Anda di halaman 1dari 56

PENGARUH MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1 TERHADAP

TINGKAT KESADARAN PASIEN STROKE DI ICU


RSUD ADNAN WD TAHUN 2022

DISUSUN

Oleh :
Nama : Fahdia Gusti Rahayu
Nim: 1814201204

PROGRAM S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PADANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan

staf dan perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan

penyakit, trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa. Pasien dengan fase

kritis dengan satu atau lebih gangguan fungsi sistem organ vital manusia yang

dapat kehidupan serta memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, sehingga

membutuhkan suatu penanganan khusus dan pemantauan secara intensif.

Pasien kritis memiliki kerentanan yang berbeda. Kerentanan itu meliputi

ketidakberdayaan, kelemahan dan ketergantungan terhadap alat pembantu

(Kale dkk, 2021).

Pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) adalah pasien

dalam keadaan terancam jiwanya karena kegagalan satu atau multipel organ

yang disertai gangguan hemodinamik dan masih ada kemungkinan dapat

disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan intensif

(Setiyawan, 2016). Pemantauan hemodinamik sangat penting karena dapat

untuk mengenali syok sedini mungkin pada pasien kritis. Pasien Kritis dengan

masa rawat yang lama akan menimbulkan banyak masalah kesehatan yang

muncul diantaranya pneumonia, kelemahan, nyeri akut, gangguan fungsi organ

dan gangguan kesadaran (Ainnur, 2016).

Hasil studi di Amerika melaporkan prevalensi pasien kritis selama

2017-2020terdapat 3.235.741 pasien yang mendapat perawatan ICU dan

246.151 (7,6%) merupakan pasien kritis kronis. Pasien kritis kronis dengan
sepsis (63,7%) dan yang lainnya seperti stroke, luka parah, cidera kepala dan

tracheostomy (Kahn et al, 2017). Penelitian Iyer (2019) di ruang ICU pada 100

pasien yang mengalami penurunan kesadaran diantaranya disebabkan

olehperdarahan intraserebral, stroke iskemik, perdarahan, craniotomi, trauma

dan anoxici schemic.

Perawat merupakan salah satu bagian dari team ICU, yang mempunyai

ruang lingkup luas, karakteristik unik serta peran yang penting dalam

pemberian asuhan keperawatan kritis di ICU (Rusdiana, 2020). Salah satu

intervensi yang diberikan berupa perubahan posisi pasien dilakukan tiap 2 jam.

Pasien yang dirawat di ruang ICU dengan gangguan status mental misalnya

oleh karena stroke, injuri kepala atau penurunan kesadaran tidak mampu untuk

merasakan atau mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau pasien

merasakan adanya tekanan namun mereka tidak bisa mengatakan kepada orang

lain untuk membantu mereka mengubah posisi. Bahkan ada yang tidak mampu

merasakan adanya nyeri atau tekanan akibat menurunnya persepsi sensori

(Hidayati, 2020).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa

prevalensi stroke di Indonesia yang terdiagnosa oleh tenaga kesehatan sebesar

7,0%. Sedangkan menurut Riskesdas tahun (2018) menunjukkan prevalensi

stroke di Indonesia mengalami kenaikkan menjadi 10,9% (Riskesadas, 2018).

Prevalensi stroke di Indonesia menurut diagnosis tenaga medis pada populasi usia ≥15

tahun urutan tiga teratas yaitu di Provinsi Kalimantan Timur 14,7%, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta 14,6%, Provinsi Sulawesi Utara 14,2%. Sedangkan untuk

Provinsi Sumatera Barat pada posisi ke 17 sebesar 10,6% (Riskesdas 2018).


Sumatera Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang

menempati urutan ke-10 prevalensi stroke tertinggi di Indonesia. Prevalensi

stroke di Sumatera Barat diperkirakan sebesar 7,4 per mil (Riskesdas, 2018).

Prevalensi penyakit stroke pada umur ≥15 tahun 2017 di Sumatera Barat naik

dari 7,4% menjadi 12,2% dimana juga terjadi peningkatan pada usia 15-24

tahun (0,2% menjadi 2,6%) usia 25-34 tahun (0,6% menjadi 3,9%) usia 35-44

tahun (2,5% menjadi 6,4%) (Hasil Riskesdas, 2018). Data yang diperoleh dari

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 didapatkan data bahwa

stroke merupakan penyebab kematian nomor 4 di kota Bukittinggi setelah

jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus (Dinkes Sumbar, 2020).

Stroke merupakan masalah berat bagi pasien, karena sesudah stroke pasien

bakal menyandang kelemahan anggota tubuh serta keterbatasan melakukan kegiatan

sehari hari seperti sebelum sakit. Pasien sering mengeluh dan merasa bersalah, ini

adalah tanda bahwa pasien stroke mengalami penurunan harga diri (Pertamita, 2017).

Masniah, (2017) berpendapat bahwa penyintas stroke akan menjalani kehidupan sehari

hari dengan kelemahan fisik dalam waktu yang lama dan berdampak pada masalah

kejiwaan , sosial maupun spiritual sehingga kualitas hidup akan menurun.

Pemantauan hemodinamika perlu diperhatikan, pemantauan tersebut

merupakan suatu teknik pengkajian pada pasien kritis, mengetahui kondisi

perkembangan pasien, serta untuk antisipasi kondisi pasien yang memburuk.

Dasar dari pemantauan hemodinamika adalah perfusi jaringan yang adekuat,

seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan,

mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro kimiawi

sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamika berupa gangguan

fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan jatuh
ke dalam gagal fungsi organ multipel. Perawat sebagai bagian dari tim

kesehatan dalam merawat pasien-pasien kritis mempunyai tanggung jawab

yang besar dalam memonitor keadaan hemodinamika. Monitoring

hemodinamika merupakan suatu pengkajian fisiologis yang penting dalam

perawatan pasienpasien kritis (Rusdiana, 2020).

Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran, terutama dengan kasus-

kasus stroke dan cidera kepala pada umumnya akan memberi dampak pada

tekanan darah menjadi tidak stabil (Hidayati, 2020). Pasien kritis yang

diberikan sedasi akan mempengaruhi kesadaran yang menyebabkan penurunan

kemampuan secara aktif yang dapat mengganggu darah dan kerja jantung. Oleh

karena itu, penilaian dan penanganan hemodinamik merupakan bagian penting

pada pasien ICU. Komponen pemantauan hemodinamik meliputi tekanan

darah, heart rate, indikator perfusi perifer, pernapasan, produksi urine, saturasi

oksigen dan GCS (Zakiyyah, 2017).

Pada keadaan gangguan hemodinamik, diperlukanpemantauan dan

penanganan yang tepat karenakondisi hemodinamik sangat mempengaruhi

fungsi penghantaran oksigen dalam tubuh dan melibatkanfungsi organ

jantung (Almeida, 2009). Penanganan hemodinamik pasien ICU bertujuan

memperbaiki penghantaranoksigen dalam tubuh yang dipengaruhi oleh curah

jantung, haemoglobin dansaturasioksigen. Apabila penghantaran oksigen

mengalami gangguan akibat curah jantung menurun diperlukan penanganan

yang tepat (Widyawati, 2019).

Penelitian Azhar (2019) di ruang ICU menyatakan pemberian posisi

terlentang secara terus menerus dapat menurunkan sirkulasi darah dari


ekstermitas bawah, yang seharusnya jumlahnya banyak untuk menuju jantung.

Pada tiga hari pertama bedrest,volume plasma akan berkurang 8%-10% dan

menjadi berkurang 15%-20% pada minggu keempat bedrest. Sehingga

penurunan volume plasma mengakibatkan terjadinya peningkatan beban

jantung, peningkatan masa istirahat dari denyut jantung dan penurunan volume

curah jantung (Safitri, 2018).

Perubahan tekanan darah baik dalam kondisi penurunan kesadaran

maupun kondisi sadar sangat dipengaruhi oleh adanya stimulus.Stimulus dapat

berasal dari dalam diri sebagai manifestasi perubahan fisiologi tubuh akibat

dari penyakit yang dideritanya.Selain itu stimulus dapat berasal dari luar

individu yang bersifat fisik maupun sosial (Rihiantoro, 2017).

Pasien yang dirawat di ruang ICU dengan penurunan kesadaran yang

disebabkan oleh suatu penyakit misalnya stroke atau cerebral injury tidak

mampu untuk merasakan dan mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau

pasien merasakan adanya tekanan namun mereka tidak bisa mengatakan pada

orang lain untuk membantu merubah posisi. Dampak yang mungkin terjadi

pada pasien dengan penurunan kesadaran antara lain kerusakan mobilitas, jalan

nafas yang tidak paten, sirkulasi yang dapat terganggu akibat imobilisasi dan

hambatan komunikasi(Anna, 2017).

American Association of Critical Care Nurses (AACN)

memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yangterdiri dari beberapa

tahapan: Head of Bed (HOB), latihan Range of Motion (ROM) pasif dan aktif,

terapi lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi,

posisi duduk, posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan. Mobilisasi


progresif yang diberikan kepada pasien diharapkan menimbulkan respon

hemodinamik yang baik. Pada posisi duduk tegak kinerja paruparu baik dalam

proses distribusi ventilasi serta perfusi akan membaik selama diberikan

mobilisasi. Proses sirkulasi darah juga dipengaruhi oleh posisi tubuh dan

perubahan gravitasi tubuh. Sehingga perfusi, difusi, distribusi aliran darah dan

oksigen dapat mengalir ke seluruh tubuh (Royid, 2018).

Mobilisasi progresif level I adalah serangkaian gerakan yang dilakukan

kepada pasien kritis di ruangan Intensive Care Unit yang direncanakan secara

berurutan berdasarkan status atau kondisi pasien (AACN, 2015). Mobilisasi

progresif dapat mempengaruhi saturasi oksigen hal ini dikarenakan setelah

diberikan mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head of Bed, gravitasi akan

menarik diafragma kebawah sehingga terjadi ekspansi paru (menyebarnya

oksigen dalam paru-paru) yang lebih baik sehingga oksigen yang diikat oleh

hemoglobin meningkat maka terjadi peningkatan nilai saturasi oksigen, pada

saat diberikan ROM pasif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah

maka kebutuhan oksigen dalam sel meningkat, sebagai respon normal dari

jantungakan meningkatkan kerja jantung sehingga hemoglobin yang

mengikat oksigen juga maningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam

sel oleh karena itu nilai saaturasi oksigen juga meningkat. Kemudian saat

pasien diberikan posisi miring kanan dan miring kiri maka akan terjadi

peningkatan ventilasi paru dan pertukaran gas akan lebih optimal dan

memperbaiki nilai saturasi oksigen.

Penelitian yang dilakukan oleh Olviani (2017) tentang mobilisasi

progressif level I terhadap nilai monitoring hemodinamik non invasif pada


pasien cerebral injury di ruang ICU pada tahun 2017 menunjukkan bahwa

setelah diberikan intervensi terdapat perubahan pada parameter tekanan darah

dan respiratory rate dibandingkan pada awal pengukuran (p value = 0.020).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Zakiyyahtentang pengaruh mobilisasi

progresif level I terhadap resiko dekubitus dan saturasi oksigenpada pasien

kritis terpasang ventilator didapat mobilisasi progresif level I secara signifikan

dapat mencegah dekubitus (p= 0,000) dan meningkatkan saturasi oksigen (p=

0,000).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ICU RSUD

Adnan WD Payakumbuh didapatkan data jumlah tempat tidur di ICU sebanyak

4 tempat tidur. Pada bulan Januari- Mai 2022 jumlah pasien stroke dengan

penurunan kesadaran yang dirawat diruang ICU sebanyak 36 pasien. Hasil

wawancara dengan beberapa perawat mengatakan pasien yang dirawat diruang

ICU hanya diberikan perubahan posisi miring kanan dan miring kiri setiap 2

jam. Perawat tidak memperhatikan status hemodinamik pada pasien sebelum

dan sesudah diberikan posisi miring kanan dan miring kiri.

Berdasarkan data dan latar belakang di atas maka peneliti tertarik

melakukan penelitian tentang “Pengaruh mobilisasi progresif level 1 terhadap

tingkat kesadaran pasien stroke di Icu Rsud Adnan Wd Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

dapat merumuskan masalah yaitu “ Apakah ada Pengaruh Mobilisasi

Progresif Level 1 Terhadap Tingkat Kesadaran Pasien Stroke Di Icu Rsud

Adnan Wd Tahun 2022?”


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1

Terhadap Tingkat Kesadaran pasien stroke Di Icu Rsud Adnan Wd

Tahun 202.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui rata-rata tingkat kesadaran pasien sebelum

pemberian Mobilisasi Progresif level 1 Di Icu Rsud Adnan Wd

Payakumbuh Tahun 2022

b. Untuk mengetahui rata-rata kesadaran pasien sesudah pemberian

Mobilisasi Progresif level 1 Di Icu Rsud Adnan Wd Payakumbuh

Tahun 2022

c. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1 Terhadap Tingkat Kesadaran

pasien stroke Di Icu Rsud Adnan Wd Tahun 2022

D. Manfaat Penelitian

b. Bagi RSUD Adnan WD payakumbuh

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan

sumbangan pemikiran yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan bagi RSUD Adnan Wd Payakumbuh terutama

diruangan Icu tentang mobilisasi progresif level 1.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk

perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan terutama


keperawatan Kegawat Daruratan tentang Pengaruh Mobilisasi

Progresif level 1 Terhadap tingkat kesadaran pasien stroke Di Icu

Rsud Adnan Wd Payakumbuh Tahun 2022.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk

tambahan informasi dalam mengembangkan penelitian lebih

lanjut tentang manfaat lain dari mobilisasi progresif terhadap

status hemodinamik pasien di ICU.

D. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini tentang Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1

Terhadap Pasien Dengan Tingkat Kesadaran pasien stroke Di Icu Rsud

Adnan Wd Tahun 2022. Penelitian dilaksanakan di ruang ICU RSUD

Adman WD Payakumbuh pada tanggal 10-19 juli 2022. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang dirawat diruang ICU

dengan penurunan kesadaran sebanyak 36 responden. Penelitian ini

menggunakan responden dengan kriteria semua pasien stroke yang

mengalami penurunan kesadaran dengan nilai GCS dibawah 5.Penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan kusioner dan lembar observasi. Desain

penelitian ini adalah quasy eksperiment dengan pretest posttest. Teknik

pengambilan sampel secara purposive sampling. Data diolah dan dianalisa

secara uji t-test. Penelitian ini dilakukan dengan cara sebelum diberikan

intervensi mobilisasi progresif level 1 tingkat kesadaran pasien diukur dan

setelah diberikan intervensi mobilisasi tingkat kesadaran pasien diukur

kembali selama 2 hari berturut-turut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Intensive Care Unit

1. Pengertian ICU

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang

dilengkapi dengan staff dan peralatan khusus untuk merawat dan

mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk

yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun

mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang

dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan

perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang

berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau

perubahan yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ

tubuh lainnya (Rab, 2008).

Association of Critical Care Nursing (2014), peran perawat ICU

dalam keperawatan kritis adalah salah satu keahlian khusus didalam

ilmu perawatan yang menghadapi secara rinci terhadap manusia dan

bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa, Pelayanan

keperawatan kritis di lCU merupakan pelayanan yang diberikan

kepada pasien dalam kondisi kritis yang mengancam jiwa, sehingga

harus dilaksanakan oleh tim terlatih dan berpengalaman di ruang

perawatan intensif.

Pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang rawat biasa,

karena mereka mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap


perawat, dokter, maupun ketergantungan terhadap alat seperti

ventilator. Reaksi pasien yang akan dirawat di ruang ICU berbeda-

beda yang diantaranya adalah muncul kecemasan. Perasaan cemas ini

muncul ketika seseorang terlalu mengkhawatirkan kemungkinan

peristiwa yang menakutkan yang terjadi di masa depan yang tidak bisa

dikendalikan, dan jika itu terjadi akan dinilai menjadi sesuatu yang

mengerikan (Silvatar, 2007 dalam Saragih dan Yulia Suparmi, 2017).

2. Ruang lingkup pelayanan ruang Intensive Care Unit (ICU) menurut

Kemenkes (2011) meliputi hal- hal sebagai berikut:

a. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit akut yang

mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian

dalam beberapa menit sampai beberapa hari.

b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh

sekaligus melakukan penatalaksanaan spesifik problema

dasar.

c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan

terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit atau

iatrogenic.

d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang

kehidupannya sangat tergantung oleh alat atau mesin dan

orang lain
3. Krietria prioritas pasien masuk menurut Pedoman Pelayanan Instalasi

Rawat Intensif :

1. Pasien prioritas 1

Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang

memerlukan terapi intensif dan tertitrasi seperti: dukungan

ventilasi, alat penunjang fungsi organ, infus, obat

vasoaktif/inotropik obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca

bedah kardiotoraksis, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam

basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.

2. Pasien prioritas 2

Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan

canggih di ICU, sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan

terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan

pulmonary arterial catheter. Contoh pasien yang mengalami

penurunan kesadaran,penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut

dan berat atau pasien yang telah mengalami pembedahan mayor.

Terapi pada golongan pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas

karena kondisi mediknya senantiasa berubah.

3. Pasien priorotas 3

Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil

status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang

mendasarinya atau penyakit akutnya, secara sendirian atau

kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU

pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh antara lain pasien
dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial

tamponande, sumbatan jalan nafas, atau pesien penyakit jantung,

penyakit paru terminal disertai kmplikasi penyakit akut berat.

B. Konsep Penyakit Stroke

1. Definisi Stroke

Stroke adalah cedera vascular akut pada otak yang bersifat mendadak

atau tiba-tiba. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah,

penyempitan pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah. Semua ini

menyebabkan kurangnya pasokan darah yang memadai ke otak. Stroke

mungkin menampakkan gejala, mungkin tidak (silent stroke), tergantung

tempat dan ukuran kerusakannya. Stroke atau Cerebral Vasculer Accident

(CVA) adalah gangguan dalam sirkulasi intraserebral yang berkaitan vascular

insuffiency, thrombosis, emboli, atau perdarahan (Wahyu. 2018).

Stroke adalah serangan akut mendadak dari disfungsi otak fokal dan

global yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak, yang berlangsung

lebih dari 24 jam. Menurut penulis, stroke adalah ensefalopati fungsional

fokal dan global yang disebabkan oleh obstruksi aliran darah otak yang

disebabkan oleh perdarahan atau obstruksi, dan gejala serta tandanya sesuai

dengan bagian otak yang terkena. Orang yang bisa sembuh total, cacat atau

bahkan meninggal (Goleman et al., 2019).

Stroke merupakan salah satu penyakit serebrovaskular dan penyebab

utama kematian di Indonesia, jumlah penderita stroke di bawah usia 45 tahun

di seluruh dunia terus meningkat. Kematian fisik akibat stroke diperkirakan


akan meningkat dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker. Stroke

adalah penyebab kematian ketiga paling umum di Amerika Serikat dan

penyebab utama kecacatan permanen (Handayani & Dominica, 2019).

Stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian

sel-sel saraf neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian

otak. Secara spesifik hal itu terjadi karena terhentinya aliran darah ke otak

karena smbatan atau perdarahan. Gangguan saraf / kelumpuhan yang terjadi

bergantung pada bagian otak mana yang kena (Suiraoka, 2016).

Stroke merupakan penyebab ketiga angka kematian di dunia dan

penyebab pertama kecacatan. Angka morbiditas lebih berat dan angka

mortalitas lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke

iskemik. Hanya 20% pasien yang dapat melakukan kegiatan mandirinya lagi.

Angka mortalitas dalam bulan pertama pada stroke hemoragik mencapai 40-

80% dan 50% kematian terjadi dalam 48 jam pertama (Nassisi, 2016).

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa

stroke adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan darah dan oksigen

pada jaringan otak yang dapat mengakibatkan kematian jaringan otak.

2. Klasifikasi Stroke

Ada dua jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.

Stroke iskemik terutama merupakan komplikasi dari beberapa penyakit

pembuluh darah, ditandai dengan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba,

takikardia, kulit pucat dan pernapasan tidak teratur, sedangkan stroke

hemoragik biasanya disebabkan oleh perdarahan intrakranial, dan tekanan

darah sistoliknya meningkat. Gejala melebihi 200 mmHg. Saraf hipertonik


dan nonmotorik, bradikardia, wajah ungu, osis ungu dan 180 mmHg saat

bernapas (Nasution, 2019).

Menurut (Samita, 2018) Stroke dibedakan menjadi 2 jenis yaitu,

stroke iskemik dan stroke hemoragik, sebagai berikut :

a. Stroke Iskemik (non hemoragik) adalah penyumbatan pembuluh darah

yang menyebabkan aliran darah ke otak berhenti sebagian atau

seluruhnya. Stroke iskemik ini dibagi 3 yaitu :

1) Stroke Trombotik : Proses pembentukan trombus

2) Stroke Embolik : Gumpalan darah membuat arteri membeku

3) Hipoperfusion Sistemik : Akibat gangguan irama jantung, aliran

darah ke seluruh bagian tubuh berkurang (Samita, 2018).

b. Stroke Hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah di otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi

pada pasien hipertensi. Stroke hemoragik ada 2 jenis yaitu :

1) Hemoragik Intraserebral : Perdarahan di jaringan otak

2) Hemoragik (Di ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan

jaringan yang menutupi otak).

Menurut Suiraoka (2016) secara umum stroke dapat terbagi atas dua

bagian yaitu :

a. Stroke hemoragik

Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga aliran

darah menjadi tidak normal. Darah yang keluar akan merembes masuk ke

dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Sebagian besar kasus stroke

terjadi secara mendadak, sengat cepat dan menyebabkan kerusakan otak


dalam beberapa menit (completed stroke). Selanjutnya stroke dapat

bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah

luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). Stroke hemoragik

terdiri dari :

1) Stroke hemoragik intraserebral

2) Stroke hemoragik ekstra serebral (subaraknoid)

b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)

Pada stroke non-hemoragik, aliran darah ke otak terhenti karena

penumpukkan kolesterol pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis)

atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak.

Hampir sebagian besar pasien atau sekitar 83% mengalami stroke jenis ini.

Stroke non-hemoragik terdiri dari :

1) Stroke Iskemik Trombotik

2) Stroke Iskemik Emboli

3) Stroke TIA (Transient Ischemic Attack)

3. Penyebab Stroke

Penyebab stroke adalah pecahnya pembuluh darah otak atau trombosis

dan emboli. Akibat penyakit lain atau karena bagian otak terluka dan

menyumbat 2 arteri serebral, bekuan darah tersebut akan masuk ke aliran

darah. Akibatnya fungsi otak terhenti dan fungsi otak menurun (Nasution,

2019).

Stroke dapat disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak dan

area subarachnoid (stroke hemoragik), yang menyebabkan darah bocor ke

jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinal, atau keduanya.


Penghambatan struktur otak dan hematoma menyebabkan kerusakan serabut

saraf kranial. Hematoma menyebabkan iskemia jaringan di sekitarnya, yang

menyebabkan penonjolan jaringan otak dan menghambat batang otak. Stroke

non-hemoragik disebabkan oleh iskemia serebral yang disebabkan oleh

obstruksi vaskuler serviks dan insufisiensi serebral. Insufisiensi vaskular

serebral dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti aterosklerosis, emboli, atau

ketidakstabilan hemodinamik. Plak aterosklerotik kecil atau bercabang

mempersempit pembuluh darah dan menyebabkan trombosis lokal (Oktaria &

Fazriesa, 2017).

Patologi stroke dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik.

Stroke iskemik lebih sering terjadi dibandingkan stroke hemoragik. Sebuah

penelitian yang dilakukan terhadap 30.599 pasien stroke menunjukkan

proporsi stroke iskemik 74,0% dan proporsi stroke hemoragik 26,0%. Stroke

iskemik atau stroke non-hemoragik adalah kematian jaringan otak karena

gangguan aliran darah ke otak, yang disebabkan oleh penyumbatan otak atau

arteri serviks atau, kemungkinan besar, vena serebral. Metode klasifikasi

stroke iskemik yang sering digunakan dalam penelitian adalah dengan

mengklasifikasikan subtipe stroke iskemik.Ini adalah pengujian ORG 10172

pada klasifikasi pengobatan stroke akut (TOAST) yaitu (1) aterosklerosis

pembuluh darah besar Pengerasan, (2) Emboli jantung, (3) Obstruksi

pembuluh darah, (4) Penyebab lain, dan (5) Penyebab tidak diketahui

(Mutiarasari, 2019).

Menurut (Samita, 2018) Faktor-faktor yang dapat menyebabkan

stroke sangatlah beragam, yaitu faktor yang tidak dapat dirubah (non
reversible), faktor yang dapat dirubah (reversible) dan kebiasaan hidup, yaitu

sebagai berikut :

a. Faktor yang tidak dapat dirubah (non reversible)

1) Jenis kelamin : Pria lebih sering ditemukan menderita stroke

disbanding wanita

2) Umur : Makin tinggi usia makin tinggi pula resiko terkena stroke

3) Keturunan : Adanya riwayat keluarga yang terkena stroke

b. Faktor yang dapat dirubah (reversible)

1) Hipertensi

2) Penyakit jantung

3) Kolestrol tinggi

4) Obseitas

5) Diabetes Melitus

6) Polisetemia

7) Stres emosional

c. Kebiasaan hidup

1) Merokok

2) Peminum alkohol

3) Obat-obatan terlarang

4) Aktivitas yang tidak sehat : kurang olahraga, makanan berkolestrol

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan stroke diantaranya

sebagai berikut (Wahyu, 2018).


c. Trombus/ Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak

atau leher).

1) Atrerosklerosis dalam arteri intrakranial dan ekstrakranial.

Atrerosklerosis merupakan pencetus utamanya.

2) Keadaan yang berkaitan dengan perdarahan intraserebral.

3) Arteritis yang disebabkan oleh penyakit kolagen (autoimun) atau

arteritis bakteri.

4) Hiperkoagulasi seperti policythemia.

5) Trombosis vena serebral. Trombosis merupakan penyebab stroke yang

paling utama, kurang lebih sekitar 60% dari kejadian stroke.

d. Emboli/ Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang

dibawa ke otak dari bagian organ tubuh yang lain).

1) Kerusakan katup karena penyakit jantung rematik.

2) Infark miokardial.

3) Fibrilasi arteri.

4) Endokarditis bakteri dan endokarditis nonbakteri menyebabkan

bekuan pada endokardium.

5) Embolisme serebral merupakan penyebab kedua stroke,kurang lebih

sekitar 24% dari kejadian stroke.

e. Perdarahan

1) Perdarahan intraserebral karena hipertensi. Hipertensi adalah

penyebab utama perdarahan intraserebral.

2) Perdarahan subaraknoid.

3) Ruptur anurisma.
4) Arteri venous malformation.

5) Hipokoagulansi (pada klien dengan blood dyscrasias).

4. Faktor Resiko Stroke

Menurut Suiraoka (2016) faktor resiko stroke terbagi atas faktor

resiko yang tidak dapat di ubah dan faktor resiko yang dapat diubah.

a. Faktor resiko yang tidak dapat di ubah

1) Umur

Resiko stroke meningkat seiring pertambahan usia. Setelah

umur memasuki 55 tahun keatas, resiko stroke meningkat dua kali lipat

setiap kurun waktu 10tahun. Namun bukan berarti stroke hanya terjadi

pada kelompok usia lanjut melainkan stroke juga dapat menyerang

berbagai kelompok umur.

2) Jenis Kelamin

Pria memiliki resiko terkena stroke lebih besar daripada wanita.

Resiko stroke pada pria lebih tinggi 20% daripada wanita. Namun

setelah seorang perempuan menginjak usia 55 tahun, saat kadar

estrogennya menurun karena menopause, resikonya justru lebih tinggi

dibandingkan pria.

3) Garis Keturunan

Resiko stroke lebih tinggi jika dalam keluarga terdapat riwayat

keluarga penderita stroke. Perlu diwaspadai apabila ada anggota

keluarga (orangtua dan saudara) yang mengalami stroke atau serangan

transien iskemik.
4) Ras atau Etnik

Berdasarkan data American Heart Association, ras afrika

amerika memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan

dengan ras kaukasia.

5) Diabetes

Penderita diabetes mempuyai resiko 2 kali lebih besar

mengalami stroke, hal ini dapat terjadi akibat gangguan metabolisme

pada para penderita diabetes.

6) Arterosklerosis

Kondisi dimana terjadi penyumbatan dinding pembuluh darah

dengan lemak, kolesterol ataupun kalsium.

7) Penyakit Jantung

Orang dengan penyakit jantung mempunyai resiko dua kali

lipat terkena stroke dibandingkan orang berjantung sehat.

b. Faktor resiko yang dapat di ubah

1) Obesitas

Resiko stroke akan meningkat pada orang dengan indeks massa

tubuh (IMT) lebih dari 30 kg/m2 (obesitas).

2) Kurang aktivitas fisik dan olahraga

Efeknya adalah meningkatkan resiko hipertensi, rendahnya

kadar HDL (kolesterol baik) dan diabetes. Berolahraga yang dilakukan

secara rutin 30-40 menit per hari dapat mengurangi resiko tersebut.
3) Merokok

Peluang terjadinya stroke pada orang yang mempunyai

kebiasaan merokok 50% lebih tinggi daripada yang bukan perokok.

4) Mengkonsumsi alkohol dan penggunaan obat-obatan

Resiko stroke iskemik akan meningkat dalam dua jam setelah

mengkonsumsi minuman beralkohol. Penggunaan obat-obatan

terlarang seperti halnya kokain juga dapat menyebabkan stroke dan

serangan jantung.

5) Tekanan darah tinggi (Hipertensi)

Hampir sekitar 40% kejadian stroke disebabkan atau dialami

oleh penderita hipertensi.

6) Tingkat kolesterol darah yang berbahaya

Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan meningkatkan resiko

terjadinya pengerasan pembuluh nadi (arterosklerosis), karena

kolesterol cenderung menumpuk pada dinding pembuluh darah dan

membentuk plak.

7) Sleep apnea (mendengkur disertai berhenti bernafas selama 10 detik)

Penderita sleep apnea berisiko mengalami hipertensi dan

kekurangan suplai oksigen dalam darahnya yang dapat menyebabkan

stroke.

5. Patofisiologi Penyakit Stroke

Oksigen sangat penting untuk otak jika terjadi hipoksia seperti yang

terjadi pada stroke, di otak akan mengalami perubahan metabolik, kematian

sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit
(AHA, 2015). Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah arteri

serebral dan arteri karotis interna yang ada di leher (Ahmad, 2018).

Adanya gangguan pada peredaran darah otak dapat mengkibatkan

cedera pada otak melalui beberapa mekanisme, yaitu :

a. Penebalan dinding pembuluh darah (arteri serebral) yang menimbulkan

penyempitan sehingga aliran darah tidak adekuat yang selanjutnya akan

terjadi iskemik.

b. Pecahnya dinding pembuluh darah yang menyebabkan hemoragi.

c. Pembesaran satu atau sekelompok pembuluh darah yang menekan

jaringan otak.

d. Edema serebral yang merupakan pengumpulan cairan pada ruang

interstitial jaringan otak (Wiwik, 2019).

Penyempitan pembuluh otak mula-mula menyebabkan perubahan

pada aliran darah dan setelah terjadi stenosis cukup hebat dan melampaui

batas krisis terjadi pengurangan darah secara drastic dan cepat. Obstruksi

suatu pembuluh darah arteri di otak akan menimbulkan reduksi suatu area

dimana jaringan otak normal sekitarnya masih mempunyai peredaran darah

yang biak berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis

yang ada. Perubahan yang terjadi pada kortek akibat oklusi pembuluh darah

awalnya adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran

darah dan dilatasi arteri dan arteriola (AHA, 2017).


6. Manifestasi klinis (Tanda & Gejala) Penyakit Stroke

Menurut Darmawan (2016) ada beberapa tanda dan gejala penyakit

stroke, antara lain :

a. Mendadak mati rasa pada muka, lengan tangan atau kaki di satu sisi atau

bagian tubuh.

b. Mendadak hilang penglihatan, terutama pada satu mata.

c. Hilangnya suara, gangguan bicara atau pemahaman tentang yang lain.

d. Mendadak sakit kepala hebat dengan sebab yang tidak jelas.

e. Pusing yang tidak dapat dijelaskan, berjalan yang tidak stabil atau jatuh

saat berjalan, khususnya disertai dengan gejala lain.

Tanda-tanda peringatan yang lain dari stroke disebut transient ischemic

attack (TIA).TIA adalah suatu mini-stroke yang dapat menyebabkan

gejala-gejala yang sudah disebutkan diatas dan mungkin hanya

berlangsung beberapa menit saja, akan tetapi jangan sampai diabaikan

apabila ada tanda dan gejala-gejala tersebut. Seseorang dengan serangan

TIA mempunyai resiko lebih besar mempunyai penyakit stroke di

kemudian hari.

7. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan stroke Hemoragik

1) Tujuan terapi :

a) Mengatasi penyebab dari stroke hemoragik, jadi terapi diberikan

sesuai dengan penyebabnya.

b) Mengatasi perdarahan.

2) Sasaran terapi :
a) Penyebab stroke hemoragik.

b) Perdarahan.

3) Terapi non farmakologi :

a) Kendalikan tekanan darah tinggi (hipertensi).

b) Mengurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh.

c) Tidak merokok.

d) Kontrol diabetes dan berat badan.

e) Olahraga teratur dan mengurangi stress.

f) Konsumsi makanan kaa serat.

g) Pembedahan : untuk lokasi perdarahan dekat permukaan otak.

b. Terapi farmakologi :

Dewan stroke dari American Stroke Association telah

menciptakan dan menerbitkan panduan yang membahas pengelolaan

stroke iskemik akut. Secara umum, hanya dua agen farmakologis

direkomendasikan yaitu plasminogen aktivatior (tPA) dalam waktu 3 jam

onset dan aspirin dalam 48 jam onset (La Ode, 2016).

8. Komplikasi Stroke

Menurut Junaidi (2017) komplikasi yang sering terjadi pada pasien

stroke yaitu :

a. Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuhan dapat

mengakibatkan luka/ lecet pada bagian yang menjadi tumpuan saat

berbaring, seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka dekubitus

jika dibiarkan akan menyebabkan infeksi.


b. Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki

yang lumpuh dan penumpukan cairan.

c. Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan menimbulkan

kekakuan pada otot atau sendi.

d. Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya

densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh

imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari.

e. Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau

karena umur sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan

31% menderita depresi pada 3 bulan pasca stroke dan keadaan ini lebih

sering pada hemiparesis kiri.

f. Inkontinensia dan konstipasi pada umumnya penyebab adalah imobilitas,

kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian obat.

