abstrak
Pendahuluan: Pasien kritis adalah pasien yang berpotensi mendapatkan disfungsi
reversibel pada satu atau lebih organ yang mengancam jiwa dan mengharuskan mereka
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Metode: Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis fungsi fisik - diskinesia tardive pada pasien kritis dengan sedasi
di ICU. Desain penelitian ini bersilang silang. Populasinya semua pasien kritis di RS ICU
Baptis Kediri. Sampel adalah 41 responden berdasarkan kriteria inklusi dan pengecualian
dalam total pengambilan sampel. Variabel independen memberikan sedasi dan variabel
dependen adalah fungsi fisik-tardive dyskinesia. Data dikumpulkan menggunakan lembar
pengamatan. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian obat penyiangan
dapat menurunkan fungsi fisik dalam bentuk aktivitas motorik; respons rangsangan yang
berbahaya (7,3%), respons terhadap nama sentuh atau panggilan (19,5%) dan skor
incresing agitasi dan koperasi (4,9%). Gejala diskinesia tardive meningkat setelah disedasi
dalam bentuk tonjolan lidah (4,9%), bibir memukul kerutan dan pengurnian (2,4%), dan
gerakan cepat lengan dan kaki. Administrasi sedasi pada pasien ICU 24 jam pertama
mempengaruhi fungsi fisik pasien kritis (p = 0,005). Kesimpulan: Memberikan sedasi
mempengaruhi perubahan funcion fisik patiens. Oleh karena itu, pencegahan terhadap efek
sedasi dan pengobatan selama ICU diperlukan untuk menghindari penurunan fungsi fisik
pasien kritis.
Kata kunci: fungsi fisik, diskinesia tardive, sedasi, pasien kritis, ICU
(Davidson et al., 2013). Post Intensive Hasil studi didapatkan juga sebanyak
Care Syndrome merupakan kumpulan dari 476,862 pasien (60%-80% dari total
tiga gejala masalah atau gangguan berupa pasien post ICU) dengan 30% diantaranya
gambaran memburuknya status kelemahan tidak dapat kembali bekerja
fungsi fisik, kognitif, dan kecemasan (nonproduktif) karena kehilangan
(kesehatan mental) selama sakit kritis dan kekuatan otot sebanyak 1%-2% setiap
setelah pasien keluar dari ICU (Needham harinya setelah pasien keluar dari ICU.
et al., 2012). Pasien kritis berhubungan Pasien dengan kehilangan fungsi otot
langsung pada ketidaknyamanan yang dapat dilihat dari kondisi motor activity
memberikan efek non-cooperative, pasien dan reaksi dari proses sedasi. Penurunan
akan mendiskripsikan nyeri dengan fungsi kognitif berhubungan dengan
berbagai manifestasi secara verbal penurunan metabolisme oksidatif otak
ataupun nonverbal. Pasien kritis yang yang menyebabkan perubahan
dirawat di ruang intensif dengan neurotransmiter di daerah prefrontal dan
ketidaknyamanan akan mendapatkan subkortikal ataupun ada penurunan
terapi sedasi. Pasien kritis mengalami kolinergik dan peningkatan aktivitas
keadaan sedasi dikarenakan oleh dopaminergik, pada saat kadar serotonin
penatalaksanaan medis yang dilakukan dan kadar GABA (Gamma-Aminobutyric
oleh tenaga kesehatan di perawatan Acid) bermakna. Hasil studi didapatkan
intensif. Pemberian opioid untuk bahwa pasien dengan penurunan fungsi
mengurangi respon sakit, nyeri, kognitif terjadi pada 24%-34% pasien.
kegelisahan, ataupun gerak involunter Penurunan fungsi kognitif tersebut mirip
karena patologis penyakit sangat dengan gejala traumatic brain injury
diperlukan. Sedasi berupa opioid dapat (34%) dan pasien mirip dengan
bereflek kepada keadaan kondisi fungsi- Alzheimer’s disease dan delirium (24%).
fungsi ditubuh dan mengalami depresi (Cartwright, 2012; Iwashyna et al., 2012;
sistem saraf pusat. Sleep Deprivation Needham, 2012; Davidson et al., 2013;
merupakan hasil dari hasil agitasi–sedasi. Pandharipande et al., 2013; JC et al.,
Manajemen sedasi dapat dapat 2014; T. J. Iwashyna, 2014; Sottile, Peter,
memberikan efek samping yaitu sedasi Amy Nordon-Craft, Daniel Malone,
dan faktor resikonya adalah ederly Darcie M. Luby, Margaret Schenkman,
analgesic dan sedative (Carlson, 2009). 2015)
Depresi pernapasan dapat terjadi sebagai Penyebabnya diantaranya riwayat
efek yang sering muncul, perawat harus menggunakan ventilator mekanik (33%),
mempu mengidentifikasikan dan infeksi atau sepsis (50%), pasien
menganalisa dengan baik keadaan agitasi mendapatkan perawatan 2 hari sampai
dari sedasi yang diberikan. Efek-efek yang dengan >1 minggu di ICU (>50%),
dapat dilihat dapat berupa respon pasien delirium dan berbagai penyakit kritis atau
secara verbal maupun nonverbal. Jika sepsis (70%), Penyakit jantung koroner
perawat tidak dapat mengetahui dan (PJK) (36,6%), PJK Unstable Angina
menganalisa hasil akhir dari efek sedasi (UA) (41,5%), Hipertensi (19,5%),
dan tindakan yang harus dilakukan maka Supraventikular Takikardi (SVT) (2,4%),
keadaan pasien dapat bertambah buruk tanda dan gejala tardive dyskenesia
karena kita tidak dapat dinilai secara cepat (Davidson et al., 2013; T. J. Iwashyna,
oleh perawat, karena keadaan kritis pasien 2014; Hoffman and Guttendorf, 2015;
perlu suatu penilaian yang cepat dan tepat Suwardianto, 2016). Faktor penyebab
untuk dilakukan. utama yaitu perawatan lama (≥2 hari) dan
Pasien kritis selama di ICU akan mobilisasi minimal. Faktor penyebab
kehilangan 20% volume otot, dan 70% lainnya yaitu riwayat kesehatan
protein selama 1 minggu dirawat di ICU. sebelumnya (status kesehatan dan riwayat
penyakit sebelumya), penyakit akut, penyakit kritis (delirium, hipoksia,
terjadinya pergerakan dan pasien dapat Agitasi yang buruk dimana Pergerakan
mengambil selimut atau gelas atau tubuh atau ketidakmauan dengan
menyelimuti dirinya sendiri dan treatment/prosedur atau pembatasan
mengikuti perintah. Pasien dengan pergerakan tubuh secara signifikan
keadaan agitasi yaitu tidak ada stimulus membahayakan pasien dan petugas.
eksternal yang terjadi untuk terjadinya Sedation Scale for Critically Ill Patients
perkerakan dan pasien berusaha untuk merupakan alat pengkajian yang khusus
berdiri atau pergerakan lengan keluar dari digunakan oleh perawat dalam
tempat tidur dan tidak konsisten mengidentifikasi skala agitasi pada pasien
mengikuti perintah, dan kedaan pasien kritis. Indikator dalam Sedation Scale for
bisa dalam keadaan Agitasi berbahaya, Critically Ill Patients yaitu
tidak kooperatif dimana Tidak ada Consciousness, agitasi, kecemasan, tidur,
stimulus eksternal yang terjadi untuk dan pasien dengan terpasang ventilator.
terjadinya perkerakan dan pasien dan Consciousness mengidentifikasikan
pasien menarik SL (Selang lambung) atau bahwa pasien Bangun, sadar akan dirinya
kateter urin atau mendera/menyerang dan lingkungan (orientasi baik), Agitasi
petugas/mencoba untuk mengeluarkan mengidentifikasikan bahwa pasien
lengan keluar dari tempat tidur dan tidak mengerakan badan pasien/keselamatan
tenang ketika bertanya. Hasil penelitian pasien, Kegaduhan pasien, dan laporan
didapatkan bahwa pemberian sedasi pasien. Indikator kecemasan yaitu
secara signifikan mempengaruhi Physical perawat melihat kecemasan pasien
Function dimana respon sedasi berupa (Faces Anxiety). Indikator tidur yaitu
morphin 2,5 mg mampu menurunkan perawat mengobservasi tidur dan kualitas
level motor pasien yang awalnya pasien tidur yang dirasakan pasien. Indikator
agitasi mampu diturunkan sampai pada pasien dengan terpasang ventilator
level koperatif. Peran perawat dengan dimana perawat Pola pernapasan relative
mengetahui kondisi pasien sebelum dan pada ventilator. Hasil penelitian
setelah pemberian sedasi terjadi memperlihatkan bahwa terjadi perubahan
perubahan respon motor akibat relaksan, skala agitasi yang signifikan hal ini
perawat harus mampu mengetahui menunjukkan bahwa agitasi menurun
keadaan-keadaan tersebut melalui seiring pemberian sedasi. Skala agitasi
indikator motor activity. Respon motor semakin buruk maka semakin buruk
yang berlebihan mampu meningkatan kondisi pasien untuk tenang dan koperatif
beban jantung dan kegelisahan pada juga berpengaruh pada kondisi respon
pasien namun pasien yang mampu pasien dalam penyembuhan di area
mencapai relaksasi dengan atau tanpa keperawatan. Pasien setelah diberikan
sedasi akan meningatkan aktifitas sedasi morphin 2,5 mg IV paling banyak
parasimpatis dari nervus vagus responden berada pada level 2 sebelum
(Suwardianto, 2013), hal tersebut mampu dan setelah responden. Semakin
terjadi penurunan cardiac workload pada membaiknya dan koperatifnya pasien
pasien kritis yang terjadi kegelisahan. maka pasien akan mampu
Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan konsisi yang baik.
pemberian sedasi mempengaruhi Berdasarkan hasil penelitian
Sedation Scale for Critically Ill Patients didapatkan bahwa didapatkan bahwa
(0,005). Hasil didapatkan bahwa Sedation terjadi penurunan pada tekanan darah
Scale for Critically Ill Patients sebelum sistolik (TDS) (7,0 mmHg, tekanan darah
dan sesudah pasien mendapatkan sedasi diastolik (TDD) (6,4 mmHg, Heat rate
berada pada skala 2 (36,6% ke 34,4%). (1,5 kali/menit), Respiration rate (0,5
kali/menit). Terjadi peningkatan saturasi
oksigen sebesar 0,2 %. Pasien kritis
dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kondisi penyakit dimana
fisik saja pada pasien post ICU sehingga Diakses 4 Februari 2014, jam
masalah yang lain akan tetap muncul. 18.00 WIB
Bangun. (2005). Terapi Jus Dan Ramuan
Saran Tradisional Untuk Kolesterol.
Perawat kritis dan gawat darurat Depok: Agromedia Pustaka
diharapkan mampu mengidentifikasi Boestan, Iwan N, Rurus Suryawan.
gambaran penurunan fungsi fisik dan (2003). Ilmu Penyakit Jantung.
kognitif di ICU sehingga mampu Surabaya: Airlangga University
meningkatkan kualitas pelayanan dan Press
kualitas hidup pasien setelah keluar dari Bonita A, G. (2009) ‘Home cardiac
ICU. Penerapan Evidence Base Practice rehabilitation for congestive heart
pada tempat pelayanan sangatlah penting failure: a nursing case
dan harus dilakukan sedini mungkin management approach’,
untuk mencegah permasalahan- Rehabilitation Nursing, 24(4), pp.
permasalahan yang dapat terjadi setelah 143–147.
pasien keluar dari ICU. Perawat perlu Cartwright, M. M. (2012) The high
mengembangkan Clinical Pathway incidence of post intensive care
keperawatan pasien Kritis di Instalasi unit (ICU) anxiety and depression,
Perawatan Intensif untuk memonitoring Psychology Today. Available at:
dan mengevaluasi perkembangan pasien https://www.psychologytoday.co
sehingga Gold Standar dalam pencapaian m/blog/food-thought/201202/the-
Outcame keperawatan tercapai secara high-incidence-post-intensive-
optimal care-unit-icu-anxiety-and-
depression (Accessed: 9
September 2016).
Davidson, Christopher. (2003). Penyakit
Jantung Koroner. Jakarta: Dian
Rakyat
DAFTAR PUSTAKA Davidson, J. E., Hopkins, R. O., Louis,
AACN (2016) ‘About critical care D. and Iwarshyna, T. (2013)
nursing’, American Association of ‘Post-intensive care syndrome’,
Critical-Care Nurses, p. 1. Society of Critical Care Medicine,
Available at: 1(1), pp. 1–4.
http://www.aacn.org/wd/publishin Gardner, Samuel. (2007). Smart
g/content/pressroom/aboutcritical Treatment For High Blood Pre
carenursing.pcms?menu= Panduan Sehat Mengatasi
(Accessed: 29 August 2016). Tekanan Darah Tinggi. Jakarta:
Abelha, F. J., Santos, C. C., Maia, P. C., Prestasi Pustakaraya
Castro, M. A. and Barros, H. Garland, K, O., CD, R., M, Y. and R, F.
(2007) ‘Quality of life after stay (2013) ‘Epidemiology of critically
in surgical intensive care unit’, ill patients in intensive care units:
BMC Anesthesiology, 7(8), pp. 1– a population-base observational
12. doi: 10.1186/1471-2253/7/8. study’, Critical Care, 17(5), p.
Alan. (2014). Heart Disease and Stroke 212. doi: 10.1186/cc13026.
Statistics. Glance. (2015). Heart Disease and
http://circ.ahajournals.org/content. Stroke Statistics. American Heart
American Heart Associaton. Association-BBB
Hidayat, Alimul, Aziz. (2012). Riset
Keperawatan dan Teknik
Penulisan Ilmiah. Jakarta: Hoffman, L. A. and Guttendorf, J. (2015)
Salemba Medika Post Intensive care syndrome: risk
factors and prevention strategies, JC, J., PP, P., TD, G., NE, B. and JL, T.
AHC media. Available at: (2014) ‘Depression, post-
https://www.ahcmedia.com/article traumatic stress disorder, and
s/134820-post-intensive-care- functional disability in survivors
syndrome-risk-factors-and- of critical illness in the brain-icu
prevention-strategies (Accessed: 1 study: a longitudinal cohort
January 2016). study’, The Lancet Respiratory
Hopkins, R. O. (2013) ‘Strategies to Medicine, 2(5), pp. 369–379.
ensure long-term quality of life in Kabo, Peter, (2008). Mengungkap
ICU survivors’, Society of Critical Pengobatan Penyakit Jantung
Care Medicine, 1(1), p. 1. koroner. Jakarta: PT Gramedia
Ireland (2011) National standards for Pustaka Utama
adult critical care services. Kasron, 2012. Pencegahan serta
Ireland: Joint Faculty of Intensive Pengobatan. Yogyakarta: Nuha
Care Medicine of Ireland (JFCMI) Medika
in association with The Intensive Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset
Care Society of Ireland (ICSI). Kesehatah Dasar Riskesdas 2013.
Irmalia, (2015). Pedoman Tatalaksana Badan Penelitian dan
Sindrom Koroner Akut Edisi Pengembangan Kesehatan,
ketiga. Jakarta. Perhimpunan Jakarta; 2013. Hal 90-93
dokter spesialis kardiovaskuler Kowalak, Jeninifer P. (2011), Buku Ajar
Indonesia (PP PERKI). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Iwang, Prasetya W, Ismail. (2006). Kurniadi, Helmanu. (2013). Stop Gejala
Antitrombolik dan Trombolitik Penyakit Jantung Koroner.
pada penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: Familia
Jakarta: Fakultas Kedokteran Mansjoer, Arif. (2008). Kapita Selekta
Universitas Indonesia Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta:
Iwashyna, T. (2014) ‘What you need to Media Aesculapius, hal: 518-519
know about post-intensive care Mawi, Martiem. (2003). Indeks Masa
syndrome (PICS)’, Health Tubuh Sebagai Determinan
System-University of Michigan, Penyakit Jantung Koroner pada
1(1), pp. 1–3. Orang Dewasa Berusia di Atas 35
Iwashyna, T. J. (2014) ‘Post-intensive tahun. Jurnal Kedokteran Trisakti.
care syndrome: improving the Vol 23. No 3
future of icu patients’, 24nd Muchtar, Zahra. (2010). Gambaran
Critical Care Congress Review, Epidemiologi Penyakit Jantung
1(1), pp. 13–16. Koroner pada Pasien Wanita di
Iwashyna, T. J., Cooke, C. R., Wunsch, Rumah Sakit Harapan Kita
H. and Kahm, J. M. (2012) Jakarta Tahun 2009. Skripsi,
‘Population burden of long-term Universitas Indonesia
survivorship after severe sepsis in Muttaqin, Arif. (2009). Buku Ajar
older americans’, Journal Asuhan Keperawatan dengan
compilation © 2012, The Gangguan Sistem Kardiovaskuler
American Geriatrics Society, dan Hematologi. Jakarta: Salemba
60(6), pp. 1070–1077. Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Cerdas
Menaklukkan Semua Penyakit
Orang Sekarang. Jakarta: Kompas
Media Nusantara
Nastiti, Amadea K. (2012). Klasifikasi http://amadeanastiti-
Kadar Gula Dalam Darah. fst09.web.unair.ac.id/. Diakses 27
Pebruari 2014, jam 22.00 WIB STIKES RS. BAPTIS Kediri. Hal:
Nathan E, Brummel, James C. Jackson, 37
T. D. G. (2013) ‘A combined Rocmayanti. (2011). Analisis Faktor
early cognititive and physical yang Mempengaruhi Kualitas
rehabilitation program for people Hidup Pasien Penyakit Jantung
who are critically Iil: The activity Koroner di Rumah Sakit Pelni
and cognitive therapy in the Jakarta. Tesis Univesitas
intensive care unit (ACT-ICU) Indonesia Fakultas Ilmu
trial’, Physical Therapy Critical Keperawatan. Hal 70
Illness, 92(12), pp. 1580–1592. Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan
Needham, D. M. (2012) ‘Improving long- Riset Keperawatan. Yogyakarta:
term outcomes after discharge Graha Ilmu
from intensive care unit: Report Silvia, A. Prince, Lorraine, M. Wilson.
from a stakeholders’ conference’, (2005). Patofisiologis Klinis
Critical Care Medicine, 40(2), pp. Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
502–509. Vol 1. Jakarta: ECG
Needham, D. M., Davidson, J., Cohan, Sottile, Peter, Amy Nordon-Craft, Daniel
H., PharmD and Hopkins, R. Malone, Darcie M. Luby,
(2012) ‘Improving long-term Margaret Schenkman, M. M.
outcomes after discharge from (2015) ‘Physical therapis
intensive care unit: report from a treatment of patients in the
stakeholders’ conference’, the neurogical intensive care unit:
Society of Critical Care Medicine description of practice’, Physical
and Lippincott Williams & Therapy, 95(7), pp. 1006–1014.
Wilkins, 40(2), pp. 502–509. Strahan, E. H. . and Brown, R. J. (2005)
Pandharipande, P., Girard, T., Morandi, ‘A quantitative study of the
A. and Thompsom, J. (2013) experiences of patients following
‘Long-term cognitive impairment transfer from intensive care’,
after critical illness’, The New Intensive and Critical Nursing-
England Journal Medicine, ICCN, 21(21), pp. 160–171.
369(14), pp. 1306–1316. doi: Sugiyono. (2009). Metode Penelitian
10.1056/NEJMoa1301373. Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
Pradana, Wisnu, Mahardika. (2011). Bandung: Alfabeta
Peran Enhanced External Supriono, Mamat. (2008). Faktor-Faktor
Counterplussation pada Penyakit Resiko yang Berpengaruh
Jantung Koroner. Artikel Khusus, Terhadap Kejadian Penyakit
Universitas Katolik Atma jaya, jantung Koroner pada Kelompok
Jakarta. Vol 61 No10. Oktober Usia ≤ 45 Tahun. Tesis, Study
2011. Hal: 2 Kasus di RSUP Dr. Kariadi dan
Pudiastuti, Ratna, Dewi. (2013). RS Telogorejo, Semarang. Hal:
Penyakit-Penyakit Mematikan. 53-58
Yogyakarta: Nuha Medika Suwardianto, H. (2016) ‘Tardive
Pusfitasari, Intan. (2013). Hubungan dyskenesia, motor activity,
Dukungan Sosial Keluarga sedation scale, and cardiac
dengan Tingkat Kecemasan workload in baptis kediri
Pasien Penyakit Jantung Koroner. hospital’, Tardive Dyskenesia,
Motor Activity, Sedation Scale,
Dan Cardiac Workload, 4(1), p. 1.
Suwardianto, Heru. (2013). Deep
Breathing Relaxation As
Therapy