KELOMPOK 4
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
Penelitian pengaruh tindakan mobilisasi dini terhadap denyut jantung dan frekuensi
pernapasan pada pasien kritis di ICU RSUD Sleman Yogyakarta menunjukan hasil terdapat
perbedaan yang signifikan dari nilai frekuensi napas, frekuensi jantung antara sebelum dan
selama mobilisasi dengan p value berturut-turut 0.000,0.001. Sebagian besar responden
menjalankan mobilisasi dini dengan durasi 30 menit. Jenis latihan terbanyak yang mampu
dilakukan oleh responden adalah latihan positioning yang meliputi latihan miring kiri,
miring kanan, supinasi, duduk pasif, posisi semi fowler, dan fowler tinggi. Kondisi tersebut
terjadi oleh karena adanya mekanisme kompensasi terhadap adanya aktivitas yang dapat
memberikan rangsangan simpatis untuk meningkatkan fungsi organ kardiorespirasi guna
mencukupi kebutuhan oksigenasi (curah jantung) dan perfusi jaringan (Noviyanto &
Adhinugraha, 2016).
Penelitian lain terkait pengaruh pemberian posisi terhadap nilai tidal volume menunjukan
hasil posisi mempengaruhi nilai tidal volume pada pasien terpasang ventilasi mekanik
terutama dengan mode CPAP (Continuous Positive Airway Pressure). Nilai tidal volume
pada posisi HOB (Head of Bed) elevation 300 menunjukan nilai lebih baik dibandingkan
posisi lateral (Budi Rustandi dkk, 2014). Schellongowski P, at all, (2007) menyimpulkan
hasil penelitiannya bahwa posisi lateral yang curam (<450) merusak kepatuhan pada sistem
pernapasan. Posisi lateral yang curam dan berkepanjangan tidak membawa manfaat
terhadap oksigenasi atau hemodinamik Studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUP
dr. Kariadi saat bertugas jaga siang pada tanggal 19 Juni 2017 dengan memberikan posisi
miring ke kiri pada lima pasien dengan diagnosa medis CKD (Chronic Kidney Disease)
Stage 4 (1 Pasien) terpasang ventilator , Post Craniotomy (3 Pasien) terpasang ventilator
mode PSIMV (Pressure-Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation) dan Mystenia
Grafis (1 Pasien) terpasang ventilator mode CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)
menunjukan 4 pasien ventilator PSIM V mengalami peningkatan frekuensi pernafasan
(terpasang ventilator) dan 1 pasien (mystenia grafis) mengalami penurunan saturasi dari
96% menjadi 92%. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
dampak posisi lateral pada pasien dengan ventilasi mekanik terhadap status hemodinamik
selama di rawat di ICU.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat merumuskan
permasalahan, yaitu bagaimana konsep keperawatan ktitis, kasus serta keterkaitanya
dengan teori.
1.3. Tujuan Kegiatan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar pembaca dapat memahami isi dari makalah dari
keperawatan kritis terkait mobiliasasi serta dapat menjadikan referensi untuk makalah
selanjutnya.
BAB 2
ANALISA JURNAL
No. ANALISIS
1. Judul : PENGARUH MOBILISASI PROGRESIF TERHADAP STATUS
HEMODINAMIK PADA PASIEN KRITIS DI INTENSIVE CARE UNIT
Latar belakang : Salah satu intervensi yang dilakukan oleh perawat di pelayanan
intensif adalah pemberian mobilisasi progresif. Namun pentingnya pemantauan
hemodinamika pada pasien kritis maka perlu diperhatikan dalam memberikan
mobilisasi progresif
Isi : Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan staf dan
perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma atau
komplikasi yang mengancam jiwa (Musliha, 2010). Pemantauan hemodinamika perlu
diperhatikan, pemantauan tersebut merupakan suatu teknik pengkajian pada pasien
kritis, mengetahui kondisi perkembangan pasien, serta untuk antisipasi kondisi pasien
yang memburuk (Burchell & Powers, 2011). Dasar dari pemantauan hemodinamika
adalah perfusi jaringan yang adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan oksigen
dengan yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan
elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamika berupa
gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan
jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel. Perawat sebagai bagian dari tim kesehatan
dalam merawat pasien-pasien kritis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam
memonitor keadaan hemodinamik. Monitoring hemodinamik merupakan suatu
pengkajian fisiologis yang penting dalam perawatan pasienpasien kritis (Prayitno dkk,
2015).
Kesimpulan : mobilisasi progresif berpengaruh terhadap meningkatnya status
hemodinamik, yang ditandai dengan meningkatnya Heart Rate (HR), Respiratory Rate
(RR), saturasi oksigen (SaO2), tekanan siastole dan diastole, dan Mean Arterial
Pressure (MAP)pada pasien kritis di ICU RSUD Karanganyar
2. Judul : PENGARUH MOBILISASI PROGRESIF LEVEL I TERHADAP TEKANAN
DARAH DAN SATURASI OKSIGEN PASIEN KRITIS DENGAN PENURUNAN
KESADARAN
Isi : Mobilisasi memiliki manfaat yang berbeda pada tiap sistemnya. Pada sistem
respirasi mobilisasi berfungsi meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan,
meningkatkan ventilasi alveolar, menurunkan kerja pernapasan dan meningkatkan
pengembangan diafragma. Sehingga pemberian mobilisasi diharapkan mampu
meningkatkan transpor oksigen ke seluruh tubuh pasien (Rifai A, 2015). Saturasi
oksigen merupakan salah satu indikator dari status oksigenasi saat pasien di posisikan
head of bed gravitasi menarik diafragma ke bawah sehingga memungkinkan ekspansi
paru yang lebih baik saat klien berada dalam posisi head of bed, sehingga proses
pernapasan akan bekerja baik(Kozier, 2009). Kemudian rotasi lateral dilakukan untuk
meningkatkan ventilasi parudan perfusi ke jaringan dan untuk mengoptimalkan
pertukaran gas. Rotasi Lateral selain meningkatkan fungsi fisiologis, mengurangi
atelektasis, meningkatkan mobilisasi, mencegah kerusakan kulit, meningkatkan
oksigenasi juga dapat membantu pemulihan (Zakiyyah, 2014). Berdasarkan uraian
tersebut mobilisasi progresif level I dapat meningkatkan saturasi oksigen responden
karena transpor oksigen membaik
Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh mobilisasi progresif level I
terhadap tekanan darah pada pasien kritis dengan penurunan kesadaran. Tekanan darah
antara sebelum dan setelah mobilisasi progresif level I terdapat peningkatan.Saturasi
oksigen sebelum dan setelah mobilisasi progresif level I terdapat peningkatan.
3. Judul : PENGARUH POSISI HIGH FOWLER 60º DAN 30º TERHADAP TEKANAN
DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI
Isi : Posisi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menjaga
sirkulasi sistemik yang adekuat karena dapat mempengaruhi sistem hemodinamik
termasuk pada sistem vena. posisi fowler atau head up dapat mempengaruhi kondisi
hemodinamik seperti hipotensi postural akibat penurunan darah yang kembali ke
jantung setelah perubahan posisi yang terlalu cepat, penurunan perfusi cerebral,
penurunan MAP dan CVP akibat menurunnya venous return yang berdampak pada
penurunan cardiac output (CO) hingga 20%, terutama posisi head up ≥ 60
kesimpulan : Tidak ada pengaruh secara signifikan perubahan dari posisi supine
terhadap penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi
walaupun secara medis penurunan tekanan darah masih diatas normal, tidak ada
pengaruh signifikan perubahan posisi fowler 30 derajat terhadap penurunan tekanan
darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi, tidak ada pengaruh sinifikan
perubahan posisi high fowler 60 derajat terhadap penurunan tekanan darah.
4. Judul : MOBILISASI PROGRESIF TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH
PASIEN DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Latar Belakang : Pasien kritis dengan masarawat yang lama akanmenimbulkan banyak
masalahkesehatan yang munculdiantaranya muncul pneumonia,kelemahan, nyeri akut,
hinggamasalah semua fungsi organtubuh karena pengaruh infeksiyang didapat saat
dirawat di ICUhingga berujung kematian.Imobilisasi pasien di ICUmemberikan
kontribusi padakomplikasi lanjut yang cukuptinggi pada pasien dengan kondisikritis
hingga berakhir kematian.Pada pasien kritis yang mengalamiimobilisasi akan
memunculkandampak yang merugikan karenapada posisi imobilisasi konsumsioksigen
pada pasien kritis akanmeningkat.
Latar Belakang : Mobilisasi dini telah diusulkan sebagai intervensi yang menjanjikan
untuk menetralkanICU-AW karena mampu mengurangi kelemahan otot terkait penyakit
kritis. Selain itu, aktivitas latihan secara dini memiliki potensi untuk mengurangi lenght
of stay (LOS) di rumah sakit dan meningkatkan fungsi respirasi pada pasien dengan
gagal napas akut. Mobilisasi dini di ICU memberikan efek positif dan aman pada
pasien dengan ventilator mekanik karena memberikan manfaat yang signifikan dari
pengurangan durasi penggunaan ventilator mekanik serta LOS di ICU.
Tujuan : Untuk itu pemahaman mengenai perjalanan berbagai kondisi pasien sangat
penting sebelum proses mobilisasi dini dimulai. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran kemampuan pasien kritis dalam melakukan mobilisasi dini di
ICU.
Isi :Perawat harus dapat menentukan batasan-batasan yang aman secara fisiologis
sebelum memulai mobilisasi. Sebagai contoh, potensi mobilisasi pada seorang
penderita stroke akan berbeda dengan penderita gagal jantung, apalagi dibandingkan
dengan pasien fraktur tungkai, atau pasien dengan penyakit paru obstruktif. Pasien yang
berada di ruang ICU mengalami berbagai macam kondisi kritis. Berdasarkan hasil studi
kasus yang dianalisa menggunakan five right clinical reasoning, didapatkan beberapa
tema, yaitu kemampuan pasien kritis melakukan mobilisasi dini, aktivitas mobilisasi
dini yang dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis, serta respon fisiologis
pada pasien yang dilakukan pasca perawatan di icu. Pada pasien kritis konsekuensi
terbesar dari bedrest atau imobilisasi adalah sistem pernafasan meliputi pengembangan
kompresi atelectasis dari pembentukan edema dengan pasien posisi supine dan
kelemahan fungsi paru, reflek batuk, dan drainase tidak bekerja dengan baik ketika
pasien dalam posisi supine.
Kesimpulan: Terdapat beberapa aktivitas yang dilakukan di ruang ICU, seperti head up,
memposisikan lateral, ROM dan berkolaborasi dengan ahli fisioterapi. Namun
demikian, menerapkan mobilisasi dini pada pasien di ICU sering kali mengalami
hambatan. Kendala yang paling umum ditemukan adalah kondisi pasien yang tidak
memungkinkan untuk mobilisasi, seperti adanya nyeri hebat, kelelahan, penurunan
kesadaran, oversedasi, atau terpasang alat medis yang invasif. Melakukan mobilisasi
dini juga sangat bergantung pada keterampilan petugas kesehatan yang ada di ICU,
fisioterapis, dan ketersediaan alat yang mendukung mobilisasi di ICU.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga mengalami
respon hipermetabolik komplek terhadap trauma, sakit yang dialami yang dapat mengubah
metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostatis nutrisi (Menerez, 2012).
Intensive Care Unit (ICU) adalah tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit
yang menangani pasien-pasien kritis karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain
yang memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support yang kerap
membutuhkan pemantauan intensif. Salah satu bentuk pemantauan intensive invasif adalah
pasien dengan ventilasi mekanik yang akan membantu usaha bernafas
DAFTAR PUSTAKA
Menerez, Fernanda de Souza., Heitor Pons Leite., Paulo Cesar Koch Nogueira. 2012.
Malnutrition as An Independent Predictor Of Clinical Outcome In Critically Ill Children.
Journal of Nutrition 28 (2012) 267–270.
Schulman, Rifka C and Jeffrey I Mechanick. 2012. Metabolic and Nutrition Support in the
Chronic Critical Illness Syndrome. Respiratory Care June 2012 Vol 57 No 6. Diakses
tanggal 4 Juli 2014 pukul 10.21 WIB.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer.
Ignatavicius & Workman. (2006). Medical surgical nurshing critical thingking for
collaborative care. Vol. 2. Elsevier sauders : Ohia
PENGARUH POSISI HIGH FOWLER 60º DAN 30º TERHADAP
TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI
Toto Subiakto*, Kusniawati*
Abstrak
Abstract
Hypertensionisa diseasewhichischronic, incurableandcan only becontrolledbya
healthy lifestyleand medication. Independentnursingintervention tomaintainof
patient's oxygenationis position of hypertension patient. Position canhelpthe
optimal cardiac venous returnso that it can help improve cardiac output. This
study aimed to identifythe effect of60º high fowler's positionand30º high fowler's
positionon blood pressurein hypertensive patients. Research design was quasi
experiment with pre and post test. The population was all hypertensive patients
treated in RSU Tangerang. Sample size of 20 responden. Respondents received
treatment position 60º and 30º then researchers looked atdifferences inthe
effectiveness of the blood pressure. Statistical analysis used for this study was
dependent t test. The results showed that the average systolic blood pressure
before the change in position (supine) was 180.00 mm Hg with a standard
50
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
deviation of 12.11 mmHg.Averagesystolicbloodpressure of60ºhigh fowler's
positionwas182.81 mmHg with a standard deviation of 17.017mmHg, the average
difference in supine systolic and systolic of 60º high fowler
positionwas2.81mmHg with a standard deviation of 16.018mmHg. Statistical test
results showed no significant difference inmeansupinesystolicbloodpressureand
60º high fowler'sposition(p =0.493). The results ofstatistical
testsnosignificantdifferencebetween the average systolic and diastolic blood
pressure among hypertensi vepatientsin thesupine position, 30º highfowler
position and 60ºhigh fowler position. Nursing servicesinthe hospitalare expected
toperform 60º high fowler's positionand 30ºhigh fowler's positionin hypertensive
patients with stable conditions.
51
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
185/115 mmHg(Lewington, et al, merupakan indikator yang digunakan
2002) untuk mengetahui fungsi sirkulasi
sistemik dalam tubuh yang terdiri dari
Perawat sebagai pemberi pelayanan pemantauan secara invasif dan non
kesehatan yang bertugas untuk invasif.Pemeriksaan tekanan darah,
memenuhi kebutuhan dasar manusia denyut jantung, saturasi oksigen,
sangatlah diperlukan dalam upaya respirasi dan suhu adalah pemeriksaan
perawatan pasien dengan hipertensi hemodinamik non invasif.
sehingga kesehatan pasien dapat
dioptimalkan kembali.Banyak Pada keadaan kritis pasien dengan
permasalahankeperawatan yang dapat hipertensi membutuhkan
muncul pada pasien dengan hipertensi penatalaksanaan baik farmakologis
diantaranya adalahgangguan maupun non farmakologis dengan
oksigenasi berhubungan dengan tujuan untuk menghilangkan gejala
gangguan suplai oksigen dan memperbaiki kualitas
akibatpeningkatan tekanan darah hidup.Hipertensi merupakan kondisi
(Brunner & Suddart, 2000) sehingga yang memerlukan penatalaksanaan
untuk mempertahankan oksigenasi yang tepat termasuk mengetahui
tetap adekuat diperlukan tindakan- penyebab, perbaikan hemodinamik
tindakan keperawatan yang dan perbaikan oksigenasi jaringan.
tepat.Salah satu tindakan mandiri Menempatkan penderita dengan posisi
keperawatan guna mempertahankan duduk dengan pemberian oksigen
oksigenasi adalahmengatur posisi merupakan tindakan pertama yang
pasien hipertensi. Pengaturan posisi dapat diberikan pada pasien hipertensi
dapat membantuvenous return jantung (Mariyono & Santoso, 2007). Posisi
optimal sehingga dapat membantu merupakan salah satu faktor yang
meningkatkan cardiac output. Posisi harus diperhatikan dalam menjaga
yang tepat juga dapat meningkatkan sirkulasi sistemik yang adekuat karena
relaksasi otot-otot tambahansehingga dapat mempengaruhi sistem
dapat menurunkan dispnea (Brunner hemodinamik termasuk pada sistem
& Suddart, 2000).Hemodinamik vena.(Gelman, 2008).
52
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
dilakukan oleh Zaidi, et al (1999),
Menurut beberapa teori, perubahan terhadap 20 orang sehat yang meneliti
posisi tubuh dapat mempengaruhi hal yang sama dengan waktu interval
perubahan hemodinamik non infasif 2 dan 5 menit, menyatakan bahwa
diantaranyatekanan darah,denyut posisi head up <600 menghasilkan
jantung, saturasi oksigen dan tekanan darah dan denyut jantung
frekuensi pernafasan (Kozier, erb; yang lebih rendah dibandingkan
Berman & Synder, 2004). Gelman dengan posisi head up> 600 dan posisi
(2008)menyatakan bahwa perbedaan 600 merupakan posisi paling tinggi
posisi seperti head up dan head down yang tidak menghasilkan orthostatic
mempunyai efek hemodinamik secara stress. Penelitian ini juga menyatakan
sistemik termasuk fungsi sistem vena. tidak ada perbedaan hasil penelitian
Hal tersebut didukung dengan pada interval 2 dan 5 menit.
penelitian lain yang menyatakan
bahwa pada orang sehatsaat posisi Menurut Kozier (2008), posisi fowler
head up dan head down dapat atau head up dapat mempengaruhi
mempengaruhi tekanan darah dan kondisi hemodinamik seperti hipotensi
perubahan pada tekanan vena sentral postural akibat penurunan darah yang
(Cicolini, Gagliardi & Ballone, 2010; kembali ke jantung setelah perubahan
Eser, Khorshid, Gunes & Denir, 2006; posisi yang terlalu cepat, penurunan
Lieshout, 2005). perfusi cerebral, penurunan MAP dan
CVP akibat menurunnya venous return
Cicolini, et al (2010) menyatakan yang berdampak pada penurunan
bahwa terjadi penurunan tekanan cardiac output (CO) hingga 20%,
darah sistolik dan diastolik serta MAP terutama posisi head up ≥ 600.
(Mean Arterial Pressure) ketika TUJUAN PENELITIAN
dilakukan perubahan posisi pada Tujuan umum penelitian ini adalah
orang sehat, dari posisi fowler menjadi mengidentifikasi pengaruh posisi high
posisi semifowler kemudian posisi fowler 600 dan 300 terhadap tekanan
supine dengan waktu 1 menit pada darah pada pasien hipertensi.
setiap posisi. Penelitian lain yang Sedangkan tujuan khusus penelitian ini
53
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
adalah mengetahui pengaruh posisi 600 dengan menggunakan teknikpurposive
terhadap tekanan darah sistolik dan sampling yaitu memilih subyek
diastolik pada pasien hipertensi, penelitian yang ada pada
mengetahui pengaruh posisi 300 waktupelaksanaan penelitian dan sesuai
terhadap tekanan darah sistolik dan dengan kriteria inklusi (Arikunto,
diastolik pada pasien hipertensi, dan 2006;Notoatmodjo, 2007). Analisis data
membandingkan pengaruh posisi high menggunakan ujidependent t test.
fowler 600 dengan 300 terhadap
tekanan darah pada pasien hipertensi.
Metode Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan
Hasil dan Pembahasan
quasi eksperiment dengan pendekatan
Hasil penelitian univariat menjelaskan
pre dan post test. Semua responden
karakteristik, masing masing variabel
mendapat perlakuan posisi 60º dan 30º
yaitu: usia dan jenis kelamin, seperti
kemudian peneliti melihat perbedaan
dijelaskan pada tabel 1 dan 2 sebagai
efektifitas terhadap tekanan darah pada
berikut:
subyek penelitian.Instrumen dalam
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan
penelitian ini menggunakan lembar usia di RSU Tangerang
observasi berupa format daftar isian
Variabel
untuk mencatat hasil pengukuran N Prosentase
umur
tekanan darah sistolik dan diastolik pada 50– 60 10 62,5 %
60 – 70 4 25,0 %
untuk posisi 60º dan 30º.Populasi
70 2 12,5 %
penelitian ini adalah semua pasien
Total 16 100
hipertensi yang berobat di Rumah Sakit
Umum Tangerang.Sampel pada Tabel 2. Distribusi responden
berdasarkan jenis kelamindi RSU
penelitian ini yaitu pasien hipertensi Tangerang
yang di rawat di ruang rawat inap
Variabel
dengan kondisi tekanan darah stabil N Prosentase
jenis kelamin
dengan jumlah 20 orang.Teknik Perempuan 11 68,75 %
Laki-laki 5 31,25 %
pengambilan sampel dalam penelitian ini
Total 16 100
54
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Tabel 3
Perbandingan rerata perubahan
Analisa bivariat pada penelitian ini
tekanan darah sistoliksupine dan post
menggunakan uji t dependen karena posisi 300 dan 600 di RSU Tangerang
responden pada penelitian ini
Varia Pengukura Mean SD Min-Max P
adalah kelompok yang sama. bel n Value
Tek. Supine 180,00 12,11 150-200
Sebelum dilakukan uji t terlebih darah 140-200
sistoli fowler 30 174,38 17,017 2,09- 13,34
dahulu dilakukan uji normalitas k 150- 220
perbedaan 5,62 14,477 11,39- 5,72 0,141
dengan menggunakan skewnes
fowler 60 182,81 19,746
dibagi standar eror maka untuk
perbedaan 2,81 16,018 0,493
hasil tekanan darah sistolik dengan
posisi supine didapatkan nilai
0,515/0,564 =0,913. (<2) dapat Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dikatakan distribusi data normal. rata-rata tekanan darah sistolik sebelum
perubahan posisi (supine) adalah
Kemudian untuk data tekanan darah 180,00 mmHg dengan standar deviasi
sistolik posisi fowler 30 derajat 12,11 mmHg. Pada pasien setelah
dilakukan uji normalitas dilakukan perubahan posisi selama
0,319/0,564 = 0,565 dapat dikatakan lima menit, rata-rata tekanan darah
distribusi normal (<2).maka sistolik 30 derajat adalah 174,38
dilakukan uji paired t tes (uji dengan standar deviasi 17,017 mmHg.
parametrik). Sedangkan nilai mean perbedaan
sistolik supine dan sistolik posisi
Sedangkan untuk data tekanan darah fowler 30 derajat adalah 5,62 mmHg
sistolik high fowler 60 derajat dengan standar deviasi 14,477 mmHg.
dilakukan uji normalitas 0,28 /0,564 Hasil uji statistik didapatkan nilai P =
= -496 dapat dikatakan distribusi 0,141 (2 tailed) maka dapat
normal (<2). Maka dilakukan uji disimpulkantidak ada perbedaan yang
paired t test (uji parametrik) signifikan rata rata tekanan darah
sistolik supine dan posisi fowler 30
derajat.
55
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Analisis bivariat pada penelitian ini
rata-rata tekanan darah sistolik sebelum menggunakan uji t dependen karena
perubahan posisi (supine) adalah responden pada penelitian ini adalah
180,00 mmHg dengan standar deviasi kelompok yang sama. Sebelum
12,11 mmHg. Pada pasien setelah dilakukan uji t terlebih dahulu
dilakukan perubahan posisi selama dilakukan uji normalitas dengan
lima menit, rata rata tekanan darah menggunakan skewnes dibagi standar
sistolik 60 derajat adalah 182,81 eror maka untuk hasil tekanan darah
dengan standar deviasi 17,017 mmHg. diastolik dengan posisi supine
Sedangkan nilai mean perbedaan didapatkan nilai 0,721/0,564 = 1,278
sistolik supine dan sistolik posisi (<2) dapat dikatakan distribusi data
fowler 60 derajat adalah 2,81 mmHg normal. Kemudian untuk data tekanan
dengan standar deviasi 16,018 mmHg. darah diastolik posisi fowler 30 derajat
Hasil uji statistik didapatkan nilai P = dilakukan uji normalitas 0,545/0,564 =
0,493 ( 2 tailed) maka dapat 0,966 dapat dikatakan distribusi normal
disimpulkan tidak ada perbedaan yang (<2). maka dilakukan uji paired t tes
signifikan rata rata tekanan darah (uji parametrik).Sedangkan untuk data
sistolik supine dan posisi high fowler tekanan darah diastolik high fowler 60
60 derajat. derajat dilakukan uji normalitas 0,846
Tabel 4. Perbandingan rerata perubahan /0,564 = 1,5 dapat dikatakan distribusi
tekanan darah diastoliksupine dan post posisi
normal (<2). Maka dilakukan uji
30 dan 60 di RSU Tangerang
paired t test (uji parametrik).
56
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sedangkan nilai mean perbedaan
rata-rata tekanan darah diastolik diastolik supine dan diastolik posisi
sebelum perubahan posisi ( supine) fowler 60 derajat adalah 1,875 mmHg
adalah 105,63 mmHg dengan standar dengan standar deviasi 8,342 mmHg.
deviasi 11,529 mmHg. Pada pasien Hasil uji statistik didapatkan nilai P =
setelah dilakukan perubahan posisi 0,383 ( 2 tailed) maka dapat
selama lima menit, rata rata tekanan disimpulkan tidak ada perbedaan
darah diastolik pada posisi fowler 30 yang signifikan rata rata tekanan darah
derajat adalah 101,63 mmHg dengan diastolik supine dan posisi high fowler
standar deviasi 15,130 mmHg. 60 derajat
Sedangkan nilai mean perbedaan
diastolik supine dan sistolik posisi Pembahasan
fowler 30 derajat adalah 4,000 mmHg Pembahasan ini membahas tentang
dengan standar deviasi 9,933 mmHg. interpretasi dan diskusi hasil
Hasil uji statistik didapatkan nilai P = penelitian, keterbatasan penelitian ,
0,128 (2 tailed) maka dapat serta implikasi terhadap pelayanan
disimpulkan tidak ada perbedaan keperawatan, pendidikan dan
yang signifikan rata rata tekanan darah penelitian.
diastolik supine dan posisi fowler 30 Hasil penelitian terhadap pasien masih
derajat. dikontrol obat antihipertensi dengan
dosis ringan bahwa pengaruh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan posisi terhadap penurunan
rata-rata tekanan darah diastolik tekanan darah sistolik terlihat tidak
sebelum perubahan posisi (supine) signifikan dengan nilai mean
adalah 105,63 mmHg dengan standar perbedaan sistolik supine dan posisi
deviasi 11,529 mmHg. Pada pasien fowler 30 derajat adalah 5,62 mmHg
setelah dilakukan perubahan dengan standar deviasi 14,477 mmHg.
posisihighfowler selama lima menit, Hasil uji statistik didapatkan nilai P =
rata rata tekanan darah diastolik 60 0,141 maka dapat disimpulkan tidak
derajat adalah 103,75 mmHg dengan ada perbedaan yang signifikan rata
standar deviasi 13,601 mmHg. rata tekanan darah sistolik supine dan
57
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
post posisi fowler 30 derajat. hiperaktif (Andrew & Raymond,
Begitupun pada hasil uji statistik pada 2005).
posisi high fowler 60 derajat
didapatkan nilai P = 0,493 maka dapat Penyebab lain yang dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan yang mengakibatkan kurangnya respon
signifikan. pembuluh darah terhadap perubahan
posisi adalah usia. Sebagian besar
Tidak adanya pengaruh posisi responden terdiri dari dewasa madya
terhadap tekanan darah dapat dan dewasa lanjut. Menurut Setianto
disebabkan karena sampel yang kecil (2007), dinding pembuluh darah
karena pada penelitian ini tidak menjadi lebih kaku seiring
memeperhitungkan variabel bertambahnya usia, karena
pengganggu.Selain itu dapat bertambahnya jaringan ikat kolagen
disebabkan oleh terapi farmakologis pada tunika media dan adventisia
yaitu Terapi yang diberikan pada arteri sedang dan besar. Akibatnya
responden yang berpengaruh tekanan tahanan pembuluh darah meningkat
darah. Diantaranya, ACE I dan menjadi tidak flexible.
(angiotensin converting enzyme
inhibitor) sebagian besar responden Posisi merupakan salah satu faktor
menggunakan obat ini, ACE I, bekerja yang harus diperhatikan dalam
untuk menghambat enzim yang menjaga sirkulasi sistemik yang
meningkatkan angiotensin II sehingga adekuat karena dapat mempengaruhi
menghambat pengeluaran aldosteron sistem hemodinamik termasuk pada
yang dapat menyebabkan sistem vena.(Gelman, 2008).
vasokontriksi pada pembuluh darah
sehingga tekanan darah dapat Menurut beberapa teori, perubahan
dipertahankan. Obat lain yang posisi tubuh dapat mempengaruhi
berpengaruh terhadap tekanan darah perubahan hemodinamik non infasif
adalah beta blocker yang bekerja diantaranya, tekanan darah, denyut
untuk menekan sistem simpatis atau jantung, saturasi oksigen dan
sistem andrenergik pada keadaan frekuensi pernafasan (Kozier, erb,
58
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Berman & Synder, 2004). Gelman tekanan darah sistolik dan diastolik
(2008) menyatakan bahwa perbedaan pada pasien hip[ertensi walaupun
posisi seperti head up dan head down secara penurunan tekanan darah masih
mempunyai efek hemodinamik secara diatas normal, tidak ada perbedaan
sistemik termasuk fungsi sistem vena. signifikan antara rata-rata tekanan
Hal tersebut didukung dengan darah sistolik maupun diastolik antara
penelitian lain yang menyatakan pasien hipertensi pada posisi supine,
bahwa pada orang sehat, saat posisi posisi fowler 30 derajat, dan
head up dan head downdapat posisihigh fowler 60 derajat.
mempengaruhi tekanan darah dan
perubahan pada tekanan vena sentral Daftar Pustaka
(Cicolini, Gagliardi & Ballone, 2010; Argstatter H,.& Haberbosch W,
Bolay H.V. (2006). Study of
Eser, Khorshid, Gunes & Denir, 2006;
the effectiveness
Lieshout, 2005). ofmusical stimulation during
intracardiac catheterization.
Clin Res Cardiol.
Simpulan 2006Oct;95(10):511-3.
Simpulan dari hasil penelitian dan
Beever.D.G., (2006).
pembahasan diatas maka didapakan Understanding Blood
Pressure(http://www.
bahwa:Tidak ada pengaruh secara
familydoctorco.id.uk/onlinebo
signifikan perubahan dari posisi oks/Blood%20pressure.pdf)
supine terhadap penurunan tekanan
Badr, C., Elkins, M. R., & Ellis, E.
darah sistolik dan diastolik pada R. (2002). The effect of body
position on maximal
pasien hipertensi walaupun secara
expiratory pressure and flow.
medis penurunan tekanan darah masih Australian Journal of
Physiotherapy .The University
diatas normal, tidak ada pengaruh
of Sydney 2Royal Prince
signifikan perubahan posisi fowler 30 Alfred Hospital, Sydney, 48.
derajat terhadap penurunan tekanan
BB.Sramek. (2002). Systemic
darah sistolik dan diastolik pada Hemodynamics and
Hemodynamic Management.
pasien hipertensi, tidak ada pengaruh
InstantPublisher.com
sinifikan perubahan posisi high fowler
Cicolini, G., Gagliardi, G., &
60 derajat terhadap penurunan
Ballone, E. (2010). Effect of
59
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Fowler's Body Position on Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter
Blood Pressure Measurement. Kluwer bussiness
[Research in Brief]. Journal of
Clinical Nursing, 19, 3581-
3583.
60
Jurnal Medikes,Volume I, edisi I, April 2014
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
MOBILISASI DINI PADA PASIEN KRITIS DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU): CASE
STUDY
ABSTRAK
ABSTRACT
Patients with mechanical ventilation need special attention given the large number of mechanical
ventilation uses in ICUs worldwide and the risk of the Intensive Care Unit Acquired Weakness (ICU-AW).
The application of early mobilization often experiences obstacles, such as severe pain, fatigue, loss of
consciousness, oversedation, or invasive medical devices. This study aims to describe the ability of critically ill
patients in early mobilization at the ICU. This research is a qualitative research with a case study design.
Participants used were 6 cases of ICU patients who were analyzed using the five right clinical reasoning
method. The analysis results obtained 3 main concepts namely (1) the ability of critical patients to mobilize
early, (2) mobilization activities that can be carried out in patients with critical conditions, and (3)
physiological responses in patients who do early mobilization. There are several early mobilization activities
that can be done by critically ill patients at the ICU, such as head ups, lateral positioning, ROM and
collaboration with physiotherapists. Continuous care and collaboration of the health team is needed in the
process of mobilizing critically ill patients in order to provide better care so as to increase patient satisfaction
and quality of life.
Alamat korespondensi: Jl. Arteri Yos Sudarso/Jl. Puri Anjasmoro – Semarang (STIKES Telogorejo)
Email: bagus@stikestelogorejo.ac.id
59
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
PENDAHULUAN
Intensive care adalah salah satu layanan keperawatan untuk pasien dengan penyakit akut
atau kronis dalam situasi darurat, kritis yang memerlukan monitoring fungsi vital, lebih khusus
terapi intensif dan tindakan segera yang tidak dapat diberikan di ruang perawatan umum (Linda,
Kathleen, & Mary, 2010). Pasien kiritis yang ada di intensive care unit (ICU) umumnya mengalami
bed rest dan memerlukan alat bantu nafas yakni ventilator mekanik. Pasien dengan ventilasi
mekanik memerlukan perhatian khusus mengingat banyaknya penggunaan ventilasi mekanik di
ICU seluruh dunia dan resiko terjadinya Intensive Care Unit Acquired Weakness (ICU-AW). ICU-AW
menggambarkan pengecilan otot yang berhubungan dengan mortalitas tinggi, kondisi pasien yang
buruk, serta keterlambatan proses penyapihan (Schaller et al., 2016). ICU-AW berpotensi
diperburuk oleh periode bed rest yang lama karena sedasi dan imobilidsasi. Saat ini, intervensi
mobilisasi dini yang disampaikan dalam pengaturan ICU yang bisa diterima sebagai intervensi
terapeutik yang berpotensi dapat mencegah gangguan fungsional dan ICU-AW (L. Zhang et al.,
2019). Namun, kapan waktu dimulainya mobilisasi dini masih menjadi perdebatan.
Mobilisasi dini telah diusulkan sebagai intervensi yang menjanjikan untuk menetralkan
ICU-AW karena mampu mengurangi kelemahan otot terkait penyakit kritis (Pinheiro &
Christofoletti, 2012). Selain itu, aktivitas latihan secara dini memiliki potensi untuk mengurangi
lenght of stay (LOS) di rumah sakit dan meningkatkan fungsi respirasi pada pasien dengan gagal
napas akut (Verceles et al., 2018). Mobilisasi dini di ICU memberikan efek positif dan aman pada
pasien dengan ventilator mekanik karena memberikan manfaat yang signifikan dari pengurangan
durasi penggunaan ventilator mekanik serta LOS di ICU (G. Zhang, Zhang, Cui, Hong, & Zhang,
2018).
Mobilisasi dini merupakan prosedur yang diberikan pada spektrum penyakit yang sangat
luas antara lain kasus-kasus neurologis, kardiovaskular, muskuloskeletal, metabolik, trauma, dan
sebagainya (Kress & Hall, 2014). Tindakan mobilisasi dikerjakan di seluruh ruang perawatan mulai
dari perawatan intensif hingga perawatan biasa. Mobilisasi dini sangat penting sehingga banyak
penelitian dilakukan untuk membuktikan dampak dari mobilisasi dini, khususnya dalam upaya
memperpendek masa perawatan (Rawal, Yadav, & Kumar, 2017).
Kemampuan bergerak adalah kebutuhan penting manusia. Bergerak menyebabkan tubuh
berada dalam reaksi anabolik yang tujuan akhirnya adalah regenerasi sel. Umumnya aktivitas fisik
yang tinggi diikuti daya regenerasi yang baik, sehingga tubuh dapat berfungsi secara maksimal.
Kondisi tirah baring lama menyebabkan tubuh mengalami penurunan berbagai fungsi tubuh secara
sistematis, yang disebut dengan sindroma dekondisi (Hashem, Nelliot, & Needham, 2016; Hunter,
Johnson, & Coustasse, 2014; Phelan, Lin, Mitchell, & Chaboyer, 2018). Mulai 24-48 jam pertama
tubuh akan secara perlahan melakukan adaptasi metabolik dan menurunkan aktivitas berbagai
fungsi organ mulai dari sistem kardiorespirasi yang dimulai pada hari-hari pertama imobilisasi,
sampai penghancuran protein otot dalam 2-3 minggu pertama, hingga berkurangnya massa tulang
setelah beberapa bulan. Keseluruhan proses ini merupakan reaksi katabolik (Wunsch, Angus,
Harrison, Linde-Zwirble, & Rowan, 2011). Tidak mudah untuk mengembalikan proses katabolik ini
menuju proses anabolik.
Sampai dengan saat ini, belum ada penjelasan mengenai waktu yang definitif mengenai
kapan sebaiknya mobilisasi dini dimulai, apakah kurang dari 24 jam, dalam 24-48 jam, atau satu
minggu (Pakasi, 2017). Setiap penyakit memiliki kompleksitas dan masalahnya masing-masing.
Perawat harus dapat menentukan batasan-batasan yang aman secara fisiologis sebelum memulai
mobilisasi. Sebagai contoh, potensi mobilisasi pada seorang penderita stroke akan berbeda dengan
penderita gagal jantung, apalagi dibandingkan dengan pasien fraktur tungkai, atau pasien dengan
penyakit paru obstruktif. Untuk itu pemahaman mengenai perjalanan berbagai kondisi pasien
sangat penting sebelum proses mobilisasi dini dimulai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran kemampuan pasien kritis dalam melakukan mobilisasi dini di ICU.
60
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Studi kasus
termasuk dalam penelitian analisis deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan terfokus pada suatu
kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat. Pada studi kasus, perlu dilakukan
analisis secara tajam terhadap berbagai factor yang terkait dengan kasus tersebut sehingga akhirnya
akan diperoleh kesimpulan yang akurat. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada
tanggal 26 Agustus – 4 Oktober 2019 di ICU RSUD Tugurejo Semarang. Pertisipan yang digunakan
untuk melaksanakan mobilisasi dini adalah 6 pasien dengan kriteria pasien dewasa (> 18 tahun)
dan dirawat di ICU, tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, dan kondisi
hemodinamik stabil (tekanan darah, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh). Data yang diperoleh
kemudian dianalisis menggunakan metode five right clinical reasoning.
Kasus 1
Pasien Ny. S (52 tahun) Pasien tampak sesak napas, RR: 24 kali/menit, Akral hangat, pulsasi
nadi teraba cukup. TD: 114/74 mmHg, HR: 101 kali/menit, Suhu: 360 C, SaO2: 97% dengan O2 nasal
kanul 4 liter/menit, GCS E3M6V2. Pasien mengalami kelemahan ekstremitas kiri. Terpasang NGT,
DC, Infus perifer di tangan kanan. ADL dibantu oleh perawat. Pada pengkajian pola fungsional
Gordon didapatkan data bahwa di rumah sakit, pasien mengalami gangguan pada pola aktivitas
dan latihannya. Pasien mengalami kelemahan otot, sehingga tidak mampu beraktivitas secara
optimal. Selain itu pasien juga mengalami penurunan kesadaran sehingga koordinasi tubuh untuk
melakukan aktivitas juga terganggu. Data Penunjang pasien adalah dari hasil CT Scan kepala
ditemukan adanya infark pada corona radiate kiri. Tak tampak gambaran intracerebral haemorrage, hasil
Rontgen Thorax: Bronchopneumonia, cardiomegaly, hasil laboratorium: Hemoglobin: 11,8 g/dL,
Leukosit: 13,7 103/µl, Ureum: 149 mg/dL, Creatinin: 2,9 mg/dL, Cholestrol total: 193 mg/dL,
Trigliserid: 140 mg/dL, HDL: 37 mg/dL, LDL: 127 mg/dL, Asam urat: 6,1 mg/dL.
Kasus 2
Pasien Ny. S (52 tahun) Pada pengkajian didapatkan data bahwa pasien terpasang ETT
sambung VM mode PSIMV. Ronkhi (+/+). Leher tampak bengkak, Teraba masa pada thyroid
sebelah kiri. Tak tampak otot bantu pernapasan. RR: 20 x/menit, SaO2: 97%, TD: 112/84 mmHg,
HR: 82 x/menit, suhu: 360C. Akral hangat, pulsasi nadi teraba cukup, CRT 2 detik. Urine output
±1600 ml/24 jam. Pasien sadar. E4M6VETT. Terpasang NGT, DC, Infus perifer di tangan kanan. ADL
dibantu oleh perawat. Berdasarkan pola pengkajian Gordon didapatkan data pasien tidak dapat
melakukan aktivitas sehari hari dikarenakan menggunakan berbagai peralatan invasif. Pasien
mengatakan tidak nyaman dengan berbagai peralatan yang terpasang. Pasien mengatakan nyeri.
Hasil pemeriksaan CPOT 4. Pasien tidak mengguanakan terapi farmakologi untuk mengurangi
nyeri. Hasil Ro Cervical: plegmon mediastinis. Hasil Ro Thorax: Cardiomegaly (LV,LA), edema
pulmonum, efusi pleura kanan. Hasil Patologi Anatomi drain pleura: Reactive mesothelial cells, efusi
pleura massif dd TB dd keganasan. Hasil Laboratorium: Hemoglobin: 11,6 g/dL, Leukosit: 12,8
103/µl, Trombosit: 425 103/µl, Ureum: 30 mg/dL, Creatinin: 0,37 mg/dL, Calcium: 7,8 mg/dL,
Natrium: 142,5 mEq/L, Kalium: 4,25 mEq/L, pH:7,36, pCO2: 37,2 mmHg, pO2: 79 mmHg, HCO3: 21
mmol/L, BE: -4 mmol/L.
Kasus 3
Pasien Ny. S (64 tahun) Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data pasien terpasang ETT
sambung VM mode PSIMV. Sekret (+) warna putih kental. Reflek batuk (+) batuk tidak efektif. RR
32 x/menit, TD: 130/70 mmHg, HR: 96 x/menit, suhu 37,60 C, SpO2 97%, akral hangat, pulsasi nadi
teraba cukup. GCS E1M4VETT. Terpasang, NGT, DC, Infus perifer di tangan kanan. ADL dibantu
oleh perawat. Berdasarkan pola fungsional Gordon didapatkan data bahwa di rumah sakit, pasien
mengalami gangguan pada pola aktivitas dan latihannya. Pasien mengalami kelemahan otot,
sehingga tidak mampu beraktivitas secara optimal. Selain itu pasien juga mengalami penurunan
61
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
kesadaran sehingga koordinasi tubuh untuk melakukan aktivitas juga terganggu. Data penunjang
hasil laboratorium: albumin: 2,8 g/dL, GDS: 220 mg/dL, Clorida: 113 mEq/L, Kalium: 6,6 mEq/L,
Calsium: 7,22 mg/dl, pH: 7,36, pCO2: 42 mmHg, pO2: 118 mmHg, HCO3: 238 mmol/L, BE: -2
mmol/L. Hasil Rontgen Thorax: Cardiomegaly (LV), efusi pleura kiri (perbaikan minimal). Hasil CT
scan kepala tanpa kontras infark luas pada sub cortisol fronto-temporo-parietal kanan, disertai
tanda peningkatan TIK.
Kasus 4
Pasien Ny. S (28 tahun) Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan bahwa pasien terpasang
ETT sambung VM mode PSIMV. Sekret (+) produksi sedikit warna putih encer. Reflek batuk kuat.
Respirasi: 20-22 x/menit. Napas spontan adekuat. Tidak ada otot bantu napas. Tekanan Darah
Sistolik: 100–125 mmHg. Diastolik: 55–70 mmHg. MAP: 70–88,3 mmHg. HR: 75-89 x/menit. Suhu:
36,50 C. Pasien composmentis. GCS E4M6VETT. Terpasang NGT, DC, Infus perifer di tangan kanan.
ADL dibantu oleh perawat. Berdasarkan pola fungsional gordon didapatkan data pasien tidak
dapat melakukan aktivitas sehari hari dikarenakan menggunakan berbagai peralatan invasif. Pasien
mengatakan tidak nyaman dengan berbagai peralatan yang terpasang. Pasien mengatakan nyeri.
Hasil pemeriksaan CPOT: skor 3. Pasien tidak mengguanakan terapi farmakologi untuk
mengurangi nyeri. Data penunjang hasil laboratorium. Hemoglobin: 8,8 g/dL. Hematokrit: 25,20%.
Kasus 5
Pasien Ny. K (58 tahun) Terpasang ETT sambung VM mode PSIMV. Sekret (+) produksi
sedikit warna putih encer. Reflek batuk kuat. Respirasi: 20-22 x/menit. Napas spontan adekuat.
Tidak ada otot bantu napas. Tekanan Darah Sistolik: 100–125 mmHg. Diastolik: 55–70 mmHg. MAP:
70– 88,3 mmHg. Herat Rate: 75-89 x/menit. Suhu: 36,50 C. Pasien composmentis. GCS E4M6VETT.
Berdasarkan pola fungsional Gordon didapatkan data bahwa pasien tidak dapat melakukan
aktivitas sehari hari dikarenakan menggunakan berbagai peralatan invasif. Pasien mengatakan
tidak nyaman dengan berbagai peralatan yang terpasang. Pasien mengatakan nyeri. Hasil
pemeriksaan CPOT: skor 3. Pasien tidak mengguanakan terapi farmakologi untuk mengurangi
nyeri. Data penunjang hasil laboratorium: Albumin: 3,0 g/dL, GDS: 524 mg/dL, Chlorida: 113
mEq/l, Kalium: 6,6 mEq/L, Calsium: 8,2 mg/dL, pH: 7,36, pCO2: 42 mmHg, pO2: 118 mmHg,
HCO3: 238 mmol/L, BE: -2 mmol/L.
Kasus 6
Pasien mengatakan sesak napas. Ronkhi (+/+). Napas spontan (+) adekuat dengan O 2 Mask
Non Rebreathing 10 liter/menit. Otot bantu napas (+). Ekspansi dada (+). TD: 130/70 mmHg. HR: 96
x/menit. Suhu 37,60 C. SpO2 97%. Akral hangat, pulsasi nadi teraba cukup. Pasien composmentis.
GCS E4M6V4 Terpasang, NGT, DC, Infus perifer di tangan kanan. ADL dibantu oleh perawat
Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari dikarenakan menggunakan berbagai peralatan
invasif. Pasien mengatakan tidak nyaman dengan berbagai peralatan yang terpasang. Pasien
mengatakan nyeri. Hasil pemeriksaan CPOT: skor 3. Pasien tidak mengguanakan terapi
farmakologi untuk mengurangi nyeri. Hasil Laboratorium Hemoglobin: 11,9 g/dL, Leukosit: 11,67
103/µl, GDS: 239 mg/dL, Chlorida: 113 mEq/l, Kalium: 6,6 mEq/l, Calcium: 8,2 mg/dL, Ureum:
86,0 mg/dL, Creatinin: 5,85 mg/dL, hasil perekaman ECG menunjukkan: ST elevasi di AVR, ST
depresi di V6, dan Rontgen Thorax menunjukkan: Cardiomegaly, dan bronchopneumonia.
Pembahasan
Pasien yang berada di ruang ICU mengalami berbagai macam kondisi kritis. Berdasarkan
hasil studi kasus yang dianalisa menggunakan five right clinical reasoning, didapatkan beberapa
tema, yaitu kemampuan pasien kritis melakukan mobilisasi dini, aktivitas mobilisasi dini yang
dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis, serta respon fisiologis pada pasien yang
dilakukan pasca perawatan di icu.
Tema 1: kemampuan pasien kritis melakukan mobilisasi dini
Dari hasil pengkajian didapatkan suatu kumpulan gejala berupa kelemahan anggota gerak
kanan yang sifatnya mendadak. Pasien juga tidak dapat diajak berkomunikasi karena terjadinya
penurunan kesadaran dengan onset akut. Pada penderita didapatkan deficit neurologis yang terjadi
62
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
secara progresif berupa kelemahan motoric yang terjadi akibat suatu proses destruksi. Kesadaran
ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending
Reticular Activating System (ARAS) yang terdapat di batang otak (Yeo, Chang, & Jang, 2013). ARAS
merupakan suatu rangkaian yang kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu
diansefalon melalui brain stem, sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut akan
menimbulkan penurunan derajat kesadaran (Yeo et al., 2013).
Pada kasus yang dipelajari, didapatkan data bahwa beberapa pasien terpasang ETT. Pasien
dengan kasus tersebut membutuhkan mobilisasi dini untuk mencegah beberapa komplikasi pada
pemasangan ETT yang tersambung dengan ventilasi mekanik. Pemasangan ETT menghambat
mekanisme batuk alami yang merupakan mekanisme pertahanan alami tubuh terhadap infeksi
pernapasan yang sering muncul pada pasien dengan ventilasi mekanik. Adanya ETT akan
mencegah mukosiliar dalam pembersihan secret sehingga secret akan menumpuk di atas cuff ETT
dan akhirnya dapat menyebabkan mikroaspirasi dan. Ketika mikroorganisme masuk ke dalam
paru, mekanisme pertahanan tidak mampu membunuh organisme tersebut pneumonia (Ismaeil,
Alfunaysan, Alotaibi, Alkadi, & Othman, 2017). Pasien dengan tekanan intra kranial (TIK)
meningkat tanpa diikuti dengan peningkatan tekanan darah boleh dilakukan mobilisasi karena
terdapat fase kompensasi pada pasien yang mengalami peningkatan TIK. Fase 1 terjadi pada 48 jam
pertama, fase kedua terjadi pada 2-14 hari, fase ke 3 terjadi pada minggu kedua. Setelah itu pasien
mampu beradaptasi dan TIK kembali normal (Da Conceição, Gonzáles, De Figueiredo, Rocha
Vieira, & Bündchen, 2017).
Tema 2: aktivitas mobilisasi dini yang dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis
Aktivitas mobilisasi yang dapat dilakukan pada pasien kritis ditentukan dengan
menggunakan alogaritme, sehingga level mobilisasi dapat menyesuaikan. Mobilisasi harus
dilakukan bertahap sesuai tingkat kebutuhan dan toleransi pasien. Terdapat beberapa batasan
dalam mobilisasi yang dijelaskan dalam penelusuran systematic review. Pasien dengan kondisi kritis
dapat dilakukan mobilisasi dini dengan karakteristik seperti stabilitas kardiovaskular, respiratori,
neurologi, orthopedic, dan stabilitas lainnya (Da Conceição et al., 2017). Stabilitas kardiovaskular
meliputi: frekuensi nadi >40 x/menit dan <130 x/menit, Tekanan darah sistolik >90 mmHg dan
<180 mmHg, Mean atrial pressure (MAP) >60 mmHg dan <110 mmHg, tidak ada peningkatan obat
vasopressor dalam 2 jam terakhir, tidak ada iskemik miokard, tidak ada aritmia, tidak ada kateter
arteri femoral, serta tidak ada pemberian antiaritmia yang berulang (rutin) (Da Conceição et al.,
2017). Stabilitas respiratori meliputi frekuensi nafas >5 x/menit dan <35 x/menit, SaO2 ≥90%, fiO2
<0,6, PEEP <10 cmH2O, serta jalan napas terlindungi. Stabilitas neurologi meliputi tidak ada tanda-
tanda peningkatan TIK, tidak dalam level kesadaran koma, tidak gelisah, dapat mengikuti perintah
dengan baik, merespon dengan rangsangan verbal, serta tidak ada penyakit neurologi atau
neuromuscular yang menghalangi aktivitas mobilisasi. Kestabilan ortopedi meliputi tidak ada
fraktur yang tidak stabil dan tidak ada kontraindikasi ortopedi untuk mobilisasi. Ketidakstabilan
lainnya meliputi tidak ada neuromuscular bloking agent, tidak ada pembukaan abdomen, tidak
dalam perawatan paliatif, tidak ada DVT, suhu tubuh <38,5 0 C , tidak ada perdarahan
gastrointestinal yang aktif, dan tidak ada perdarahan aktif (Da Conceição et al., 2017).
Terdapat beberapa variasi praktik dalam mobilisasi dini. Variasi praktik ada pada waktu
pelaksanaan, aktivitas mobilisasi, protocol pelaksanaan, dan ekspektasi hasil. Waktu pelaksanaan
mobilisasi dini dapat dimulai saat pasien berada dalam kondisi akut dengan memperhatikan
stabilitas kondisi fisiologi dan psikologi. Mobilisasi dini dapat dilakukan 24 jam pertama setelah
admisi atau antara 48-72 jam pertama pasien masuk ke ICU (Clarissa, Salisbury, Rodgers, & Kean,
2019). Aktivitas yang dapat dilakukan beragam, mulai dari perubahan posisi, aktivitas yang
melibatkan tulang panjang seperti range of motion (ROM), serta aktivitas lain diluar ROM (Clarissa
et al., 2019). American Association of Critical Care Nurses (AACN) memperkenalkan intervensi
mobilisasi progresif yang terdiri dari beberapa tahapan: Head of Bed (HOB), latihan Range of Motion
(ROM) pasif dan aktif, terapi lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan
gravitasi, posisi duduk, posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan (Vollman, 2013).
63
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
Mobilisasi dini dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri ataupun dilakukan secara
kolaborasi oleh pemberi asuhan (perawat, fisoterapi, okupasional terapi) (Clark, Lowman, Griffin,
Matthews, & Reiff, 2013). Perawat harus melakukan informed consent kepada keluarga sebelum
melakukan mobilisasi dini. Jika keluarga menyetujui, maka keluarga juga dapat diajak untuk
melakukan mobilisasi sederhana, sehingga family participation dan caring keluarga dapat
meningkat. Mobilisasi dini dapat dilakukan dua kali sehari, sehari sekali, atau bahkan dapat
dilakukan tiap dua jam sekali, misal pada saat pasien dilakukan alih baring (Frownfelter & Dean,
2014). Hal yang diharapkan dari mobilisasi dini yaitu mencegah komplikasi akibat perawatan yang
dilakukan, memperbaiki mobilitas pasien, dan meningkatkan penurunan nilai kewaspadaan.
Tema 3: respon fisiologis pada pasien yang dilakukan mobilisasi dini
Pasien Kritis menghabiskan waktu yang lama untuk masa rawat di rumah sakit. Perubahan
besar terjadi pada sistem kardiovaskular saat bedrest (Petruccio, Monteiro, Liz, Oliveira, &
Carvalho, 2018). Posisi terlentang membuat 11% dari volume darah menghilang dari kaki, yang
seharusnya banyak menuju dada. Dalam 3 hari pertama bedrest volume plasma akan berkurang 8%
sampai 10%. Kerugian menjadi 15% sampai 20% pada minggu keempat (Petruccio et al., 2018).
Perubahan ini mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung, peningkatan masa istirahat denyut
jantung, dan perubahan stoke volume menyebabkan penurunan cardiac out put (COP). Secara teori
tekanan darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu COP, preload, dan resistensi perifer
(Pathmanathan, Beaumont, & Gratrix, 2015). COP merupakan jumlah darah yang dikeluarkan dari
ventrikel kiri dalam satu menit. Preload merupakan tekanan saat pengisian atrium kanan selama
diastolik yang menggambarkan volume dari aliran balik jantung (Wilcken, 2014).
Perubahan posisi mempunyai efek terhadap perubahan tekanan darah dan tekanan vena
sentral (Lesmana, Ose, Zulfia, & Tobing, 2019). Pada posisi head of bed menunjukkan aliran balik
darah dari bagian inferior menuju ke atrium kanan cukup baik karena resistensi pembuluh darah
dan tekanan atrium kanan tidak terlalu tinggi, sehingga volume darah yang masuk (venous return)
ke atrium kanan cukup baik dan tekanan pengisian ventrikel kanan (preload) meningkat, yang dapat
mengarah pada peningkatan stroke volume dan cardiac output (Bein et al., 2015). Perubahan posisi
lateral atau miring mempengaruhi aliran balik darah yang menuju ke jantung dan berdampak pada
hemodinamik. Pada pasien kritis lebih baik untuk diberikan mobilisasi dari pada pasien dibiarkan
dalam posisi supine secara terus menerus. Karena dengan membiarkan pasien dalam keadaan
imobilisasi akan memberi dampak yang buruk pada organ tubuh (Bein et al., 2015). Maka dari itu
perawat perlu merencanakan kegiatan mobilisasi kepada pasien.
Mobilisasi adalah kegiatan fundamental keperawatan yang membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan untuk menerapkan secara efektif untuk pasien sakit kritis (Green, Marzano,
Leditschke, Mitchell, & Bissett, 2016). Mobilisasi dapat menghasilkan outcome yang baik bagi
pasien seperti meningkatkan pertukaran gas, mengurangi angka VAP, mengurangi durasi
penggunaan ventilator, dan meningkatkan kemampuan fungsional jangka panjang (Green et al.,
2016). Ketidakstabilan hemodinamik merupakan salah satu tantangan untuk perawat dalam
melakukan mobilisasi pada pasien kritis. Untuk menyeimbangkan antara risiko dan manfaat dari
mobilisasi pada pasien kritis maka perawat harus menentukan jenis mobilisasi yang tepat,
memperhatikan penyakit tertentu, mengkaji faktor risiko, menentukan waktu sesi mobilisasi,
mengurangi kecepatan saat melakukan mobilisasi yang dapat mempengaruhi respon sistem
kardiovaskular (Garzon-Serrano et al., 2011).
Pada pasien kritis konsekuensi terbesar dari bedrest atau imobilisasi adalah sistem
pernafasan meliputi pengembangan kompresi atelectasis dari pembentukan edema dengan pasien
posisi supine dan kelemahan fungsi paru, reflek batuk, dan drainase tidak bekerja dengan baik
ketika pasien dalam posisi supine (Vollman, 2013). Hal ini akan berdampak pada oksigenasi karena
kelemahan fungsi paru akibat imobilisasi. Saturasi oksigen merupakan salah satu indikator dari
status oksigenasi. Saturasi oksigen adalah kemampuan haemoglobin mengikat oksigen. Faktor-
faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen yaitu jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru
(ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas haemoglobin dalam membawa oksigen (Vollman, 2013).
64
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
Diharapkan bahwa mobilisasi akan meningkatkan transportasi oksigen pasien, karena efek positif
dari posisi tegak pada ventilasi alveolar dan perfusi.
SIMPULAN
Terdapat beberapa aktivitas yang dilakukan di ruang ICU, seperti head up, memposisikan
lateral, ROM dan berkolaborasi dengan ahli fisioterapi. Namun demikian, menerapkan mobilisasi
dini pada pasien di ICU sering kali mengalami hambatan. Kendala yang paling umum ditemukan
adalah kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk mobilisasi, seperti adanya nyeri hebat,
kelelahan, penurunan kesadaran, oversedasi, atau terpasang alat medis yang invasif. Melakukan
mobilisasi dini juga sangat bergantung pada keterampilan petugas kesehatan yang ada di ICU,
fisioterapis, dan ketersediaan alat yang mendukung mobilisasi di ICU.
SARAN
Kerjasama tim kesehatan diperlukan dalam proses mobilisasi pasien sakit kritis yang ada di
ICU. Kesinambungan perawatan yang bersinergi dalam melakukan mobilisasi dini dapat menjadi
program perawatan yang lebih baik, sehingga kepuasan dan kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bein, T., Bischoff, M., Brückner, U., Gebhardt, K., Henzler, D., Hermes, C., … Wrigge, H. (2015). S2e-
Leitlinie: Lagerungstherapie und Frühmobilisation zur Prophylaxe oder Therapie von
pulmonalen Funktionsstörungen: Revision 2015: S2e-Leitlinie der Deutschen Gesellschaft für
Anästhesiologie und Intensivmedizin (DGAI). Anaesthesist, 64(September), 1–26.
https://doi.org/10.1007/s00101-015-0071-1
Clarissa, C., Salisbury, L., Rodgers, S., & Kean, S. (2019). Early mobilisation in mechanically
ventilated patients: A systematic integrative review of definitions and activities. Journal of
Intensive Care, 7(1), 1–19. https://doi.org/10.1186/s40560-018-0355-z
Clark, D. E., Lowman, J. D., Griffin, R. L., Matthews, H. M., & Reiff, D. A. (2013). Effectiveness of an
Early Mobilization Protocol in a Trauma and Burns Intensive Care Unit: A Retrospective
Cohort Study. Physical Therapy, 93(2), 186–196. https://doi.org/10.2522/ptj.20110417
Da Conceição, T. M. A., Gonzáles, A. I., De Figueiredo, F. C. X. S., Rocha Vieira, D. S., & Bündchen,
D. C. (2017). Safety criteria to start early mobilization in intensive care units. Systematic review.
Revista Brasileira de Terapia Intensiva, 29(4), 509–519. https://doi.org/10.5935/0103-
507X.20170076
Frownfelter, D., & Dean, E. (2014). Cardiovascular and pulmonary physical therapy-E-Book: Evidence to
practice (Fifth Edit; K. Falk, Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
Garzon-Serrano, J., Ryan, C., Waak, K., Hirschberg, R., Tully, S., Bittner, E. A., … Eikermann, M.
(2011). Early mobilization in critically ill patients: Patients’ mobilization level depends on
health care provider’s profession. PM and R, 3(4), 307–313.
https://doi.org/10.1016/j.pmrj.2010.12.022
Green, M., Marzano, V., Leditschke, I. A., Mitchell, I., & Bissett, B. (2016). Mobilization of intensive
care patients: A multidisciplinary practical guide for clinicians. Journal of Multidisciplinary
Healthcare, 9, 247–256. https://doi.org/10.2147/JMDH.S99811
Hashem, M. D., Nelliot, A., & Needham, D. M. (2016). Early mobilization and rehabilitation in the
ICU: Moving back to the future. Respiratory Care, 61(7), 971–979.
https://doi.org/10.4187/respcare.04741
Hunter, A., Johnson, L., & Coustasse, A. (2014). Reduction of intensive care unit length of stay: The
case of early mobilization. Health Care Manager, 33(2), 128–135.
https://doi.org/10.1097/HCM.0000000000000006
Ismaeil, T., Alfunaysan, L., Alotaibi, N., Alkadi, S., & Othman, F. (2017). Repositioning of
65
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia Vol.4 No.1, Februari 2020
66
Available online at https://jurnal.stikesmus.ac.id/index.php/avicenna
Avicenna : Journal of Health Research, Vol 3 No 1. Maret 2020 (20-27) 20
Abstrak
Latar Belakang : Salah satu intervensi yang dilakukan oleh perawat di pelayanan
intensif adalah pemberian mobilisasi progresif. Namun pentingnya pemantauan
hemodinamika pada pasien kritis maka perlu diperhatikan dalam memberikan
mobilisasi progresif.
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh mobilisasi
progresif terhadap status hemodinamik pada pasien kritis di ICU RSUD
Karanganyar.
Metode : Desain penelitian menggunakan metode quasi eksperimen dengan pre-
post without control design. Pengukuran dengan lembar observasi untuk menilai
Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR), saturasi oksigen (Sa ), Tekanan Darah
dan Mean Arterial Pressure (MAP) sebelum dan sesudah diberikan mobilisasi
progresif. Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, sejumlah 19
responden. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan oktober 2018.
Hasil : Hasil analisis bivariat didapatkan ada perbedaan bermakna antara Heart
Rate (HR), Respiratory Rate (RR), saturasi oksigen (Sa ), Tekanan Darah (BP)
dan Mean Arterial Pressure (MAP) sebelum dan sesudah mobilisasi progresif
dengan dengan p value 0,000 dan 0,037 (p < 0,05). Hasil penelitian ini
menyarankan mobilisasi progresif tetap diberikan pada pasien kritis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memperhatikan status hemodinamika
pasien. Terjadi peningkatan status hemodinamik setelah dilakukan mobilisasi
progresif dalam batas normal.
Simpulan : Mobilisasi progresif berpengaruh meningkatkan status hemodinamik
pada pasien kritis.
10.36419/avicenna.v3i1.339
Avicenna : Journal of Health Research, Vol 3 No 1. Maret 2020 (20-27) 21
Wahyu Rima Agustin et.al (Pengaruh Mobilisasi Progresif Terhadap Status …)
Method : This research used the quasi-experimental method with pre-post without
control design. Its data were collected through observation sheets to assess heart
rate (HR), respiratory rate (RR), oxygen saturation (Sa ), blood pressure (BP),
and mean arterial pressure (MAP) prior to and following the administration of
progressive mobilization. 19 respondents were determined as the samples by
using the purposive sampling technique. This research was conducted for 1 month
in October 2018.
Result :There was a significant difference among the HR, the RR, the BP, and the
MAP prior to and following the administration of progressive mobilization as
shown by the result of the bivariate analysis where the p-values were 0.000 and
0.037 (p < 005) respectively. Thus, there was an increase in the hemodynamic
status of the patients within normal limit following the progressive mobilization. It
is recommended that the administration of progressive mobilization be continued
to critical patients to improve their life quality by keeping in mind their
hemodynamic status.
Conclusion : Progressive mobilization has the effect of increasing hemodynamic
status in critically ill patients.
PENDAHULUAN
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan staf
dan perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit,
trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa (Musliha, 2010). Pasien dengan
fase kritis dengan satu atau lebih gangguan fungsi sistem organ vital manusia
yang dapat mengancam kehidupan serta memiliki morbiditas dan mortalitas
tinggi, sehingga membutuhkan suatu penanganan khusus dan pemantauan secara
intensif (Kemenkes RI, 2011). Pasien kritis memiliki kerentanan yang berbeda.
Kerentanan itu meliputi ketidakberdayaan, kelemahan dan ketergantungan
terhadap alat pembantu (Sunatrio, 2010).
Hasil studi di Amerika melaporkan prevalensi pasien kritis selama 2004-
2009 terdapat 3.235.741 pasien yang mendapat perawatan ICU dan 246.151
(7,6%) merupakan pasien kritis kronis. Pasien kritis kronis dengan sepsis (63,7%)
dan yang lainnya seperti stroke, luka parah, cidera kepala dan tracheostomy (Kahn
et al, 2015). Data yang diperoleh dari buku registrasi pasien ICU RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado mulai dari bulan Januari-Oktober 2013 total pasien yang
dirawat di ICU adalah sebanyak 411 pasien dan yang mengalami kejadian gagal
napas sebanyak 132 pasien (32,1 %). Rata-rata pasien yang dirawat di ICU adalah
41-42 pasien/bulan dan rata-rata yang mengalami kejadian gagal napas adalah 13-
14 pasien/bulan serta 10-11 pasien/bulan meninggal akibat gagal napas (Kitong,
BI, dkk, 2014). Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri selama bulan
Oktober-Desember 2015, pasien yang mendapatkan perawatan ICU terdapat 105
pasien, diantaranya pasien stroke, penyakit jantung dan diabetes mellitus.
Perawat merupakan salah satu bagian dari team ICU, yang mempunyai
ruang lingkup luas, karakteristik unik serta peran yang penting dalam pemberian
asuhan keperawatan kritis di ICU (Munawaroh dkk, 2012). Salah satu intervensi
yang diberikan berupa perubahan posisi pasien dilakukan tiap 2 jam. Pasien yang
dirawat di ruang ICU dengan gangguan status mental misalnya oleh karena stroke,
injuri kepala atau penurunan kesadaran tidak mampu untuk merasakan atau
mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau pasien merasakan adanya tekanan
namun mereka tidak bisa mengatakan kepada orang lain untuk membantu mereka
mengubah posisi. Bahkan ada yang tidak mampu merasakan adanya nyeri atau
tekanan akibat menurunnya persepsi sensori (Batticaca, 2012).
Pemantauan hemodinamika perlu diperhatikan, pemantauan tersebut
merupakan suatu teknik pengkajian pada pasien kritis, mengetahui kondisi
perkembangan pasien, serta untuk antisipasi kondisi pasien yang memburuk
(Burchell & Powers, 2011). Dasar dari pemantauan hemodinamika adalah perfusi
jaringan yang adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang
dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan
elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamika berupa
gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan
jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel. Perawat sebagai bagian dari tim
kesehatan dalam merawat pasien-pasien kritis mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam memonitor keadaan hemodinamik. Monitoring hemodinamik
merupakan suatu pengkajian fisiologis yang penting dalam perawatan pasien-
pasien kritis (Prayitno dkk, 2015). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti di ICU RSUD Karanganyar didapatkan data jumlah tempat tidur di ICU
sebanyak 4 tempat tidur. Pada bulan Agustus - september 2018 jumlah pasien
yang dirawat diruang ICU sebanyak 36 pasien. Hasil wawancara dengan beberapa
perawat mengatakan pasien yang dirawat diruang ICU hanya diberikan perubahan
posisi miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam. Perawat tidak memperhatikan
status hemodinamik pada pasien sebelum dan sesudah diberikan posisi miring
kanan dan miring kiri.
Mengingat pentingnya pemantauan status hemodinamika pada pasien kritis.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan tujuan
mengetahui pengaruh mobilisasi progresif terhadap status hemodinamik pada
pasien kritis di ICU RSUD Karanganyar.
METODE
Jenis penelitian ini yaitu penelitian kuantitatif dengan desain quasi
experiment, dimana penelitian ini melakukan uji coba coba suatu intervensi pada
sekelompok subyek dengan atau tanpa kelompok pembanding namun tidak
dilakukan randomisasi untuk memasukkan subyek ke dalam kelompok perlakuan
atau kontrol (Dharma, 2011).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah one-group pretest-posttest
design. Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yaitu
sebelum dan sesudah intervensi pada satu kelompok perlakuan. Hasil perlakuan
dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan
sebelum diberikan perlakuan (Sugiyono, 2011). Penelitian ini dilakukan di ICU
RSUD Karanganyar dan dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan oktober 2018.
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien kritis di ruang ICU RSUD
Karanganyar, Teknik pengumpulan sampel pada penelitian ini menggunakan
purposive sampling sejumlah 19 responden dengan kriteria inklusi PaO2 : FiO2 >
250, nilai PEEP <10, suhu <38 oC. RR <30x/menit, HR >60<120x/menit. MAP
>55<140, tekanan sistolik berkisar >90<180 mmHg, saturasi oksigen >90%,
tingkat kesadaran pasien dengan respon mata baik (RASS -5 sampai -3). Kriteria
eksklusi pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan status hemodinamik
tidak stabil.
Proses analisa data menggunakan one-group pretest-posttest design dengan
menggunakan uji Paired sample t-test karena data terdistribusi normal untuk
mengukur sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi progresif.
Tabel 2.Analisis Rerata Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR), Saturasi
Oksigen (SaO2), Tekanan Darah dan Mean Arterial Pressure (MAP) Sebelum dan
Sesudah Mobilisasi Progresif di RSUD Karanganyar(n=19)
Rerata Sebelum Mobilisasi Progresif Rerata Sesudah Mobilisasi Progresif
Variabel Mean Median SD Min Max Mean Median SD Min Max
Heart Rate (HR) 86,3 87,3 4,3 79 95,3 87,8 88,3 4,3 79,7 96,7
Respiratory Rate
18,6 18,3 3,4 14 25,3 19,9 19,7 3,1 15,3 26,3
(RR)
Saturasi Oksigen
97,6 97,7 0,8 96 99 98,5 98,7 0,9 96,7 100
(SaO2)
Tekanan darah 12,
127 126,7 98,7 146,7 128,7 127,3 10,9 107,7 149
Sistolik 2
Tekanan darah
82,3 82,3 7,1 69 97 83,2 83 7 70,3 97,7
Diastolik
Mean Arterial
98,3 99,7 3,8 90 103 99,1 105 4,2 91,3 105
Pressure (MAP)
Tabel 3.Uji Normalitas Data Variabel Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR),
Saturasi Oksigen (SaO2), Tekanan Darah dan Mean Arterial Pressure (MAP)
Sebelum dan Sesudah Mobilisasi Progresif di RSUD Karanganyar (N=19)
No Variabel Pengukuran Shapiro-Wilk
1 Heart Rate (HR) Sebelum Mobilisasi Progresif 0,584
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,903
2 Respiratory Rate (RR) Sebelum Mobilisasi Progresif 0,431
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,799
3 Saturasi Oksigen (SaO2) Sebelum Mobilisasi Progresif 0,800
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,510
4 Tekanan Darah Sistolik Sebelum Mobilisasi Progresif 1,000
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,984
5 Tekanan Darah Diastolik Sebelum Mobilisasi Progresif 0,615
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,867
6 Mean Arterial Pressure (MAP) Sebelum Mobilisasi Progresif 0,590
Sesudah Mobilisasi Progresif 0,448
Hasil uji normalitas pada tabel 3. menunjukkan bahwa variabel Heart Rate
(HR), Respiratory Rate (RR), Saturasi oksigen (SaO2), Tekanan darah dan Mean
Arterial Pressure (MAP) sebelum dan sesudah mobilisasi progresif p > 0,05 maka
data terdistribusi secara normal sehingga menggunakan uji paired t test
Tabel 4. Analisis Perbandingan Rerata Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR),
Saturasi Oksigen (SaO2), Tekanan Darah dan Mean Arterial Pressure (MAP)
Sebelum dan Sesudah Mobilisasi Progresif di RSUD Karanganyar (n=19)
Variabel t P value
Heart Rate (HR)
- Sebelum -5,686 0,000
- Sesudah
Respiratory Rate (RR)
- Sebelum -6,063 0,000
- Sesudah
Saturasi Oksigen (SaO2)
- Sebelum -7,852 0,00
- Sesudah
Tekanan Darah Sistolik
- Sebelum -3,445 0,00
- Sesudah
Tekanan Darah Diastolik
- Sebelum -7,650 0,00
- Sesudah
Mean Arterial Pressure (MAP)
- Sebelum -2,368 0,03
- Sesudah
hidung dan mulut. Saat bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa
bronchial ke alveoli, dan dapat erat berhubungan dengan darah di dalam kapiler
pulmonalis (Pearce, EC, 2013).
Saturasi oksigen (SaO2) dengan nilai p value = 0,000 (p <0,05). Saturasi
oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam
arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Dalam kedokteran,
oksigen saturasi (SaO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur
persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada
tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi,
maksudnya adalah proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan
tubuh. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa teknik.
Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau
pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Pinsky,
M.R, 2019)
Tekanan darah dengan nilai p value = 0,000 (p <0,05). Tekanan darah
adalah gaya atau dorongan darah ke dinding arteri saat darah dipompa keluar dari
jantung keseluruh tubuh, sedangkan tekanan darah adalah tenaga yang terdapat
pada dinding arteri saat darah dialirkan. Tenaga ini mempertahankan aliran darah
dalam arteri agar tetap lancar. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80
dan diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg) tekanan darah biasanya
diukur secara tidak langsung dengan sphygmomanometer air raksa pada posisi
duduk atau terlentang. (Burchell, et al, 2011)
Mean Arterial Pressure (MAP) dengan nilai p value = 0,037 (p <0,05).
Tekanan arteri rerata adalah gaya pendorong utama yang mengalirkan darah ke
jaringan. Tekanan ini dipantau dan diatur di tubuh, bukan tekanan sistolik atau
diastolik arteri atau tekanan nadi dan juga bukan tekanan di bagian lain pohon
vaskular. Tekanan arteri rerata sedikit kurang daripada nilai-nilai tengah antara
tekanan sistole dan diastole. Besar nilai pada orang dewasa sekitar 90 mmHg yang
sedikit lebih kecil dari rata-rata tekanan siastole dan diastole (Burchell, et al,
2011)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa mobilisasi progresif
berpengaruh terhadap meningkatnya status hemodinamik, yang ditandai dengan
meningkatnya Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR), saturasi oksigen (SaO2),
tekanan siastole dan diastole, dan Mean Arterial Pressure (MAP)pada pasien
kritis di ICU RSUD Karanganyar.
SARAN
Bagi Pelayanan Keperawatan diharapkan menerapkan standar operasional
prosedur (SOP) mobilisasi progresif dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien kritis untuk meminimalkan efek samping. Bagi Peneliti Selanjutnya
diharapkan perlunya penelitian lebih lanjut dengan metode yang berbeda seperti
mobilisasi progresif level II dan III
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, FB. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Burchell, PA. (2011). Focus on central venous pressure in acute care setting.
Journal of Nursing.
Dharma, KK. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan
Melaksanakan Dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Info Media
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Profil Kesehatan
Indonesia 2010. http://www.depkes.go.id.
Kitong, BI, dkk.(2014). Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir Endotrakeal
Tube (Ett) Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien Yang Dirawat Di
Ruang Icu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal keperawatan,
Volume 2, No 2, 2014.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika
Munawaroh SW, dkk. (2012). Efektifitas Pemberian Nutrisi Enteral Metode
Intermittent Feeding Dan Gravity Drip Terhadap Volume Residu Lambung
Pada Pasien Kritis. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 8, No 3,
Oktober 2012.
Pearce, EC. (2013). Buku Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT
Gramedia
Prayitno, H, dkk. (2015).Perbedaan Peep 5,10 Dan 15 CMH2O Terhadap
Hemodinamik Pada Pasien Yang Terpasang Ventilasi Mekanik Mode
Spontan Di Ruang ICU Rumah Sakit Immanuel Bandung. Immanuel Jurnal
Ilmu Kesehatan Volume 9, Nomor 1, Juni 2015.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sunatrio. (2010). Penentuan mati pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di
ICU. PKGDI.Available from:
http://www.freewebs.com/penentuanmati/daftarpustaka.htm
Pinsky, MR. (2019). Hemodynamic Monitoring. Spinger : Switzerland
Abstrak
Pasien yang dirawat di ruang IntensiveCareUnit (ICU) merupakan pasien kritis yang dalamkeadaan
terancamjiwanyakarena kegagalan atau disfungsi pada satu atau multipelorgan yang disertai
gangguan hemodinamik. Pasien kritis dalam keadaan penurunan kesadaranmemiliki keterbatasan
dalam mobilisasi, yang berdampak terhadap tekanan darah dan saturasi oksigen yang tidak stabil.
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk menangani hal tersebut dengan mobilisasi
progresif level I berupa head of bed, ROM, dan rotasi lateral. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh mobilisasi progresif level I terhadap tekanan darah dan saturasi oksigen pada
pasien kritis dengan penurunan kesadarandi ruang ICU.Metode penelitian ini menggunakan pra
eksperimental dengan rancangan pre-test and post-test one group design.Responden penelitian
ditetapkan dengannonprobability sampling dengan metode total sampling. Penelitian dilaksanakan
di ruang ICU pada 15 responden yang terdiri dari 10 responden perempuan dan 5 responden laki-
laki dan memenuhi kriteria inklusi. Uji dependent t-test menunjukkan ada pengaruh mobilisasi
progresiflevel I terhadap tekanan darah sistolik (p = 0,024), tekanan diastolik (p = 0,002), dan
saturasi oksigen (p = 0,000). Mobilisasi Progresif Level I dapat meningkatkan tekanan darah dan
saturasi oksigen pada pasien kritis dengan penurunan kesadaran. Mobilisasi Progresif Level I dapat
dijadikan salah satu intervensi keperawatan untuk meningkatkan tekanan darah dan saturasi
oksigen pasien kritis dengan penurunan kesadaran dengan tekanan darah di bawah normal.
Kata kunci: Mobilisasi progresif level I, tekanan darah, saturasi oksigen, pasien kritis.
Abstract
The effect of progressive level I mobilization on blood pressure and oxygen saturation in
critical patients with decreased awareness. Patients who are treated in the Intensive Care Unit
(ICU) are critical patients who are in danger of failure or dysfunction in one or multiple organs
accompanied by hemodynamic disturbances. Critical patients in a state of reduced consciousness
have limitations in mobilization, which have an impact on blood pressure and unstable oxygen
saturation. One intervention that can be done to deal with this is with progressive level I
mobilization in the form of head of bed, ROM, and lateral rotation. This study aims to determine
the effect of progressive level I mobilization on blood pressure and oxygen saturation in critical
patients with decreased awareness in the ICU. This research method uses pre-experimental design
with pre-test and post-test one group design. Research respondents were determined by non-
probability sampling with total sampling method. The study was conducted in the ICU room in 15
respondents consisting of 10 female respondents and 5 male respondents and met the inclusion
criteria. The dependent t-test showed that there was an effect of progressive level I mobilization on
systolic blood pressure (p= 0.024), diastolic pressure (p= 0.002), and oxygen saturation (p= 0.000).
Level I Progressive Mobilization can increase blood pressure and oxygen saturation in critical
patients with decreased consciousness. Level I Progressive Mobilization can be used as one of the
nursing interventions to increase blood pressure and oxygen saturation of critical patients with
decreased consciousness with below normal blood pressure.
Keywords: Progressive level I mobilization, blood pressure, oxygen saturation, critical patients.
2
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
3
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
Tabel 1
Distribusi frekuensi karakteristik responden (n=15)
Kategori n %
Jenis Kelamin
Perempuan 10 66,7
Laki-laki 5 33,3
Jumlah 15 100
Usia
18 – 25 3 20.0
26 – 35 1 6.7
36 – 45 3 20.0
46 – 55 3 20.0
>65 5 33.3
Jumlah 15 100
Diagnosa Medis
DSS 1 6.7
SH 4 26.7
Post VT 2 13.3
DM 2 13.3
Syok Hipovolemik 1 6.7
Post Laparatomi 2 13.3
SLE 1 6.7
HONK 1 6.7
Ketoasidosis 1 6.7
Jumlah 15 100
Gambaran tekanan darah dan saturasi sebanyak 5 responden (33,33%). Saturasi
oksigen sebelum dan setelah mobilisasi oksigen sebelum dilakukan mobilisasi
progresif level I progresif level I mayoritas dalam kategori
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang yaitu sebanyak 10 responden
tekanan darah sebelum dilakukan (66,7%), sedangkan setelah dilakukan
mobilisasi progresif level I mayoritas mobilisasi progresif level I mayoritas
berada didalam kategori hipertensi derajat I terdapat pada kategori normal sebanyak 10
yaitu sebanyak 7 responden (46,67%), responden (66,7%).
sedangkan setelah dilakukan mobilisasi
progresif level I responden terbanyak pada
kategori hipertensi derajat II yaitu
Tabel 2
Distribusi frekuensi kategori tekanan darah (mmHg) dan saturasi oksigen
(n=15)
Pre Post
No Kategori
f % f %
Tekanan Darah
1 Optimal (<120/<80) 4 26,7 2 13,3
2 Normal (120-129/80-84) 1 6,7 3 20,0
3 Normal Tinggi (130-139/85-89) 0 0 1 6,7
4 Hipertensi derajat I (140-159/90-99) 7 46,7 4 26,7
5 Hipertensi derajat II(160-179/100-109) 3 20,0 5 33,3
Jumlah 15 100 15 100
Saturasi Oksigen
Normal
1 5 33,3 10 66,7
(95-100%)
2 Tidak Normal (<95%) 10 66,7 5 33,3
Jumlah 15 100 15 100
4
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
Tabel 3
Hasil uji pengaruh tekanan darah(dalam mmHg) dan saturasi oksigen responden sebelum dan
setelah mobilisasi progresif level I di ruang ICU (n = 15)
Mean IK
Kategori Selisih p value
Pre Post 95%
Sistole 141,73 145,27 3,5 0,5-6,5 0,024
Diastol 77,67 82,47 4,8 2,0-7,5 0,002
SpO2 93,0 95,5 2,5 1,6-3,3 0,000
Pembahasan bahan kimia yang terkandung dalam rokok
Hasil penelitian menunjukkanbahwa dapat menyebabkan peningkatan
karakteristik responden berdasarkan jenis konsentrasi fibrinogen, hematokrit, dan
kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu agregrasi platelet, menurunkan aktifitas
sebanyak 10 responden fibrinolitik, dan aliran darah
(66,7%).Berdasarkan penelitian Sunaryo serebral.Kondisi tersebut menyebabkan
(2012)yang dilakukan di ruang perawatan vasokontriksi, sehingga menyebabkan
intensifdidapatkan jumlah laki-laki 76 dan terjadinya plak atherosclerosis (Ratnasari,
perempuan 66 responden. Hasil penelitian 2012).
lain oleh Regina (2012)tentang pengaruh Hasil penelitian yang berbeda-beda
mobilisasi pasif terhadap hemodinamik terkait faktor risiko jenis kelamin sangat
pada pasien terpasang ventilator mekanik wajar karena setiap daerah tentunya
didapatkan sebanyak 9 responden berjenis memiliki jumlah penduduk yang berbeda-
kelamin laki-laki dan 4 responden berjenis beda dan persebaran jenis kelamin yang
kelamin perempuan. Laki-laki lebih rentan berbeda-beda pula.
terkena penyakit stroke hemoragik, Sedangkan karakteristik berdasarkan
dibandingkan perempuan.Hal ini umur lebih dari 65 tahun yaitu sebanyak 5
berhubungan dengan faktor pemicu lainnya responden (33,3%) dan sisanya responden
yang lebih banyak dilakukanoleh laki-laki berumur kurang dari 65 tahun. Hasil
seperti merokok, mengonsumsi alkohol, penelitian yang dilakukan Ignatius
dan sebagainya.Kebiasaan merokok dapat (2012)di ruang ICU tentang angka
menyebabkan stroke karena beberapa efek kematian end stage renal disease rata-rata
5
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
berumur lebih dari 41 tahun sebanyak 34 oleh Aries (2011) bahwa pemberian posisi
(79,1%) responden. Lamanya usia hidup lateral dapat meningkatkan tekanan darah
merupakan penyebab tunggal paling 4-5 mmHg. Di dukung pula oleh hasil
penting meningkatnya jumlah pasien kritis penelitian Almeida (2009) bahwa posisi
lansia dengan penyakit multiple dan lateral dapat meningkatkan tekanan darah
penyakit akut. Semakin tua umur sistolik dan diastolik 15 mmHg pada 60
seseorang maka akan mengalami menit pertama pemberian posisi pada
perubahan fisiologis karena proses wanita hamil trimester akhir.
penuaan. Perubahan tersebut akan Pasien Kritis menghabiskan waktu
berimbas pada kesehatan seseorang. yang lama untuk masa rawat di rumah
Penyebab utama kematian lansia adalah sakit. Perubahan besar terjadi pada sistem
penyakit-penyakit jantung, neoplasma kardiovaskular saat bed rest. Posisi
maligna, cedera cerebrovascular, dan terlentang membuat 11% dari volume
penyakit obstruksi menahun.Kondisi ini darah menghilang dari kaki, yang
biasanya yang menyebabkan banyaknya seharusnya banyak menuju dada. Dalam 3
lansia yang dirawat di rumah sakit (Hudak hari pertama bedrest volume plasma akan
& Gallo, 2010). berkurang 8% sampai 10 %. Kerugian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menjadi 15% sampai 20% pada minggu
karakteristik responden berdasarkan keempat. Perubahan ini mengakibatkan
diagnosa medis terbanyak adalah Stroke peningkatan beban kerja jantung,
Hemorrhagic sebanyak 4 responden peningkatan masa istirahat denyut jantung,
(26,7%). Stroke hemoragi terjadi sekitar dan perubahan stoke volume menyebabkan
20% dari kasus stroke.Sekitar seperempat penurunan cardiac out put (Vollman,
kasus stroke adalah hemoragi, yang 2010).
diakibatkan oleh penyakit vaskular Secara teori tekanan darah dapat
hipertensi. Biasanya stroke hemoragi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
secara cepat menyebabkan kerusakan cardiac output (COP), preload, dan
fungsi otak dan penuran kesadaran(Hudak resistensi perifer. Cardiac output
& Gallo, 2010). Penyebab perdarah merupakan jumlah darah yang dikeluarkan
intraserebrum anatara lain perdarahan dari ventrikel kiri dalam satu menit.
intraserebrum hipertensif, Preload merupakan tekanan saat pengisian
perdarahansubaracnoid karena rupture atrium kanan selama diastolik yang
aneurisme subkular, rupture malforasi menggambarkan volume dari aliran balik
arteriovena dan trauma, penyalahgunaan jantung (Jevon, 2009). Posisi mempunyai
kokain dam amfetamin, perdarahan akibat efek terhadap perubahan tekanan darah dan
tumor otak, infrak hemoragik, penyakit tekanan vena sentral. Pada posisi head of
perdarahan siskemik termasuk terapi bed menunjukkan aliran balik darah dari
antikoagulasi(Purnawan, 2012). bagian inferior menuju ke atrium kanan
cukup baik karena resistensi pembuluh
Gambaran tekanan darah sebelum dan darah dan tekanan atrium kanan tidak
setelah dilakukan mobilisasi progresif terlalu tinggi, sehingga volume darah yang
level I masuk (venous return) ke atrium kanan
Berdasarkan hasil penelitian cukup baik dan tekanan pengisian ventrikel
didapatkan sebelum dilakukan mobilisasi kanan (preload) meningkat, yang dapat
progresif terdapat 3 (20%) responden mengarah pada peningkatan stroke volume
kategori hipertensi derajat II sedangkan dan cardiac output. Perubahan posisi
setelah dilakukan mobilisasi progresif level lateral atau miring mempengaruhi aliran
I terdapat 5 (33,3%) responden dengan balik darah yang menuju ke jantung dan
kategori hipertensi derajat II. Hal ini berdampak pada hemodinamik (Setiyawan,
sejalan dengan penelitian yang dilakukan 2016).
6
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
Pada penelitian ini dari hasil rekap Gambaran Saturasi oksigen sebelum
satistik diketahui sebelum dilakukan dan setelah mobilisasi progresif level I
mobilisasi progresif nilai terendah sistole Hasil penelitian dapat diketahui
adalah 92 mmHg dan nilai tertinggi adalah kategori saturasi oksigen sebelum
177 mmHg, sedangkan setelah dilakukan dilakukan mobilisasi progresif level I
mobilisasi progresif nilai nilai terendah jumlah responden terdapat 5 (33,3%)
systole adalah 96 dan nilai tertinggi adalah responden kategori normal, setelah
178 mmHg. Hal ini sesuai dengan jurnal dilakukan mobilisasi progresif level I
Vollman (2013) bahwa nilai tekanan terdapat 10(66,7) responden kategori
sistolik yang boleh dilakukan mobilisasi normal. Berdasarkan rekap data semua
progresif pada rentang nilai >90 sampai responden yang berjumlah 15 responden
<180. Pada penelitian Ozyurex mengalami kenaikan saturasi oksigen.
(2012)mengatakan respon intoleran pada Penelitian ini sejalan dengan penelitian
mobilisasi pada tekanan darah yaitu yang dilakukan Ozyurek (2012)yang
apabila terjadi kenaikan tekanan darah berjudul Respiratory Hemodinamic
>20mmHg dan penurunan tekanan darah Responses to Mobilization of Critically ill
<20mHg. Obese Patients setelah dilakukan
Pada pasien kritis lebih baik untuk mobilisasi terdapat peningkatan pada
diberikan mobilisasi dari pada pasien parameter saturasi oksigen dengan rata-rata
dibiarkan dalam posisi supine secara terus saturasi oksigen sebelum perlakuan 98%
menerus. Karena dengan membiarkan menjadi 99% setelah perlakuan mobilisasi.
pasien dalam keadaan imobilisasi akan Pada pasien kritis konsekuensi
memberi dampak yang buruk pada organ- terbesar dari bedrest atau imobilisasi
organ tubuh. Maka dari itu perawat perlu adalah sistem pernafasan meliputi
merencanakan kegiatan mobilisasi kepada pengembangan kompresi atelectasis dari
pasien. Mobilisasi adalah kegiatan pembentukan edema dengan pasien posisi
fundamental keperawatan yang supine dan kelemahan fungsi paru, reflek
membutuhkan pengetahuan dan batuk, dan drainase tidak bekerja dengan
ketrampilan untuk menerapkan secara baik ketika pasien dalam posisi supine
efektif untuk pasien sakit kritis. Mobilisasi (Vollman, 2010). Hal ini akan berdampak
dapat menghasilkan outcome yang baik pada oksigenasi karena kelemahan fungsi
bagi pasien seperti meningkatkan paru akibat imobilisasi.
pertukaran gas, mengurangi angka VAP, Saturasi oksigen merupakan salah
mengurangi durasi penggunaan ventilator, satu indikator dari status oksigenasi.
dan meningkatkan kemampuan fungsional Saturasi oksigen adalah kemampuan
jangka panjang (Vollman, 2013). haemoglobin mengikat oksigen (Kozier,
Ketidakstabilan hemodinamik 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi
merupakan salah satu tantangan untuk saturasi oksigen yaitu jumlah oksigen yang
perawat dalam melakukan mobilisasi pada masuk ke paru-paru (ventilasi), kecepatan
pasien kritis. Untuk menyeimbangkan difusi, dan kapasitas haemoglobin dalam
antara risiko dan manfaat dari mobilisasi membawa oksigen (Widiyanto, 2014).
pada pasien kritis maka perawat harus Diharapkan bahwa mobilisasi akan
menentukan jenis mobilisasi yang tepat, meningkatkan transportasi oksigen pasien,
memperhatikan penyakit tertentu, karena efek positif dari posisi tegak pada
mengkaji faktor risiko, menentukan waktu ventilasi alveolar dan perfusi.
sesi mobilisasi, mengurangi kecepatan saat
melakukan mobilisasi yang dapat Pengaruh mobilisasi progresif level I
mempengaruhi respon sistem terhadap tekanan darah
kardiovaskular (Vollman, 2013). Berdasarkan hasil uji dependent t test
menunjukkan bahwa ada pengaruh
7
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
8
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
didapatkan ada pengaruh sebelum dan saturasi oksigen responden karena transpor
setelah pemberian mobilisasi progresif oksigen membaik.
dengan nilai signifikan p value = 0,000.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Simpulan dan Saran
Zakiyyah (2016) setelah dilakukan Karakteristik jenis kelamin
mobilisasi progresif level I pada pasien responden pada penelitian ini mayoritas
kritis terpasang ventilator di ruang ICU adalah perempuan, karakteristik responden
RSUD dr. Moewardi Surakarta terdapat terbanyak berada pada usia >65 tahun, dan
peningkatan pada parameter saturasi karakteristik diagnosa responden paling
oksigen secara signifikan (p=0,000). banyak menderita stroke hemoragi. Hasil
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian menunjukkan ada pengaruh
penelitan Ozyurek (2012) yang berjudul mobilisasi progresif level I terhadap
“Respiratory and Hemodinamic Response tekanan darah pada pasien kritis dengan
to Mobilization of Critically ill Obese penurunan kesadaran. Tekanan darah
Patients” mobilisasi secara signifikan antara sebelum dan setelah mobilisasi
dapat meningkatkan SpO2 p = 0,02 (p < progresif level I terdapat
0,05). Penelitian ini melakukan 37 sesi peningkatan.Saturasi oksigen sebelum dan
mobilisasi pada 31 responden yang setelah mobilisasi progresif level I terdapat
mengalami obesitas. Sebelum dilakukan peningkatan.
mobilisasi rata-rata nilai SpO2 98%
menjadi 99% setelah dilakukan mobilisasi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan
Mobilisasi memiliki manfaat yang sebagai masukan intervensi keperawatan
berbeda pada tiap sistemnya. Pada sistem untuk meningkatkan tekanan darah dan
respirasi mobilisasi berfungsi SpO2 pada pasien kritis dengan penurunan
meningkatkan frekuensi dan kedalaman kesadaran yang dirawat diruang ICU.
pernapasan, meningkatkan ventilasi Untuk mengurangi faktor perancu
alveolar, menurunkan kerja pernapasan dan (confounding factor) baik dari tim medis,
meningkatkan pengembangan diafragma. responden maupun peneliti disarankan
Sehingga pemberian mobilisasi diharapkan peneliti selanjutnya memodifikasi
mampu meningkatkan transpor oksigen ke penelitian tentang mobilisasi progresif ini
seluruh tubuh pasien (Rifai A, 2015). dan memperdalam jangkauan penelitiannya
Saturasi oksigen merupakan salah bisa dengan menggunakan mobilisasi
satu indikator dari status oksigenasi saat progresif di ruangan lain atau pada pasien
pasien di posisikan head of bed gravitasi dengan diagnosa medis yang spesifik untuk
menarik diafragma ke bawah sehingga memperhatikan status hemodinamik
memungkinkan ekspansi paru yang lebih responden saat dilakukan tindakan
baik saat klien berada dalam posisi head of mobilisasi progresif.
bed, sehingga proses pernapasan akan
bekerja baik(Kozier, 2009). Kemudian DaftarPustaka
rotasi lateral dilakukan untuk Almeida, M Pavan, Rodringues. (2009.
meningkatkan ventilasi parudan perfusi ke The Hemodinamic, Renal Excretory
jaringan dan untuk mengoptimalkan and Humoral Changes Induced By
pertukaran gas. Rotasi Lateral selain Resting in the Left Lateral Position
meningkatkan fungsi fisiologis, in Normal Pregnant Women during
mengurangi atelektasis, meningkatkan Gestation.
mobilisasi, mencegah kerusakan kulit,
meningkatkan oksigenasi juga dapat Pengaruh Stimulasi Snesori terhadap Nilai
membantu pemulihan (Zakiyyah, 2014). GCS pada Pasien Cedera Kepala di
Berdasarkan uraian tersebut mobilisasi Ruang NeuroSurgical Critical Care
progresif level I dapat meningkatkan Unit RSUP Dr. Hasan Sadikin
9
JurnalPerawat Indonesia, Volume1No 1, Hal1-10, Mei 2018 Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
10
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
ABSTRACT
Patient with critical condition had high morbidity and mortality rate.
This condition is worsened by long term immobilization. Instability vital sign
made nurses stationed delayed mobilization activities in ICU. Progressive
mobilization must be started for ICU patient to decrease respiratory
function, level of awareness and cardiovascular function. The objective of
this study was to identify progressive mobilization activities on blood
pressure parameters among critical patients in ICU. The design of this study
was quai experiment design.
Thirty respondents were included to the study using concequtive
sampling. Progressive mobilization was given with head of bed 300 (HOB
300), head of bed450 (HOB 450) with passive range of motion, continued with
right and left lateral position. Anova repeated measurement was used to
identify mean difference each of blood pressure. The result of this study
show there is two moment sistolic change between HOB 300 to HOB 450 and
HOB 450 to right lateral position (3,3%). There is nine moment diastolic
change between HOB 450 to right lateral position (16,7%).
20
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
21
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
pada penelitian ini adalah pasien tama akan diukur tekanan darah
yang berusia lebih dari 18 tahun pasien di posisi awal kemudian
dengan nilai Mean Arterial diukur pada posisi HOB 300, lalu
Pressure (MAP) >55<140, tekanan diukur kembali pada posisi HOB
sistolik berkisar 90 – 180 mmHg, 450, kemudian diukur pada posisi
saturasi oksigen ≥ 90%. lateral kanan dan kiri. Pada
Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini dilihat beda rerata
adalah pasien dengan perburukan tekanan darah sistolik maupun
keadaan dengan nilai MAP <55 diastolik disettiap perubahan
mmHg, saturasi oksigen <88% dan posisi. Penelitian ini dianalisa
sistolik >200 mmHg. secara univariat dan bivariat.
Variabel penelitian ini, Analisis univariat
yaitu variabel bebas (independent mengkategorikan umur, jenis
variable) yaitu mobilisasi progresif kelamin,dan mode ventilator. Pada
yang terdiri dari kegiatan analisis bivariat menggunakan uji
perubahan posisi dari HOB 300, anova repeated measured7. Yaitu
HOB 45 , lateral kanan dan lateral
0 melihat perubahan tekanan darah
kiri.Variabel terikat (dependent sistolik dan diastolik di setiap
variable) yaitu tekanan darah tahapan perubahan posisi.
sistolik dan diastolik. Instrumen
yang digunakan pada penelitian HASIL DAN BAHASAN
ini adalah bed site monitor, lembar Pengaruh pemberian mobilisasi
observasi dan algoritma mobilisasi progresif terhadap nilai sistolik
progresif.Tekhnik mengumpulkan dan diastolik
data pada penelitian ini pertama –
Tabel 1. Pengaruh pemberian mobilisasi progresif terhadap nilai sistolik dan
diastolik
Variabel Perubahan Posisi Beda 95% CI P
Mean Perbedaan
Lower Upper
Sistolik Posisi awal-HOB 30 0 -1.96 -8.47 4.54 1.0
HOB 300- HOB 450 1.80 -3.92 7.52 1.0
HOB 450- Lateral kanan -1.66 -6.81 3.47 1.0
Lateral kanan –lateral kiri 3.06 -2.38 8.51 0.982
Diastolik Posisi awal-HOB 30 0 0.33 -1.95 2.61 0.767
HOB 300- HOB 450 2.10 -0.01 4.21 0.052
HOB 450- Lateral kanan 0.30 -3.41 4.01 0.870
Lateral kanan –lateral kiri 0.63 -2.43 3.70 0.676
Pada Tabel 1 diperoleh dari tekanan darah pasien di
uji statistik nilai p pada semua ICU.Menurut Kozier, hemodinamik
posisi baik variabel sistoli dan pada setiap rentang usia berbeda-
diastolik menunjukkan angka beda, pada penelitian ini tampak
lebih dari 0,05 sehingga pada pada perbedaan tekanan darah
penelitian ini Ho diterima secara baik sistolik maupun diastolik.
statistik tidak ada perubahan Pada usia dewasa tekanan darah
yang signifikan antara variabel sistolik berkisar 90 – 140 mmHg
mobilisasi progresif dengan sedangkan tekanan diastolik 60-
22
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
23
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
24
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016
25