9. Pencegahan Stroke

Tujuan upaya pencegahan penyakit stroke ini adalah untuk

menurunkan kejadian penyakit, kecacatan dini dan kematian, sehingga dapat

memperpanjang hidup dengan kualitas yang memadai. Pencegahan dibagi

atas dua kategori yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder.

Pencegahan primer dilakukan kepada mereka yang masih sehat dan belum

pernah mengalami penyakit stroke. Sedangkan pencegahan sekunder,

dilakukan terhadap mereka yang sudah pernah mengalami stroke.

a. Pencegahan primer

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam pencegahan primer antara lain:

1) Menghindari kegemukan
Pencegahan stroke perlu dilakukan dengan menghindari

kegemukan (obesitas), sebisa mungkin mengurangi kolesterol tinggi.

Untuk itu pola konsumsi harus diubah yaitu dari yang cenderung tinggi

karbohidrat dan lemak menjadi banyak sayur dan buah yang tinggi

serat. Dari sumber protein hewani gantikan posisi daging dengan ikan,

karena ikan memiliki kandungan lemak yang jauh lebih baik bagi

kesehatan daripada daging.

2) Menghindari stress

Stress menyumbang hingga 20% penyebab stroke, selain itu

juga menimbulkan hipertensi. Stress yang tidak terkendali akan

memicu naiknya tekanan darah dan beresiko terkena serangan jantung.

Stress juga dapat menaikkan kadar kolesterol dalam darah. Kondisi

tersebut nantiknya dapat membuat pembuluh darah tersumbat sehinga

penderita rentan terkena stroke.

3) Menghidari minum alkohol dan obat yang memiliki efek buruk pada

pembuluh darah. Konsumsi alkohol selain membuat orang yang

mengkonsumsinyaterlalu banyak akan mengalami gejala mabuk,

namun yang lebih perlu diwaspadai adalah pengaruhnya terhadap

tekanan darah. Alkohol jelas dapat meningkatkan tekanan darah,

memperlemah jantung, mengentalkan darah dan menyebabkan kejang

arteri.

4) Menghentikan kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok akan meningkatkan serangan stroke

dibandingkan dengan orang-orang bukan perokok. Merokok dapat


mengurangi elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan

pengerasan pembuluh darah dan akan meningkatkan serangan stroke.

5) Mengurangi asupan lemak, kolesterol dan garam yang dikonsumsi

secara berlebihan

Makanan cepat saji (fastfood, gorengan, steak, dan gulai

mengandung kadar lemak dan kolesterol tinggi. Konsumsi dari jenis

makanan tersebut harus dibatasi, karena bila dikonsumsi berlebihan

akan menimbulkan arterosklerosis atau pengerasan pembuluh darah

yang akan menghambat aliran darah ke otak.

6) Mengendalikan gula darah dan kadar lemak darah (dislipidemia)

7) Mengobati penyakit seperti : hipertensi, diabetes mellitus, penyakit

jantung/arterosklerosis. Hipertensi merupakan factor utama terkena

stroke dan penyakit jantung koroner. Diabetes juga meningkatkan

resiko stroke 1,5 hingga 4 kali lipat, terutaa pada penderita yang gula

darahnya tidak terkendali. Oleh karena itu pengobatan dan kontrol

terhadap penyakit-penyakit ini sangat perlu dilakukan untuk

mengurangiresiko terkena stroke.

8) Berolahraga secara teratur, minimal 3 kali seminggu

b. Pencegahan sekunder

Dalam pencegahan sekunder yang perlu dilakukan :

1) Mengobati penyakit-penyakit yang diderita yang merupakan resiko

timbulnya stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit

jantung.

2) Mengatasi dislipidemia dengan diet rendah lemak.


3) Berhenti merokok.

4) Menghindari konsumsi alkohol.

5) Mengatasi kegemukan (obesitas).

6) Menghindari dan mengobati hiperurisemia.

7) Mencegah terjadinya polisitemia (jmlah sel darah merah yang tinggi).

8) Menghindari stress.

9) Mengatasi keadaan depresi.

10) Dengan menggunakan obat-obatan (stroke iskemik).

10. Dampak yang Timbul Pasca Stroke

Dampak stroke menurut (Fitriani, 2019) pada individu dapat

menimbulkan beberapa perubahan diantaranya berupa perubahan fisik,

sosisal maupun psikologis.

1) Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi diantarannya kehilangan fungsi

motorik yaitu diantaranya kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh,

tidak dapat berjalan tanpa bantuan, penurunan refleks tendon,

kesulitan menelan, ketidakmampuan menginterpretasikan sensasi,

penurunan fungsi penglihatan serta adanya perubahan dalam

pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari.

2) Perubahan Sosial

Dampak sosial yang terjadi pada pasien paska stroke salah

satunya disebabkan karena adanya masalah komunikasi

diantaranya adalah kesulitan dalam berbicara, gangguan bicara,

ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari


sebelumnya. Gejala sisa fungsional pada pasien paska stroke juga

menyebabkan terjadinya perubahan penampilan, perubahan peran,

reintegrasi serta pembatasan partisipasi terhadap masyarakat, serta

penurunan aktivitas sosial.

3) Perubahan Psikologis

Dampak psikologis dan Gangguan fungsi kognitif dimana

pasienmenunjukan gejala lapang perhatian terbatas, kesulitan

dalam pemahaman, pelupa, depresi, cemas dan kurang motivasi

sehingga pasien mengalami frustasi dalam perawatan

penyembuhan (Fitriani, 2019).

11. Penatalaksanaan Stroke

Penanganan stroke ditentukan oleh penyebab stroke dan dapat

berupa terapi farmasi, radiologi intervensional, atau pun pembedahan.

Untuk stroke iskemik, terapi bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah

keotak, membantu lisis bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan,

melindungi jaringan otak yangmasih aktif, dan mencegah cedera sekunder

lain. Pada stroke hemoragik, tujuan terapi adalah mencegah kerusakan

sekunder dengan mengendalikan tekanan intrakranial dan vasospasme,

serta mencegah perdarahan lebih lanjut (Ummaroh, 2019).

a. Farmakologis

1) Vasodilator dapat meningkatkan aliran darah otak (ADS) secara

eksperimental, tetapi efeknya pada manusia belum dikonfirmasi

2) Dapat diberikan histamin, protein amino, acetazolamide, papaverine

intra-arterial
3) Obat antiplatelet dapat diresepkan, karena trombosit berperan sangat

penting dalam terjadinya trombosis dan batu. Agen anti-agresif

trombotik seperti aspirin digunakan untuk menghambat respons

pelepasan agregasi trombotik yang terjadi pada ulkus alogenik

4) Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau

kerusakan trombosis atau emboli pada bagian lain dari sistem

kardiovaskular (Ummaroh, 2019).

b. Non Farmakologis

Berikut ini beberapa jenis terapi yang dapat dijalankan terkait

proses pemulihan kondisi pasca stroke :

1) Terapi Wicara

Terapi wicara dapat membantu pasien mengunyah, berbicara,

dan memahami kata-kata(Ummaroh, 2019).

2) Fisioterapi

Terapi fisik yang digunakan untuk mengobati stroke akut adalah:

a) Mencegah komplikasi fungsi paru-paru yang disebabkan oleh

istirahat yang lama

b) Menekan kejang, saat nada meningkat, sinergi terjadi Kurangi

edema tungkai atas dan bawah di sisi yang sakit

c) Merangsang munculnya nada normal, pola gerakan dan koordinasi

gerakan

d) Meningkatkan aktivitas fungsi (Ummaroh, 2019).


3) Akupuntur

Akupunktur merupakan metode penyembuhan pasien stroke

dengan cara memasukkan jarum ke bagian tertentu dari tubuh mereka.

Akupunktur dapat mempersingkat waktu pemulihan, memulihkan

kemampuan atletik dan keterampilan sehari-hari (Ummaroh, 2019).

4) Terapi Ozon

Terapi ozon dapat digunakan untuk meningkatkan sirkulasi

darah di otak, membuka dan mencegah stenosis serebrovaskular,

mencegah kerusakan sel-sel otak akibat hipoksia, dan memulihkan

pasien setelah stroke, sehingga memulihkan fungsi organ tubuh yang

rusak. Kembali, memperkuat sistem kekebalan tubuh, mengontrol

kadar kolesterol dan tekanan darah (Ummaroh, 2019).

5) Terapi Sonolisis (Sonolysis Theraphy)

Terapi ini bertujuan untuk memecahkan sumbatan pada

pembuluh darah agar menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus

sehingga tidak menjadi resiko untuk timbulnya sumbatan-sumbatan

baru ditempat lain. Terapi sonolisis ini dilakukan dengan teknik

ultrasound dan tanpa menggunakan obat-obatan (Ummaroh, 2019).

6) Hidroterapi

Kolam hidroterapi digunakan untuk merehabilitasi gangguan

saraf pasien pascastroke. Kolam hidroterapi berisi air hangat yang

membuat tubuh bisa bergerak lancar, memperlancar peredaran darah

dengan melebarnya pembuluh darah, dan memberikan ketenangan


kolam hidroterapi memungkinkan pasien untuk berlatih menggerakan

anggota tubuh tanpa resiko cedera akibat terjatuh (Ummaroh, 2019).

7) Senam Ergonomik

Senam ini berfungsi untuk melatih otot-otot yang kaku dengan

gerakan-gerakan yang ringan dan tidak menimbulkan rasa sakit bagi

penderitanya. Senam ergonomik diawali dengan menarik napas

menggunakan pernapasan dada. Hal ini bertujuan supaya paru-paru

dapat lebih banyak menghimpun udara.Ketika napas, oksigen

dialirkan keotak yang memerlukan oksigen dalam jumlah yang banyak

supaya dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, senam

ergonomik dapat dikatakan membantu penderita stroke karena kondisi

stroke merupakan terganggunya suplai oksigen ke otak (Ummaroh,

2019).

8) Yoga (Terapi Meditasi)

Yoga menurunkan resiko terkena stroke dengan meningkatkan

suplai darah keotak bila yoga dilakukan secara teratur. Aktivitas yang

dilakukan dalam yoga khusus penderita stroke yaitu latihan

peregangan seluruh bagian tubuh, memijit organ-organ internal,

kelenjar, sistem peredaran darah dan sistem pembuangan, menurut

pernyataan Rahmat Darmawan, ia juga seorang oraktisi yuga

(Ummaroh, 2019).

9) Terapi Musik

Penelitian mengungkapkan bahwa dengan mendengarkan

musik setiap hari, penderita akan mengalami peningkatanpada ingatan


verbalnya dan memiliki mood yang lebih baik dibandingkan dengan

penderita stroke yang tidak mendengarkan musik. Selain itu,

mendengarkan musik pada tahap awal pascastroke dapat meningkatkan

pemulihan daya kognitif dan mencegah munculnya perasaan negative

(Ummaroh, 2019).

10) Terapi Bekam

Dalam konsep bekam, darah kotor yaitu darah yang tidak

berfungsi lagi, sehingga tidak diperlukan tubuh dan harus dibuang.

Bekam juga dapat menurunkan tekanan darah berkurang setelah

dibekam. Dengan terhindar dari penggumpalan darah dan tekanan

darah tinggi dapat mencegah dan mengobati stroke (Ummaroh, 2019).

C. Konsep Tingkat Kesadaran

1. Defenisi

Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi, dan waktu

disetiap lingkungan, agar sadar penuh diperlukan sistem aktivasi reticular

yang utuh, dalam keadaan berfungsinya pusat otak yang lebih tinggi di

korteks serebri (Corwin Elizabeth, 2010).

Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang

melibatkan hemisfer kiri atau kanan atau struktur-struktur lain dalam otak

(termasuk sistem reticular activating) yang mengatur siklus tidur dan

bangun atau keduanya. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan

pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan

dapat pula disebabkan oleh gangguan Ascending Reticular Activating


System di batang otak, terhadap formasio retikularis di talamus,

hipotalamus, maupun mesensefalon (Kan dkk, 2016).

2. Fisiologi Kesadaran

Pusat Kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada

serabut transversal reticularis dari batang otak sampai talamus dan

dilanjutkan dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan

talamus dengan korteks cerebri. Formasio activator reticularis terletak di

substansi griseria otak dari daerah medulla oblongata sampai midbrain dan

talamus (Mishra, 2015).

Perangsangan formasio reticularis midbrain membangkitkan

gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi

pada formasio reticularis midbrain mengakibatkan orang dalam stadium

koma, dengan gambaran Electroencephalography (EEG) gelombang delta.

Formasio reticularis menerima input dari korteks serebri,

ganglia basalis, hipotalamus, sistem limbik, cerebellum, medula spinalis

dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut eferen formasio reticularis

yaitu ke medulla spinalis, serebelum, hipotalamus, sistem limbik, dan

talamus yang akan berproyeksi ke korteks serebri dan ganglia basalis

(Maldonato, 2014).

Ascending Reticular Activating System (ARAS) juga mempunyai

proyeksi non spesifik dengan depolarisasi global di korteks, sebagai

kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari talamus yang mempunyai

efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi

Ascending Reticular Activating System umum memfasilitasi respon


kortikal spesifik ke sinyal sensorik dari talamus. Dalam keadaan normal,

sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari serabut sensorik aferen

menstimulasi Ascending Reticular Activating System melalui

cabangcabang kolateral akson. Jika sistem aferens terangsang seluruhnya,

proyeksi Ascending Reticular Activating System memicu aktivasi kortikal

umum (Mishra, 2015).

3. Etiologi

Pada gangguan kesadaran, gangguan terbagi dua, yakni

gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan

gangguan isi (kualitas, awereness, alertness) kesadaran. Adanya lesi

yang dapat mengganggu interaksi Ascending Reticular Activating

System dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial

dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran (Cavanna,

2015).

f. Gangguan Metabolik

Gangguan metabolik toksik merupakan salah satu etiologi

dari terjadinya gangguan kesadaran. Fungsi dan metabolisme otak

sangat bergantung pada tercukupinya penyediaan oksigen. Adanya

penurunan aliran darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya

kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran

darah. Apabila aliran darah otak turun lebih rendah lagi, maka akan

terjadi penurunan konsumsi oksigen di otak.

Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan

otak dan teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk


memelihara integritas neuronal, diperlukan penyediaan Adenosin

Tri Phospate (ATP) yang konstan untuk menjaga keseimbangan

elektrolit. Oksigen dan glukosa memegang peranan penting dalam

memelihara keutuhan kesadaran. Namun, meskipun penyediaan O2

dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu tetap dapat

terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit,

osmolaritas, ataupun devisiensi vitamin (Maiese, 2017).

Adapun gangguan proses metabolisme dibagi menjadi :

1) Ensefalopati metabolik primer. Disebabkan karena penyakit

degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya

metabolisme sel saraf dan glia misalnya pada penyakit

Alzheimer.

2) Ensefalopati Metabolik sekunder, penurunan kesadaran terjadi

bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak yang

mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan

elektrolit ataupun intoksikasi. Pada koma metabolik ini biasanya

ditandai dengan gangguan sistem motorik, tetapi ditandai

dengan adanya refleks pupil dan gerakan-gerakan ekstraokuler

(Maiese, 2017).

g. Gangguan Struktur Intrakranial

Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi

struktural formasio reticularis yang terjadi di daerah mesensefalon

dan diensefalon disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma


diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu koma akibat

lesi supratentorial dan lesi infratentorial.

1. Koma Supratentorial

1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer

serebri, sedangkan batang otak tetap normal.

2. Lesi struktural (Hemisfer) yaitu adanya massa di dalam

kranium (Hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya

misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan

dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya

2. Koma Infratentorial

1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS

sertamerusak pembuluh darah yang memperdarahi nya

dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.

2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS (Yeo dkk,

2013).

4. Manifestasi Klinis

Adapun Gejala klinik pada penurunan kesadaran yaitu :

a. Penurunan kesadaran secara kualitatif

b. GCS kurang dari 13

c. Papil edema

d. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif

e. Gelisah

f. Demam

g. Kejang
h. Retensi urine/inkontinensia urine

i. Retensi lendir / sputum di tenggorokan

j. Hipertensi atau hipotensi

k. Takipnu atau dispnea

l. Takikardi/bradikardi

m. Edema lokal atau anasarka

n. Sianosis, pucat dl

5. Cara pengukuran Tingkat Kesadaran dengan Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale atau GCS merupakan instrumen standar yang

dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien terutama bagi

pasien yang mengalami penurunan kesadaran seperti pasien yang

mengalami trauma kepala, stroke, kejang, dan lain-lain. Glasgow Coma

Scale didasarkan dari respon mata, verbal dan motorik yang dipakai untuk

menilai secara objektif derajat kesadaran seseorang. Masing-masing

komponen serta penjumlahan skor Glasgow Coma Scale sangat penting,

oleh karena itu skor Glasgow Coma Scale harus dituliskan dengan tepat.

Skor tertinggi menunjukkan pasien sadar (Kompos mentis), yakni GCS 15

(E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3=E1M1V1)

(Adeleye dkk, 2012).

a. Skor 15-14 : Compos Mentis

b. Skor 13-12 : Apatis

c. Skor 11-10 : Delirium

d. Skor 9-7 : Somnollen

e. Skor 6-5 : Stupor


f. Skor 4 : Semi Koma

g. Skor 3 : Koma (Lenterabiru.com, 2015)

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium darah : Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia

serum, nitrogen urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa

pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa

gas darah (BGA)

b. CT Scan : Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak/adanya

kelainan struktur otak

c. PET (Positron Emission Tomography) : Untuk menilai perubahan

metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak

d. MRI (Magnetic Resonance Imaging) : Untuk menilai keadaan abnormal

serebral, adanya tumor otak.

e. EEG (Elektroensefalography): Untuk menilai kejang epilepsy, sindrom

otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak, infeksi otak

f. EMG (Elektromiography): Untuk membedakan kelemahan akibat

neuropati maupun akibat penyakit lain (Trihono dkk, 2012).

D. Konsep Mobilisasi Progresif

1. Defenisi

Mobilisasi progresif adalah serangkaian gerakan yang dilakukan

kepada pasien kritis di ruangan Intensive Care Unit yang direncanakan secara

berurutan berdasarkan status atau kondisi pasien (AACN, 2015). Pelaksanaan

mobilisasi progresif dilaksanakan setiap 2jam sekali dan memiliki waktu jeda
atau istirahat untuk merubah posisi lainnya selama 5-10 menit (Zakiyah,

2014).

2. Tujuan

a. Mengurangi resiko dekubitus

b. Menurunkan lama penggunaan ventilator

c. Mengurangi insident ventilated acute pnenomia(VAP)

d. Mengurangi waktu penggunaan sedasi

e. Meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah

f. Meningkatkan fungsi organ-organ tubuh.

g. Meningkatkan status fungsional

h. Mengurangi lama waktu rawat dan pulang dengan resiko rendah

(Vollman, 2013).

3. Jenis Posisi Mobilisasi Progresif

a. Head of bed (HOB)

Memposisikan tempat tidur pasien secara bertahap hingga pasien

posisi setengah duduk. Posisi ini dapat dimulai dari 30° kemudian

bertingkat ke posisi 45°,65° hingga pasien dapat duduk tegak. Pada pasien

dimulai mobilisasi progresif. Sebelumnya dikaji dulu kemampuan

kardiovaskuler dan pernafasan pasien. Alat untuk mengukur kemiringan

head of bed bisa menggunakan busur atau pun accu angle level. Alat ini

dapat ditempelkan di posisi tempat tidur (AACN, 2015).

b. Range of Motion (ROM)

Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di


gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan

sendi abnormal (Helmi, 2012). Range of Motion juga dapat didefenisikan

sebagai jumlah pergerakan maksimum yang dapat dilakukan pada sendi,

disalah satu dari tiga bidang, yaitu : sagital, frontal, transversal. (Potter,

2010). Ketika otot mengalami imobilisasi akan terjadi pengurangan masa

otot dan mengalami kelamahan. Kegiatan ROM dilakukan pada semua

pasien kecuali pada pasien patah tulang dan tingkat ketergantungan yang

tinggi. Kegiatan Range of Motion dilakukan pada ekstremitas atas dan

bawah,dengan tujuan untuk menguatkan dan melatih otot agar kembali ke

fungsi semula. Kegiatan Range of Motion dialakukan dalam 2-3 kali

sehari.

c. Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)

Continous Lateraly Rotation Therapy merupakan suatu bagian dari

mobilisasi progresif, yang dilakukan untuk mengurangi komplikasi fungsi

pernafasan. Terapi ini dilakukan melalui gerakan kontinu rangka tempat

tidur yang memutar pasien dari sisi ke sisi. CLRT mencapai hasil terbaik

saat dilakukan setidaknya 18 jam/hari setiap 2 jam (Zakiyyah, 2014).

4. Tahapan Mobilisasi Progresif

a. Level 1

Dimulai dengan mengkaji pasien dari riwayat penyakit yang

dimiliki apakah terdapat gangguan kardiovaskuler dan respirasi. PaO2 :

FiO2 > 250, nilai PEEP <10, suhu <380C. RR 10-30x/menit, HR >60

<120 x/menit. MAP >55 <140, tekanan sistolik berkisar >90 <180 mmHg,

saturasi oksigen berkisar >90% (RASS-5 sampai -3).


Pada level I dimulai dengan meninggikan posisi pasien >300

kemudian diberikan pasif Range of Motion selama dua kali sehari.

Mobilisasi progresif dilanjutkan dengan continous lateraly rotation

therapy (CLRT) latihan dilakukan setiap dua jam. Bentuk latihan

berupa memberikan posisi miring kanan dan miring kiri sesuai

dengan kemampuan pasien

b. Level 2

Apabila pasien dengan kondisi hemodinamik stabil kemudian

dengan tingkat kesadaran meningkat yaitu pasien mampu membuka mata

tapi kontak belum baik (RASS-3). Kegiatan mobilisasi di level II ini

dimulai dengan Range of Motion hingga tiga kali per hari, mulai

direncanakan aktif Range of Motion, kemudian dimulai meninggalkan

posisi tidur pasien hingga 450-650 dilakukan setiap 15 menit, dilanjutkan

dengan melatih pasien duduk selama 20 menit.

c. Level 3

Pasien pada level ini belum sepenuhnya sadar penuh, tetapi sudah

ada kontak mata (RASS-1). Pada level ini bertujuan untuk melatih

kekuatan otot pasien hingga mentolelir gravitasi. Kegiatan mobilisasi pada

level ini dimulai dengan berlatih duduk di tepi tempat tidur lalu

meletakkan kaki menggantung (mentolelir gravitasi) selama 15 menit, hal

ini dilakukan sebanyak dua kali sehari.

d. Level 4

Pada kegiatan mobilisasi ini kegiatan mobilisasi dimulai dengan

duduk sepenuhnya, seperti duduk dikursi selama 20 menit sebanyak tiga


kali perhari, lalu dilanjutkan dengan duduk di tepian tempat tidur secara

mandiri dan akhirnya melakukan berpindah duduk dari atau tempat tidur

ke kursi khusus. Pasien pada level ini sudah sadar penuh dan dalam

kondiisi tenang (RASS -0).

e. Level 5

Tujuan mobilisasi pada level ini untuk meningkatkan kemampuan

pasien berpindah dan bergerak. Pasien pada level ini kooperatif, sadar

penuh (RASS-0). Kegiatan mobilisasi pada level ini dengan duduk di kursi

khusus lalu dilanjutkan dengan berdiri dan berpindah tempat. Kegiatan ini

dilakukan sebanyak dua hingga tiga kalli dalam sehari (VHA, 2010).

5. Prosedur Pelaksanaan

a. Persiapan

1) Mencuci tangan

2) Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan kepada klien dan

keluarganya

3) Peneliti meminta izin persetujuan (Informed Consent) kepada

keluarga pasien

4) Menempatkan klien pada posisi sesuai dengan gerakan yang

akan dilakukan

5) Menutup tirai untuk menjaga privasi klienb.

b. Pelaksanaan

1) Catat dahulu nilai saturasi oksigen sebelum melakukan intervensi

mobilisasi progresif level I.


2) Lakukan mobilisasi progresif level I yang terdiri dari Head of Bed 300

(posisi semifowler 300)

3) Kemudian lakukan ROM pasif (ekstremitas atas : fleksi dan

ekstensi jari tangan, fleksi dan ekstensi pergelangan tangan,

adduksi dan abduksi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku,

fleksi dan ekstensi bahu; ekstemitas bawah : fleksi dan ekstensi jari

kaki, dorsofleksi, plantarfleksi, fleksi dan ekstensi lutut, adduksi dan

abduksi kaki) setiap gerakan dilakukan pengulangan sebanyak 5 (lima)

kali.

4) Selanjutnya berikan posisi Continuous lateraly Rotation Therapy

(CLRT) yaitu memposisikan pasien miring kanan dan miring kiri.

c. Evaluasi

1) Mencuci tangan

2) Mendokumentasi dan mencatat nilai tekanan darah dan saturasi

oksigen setelah dilakukan mobilisasi progresif level 1 (AACN, 2010;

Handayani, 2017; Zakiyyah, 2014).

B. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam melakukan Mobilisasi

Progresif

1. Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen

antidisritmia dalam 24 jam terakhir

2. Tidak ditemukan iskemik Miokard dalam 24 jam terakhir

3. Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam

terakhir

4. FiO2 < 0.6; PEEP < 10 cmH2O (Zaelani K, 2018).


Kerangka Teori

Pasien ICU Penurunan kesadaran Beddres

Immobility
Perubahan respirasi,
kardiovaskuler,
metabolisme, Stroke
gastrointestinal, cairan
elektrolit, integumen

Penatalaksanaan

1. Farmakologis (sedasi, analgesik


alpoid)
2. Non farmakologis (relaksasi, terapi
musik, mobilisasi progresif level 1)

Bagan 2.1 : Kerangka Teori


BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu urain dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel

yang satu dengan variabel yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti

(Notoadmojo, 2012).

V.Independen intervensi V. Dependen

Tingkat Kesadaran Mobilisasi Tingkat Kesadaran


Pasien Stroke Progresif Level I pasien stroke Sesudah
sebelum
Skema : 3.2 Kerangka Konsep

B. Defenisi Operational

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
(V.Independen) Gerakan yang SOP Observasi Dilaksanakan Ordinal
Mobilisasi dilakukan pelaksanaan
progresif level 1 kepada pasien mobilisasi
kritis di ruangan progresif
Intensive Care level 1
Unit yang
direncanakan
secara berurutan
berdasarkan
status atau
kondisi pasien
(V.Dependen)
Tingkat Monitor Lembar Penilaian
Kesadaran Ambang Dan GCS Ratio
observasi
pasien stroke kesadaran yang penilaian
dimiliki pasien GCS
dengan stroke
yang menjalani
perawatan
diruang ICU
C. Hipotesis

Dari kerangka konsep diatas, maka dapat dirumuskan hipotesa sebagai

berikut :

Ha : Adanya Pengaruh Mobilisasi Progresif level 1 Terhadap tingkat

kesadaran pasien stroke Di Icu Rsud Adnan Wd Payakumbuh Tahun

2022

H0: Ha : tidak adanya Pengaruh Mobilisasi Progresif level 1 Terhadap

tingkat kesadaran pasien stroke Di Icu Rsud Adnan Wd Payakumbuh

Tahun 2022

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah pre eksperimental design

dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah one Group Prestest

–Postest (Notoatmodjo, 2012). Rancangan ini menggunakan satu

kelompok yaitu penelitian yang dilakukan dengan melakukan intervensi.

Penelitian ini dilakukan dua kali perlakuan, dengan mengukur tingkat

kesadaran pasien.

Sebelum diberikan mobilisasi progresif level 1 dan diukur kembali

tingkat kesadaran pasien setelah diberikan intervensi mobilisasi progresif

level 1 dengan menggunakan instrumen yang sama. Bentuk rancangan ini

adalah sebagai berikut :

Pretest Intervensi Postest

(O1) (X) (O2)

Keterangan :

O1 : tingkat kesadarana sebelum diberikan intervensi

X : Intervensi (mobilisasi progresif level 1)

O2 : tingkat kesadaran setelah diberikan intervensi

B. Tempat dan Waktu Penelitian

penelitian ini dilakukan di ruangan ICU RSUD Dr.Adnan WD

Payakumbuh pada bulan juni sampai juli 2022

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien stoke yang

menjalani perawat di ICU dengan penurunan kesadaran.

2. Sampel

Sampel adalah wakil dari populasi yang akan diteliti dan dianggap

mewakili populasi (Notoadmojo, 2010). Teknik pengambilan sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.

Pada penelitian eksperimen sederhana, maka jumlah anggota

sampel antara 10 sampai 20 sampel sudah dianggap adekuat. Dalam

penelitian ini, peneliti akan mengambil sampel sebanyak 10 orang,

dengan ditambah untuk sampel antisipasi drop outsebanyak 20 % dari

sampel yang akan diambil. Untuk mencegah terjadinya drop out maka

sampel ditambah 10% dan jumlah sampel dengan perhitungan

11+(10% x 11) = 12,1 responden, maka sampel menjadi 12 responden

(Nursalam, 2013). Jadi total sampel yang digunakan dalam penelitian

ini berjumlah 12 responden.

Dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1) Semua pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran

dengan penilaian GCS dibawah dari 5.

2) Keluarga mengizinkan pasien untuk dijadikan responden

b. Kriteria eksklusi
1) Responden yang tidak bisa dilakukan intervensi

2) Responden bisa melakukan aktivitas sendiri

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan purposive

sampling yaitu pengambilan sampel sesuai kebutuhan peneliti

(Notoadmojo, 2018).

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan saat perawat

memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di ICU di RSUD Adnan

Wd payakumbuh. Responden diberi penjelasan tentang tujuan dari

penelitian ini. Responden yang bersedia menjadi responden dilakukan

wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari catatan dan dokumentasi

mengenai perawat dalam memberikankan pelayanan kepada pasien dan

penilaian tingkat kesadaran pasien ICU (Nursalam, 2016).

E. Langkah-Langkah Pengumpulan Data

Adapun tahap-tahap pengumpulan data yang peneliti lakukan

dalam penelitian sebagai berikut :

a) Peneliti mengajukan penerbitan surat permohonan izin

pengambilan data pada institusi Universitas Perintis.


b) Setelah mendapatkan izin peneliti akan mengunjungi ruangan rawat

inap RSUD Adnan Wd payakumbuh untuk melakukan pengambilan

data.

c) Setelah pengambilan sampel, peneliti memperkenalkan diri, dan

menjelaskan tujuan penelitian kepada responden, serta meminta

persetujuan untuk menjadi responden.

d) Responden diminta membubuhkan tanda tangan di informed

concent bagi yang berada ditempat dan memenuhi kriteria sampel.

e) Dihari pertama melakukan pengkajian tentang tingkat kesadaran

pasien sebelum melakukan intervensi

f) Kemudian itu lakukan latihan mobilisasi setiap 2 jam,berupa

miring kanan dan miring kiri sesuai dengan kemampuan pasien.

Setelah dilakukan intervensi 2 hari berturut- turut dihari ketiga

lakukan kembali pengukuran tingkat kesadaran pasien

F. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul pada penelitian ini diolah melalui proses

komputerisasi. Tahapan dalam pengolahan data pada penelitian ini yaitu :

1. Pemeriksaan Data (editing)

Peneliti memeriksa ulang kelengkapan pengisian lembar

observasi apakah jawaban yang ada sudah relevan, lengkap, jelas, dan

konsisten. Editing dilakukan secara manual.

2. Pengkodean Data (coding)

Peneliti memberi kode pada setiap klien untuk memudahkan

dalam pengolahan data dan analisa data.


3. Memasukkan Data (entry)

Peneliti memasukkan data yang telah diberi kode kedalam

tabel dan diolah kedalam program komputer.

4. Pembersihan Data (cleaning)

Peneliti melakukan kegiatan pembersihan seluruh data agar

terbebas dari kesalahan sebelum dilakukan analisa data, baik

kesalahan dalam pengkodean maupun dalam membaca kode,

kesalahan juga dimungkinkan terjadi pada saat peneliti memasukkan

data ke komputer. Setelah data didapat kemudian dilakukan

pengecekan kembali apakah data ada yang salah atau tidak.

Pengelompokkan data yang salah diperbaiki sehingga tidak

ditemukan kembali data yang tidak sesuai.

5. Tabulasi (Tabulating)

Peneliti melakukan pengelompokan data atas jawaban-jawaban

dengan teratur dan teliti, kemudian dihitung, dijumlahkan dan

disajikan dalam bentuk tabel. Berdasarkan tabel tersebut akan dipakai

untuk membuat data agar didapat hubungan atau pengaruh antara

variabel-variabel yang telah ada.

G. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat ini menggambarkan distribusi frekuensi dari

variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel

dependen. Data yang dianalisis secara univariat adalah komponen-

komponen variabelnya.
2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua

variable (Notoatmodjo S. , 2010). Untuk mengetahui adanya pengaruh

mobilisasi progresif level 1 terhadap tingkat kesadaran pasien stroke

dimana hasil pre-test dan post-test , diamana untuk pre-test digunakan

rata-rata awal dengan memakai standar deviasi, sedangkan post-test

digunakan rata-rata akhir dengan memakai standar deviasi. Kemudian

hasil tersebut dibandingkan dengan menggunakan rumus Paired Test

(T-tes Dependen) dengan tujuan membandingkan rata-rata awal (pre-

test) dan rata-rata akhir (post-test) sebelum dan sesudah dilakukan

intervensi sealama 2 hari berturut-turut.

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian pada responden peneliti

memperlihatkan etika penelitian antara lain :

1. Izin Penelitian

Sebelum mengambil data dilapangan peneliti meminta surat izin

yaitu dari Universitas Perintis, dilanjutkan izin ke RSUD Adnan Wd

payakumbuh.

2. Lembar Persetujuan (Inform Consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti.

Peneliti menjelaskan maksud dari penelitian dan pengukuran. Jika

responden bersedia, maka mereka harus menanda tangani surat persetujuan

penelitian, jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati hak pasien.


3. Anonimity (Tanpa Nama)

Dalam penelitian ini peneliti menjaga kerahasiaan identitas

responden, dan tidak menyebar luaskannya (privacy responden).

4. Autonomy

Peneliti memberikan kebebasan bagi responden untuk menentukan

keputusan sendiri. Apabila sampel menolak menjadi responden, maka

tidak ada paksaan dari peneliti kepada responden serta tetap menghormati

dan menghargai keputusan, hak, pilihan dan privacy responden.

5. Kerahasiaan (Confidentiality)

Peneliti menjaga kerahasiaan dari hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai