Anda di halaman 1dari 12

ISSN : 2579-7301

PHISICAL FUNCTION (MOTOR ACTIVITY) PADA PASIEN KRITIS DENGAN


SEDATION DI INTENSIVE CARE UNIT

Heru Suwardianto*, Awal Prasetyo**, Reni Sulung Utami**

*Mahasiswa Prodi Magister Keperawatan Kepeminatan Keperawatan Dewasa


Konsentrasi Keperawatan Kritis Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang
*Prodi DIII Keperawatan STIKES RS Baptis Kediri
Jl. Mayjend Panjaitan No. 3B Kota Kediri, Jawa Timur, Indonesia
** Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: herusuwardianto@gmail.com

abstrak
Pendahuluan: Pasien kritis adalah pasien yang berpotensi mendapatkan disfungsi
reversibel pada satu atau lebih organ yang mengancam jiwa dan mengharuskan mereka
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Metode: Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis fungsi fisik - diskinesia tardive pada pasien kritis dengan sedasi
di ICU. Desain penelitian ini bersilang silang. Populasinya semua pasien kritis di RS ICU
Baptis Kediri. Sampel adalah 41 responden berdasarkan kriteria inklusi dan pengecualian
dalam total pengambilan sampel. Variabel independen memberikan sedasi dan variabel
dependen adalah fungsi fisik-tardive dyskinesia. Data dikumpulkan menggunakan lembar
pengamatan. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian obat penyiangan
dapat menurunkan fungsi fisik dalam bentuk aktivitas motorik; respons rangsangan yang
berbahaya (7,3%), respons terhadap nama sentuh atau panggilan (19,5%) dan skor
incresing agitasi dan koperasi (4,9%). Gejala diskinesia tardive meningkat setelah disedasi
dalam bentuk tonjolan lidah (4,9%), bibir memukul kerutan dan pengurnian (2,4%), dan
gerakan cepat lengan dan kaki. Administrasi sedasi pada pasien ICU 24 jam pertama
mempengaruhi fungsi fisik pasien kritis (p = 0,005). Kesimpulan: Memberikan sedasi
mempengaruhi perubahan funcion fisik patiens. Oleh karena itu, pencegahan terhadap efek
sedasi dan pengobatan selama ICU diperlukan untuk menghindari penurunan fungsi fisik
pasien kritis.

Kata kunci: fungsi fisik, diskinesia tardive, sedasi, pasien kritis, ICU

PENDAHULUAN dan terdapat 9,8-24,6 pasien sakit kritis


Pasien kritis merupakan keadaan yang dan dirawat di ICU per 100.000 penduduk
berpotensi terjadinya disfungsi reversible (Garland et al., 2013). Pasien post ICU
pada salah satu atau lebih organ yang memiliki berbagai potensi masalah
mengancam kehidupan dan memerlukan kesehatan akibat perawatan sebelumnya.
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) Masalah post ICU biasa disebut dengan
(Ireland, 2011; AACN, 2016). Pasien post intensive care syndrome (PICS). Post
kritis di ICU prevalensinya terus Intensive Care Syndrome merupakan
meningkat setiap tahunnya. World Health masalah kesehatan yang muncul dan
Organization (WHO) tahun 2016 menetap dalam jangka waktu yang lama
melaporkan bahwa kematian akibat setelah pasien keluar dari ICU dan
penyakit kritis hingga kronik di dunia merupakan masalah keperawatan yang
meningkat sebanyak 1,1 - 7,4 juta orang sangat penting untuk segera diselesaikan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 1


ISSN : 2579-7301

(Davidson et al., 2013). Post Intensive Hasil studi didapatkan juga sebanyak
Care Syndrome merupakan kumpulan dari 476,862 pasien (60%-80% dari total
tiga gejala masalah atau gangguan berupa pasien post ICU) dengan 30% diantaranya
gambaran memburuknya status kelemahan tidak dapat kembali bekerja
fungsi fisik, kognitif, dan kecemasan (nonproduktif) karena kehilangan
(kesehatan mental) selama sakit kritis dan kekuatan otot sebanyak 1%-2% setiap
setelah pasien keluar dari ICU (Needham harinya setelah pasien keluar dari ICU.
et al., 2012). Pasien kritis berhubungan Pasien dengan kehilangan fungsi otot
langsung pada ketidaknyamanan yang dapat dilihat dari kondisi motor activity
memberikan efek non-cooperative, pasien dan reaksi dari proses sedasi. Penurunan
akan mendiskripsikan nyeri dengan fungsi kognitif berhubungan dengan
berbagai manifestasi secara verbal penurunan metabolisme oksidatif otak
ataupun nonverbal. Pasien kritis yang yang menyebabkan perubahan
dirawat di ruang intensif dengan neurotransmiter di daerah prefrontal dan
ketidaknyamanan akan mendapatkan subkortikal ataupun ada penurunan
terapi sedasi. Pasien kritis mengalami kolinergik dan peningkatan aktivitas
keadaan sedasi dikarenakan oleh dopaminergik, pada saat kadar serotonin
penatalaksanaan medis yang dilakukan dan kadar GABA (Gamma-Aminobutyric
oleh tenaga kesehatan di perawatan Acid) bermakna. Hasil studi didapatkan
intensif. Pemberian opioid untuk bahwa pasien dengan penurunan fungsi
mengurangi respon sakit, nyeri, kognitif terjadi pada 24%-34% pasien.
kegelisahan, ataupun gerak involunter Penurunan fungsi kognitif tersebut mirip
karena patologis penyakit sangat dengan gejala traumatic brain injury
diperlukan. Sedasi berupa opioid dapat (34%) dan pasien mirip dengan
bereflek kepada keadaan kondisi fungsi- Alzheimer’s disease dan delirium (24%).
fungsi ditubuh dan mengalami depresi (Cartwright, 2012; Iwashyna et al., 2012;
sistem saraf pusat. Sleep Deprivation Needham, 2012; Davidson et al., 2013;
merupakan hasil dari hasil agitasi–sedasi. Pandharipande et al., 2013; JC et al.,
Manajemen sedasi dapat dapat 2014; T. J. Iwashyna, 2014; Sottile, Peter,
memberikan efek samping yaitu sedasi Amy Nordon-Craft, Daniel Malone,
dan faktor resikonya adalah ederly Darcie M. Luby, Margaret Schenkman,
analgesic dan sedative (Carlson, 2009). 2015)
Depresi pernapasan dapat terjadi sebagai Penyebabnya diantaranya riwayat
efek yang sering muncul, perawat harus menggunakan ventilator mekanik (33%),
mempu mengidentifikasikan dan infeksi atau sepsis (50%), pasien
menganalisa dengan baik keadaan agitasi mendapatkan perawatan 2 hari sampai
dari sedasi yang diberikan. Efek-efek yang dengan >1 minggu di ICU (>50%),
dapat dilihat dapat berupa respon pasien delirium dan berbagai penyakit kritis atau
secara verbal maupun nonverbal. Jika sepsis (70%), Penyakit jantung koroner
perawat tidak dapat mengetahui dan (PJK) (36,6%), PJK Unstable Angina
menganalisa hasil akhir dari efek sedasi (UA) (41,5%), Hipertensi (19,5%),
dan tindakan yang harus dilakukan maka Supraventikular Takikardi (SVT) (2,4%),
keadaan pasien dapat bertambah buruk tanda dan gejala tardive dyskenesia
karena kita tidak dapat dinilai secara cepat (Davidson et al., 2013; T. J. Iwashyna,
oleh perawat, karena keadaan kritis pasien 2014; Hoffman and Guttendorf, 2015;
perlu suatu penilaian yang cepat dan tepat Suwardianto, 2016). Faktor penyebab
untuk dilakukan. utama yaitu perawatan lama (≥2 hari) dan
Pasien kritis selama di ICU akan mobilisasi minimal. Faktor penyebab
kehilangan 20% volume otot, dan 70% lainnya yaitu riwayat kesehatan
protein selama 1 minggu dirawat di ICU. sebelumnya (status kesehatan dan riwayat
penyakit sebelumya), penyakit akut, penyakit kritis (delirium, hipoksia,

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 2


ISSN : 2579-7301

hipotensi, disregulasi glukosa, gagal adalah 41 responden sesuai dengan


napas, shock, CHF (Congestive Heart kriteria inklusi yaitu pasien yang
Failure), sepsis dan lainnya), tingkat mendapat perawatan 24 jam pertama di
keparahan penyakit, peradangan, Instalasi Perawatan Intensif. Sample
kehilangan kekuatan otot, sedasi, dan dengan menggunakan total sampling.
tingkat kecemasan (ketidakpuasan Variabel independen penelitian adalah
komunikasi, gangguan tidur) (Needham, pemberian sedasi, dan variabel dependen
2012; Needham et al., 2012; Hopkins, adalah Tardive Dyskinesia, dan Motor
2013; JC et al., 2014; T. Iwashyna, 2014). Activity, Data dikumpulkan menggunakan
Jika penurunan fungsi fisik dan kognitif Checklist tanda gejala tardive dyskenesia
tidak segera dicegah di ICU maka masalah dan Motor Activity Assessment. Penelitian
tersebut akan muncul dan berdampak pada dilakukan selama 1 bulan pada bulan Juli
kesehatan pasien post ICU. 2017. Cara pengambilan data dengan cara
Dampak dari penurunan fungsi fisik pengukuran secara langsung kepada
berupa penurunan motor (motor activity) pasien dan observasi respon pasien.
akan memperburuk dan melemahkan
fungsi organ yang lain jika tidak segera RESULT
dicegah dalam perawatannya di ICU Peneliti mendapatkan hasil penelitian
(Nathan E, Brummel, James C. Jackson, yaitu data umum pasien kritis, cardiac
2013) Dampak penurunan fungsi fisik workload, Sedation Scale for Critically ill,
pasien ICU dan setelah keluar dari ICU Physical Function-Tardive Dyskenesia.
yaitu bertambah lamanya waktu
perawatan, penurunan fungsi kognitif, Tabel 1. Karekteristik Data Umum
fungsi fisik (organ, kontraktilitas otot, pada pasien kritis di Instalasi
Perawatan Intensif RS Baptis
Kediri (n=41)
kapasitas fungsi dan nyeri, vitalitas,
kelelahan), dan memburuknya kesehatan Karakteristik Jumlah Persentase
mental (kecemasan), respon emosional, depresi, (%)
refleksi, kesendirian, Jenis Kelamin
ketidakmampuan melakukan aktivitas dan Laki-laki 15 36,6
penggunakan instrumen dalam kehidupan sehari- Perempuan 26 63,4
Umur
hari. Fenomena penurunan fungsi fisik dan < 35 1 2,4
kognitif post ICU berdasarkan dampak tersebut 35 – 39 Tahun 1 2,4
menunjukkan penurunan kesehatan pasien 40 – 44 Tahun 4 9,8
terutama pada fungsi fisik, kognitif dan 45 – 49 Tahun 7 17,1
kesehatan mental berupa kecemasan, maka perlu 50 – 54 Tahun 3 7,3
strategi intervensi di ICU dalam pencegahannya. > 55 Tahun 25 61,0
Pencegahan untuk meminimalkan kejadian Sedasi
penurunan fungsi fisik dan kognitif post ICU Morphine 2,5 41 100
seharusnya mampu mg IV prn
dilaksanakan sesuai dengan peran perawat Tabel 1 menunjukkan bahwa paling
kritis. banyak responden berjenis kelamin laki-
laki yaitu berjumlah 26 responden
METHOD (63,4%). Responden paling banyak
Desain penelitian ini adalah desain berumur > 55 tahun yaitu berjumlah 25
crosssectional. Populasi adalah semua responden (61,0%). Responden paling
pasien kritis di Instalasi Perawatan banyak memiliki diagnosa PJK UA
Intensif RS Baptis Kediri. Besar Sample (unstable angina) yaitu sejumlah 17
responden (41,5%). Semua responden prn. Data demografi pada pasien kritis yang
mendapatkan sedasi morphine 2,5 mg IV dirawat di Instalasi Perawatan Intensif

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 3


ISSN : 2579-7301

paling banyak adalah perempuan dengan Tekanan darah diastolik sebelum


usia > 55 tahun hal ini dimungkinkan diberikan sedasi morphine 2,5 mg
dikarenakan setelah 55 atau memiliki mean 88,1 mmHg dan 15 menit
60 tahun (menopausal stage) hipertensi setelah pemberian sedasi terjadi
lebih banyak ditemukan pada perempuan penurunan 6,4 mmHg dengan mean
(kehilangan hormon estrogen yang tekanan darah diastolik 81,7 mmHg.
bersifat mencegah hipertensi) dari pada Heart rate sebelum diberikan sedasi
laki-laki. Responden dilakukan pengkajian morphine 2,5 mg memiliki mean 87,0
24 jam pertama masuk instalasi perawatan kali/menit dan 15 menit setelah pemberian
intensif dan telah dipasang monitor sedasi terjadi penurunan heart rate 1,5
jantung dan Oksimetri untuk mengukur kali permenit dengan mean 85,5 kali per
saturasi oksigen, setelah itu dilakukan menit. Respiration rate sebelum diberikan
identifikasi jenis kelamin, umur, diagnosa sedasi morphine 2,5 mg memiliki mean
medis, dan saat pasien kritis terjadi 24,4 kali/menit (Takipnea) dan 15 menit
kegelisahan dan menunjukkan perilaku no setelah pemberian sedasi terjadi
cooperative perawat memberikan penurunan 0,5 kali permenit dengan mean
morphine 2,5 mg IV. Respiration rate 23,4 kali per menit
(Takipnea). Saturasi oksigen sebelum
diberikan sedasi morphine 2,5 mg
memiliki mean 98,5 % dan 15 menit
setelah pemberian sedasi terjadi
peningkatan 0,3 % dengan mean saturasi
oksigen 98,8 %. Pasien PJK yang dirawat
di Instalasi Perawatan Intensif dilakukan
observasi secara keseluruhan dengan
menggunakan monitor jantung yang telah
ter setting pada pasien.
Gambar 1. Karakteristik Cardiac
Workload pada Pasien Kritis di Instalasi
Perawatan Intensif RS Baptis Kediri
(n=41)

Berdasarkan Gambar 1 menunjukan


bahwa terjadi penurunan tekanan darah
sistolik (TDS) (7,0 mmHg), tekanan darah
diastolik (TDD) (6,4 mmHg), Heat rate
(1,5 kali/menit), Respiration rate (0,5
kali/menit). Terjadi peningkatan saturasi
oksigen sebeesar 0,2 %. Data tersebut Gambar 2. Karekteristik Sedation Scale
menunjukkan tekanan darah sistolik for Critically Ill Patients pada pasien
sebelum diberikan sedasi morphine 2,5 Kritis di Instalasi Perawatan Intensif RS
mg memiliki mean 131,7 mmHg dan 15 Baptis Kediri (n=41)
menit setelah pemberian sedasi terjadi
penurunan 7,0 mmHg dengan mean Berdasarkan Gambar 2 didapatkan
tekanan darah sistolik 124,7 mmHg. bahwa Sedation Scale for Critically Ill
Patients sebelum dan sesudah pasien
mendapatkan sedasi berada pada skala 2
(36,6% ke 34,4%).

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 4


ISSN : 2579-7301

bahwa sebelum diberikan sedasi paling


banyak pasien responsive saat disentuh
atau dipanggil namannya yaitu sebanyak
15 responden (36,6%) dan sesudah
pemberian sedasi paling banyak pasien
kritis tenang dan kooperatif sebanyak 25
responden (61,0%). Pasien kritis memiliki
penurunan fungsi kognitif dengan
memperlihatkan pasien mengalami gelisah
hingga agitatif. Physical Function terjadi
penuruan berupa motor activity setelah
Gambar 3. Physical Function pada pasien pemberian sedasi pada kondisi yaitu ada
Kritis di Instalasi Perawatan Intensif RS respon dengan noxious stimuli (7,3%),
Baptis Kediri (n=41) responsive saat disentuh atau dipanggil
namanya (19,5%) dan peningkaan skor
Gambar 3 didapatkan bahwa agitasi dan koperatif (4,9%).
penurunan fungsi fisik dengan didapatkan
Tabel 4. Tardive Dyskinesia pada pasien Kritis di Instalasi Perawatan Intensif RS Baptis
Kediri (n=41)
Indikator Sebelum Sesudah -/+
∑ % ∑ % %
Tidak ada tanda Tardive Dyskinesia 26 63,4 30 73,1 9,7
Memiliki tanda dan Gejala Tardive 15 36,6 11 26,9 -9,7
Dyskinesia
 Repetition grimacing 5 12,2 3 7,3 -4,9
 Tongue Protrusion 1 2,4 3 7,3 4,9
 Lip smacking, puckering, and pursing 0 0 1 2,4 2,4
 Rapid eye blinking 1 2,4 1 2,4 0
 Rapid movements of the arms and legs 11 26,8 7 17,1 -9,7
Keterangan: *) Pasien dapat menunjukkan lebih dari satu tanda pada indikator Tardive
Dyskinesia atau bahkan tidak sama sekali. Tanda (-) adalah penurunan
nilai.

Karakteristik penurunan fungsi fisik diinterprestasikan melalui saraf pusat


pasien dengan pendekatan pengenalan bermielin setelah terjadi penghentian
tanda dan gejala Tardive Dyskinesia pada pengobatan. Tanda dan gejala Tardive
pasien PJK sebelum diberikan sedasi Dyskinesia meningkat setelah pemberian
memperlihatkan 5 tanda dari Tardive sedasi berupa tongue prostrusion (4,9%),
Dyskinesia sedangkan 15 menit setelah Lip smacking puckering dan pursing
pemberian sedasi morphine 2,5 mg IV (2,4%), dan Rapid movements of the
memperlihatkan bahwa semua tanda arms and legs.
Tardive Dyskinesia muncul, walaupun
terjadi peningkatan responden yang tidak
menunjukkan tanda Tardive Dyskinesia
dari 26 responden mejadi 30 responden.
Pasien menunjukkan repetition
grimacing, Lip smacking, puckering, and
pursing, dan Rapid movements of the
arms and legs. Hal tersebut merupakan
respon dari ketidaknyamanan yang
Tabel 5. Analisis Variabel terhadap pemberian Perawatan Intensif RS Baptis Kediri
Sedasi pada pasien Kritis di Instalasi (n=41)
Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 5
ISSN : 2579-7301

menunjukan bahwa tidak adanya


perubahan yang signifikan dimungkinkan
bahwa responden masih berespon pada
asosiasi neuroleptic dan beberapa
responden masih mendapatkan titrasi
Tabel 5 didapatkan bahwa pemberian sedasi kuat (Morphine). Tardive
sedasi pada pasien ICU 24 jam pertama Dyskinesia yang muncul pada pasien
mempengaruhi fungsi fisik pasien kritis dimungkinkan karena perubahan secara
dibuktikan terdapat pengaruh pada cepat neorologik bermielin dikarenakan
Physical Function pada pasien kritis perubahan dosis sedasi atau penghentian
(p=0,005). sedasi.
Berdasarkan hasil penelitian
PEMBAHASAN didapatkan bahwa pemberian sedasi
Berdasarkan hasil penelitian mempengaruhi secara signifikan terhadap
didapatkan bahwa pemberian sedasi tidak Physical Function (p=0,005) dan
mempengaruhi perubahan indikator didalamnya memperlihatkan kondisi
fungsi fisik berupa Tardive Dyskenesia penurunan fungsi fisik dan kognitif
(0,317). Karakteristik fungsi fisik pada berupa agitasi. Berdasarkan hasil
kondisi Tardive Dyskinesia pada pasien penelitian didapatkan bahwa Physical
kritis sebelum dan setelah pemberian Function sebelum diberikan sedasi paling
sedasi memperlihatkan bahwa pasien banyak pasien responsive saat disentuh
menunjukkan perilaku repetiting atau dipanggil namanya yaitu sebanyak
grimacing, Lip smacking, puckering, and 15 responden (36,6%). Physical Function
pursing, Rapid movements of the arms sesudah pemberian sedasi paling banyak
and legs. Hal tersebut merupakan respon pasien kritis tenang dan kooperatif
dari ketidaknyamanan yang sebanyak 25 responden (61,0%).
diinterprestasikan melalui saraf pusat Physical Function yang digambarkan
bermielin. Penurunan fungsi fisik berupa adanya penurunan fungsi fisik dan
Tardive Dyskinesia merupakan sindrom kognitif dimungkinkan pada pasien yang
neorologik yang berasosiasi dengan mendapatkan sedasi dan mengarah pada
prolog penggunaan obat neuroleptic. keadaan agitasi pasien dapat
Karakteristik Tardive Dyskenesia yaitu didiskripsikan menjadi tidak berespon
pergerakan wajah berulang (repetitive), yaitu tidak dapat berpindah atau bergerak
pergerakan yang tidak terkontrol dengan noxious stimulus (suctioning,
(involuntary), pergerakan yang tidak respon nyeri pada sternal), pasien dapat
disengaja. Tardive dyskinesia merupakan berespon hanya dengan noxious stimuli
temuan oleh berhentinya akhiran yaitu membuka mata, mengangkat alis,
pengobatan. Walaupun gejala mungkin memutar kepala, pergerakan lengan
ada selama dan setelah pemberian dengan noxious stimuli. Responden juga
pengobatan dihentikan. Tardive dapat menunjukkan responsive saat
Dyskinesia diantaranya repetiting disentuh atau dipanggil namanya yaitu
grimacing, Tonggue Protrusion), Lip membuka mata, menggangkat alis,
smacking, puckering, and pursing, rapid memutar kepala, pergerakan lengan
eye blinking, Rapid movements of the dengan sentuhan atau memanggil nama
arms and legs. Hasil penelitian dengan suara keras. Pasien diharapkan
berada pada respon tenang dan kooperatif
yaitu tidak ada stimulus eksternal yang
terjadi untuk terjadinya pergerakan dan
pasien dapat menyesuaikan gerakan dan
mengikuti perintah. Pasien gelisah dan
kooperatif memperlihatkan bahwa tidak ada stimulus eksternal yang terjadi untuk

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 6


ISSN : 2579-7301

terjadinya pergerakan dan pasien dapat Agitasi yang buruk dimana Pergerakan
mengambil selimut atau gelas atau tubuh atau ketidakmauan dengan
menyelimuti dirinya sendiri dan treatment/prosedur atau pembatasan
mengikuti perintah. Pasien dengan pergerakan tubuh secara signifikan
keadaan agitasi yaitu tidak ada stimulus membahayakan pasien dan petugas.
eksternal yang terjadi untuk terjadinya Sedation Scale for Critically Ill Patients
perkerakan dan pasien berusaha untuk merupakan alat pengkajian yang khusus
berdiri atau pergerakan lengan keluar dari digunakan oleh perawat dalam
tempat tidur dan tidak konsisten mengidentifikasi skala agitasi pada pasien
mengikuti perintah, dan kedaan pasien kritis. Indikator dalam Sedation Scale for
bisa dalam keadaan Agitasi berbahaya, Critically Ill Patients yaitu
tidak kooperatif dimana Tidak ada Consciousness, agitasi, kecemasan, tidur,
stimulus eksternal yang terjadi untuk dan pasien dengan terpasang ventilator.
terjadinya perkerakan dan pasien dan Consciousness mengidentifikasikan
pasien menarik SL (Selang lambung) atau bahwa pasien Bangun, sadar akan dirinya
kateter urin atau mendera/menyerang dan lingkungan (orientasi baik), Agitasi
petugas/mencoba untuk mengeluarkan mengidentifikasikan bahwa pasien
lengan keluar dari tempat tidur dan tidak mengerakan badan pasien/keselamatan
tenang ketika bertanya. Hasil penelitian pasien, Kegaduhan pasien, dan laporan
didapatkan bahwa pemberian sedasi pasien. Indikator kecemasan yaitu
secara signifikan mempengaruhi Physical perawat melihat kecemasan pasien
Function dimana respon sedasi berupa (Faces Anxiety). Indikator tidur yaitu
morphin 2,5 mg mampu menurunkan perawat mengobservasi tidur dan kualitas
level motor pasien yang awalnya pasien tidur yang dirasakan pasien. Indikator
agitasi mampu diturunkan sampai pada pasien dengan terpasang ventilator
level koperatif. Peran perawat dengan dimana perawat Pola pernapasan relative
mengetahui kondisi pasien sebelum dan pada ventilator. Hasil penelitian
setelah pemberian sedasi terjadi memperlihatkan bahwa terjadi perubahan
perubahan respon motor akibat relaksan, skala agitasi yang signifikan hal ini
perawat harus mampu mengetahui menunjukkan bahwa agitasi menurun
keadaan-keadaan tersebut melalui seiring pemberian sedasi. Skala agitasi
indikator motor activity. Respon motor semakin buruk maka semakin buruk
yang berlebihan mampu meningkatan kondisi pasien untuk tenang dan koperatif
beban jantung dan kegelisahan pada juga berpengaruh pada kondisi respon
pasien namun pasien yang mampu pasien dalam penyembuhan di area
mencapai relaksasi dengan atau tanpa keperawatan. Pasien setelah diberikan
sedasi akan meningatkan aktifitas sedasi morphin 2,5 mg IV paling banyak
parasimpatis dari nervus vagus responden berada pada level 2 sebelum
(Suwardianto, 2013), hal tersebut mampu dan setelah responden. Semakin
terjadi penurunan cardiac workload pada membaiknya dan koperatifnya pasien
pasien kritis yang terjadi kegelisahan. maka pasien akan mampu
Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan konsisi yang baik.
pemberian sedasi mempengaruhi Berdasarkan hasil penelitian
Sedation Scale for Critically Ill Patients didapatkan bahwa didapatkan bahwa
(0,005). Hasil didapatkan bahwa Sedation terjadi penurunan pada tekanan darah
Scale for Critically Ill Patients sebelum sistolik (TDS) (7,0 mmHg, tekanan darah
dan sesudah pasien mendapatkan sedasi diastolik (TDD) (6,4 mmHg, Heat rate
berada pada skala 2 (36,6% ke 34,4%). (1,5 kali/menit), Respiration rate (0,5
kali/menit). Terjadi peningkatan saturasi
oksigen sebesar 0,2 %. Pasien kritis
dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kondisi penyakit dimana

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 7


ISSN : 2579-7301

pembuluh darah yang menyuplai berespon pada cardiac workload,


makanan dan oksigen untuk otot jantung sehingga perawat harus mampu
mengalami sumbatan. Sumbatan paling memonitoring perubahan-perubahan yang
sering akibat oleh penumpukan kolesterol bermakna setelah pemberian sedasi.
di dinding pembuluh darah coroner Peran perawat menjadi sangat penting
(Kurniadi, 2013). Kombinasi hipoksia, dalam mengidentifikasi dan
penurunan ketersediaan energi, dan melaksanakan tindakan mandiri dalam
asidosis dengan cepat akan merusak hasil identifikasi kecemasan bukan
fungsi ventrikel kiri. Kerusakan kontraksi menguatkan efek dari pemberian sedasi
pada bagian otot jantung yang terkena saja tapi harus mampu mendukung pasien
akan menurun karena serabut otot tidak dalam menurunkan kecemasan, agitasi,
cukup memendek sehingga kekuatan ataupun nyeri dengan memberikan
serta percepatan aliran yang dihasilkan intervensi mandiri, modifikasi
berkurang. Lebih lanjut, pada dinding lingkungan. Perawat kritis diharapankan
ventrikel terjadi gerakan yang abnormal mampu menerapkan tatakelola efektif
di daerah iskemia sehingga darah yang (transformasi) dengan mengembangkan
diedarkan pada tiap kontraksi akan diri dalam komunikasi, berfikir kritis dan
berkurang. Pemulihan aliran darah mampu mengubah lingkungan
melalui arteri koronaria akan (Suwardianto, 2015), sehingga asuhan
mengembalikan metabolisme aerob yang keperawatan pada pasien kritis mampu
normal dan kontraktilitas jantung. Akan memiliki gold standar dalam
tetapi, bila aliran darah tidak dapat menentapkan kualitas asuhan
dipulihkan, maka terjadi infark miokard. keperawatan pada pasien.
Hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi
perubahan selisih sebelum dan sesudah KESIMPULAN DAN SARAN
diberikan sedasi pada cardiac workload Kesimpulan
yaitu TDS terjadi penurunan 7,0 mmHg, Peran perawat kritis yaitu
TDD terjadi penurunan 6,4 mmHg, HR melaksanakan intervensi keperawatan
terjadi penurunan 1,5 kali/menit, RR secara mandiri maupun kolaboratif
terjadi penurunan 0,5 kali/menit, dan komprehensif untuk pencegahan
terjadi peningkatan 0,2 % saturasi munculnya masalah penurunan fungsi
oksigen pada pasien kritis. Peran perawat fisik dan kognitif post ICU yang dapat
dalam mengidentifikasi gambaran terjadi setelah pasien keluar dari ICU.
cardiac workload perlu ditingkatkan dan Beberapa intervensi yang dapat dilakukan
perlunya suatu kolaborasi tindakan untuk mencegah salah satu atau beberapa
keperawatan sehingga mampu masalah penurunan fungsi fisik dan
meningkatkan perbaikan cardiac kognitif berdasakan Evidence Base
workload. Cardiac workload yang Practice yaitu physical therapy, cognitive
diidentifikasi yaitu tekanan darah, HR, therapy, early activity, early physical
RR, SaO2 semua mengalami perubahan therapy, exercise training, latihan fisik
dari kondisi awal sebelum diberikan dini, dan rehabilitasi fisik. Hasil
sedasi. Pemberian sedasi untuk dapat penelitian pada intervensi tersebut hanya
memberikan efek tenang dimungkinkan mengukur efektivitas salah satu gangguan
menyebabkan terjadi perubahan nilai fungsi fisik, kognitif dalam jangka waktu
cardiac workload setelah 15 menit yang lama dan saat pasien pulang dari
setelah pemberian sedasi berupa morphin rumah sakit. Seperti hasil penelitian
2,5 ml. Pemberian sedasi mampu intervensi early activity yaitu intervensi
meningkatkan respon parasimpatis untuk tersebut hanya mengukur peningkatan
fungsi fisik saja pada pasien post ICU.
Hasil penelitian intervensi cognitive
therapy pada pasien kritis di ICU hanya mengukur mengukur peningkatan fungsi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 8


ISSN : 2579-7301

fisik saja pada pasien post ICU sehingga Diakses 4 Februari 2014, jam
masalah yang lain akan tetap muncul. 18.00 WIB
Bangun. (2005). Terapi Jus Dan Ramuan
Saran Tradisional Untuk Kolesterol.
Perawat kritis dan gawat darurat Depok: Agromedia Pustaka
diharapkan mampu mengidentifikasi Boestan, Iwan N, Rurus Suryawan.
gambaran penurunan fungsi fisik dan (2003). Ilmu Penyakit Jantung.
kognitif di ICU sehingga mampu Surabaya: Airlangga University
meningkatkan kualitas pelayanan dan Press
kualitas hidup pasien setelah keluar dari Bonita A, G. (2009) ‘Home cardiac
ICU. Penerapan Evidence Base Practice rehabilitation for congestive heart
pada tempat pelayanan sangatlah penting failure: a nursing case
dan harus dilakukan sedini mungkin management approach’,
untuk mencegah permasalahan- Rehabilitation Nursing, 24(4), pp.
permasalahan yang dapat terjadi setelah 143–147.
pasien keluar dari ICU. Perawat perlu Cartwright, M. M. (2012) The high
mengembangkan Clinical Pathway incidence of post intensive care
keperawatan pasien Kritis di Instalasi unit (ICU) anxiety and depression,
Perawatan Intensif untuk memonitoring Psychology Today. Available at:
dan mengevaluasi perkembangan pasien https://www.psychologytoday.co
sehingga Gold Standar dalam pencapaian m/blog/food-thought/201202/the-
Outcame keperawatan tercapai secara high-incidence-post-intensive-
optimal care-unit-icu-anxiety-and-
depression (Accessed: 9
September 2016).
Davidson, Christopher. (2003). Penyakit
Jantung Koroner. Jakarta: Dian
Rakyat
DAFTAR PUSTAKA Davidson, J. E., Hopkins, R. O., Louis,
AACN (2016) ‘About critical care D. and Iwarshyna, T. (2013)
nursing’, American Association of ‘Post-intensive care syndrome’,
Critical-Care Nurses, p. 1. Society of Critical Care Medicine,
Available at: 1(1), pp. 1–4.
http://www.aacn.org/wd/publishin Gardner, Samuel. (2007). Smart
g/content/pressroom/aboutcritical Treatment For High Blood Pre
carenursing.pcms?menu= Panduan Sehat Mengatasi
(Accessed: 29 August 2016). Tekanan Darah Tinggi. Jakarta:
Abelha, F. J., Santos, C. C., Maia, P. C., Prestasi Pustakaraya
Castro, M. A. and Barros, H. Garland, K, O., CD, R., M, Y. and R, F.
(2007) ‘Quality of life after stay (2013) ‘Epidemiology of critically
in surgical intensive care unit’, ill patients in intensive care units:
BMC Anesthesiology, 7(8), pp. 1– a population-base observational
12. doi: 10.1186/1471-2253/7/8. study’, Critical Care, 17(5), p.
Alan. (2014). Heart Disease and Stroke 212. doi: 10.1186/cc13026.
Statistics. Glance. (2015). Heart Disease and
http://circ.ahajournals.org/content. Stroke Statistics. American Heart
American Heart Associaton. Association-BBB
Hidayat, Alimul, Aziz. (2012). Riset
Keperawatan dan Teknik
Penulisan Ilmiah. Jakarta: Hoffman, L. A. and Guttendorf, J. (2015)
Salemba Medika Post Intensive care syndrome: risk

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 9


ISSN : 2579-7301

factors and prevention strategies, JC, J., PP, P., TD, G., NE, B. and JL, T.
AHC media. Available at: (2014) ‘Depression, post-
https://www.ahcmedia.com/article traumatic stress disorder, and
s/134820-post-intensive-care- functional disability in survivors
syndrome-risk-factors-and- of critical illness in the brain-icu
prevention-strategies (Accessed: 1 study: a longitudinal cohort
January 2016). study’, The Lancet Respiratory
Hopkins, R. O. (2013) ‘Strategies to Medicine, 2(5), pp. 369–379.
ensure long-term quality of life in Kabo, Peter, (2008). Mengungkap
ICU survivors’, Society of Critical Pengobatan Penyakit Jantung
Care Medicine, 1(1), p. 1. koroner. Jakarta: PT Gramedia
Ireland (2011) National standards for Pustaka Utama
adult critical care services. Kasron, 2012. Pencegahan serta
Ireland: Joint Faculty of Intensive Pengobatan. Yogyakarta: Nuha
Care Medicine of Ireland (JFCMI) Medika
in association with The Intensive Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset
Care Society of Ireland (ICSI). Kesehatah Dasar Riskesdas 2013.
Irmalia, (2015). Pedoman Tatalaksana Badan Penelitian dan
Sindrom Koroner Akut Edisi Pengembangan Kesehatan,
ketiga. Jakarta. Perhimpunan Jakarta; 2013. Hal 90-93
dokter spesialis kardiovaskuler Kowalak, Jeninifer P. (2011), Buku Ajar
Indonesia (PP PERKI). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Iwang, Prasetya W, Ismail. (2006). Kurniadi, Helmanu. (2013). Stop Gejala
Antitrombolik dan Trombolitik Penyakit Jantung Koroner.
pada penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: Familia
Jakarta: Fakultas Kedokteran Mansjoer, Arif. (2008). Kapita Selekta
Universitas Indonesia Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta:
Iwashyna, T. (2014) ‘What you need to Media Aesculapius, hal: 518-519
know about post-intensive care Mawi, Martiem. (2003). Indeks Masa
syndrome (PICS)’, Health Tubuh Sebagai Determinan
System-University of Michigan, Penyakit Jantung Koroner pada
1(1), pp. 1–3. Orang Dewasa Berusia di Atas 35
Iwashyna, T. J. (2014) ‘Post-intensive tahun. Jurnal Kedokteran Trisakti.
care syndrome: improving the Vol 23. No 3
future of icu patients’, 24nd Muchtar, Zahra. (2010). Gambaran
Critical Care Congress Review, Epidemiologi Penyakit Jantung
1(1), pp. 13–16. Koroner pada Pasien Wanita di
Iwashyna, T. J., Cooke, C. R., Wunsch, Rumah Sakit Harapan Kita
H. and Kahm, J. M. (2012) Jakarta Tahun 2009. Skripsi,
‘Population burden of long-term Universitas Indonesia
survivorship after severe sepsis in Muttaqin, Arif. (2009). Buku Ajar
older americans’, Journal Asuhan Keperawatan dengan
compilation © 2012, The Gangguan Sistem Kardiovaskuler
American Geriatrics Society, dan Hematologi. Jakarta: Salemba
60(6), pp. 1070–1077. Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Cerdas
Menaklukkan Semua Penyakit
Orang Sekarang. Jakarta: Kompas
Media Nusantara
Nastiti, Amadea K. (2012). Klasifikasi http://amadeanastiti-
Kadar Gula Dalam Darah. fst09.web.unair.ac.id/. Diakses 27

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 10


ISSN : 2579-7301

Pebruari 2014, jam 22.00 WIB STIKES RS. BAPTIS Kediri. Hal:
Nathan E, Brummel, James C. Jackson, 37
T. D. G. (2013) ‘A combined Rocmayanti. (2011). Analisis Faktor
early cognititive and physical yang Mempengaruhi Kualitas
rehabilitation program for people Hidup Pasien Penyakit Jantung
who are critically Iil: The activity Koroner di Rumah Sakit Pelni
and cognitive therapy in the Jakarta. Tesis Univesitas
intensive care unit (ACT-ICU) Indonesia Fakultas Ilmu
trial’, Physical Therapy Critical Keperawatan. Hal 70
Illness, 92(12), pp. 1580–1592. Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan
Needham, D. M. (2012) ‘Improving long- Riset Keperawatan. Yogyakarta:
term outcomes after discharge Graha Ilmu
from intensive care unit: Report Silvia, A. Prince, Lorraine, M. Wilson.
from a stakeholders’ conference’, (2005). Patofisiologis Klinis
Critical Care Medicine, 40(2), pp. Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
502–509. Vol 1. Jakarta: ECG
Needham, D. M., Davidson, J., Cohan, Sottile, Peter, Amy Nordon-Craft, Daniel
H., PharmD and Hopkins, R. Malone, Darcie M. Luby,
(2012) ‘Improving long-term Margaret Schenkman, M. M.
outcomes after discharge from (2015) ‘Physical therapis
intensive care unit: report from a treatment of patients in the
stakeholders’ conference’, the neurogical intensive care unit:
Society of Critical Care Medicine description of practice’, Physical
and Lippincott Williams & Therapy, 95(7), pp. 1006–1014.
Wilkins, 40(2), pp. 502–509. Strahan, E. H. . and Brown, R. J. (2005)
Pandharipande, P., Girard, T., Morandi, ‘A quantitative study of the
A. and Thompsom, J. (2013) experiences of patients following
‘Long-term cognitive impairment transfer from intensive care’,
after critical illness’, The New Intensive and Critical Nursing-
England Journal Medicine, ICCN, 21(21), pp. 160–171.
369(14), pp. 1306–1316. doi: Sugiyono. (2009). Metode Penelitian
10.1056/NEJMoa1301373. Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
Pradana, Wisnu, Mahardika. (2011). Bandung: Alfabeta
Peran Enhanced External Supriono, Mamat. (2008). Faktor-Faktor
Counterplussation pada Penyakit Resiko yang Berpengaruh
Jantung Koroner. Artikel Khusus, Terhadap Kejadian Penyakit
Universitas Katolik Atma jaya, jantung Koroner pada Kelompok
Jakarta. Vol 61 No10. Oktober Usia ≤ 45 Tahun. Tesis, Study
2011. Hal: 2 Kasus di RSUP Dr. Kariadi dan
Pudiastuti, Ratna, Dewi. (2013). RS Telogorejo, Semarang. Hal:
Penyakit-Penyakit Mematikan. 53-58
Yogyakarta: Nuha Medika Suwardianto, H. (2016) ‘Tardive
Pusfitasari, Intan. (2013). Hubungan dyskenesia, motor activity,
Dukungan Sosial Keluarga sedation scale, and cardiac
dengan Tingkat Kecemasan workload in baptis kediri
Pasien Penyakit Jantung Koroner. hospital’, Tardive Dyskenesia,
Motor Activity, Sedation Scale,
Dan Cardiac Workload, 4(1), p. 1.
Suwardianto, Heru. (2013). Deep
Breathing Relaxation As
Therapy

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 11


To Decrease Blood Preassure On
Hypertension Patients. In
Proceedings Faculty Of Nursing
Of Airlangga The fourd
Internasional Nursing Conference
Improving Quality Of Nursing
Care Though Nursing Research
and Innovations.
Suwardianto, Heru. (2015). Tantangan
Profesi Keperawatan Dalam
Efektifitas Tata Kelola
Ketenagaan Di Rumah Sakit.
Jakarta. Jawa Pos Indonesia. 27
Desember 2015.
Suwardianto. (2014). The Effectiveness of
Deep Breathing and Slow Stroke
Back Massage to Decrease the
Blood Pressure on A Patient with
Hypertension. Journal “Moving
Forward Improving Nursing
Education” Indonesian Nursing
Journal of Education and Clinic
(INJEC). Volume 1, Nomor 1,
April 2014
Syamsudin. (2011). Buku Ajar
Farmakoterapi Kardiovaskuler
dan Renal. Jakarta: Salemba
medika
Thomas L, Schwenk. (2003). New
Hypertension Guidelines: JNC 7.
http://www.jwatch.org/. NEJM
Journal Watch. Diakses 20
Februari 2016, Jam 22.30 WIB
Udjianti, Wajan Juni. (2010).
Keperawatan Kardiovaskular.
Jakarta: Salemba Medika, hal:
107-114
Utami, Prapti. (2009). Solusi Sehat
Mengatasi Penyakit Jantung
Koroner. Jakarta: Agromedia
Pustaka
Yatim, Faisal. (2005). Waspadai Jantung
Koroner, Stoke, Meninggal
Mendadak Atasi dengan Pola
Hidup Sehat. Jakarta: Pustaka
Populer Obor

Anda mungkin juga menyukai