

adalah mean=18,6 dengan median=18,3, SD=3,4, min=14 serta max=25,3.


73

Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Vollman (2017)

bahwa mobilisasi progresif dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular,

sehingga hal ini dapat meningkatkan sirkulasi vena perifer dan

memperlancar peredaran darah serta berdampak pada perubahan tekanan

darah. Dalam mobilisasi progresif level 1 ini terdiri dari Head Of Bed 30o,

ROM Pasif, dan CLRT (Continous Rotation Therapy)

Pengaruh ini dapat terjadi karena ketika pasien diberikan perubahan

posisi maka secara fisiologis tubuh akan beradaptasi untuk mempertahankan

kardiovaskular homeostatis. System kardiovaskular biasanya melakukan

penyesuaian dengan dua cara yaitu dengan perubahan volume plasma yang

dapat menyebabkan transmisi kepada system saraf autonomic untuk

merubah elastisitas pembuluh darah, atau dengan respon yang diberikan

oleh telinga bagian dalam atau repon vestibular yang mempengaruhi system

kardiovaskular selama perubahan posisi. Pasien sakit kritis pada umumnya

memiliki elastisitas pembuluh darah yang jelek, siklus umpan balik

autonomic yang tidak berfungsi dan atau cadangan kardiovaskular yang

rendah. Seringnya, pasien ditinggalkan dalam posisi tidak berubah untuk

periode waktu yang lama dan menetapkan sebuah “gravitasi equilibrium”

dari waktu ke waktu, sehingga semakin sulit untuk beradaptasi perubahan

posisi. Untuk pasien-pasien yang status hemodinamiknya tidak seimbang

yang tidak bisa berpindah secara manual, solusi yang dapat disarankan

adalah dengan melatih pasien untuk toleransi perubahan posisi dari pada

membiarkannya dalam posisi supine. Terapi rotasi dapat membantu paien


74

bertoleransi pada perpindahan karena kecepatan dari perpindahan terapi

rotasi lebih lambat daripada perpindahan secara manual (Dian S, 2015)

Menurut asumsi peneliti, efek dari intervensi Head Of Bed, ROM

Pasif, dan Rotasi Lateral yang telah diberikan dapat direkomendasikan

karena mendukung perbaikan sirkulasi sehingga memberikan dampak

perfusi dan sirkulasi yang adekuat keseluruh jaringan tubuh. Pengaruh

mobilisasi progresif terhadap status hemodinamik pasien di ruang ICU

menunjukkan bahwa mobilisasi progresif yang digunakan pada level I dan

II, karena pada level tersebut bisa dilihat dari status hemodinamik apakah

stabil dan kemuadian bisa dilihat kesadaran pasien meningkat, dan pada

gerakan yang bisa dilakukan pada mobilisasi progresif bisa dilakukan

dengan gerakan Head of Bed dengan posisi awal 30° kemudian naik menjadi

45° lalu naik lagi sesuai kemampuan dan Range of Motion bisa dilakukan 3

kali sehari dengan waktu 15-20 menit setiap melakukan gerakan tersebut.

Untuk monitoring status hemodinamik bisa dilihat dengen monitoring

invasif atau monitoring non-invasif. Faktor untuk dilakukan mobilisasi

progresif juga dapat dilihat dari gaya hidup, kelemahan fisik, usia, dan

tingkat energi. Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan

berdasarka penjelasan di pembahasan dan penulis berasumsi bahwa

mobilisasi progresif bisa meningkatkan status hemodinamik pasien di ICU

sehingga lama perawatan di ruangan menjadi cepat.

C. Implikasi Keperawatan
75

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh mobilisasi progresif

terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU. Implikasi dari penelitian ini

pada program mobilisasi progresif dapat dilakukan secara berkesinambungan

oleh perawat di Rumah Sakit. Karena implementasi program mobisasi

progresif termasuk keterlibatan terapi fisik, pernapasan terapi, dan

keperawatan, serta pendampingan dari tenaga kesehatan lainnya dan

departemen peningkatan kinerja.

D. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penenlitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan

penelitian, yaitu :

a. Peneliti tidak dapat mengontrol faktor –faktor lain yang mempengaruhi

lama hari rawatan. Peneliti hanya menilai pada saat sesudah dilakukan

tindakan mobilisasi progresif

b. Peneliti tidak diberi kebebasan untuk dapat melakukan sendiri dan

harus dibantu oleh perawat yang sedang bertugas


76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian di RSUD Kabupaten Bintan tentang

pengaruh mobilisasi progresif terhadap length of stay (LOS) pada pasien ICU

didapatkan beberapa hal yang meliputi :

a. Karakterisitik usia responden yaitu usia 45-60 tahun yaitu 50% pada

kelompok intervensi dan 43,8% kelompok kontrol. Jenis kelamin responden

pada kelompok intervensi dan kontrol perempuan yaitu 56,2% dan 62,5%.

Pendidikan responden SD pada kelompok intervensi, yaitu 25% dan

kelompok kontrol SMA 50%. Pekerjaan responden ibu rumah tangga pada

kelompok intervensi dan kontrol, yaitu 50% dan 37,5%. Diagnosa Medis

resonden sebagian besar non bedah pada kelompk intervensi dan kontrol

yaitu 100% dan 81,2%. Hasil GCS responden sebagian besar lebih dari 10

pada kelompok intervensi dan kontrol yaitu 3,8% dan 100%. Tingkat

keparahan penyakit pada responden sebagian besar 0-6 yaitu 15 orang

(93,8%) pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. semua pasien

tidak menggunakan ventilator yaitu 16 orang (100%) pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol


77

b. Rerata lama hari rawatan pada pasien ICU yang dilakukan Tindakan

mobilisasi progresif yaitu 2,00 dengan standar deviasi 0,816

c. Rerata lama hari rawatan pada pasien ICU yang tidak dilakukan Tindakan

mobilisasi progresif yaitu 4,31 dengan standar deviasi 1,352

d. Adanya pengaruh mobiliasi progresif terhadap lama hari rawatan pasien

ICU menggunakan uji indenpendent t-tes menunjukkan p value = 0,000 (p


73
value <0,05).

B. Saran

1. Bagi Petugas Kesehatan (Perawat)

Diharapkan petugas kesehatan mampu mengoptimalkan mobilisasi

progresif sebagai salah satu tindakan untuk mengatasi penurunan lama hari

rawatan pasien di ICU dan digunakan sebagai bahan pertimbangan

untuk melakukan mobilisasi secara progresif sedini mungkin pada

pasien kritis di ruang ICU dalam rangka pemberian pelayanan prima

terhadap pasien

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan

sebagai bahan bacaan guna meningkatkan mutu pendidikan terutama

pengetahuan tentang pengaruh mobiliasi progresif terhadap lama hari

rawatan pasien ICU

1. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian

teori dan referensi dalam pengembangan penelitian berikutnya, dan lebih


78

mengendalikan faktor confounding yang mungkin bisa muncul dan

mempengaruhi hasil penelitian. Peneliti selanjutnya juga bisa menambah

variable lain.

DAFTAR PUSTAKA

AACN, (2016). Family Visitation in the Adult Intensive Care Unit. Crit. Care
Nurse 36, e15–e18. https://doi.org/10.4037/ccn2016677

Agustin, W. R., Suparmanto, G., & Safitri, W. (2020). Pengaruh Mobilisasi


Progresif Terhadap Status Hemodinamik Pasien Kritis di Ruang Intensive
Care Unit. 20- 27.

Arikunto. (2019). Metodelogi Penelitian, Suatu Pengantar Pendidikan. In Rineka


Cipta, Jakarta.

Aryanti, Dina. "Efektivitas Mobilisasi Progresif Terhadap Status Fungsional dan


Hemodinamik pada Pasien Tirah Baring di ICU RSU. Mitra Medika Medan."
(2020).

Aziz, A. H. (2017). Metodologi penelitian keperawatan dan kesehatan. In salemba


medika.

Cho, H., Huh, J. S., & Sohn, J. 2020. Counting self-conjugate (s, s+ 1 , s+ 2) -core
partitions. Ramanujan Journal, 1–13. https://doi.org/10.1007/s11139-020-
00300-y

Das, B., Saha, S., Kabir, F., & Hossain, S. (2021). Effect Of Graded Early
Mobilization On Psychomotor Status And Length Of Intensive Care
Unit Stay In Mechanically Ventilated Patients. Indian Journal of
Critical Care Medicine, 25(4), 416–420. https://doi.org/10.5005/jp-
journals-10071-23789

Debbie Stayer. (2016). American journal of critical care : an official publication,


American Association of Critical-Care Nurses. American Association of
Critical-Care Nurses., 25(1062–3264).

Deli, H., Rasyid, T. A., & Refki, M. (2018). Hubungan antara Status Nutrisi dan
Penggunaan Alat Bantu Nafas pada Pasien di ICU. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Indonesia (JIKI), 2(1), 1-9.

Direktur RSUP Dr. Kariadi. Panduan kriteria pasien masuk dan keluar ruang
rawat intensif. RSUP Dr. Kariadi Semarang. 2015.
79

Hartoyo Mugi, dkk. (2017). Pengaruh Mobilisasi Progresif level I terhadap


tekanan darah dan saturasi oksigen pasien kritis dengan penurunan
kesadaran. Volume 1, No. 1, Hal 1-10, Mei 2017 e-ISSN 2548-7051.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah.
https://journal.ppnijateng.org/index.php/jpi/article/view/3. Diakses 11
November 2020

Hartoyo, M., & Rachmilia, R. (2017). Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1


terhadap Tekanan Darah dan Saturasi Oksigen pada Pasien Kritis dengan
Penurunan Kesadaran di Ruang ICU. Jurnal Perawat Indonesia.3-106-2-Pb.
1, 1–10

Hosizah dan Yati Maryati. (2018). Sistem Informasi Kesehatan II Statistik


Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pedoman HCU dan ICU


Indonesia. Bakti Husada.

Klein, K., Mulkey, M., Bena, J. F., & Albert, N. M. (2015). Clinical and
psychological effects of early mobilization in patients treated in a neurologic
ICU: a comparative study. Critical care medicine, 43(4), 865-873.

Lai, C. C., Chou, W., Chan, K. S., Cheng, K. C., Yuan, K. S., Chao, C. M., &
Chen, C. M. (2017). Early Mobilization Reduces Duration of Mechanical
Ventilation and Intensive Care Unit Stay in Patients With Acute
Respiratory Failure. Archives of Physical Medicine and
Rehabilitation, 98(5), 931–939. https://doi.org/10.1016/j.apmr.2016.11.007

Marjaana Mehta, B. (2015). Topics in Progressive Care. 19–21. Retrieved from


www.nursing2010criticalcare.com

Maulana, Hafizh Ridwan (2019). Prevalensi Kandidiasis Invasif di Unit


Perawatan Intensif Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia | Vol. 6, No. 1 | Maret 2019. Diakes 5 Desember 2019

Musliha, (2019), Keperawatan Gawat Darurat, Penerbit: Nuha Medika

Notoatmodjo. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta

Nofianto, Muhamat (2016). Pengaruh Denyut Jantung dan Frekuensi Pernapasan


pada Pasien Kritis di ICU RSUD Sleman Yogyakarta. Media Ilmu Kesehatan
Vol. 5, No. 3, Desember 2019

Nugraheni, Hermien, Tri Wiyatini, & Irmanita Wiradona. Kesehatan Masyarakat


80

dalam Determinan Sosial Budaya. Yogyakarta: Deepublish, 2018.

Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.


Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.

Olviani, Y. (2015). Pengaruh Pelaksanaan Mobilisasi Progresif Level I Terhadap


Nilai Monitoring Hemodinamik Non Invasif Pada Pasien Cerebral Injury Di
Ruang Icu Rsud Ulin Banjarmasin Tahun 2015. Caring, 2(1), 37-48.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2015). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed. 7. In


Jakarta: Salemba Medika.

Rahmanti, A., & Kartika Putri, D. (2016). Mobilisasi Progresif Terhadap


Perubahan Tekanan Darah Pasien Di Intensive Care Unit (ICU). Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 12(1).
https://doi.org/10.26753/jikk.v12i1.136

Retnaningsih, D., dan Etikasari, E. (2016). Hubungan Komunikasi Perawat


dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien di Unit Perawatan Intensif,
Volume 11, No.1, Maret 2016. Jurnal Keperawatan Soedirman, 11(1), 35–43.

Reade C Michael, Finfer Simon. Sedation and Delirium in the Intensive Care
Unit. J New England 2016:444–54.

Ristanto, Riki (2018). Hubungan Respiratory Rate (RR) dan Oxygen Saturation
(SpO2) Pada Klien Cedera Kepala. Jurnal Keperawatan Poltekkes RS. dr.
Soepraoen Malang. Diakses 22 Desember 2019

Safitri, M. M., Kriswiharsi Kun, S., & SKM, M. Analisa Deskriptif Lama
Perawatan (Los) Pasien Ri Jamkesmas Pada Kasus Penyakit Kanker
Payudara (Ca Mammae) Dengan Tindakan Mastektomi Yang Dirawat Di Rsi
Sultan Agung Semarang Tahun 2016.

Szubski, CR, Tellez, A., Kika, AK, Meng, Z., Kattan, MW, Guzman, JA, &
Barsoum, WK (2014). Memprediksi rumah sakit perawatan akut jangka
panjang setelahnya masuk ke unit perawatan intensif. Jurnal Perawatan
Kritis Amerika, 23(4), e46-53. http://dx.doi.org/10.4037/ajcc2014985

Sugimin. (2017). Kecemasan Keluarga Pasien di Ruang Intensive Care Unit


Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Soeradji Tirtonegoro Klaten. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Suyanti,dkk (2019). Pengaruh mobilisasi progresif level 1 terhadap tekanan darah


dan saturasi Oksigen pasien dengan penurunan kesadaran. Vol. 3, No. 2, Hal
57-63

Tanujiarso, B. A., & Lestari, D. F. A. (2020). Mobilisasi Dini Pada Pasien Kritis
Di Intensive Care Unit (Icu): Case Study. Jurnal Keperawatan Widya
81

Gantari Indonesia, 4(1), 59–66. Retrieved from


https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Gantari/article/view/1589

Tobi KU, Amadasun FE. Prolonged stay in the Intensive Care Unit of a tertiary
hospital in Nigeria: Predisposing factors and outcome. Afr J Med Health Sci.
2015;14:56-60.

Vollman,KM. Introduction to Progressive Mobility. Critical Care Nurse.


2015;30(2) :S3-S5. Available from

Wartawan, I. W. (2015). Analisis Lama Hari Rawat Pasien Yang Menjalani


Pembedahan di Ruang Rawat Inap Bedah Kelas III RSUD Sanglah Denpasar
Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Wei, X., Day, A. G., Ouellette-Kuntz, H., & Heyland, D. K. (2015). The
association between nutritional adequacy and long-term outcomes in
critically ill patients requiring prolonged mechanical ventilation: a
multicenter cohort study. Critical care medicine, 43(8), 1569-1579.

Zakiyah, Ana. (2015). Nyeri: Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktik


Keperawatan Berbasis Bukti. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai