Disusun oleh:
Muhammad Rayi Wicaksono
1102014170
Pembimbing:
dr. Uus Rustandi, Sp. An-KIC
dr. Ruby Satria Nugraha, Sp. An., M.Kes
dr. Rizky, Sp. An
PENDAHULUAN
Insiden tak terduga merupakan hal yang lumrah terjadi di pusat pelayanan intensif.
Monitor yang digunakan di Intensive Care Unit (ICU) mampu menyediakan informasi dalam
format numerik dan gelombang. Tiga dekade terakhir telah tampak peningkatan usaha dan
sumber yang signifikan untuk meningkatkan tampilan data pada layar monitor di ICU. Pada
penanganan pasien kritis, monitoring merupakan pelayanan harian yang esensial pada setiap
pasien ICU, dalam usaha mengoptimalisasi hemodinamik, ventilasi, suhum nutrisi dan
ICU (Intensive Care Unite) adalah ruang rawat di rumah sakit dengan staf dan
perlengkapan khusus yang ditujukan untuk mengelola pasien kritis akibat suatu proses
perburukan suatu penyakit, komplikasi, pasca bedah, trauma yang mengancam jiwa dimana
terjadi telah terjadi disfungsi satu atau lebih organ (terutama organ vital) yang masih
reversibel dengan terapi yang agresif. Pasien sakit kritis tersebut membutuhkan alat bantu
pernapasan, obat vasoaktif atau butuh alat bantu seperti terapi pengganti ginjal.
Identifikasi adanya resiko pasien menjadi kritis di ruang perawatan perlu dilakukan
agar ketika masuk di ICU masih memungkinkan untuk pulih. Pemantauan dan penanganan
awal yang segera juga perlu dilakukan ketika pertama kali diidentifikasi maupun saat di
Poin penting penanganan pasien kritis di ICU adalah untuk memastikan pasokan
oksigen ke jaringan mencukupi. Di sisi lain, pemeliharaan suhu normal adalah hal yang
sangat penting dan harus dipantau secara berkala. Tujuan dari pemantauan hemodinamik ini
adalah untuk menyediakan data yang baik dalam optimalisasi kerja organ dan mencegah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
fisiologis yang mengarah ke disabilitas/kecacatan atau kematian dalam beberapa menit atau
beberapa jam.
Pasien yang sakit kritis adalah pasien yang memiliki salah satu risiko besar akan
kematian; keparahan penyakit harus dideteksi sejak awal dan mengambil langkah yang tepat
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang perawatan dengan tingkat resiko
kematian pasien yang tinggi. Tindakan keperawatan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan
untuk menyelamatkan pasien. Pengambilan keputusan yang cepat ditunjang data yang
merupakan hasil observasi dan monitoring yang kontinu oleh perawat. Tingkat kesibukan dan
standar perawatan yang tinggi membutuhkan manajemen ICU dan peralatan teknologi tinggi
yang menunjang.
Perawatan Intensif Care Unit merupakan pelayanan keperawatan yang saat ini sangat
perlu untuk di kembangkan di Indonesia yang bertujuan memberikan asuhan bagi pasien
dengan penyakit berat yang potensial reversibel, memberikan asuhan pada pasien yang
memerlukan observasi ketat dengan atau tanpa pengobatan yang tidak dapat diberikan
diruang perawatan umum memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien dengan potensial
atau adanya kerusakan organ umumnya paru mengurangi kesakitan dan kematian yang dapat
3
2.2 Penilaian Awal Pasien Kritis
Dokter jaga ruangan atau perawat perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang
pasien yang beresiko dan berkembang menjadi kritis, gejala dini pasien yang berpotensi
kritis, pemantauan pasien yang beresiko kritis, melakukan monitoring selama di perjalanan
Beberapa kelompok pasien beresiko tinggi menjadi kritis oleh karena asal
monitoring yang tidak lengkap atau karena penanganan yang kurang optimal. Pasien-pasien
seperti ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius terhadap tanda perburukan serta
perlunya tindakan yang sesuai dengan segera untuk menghentikan proses perburukan
tersebut.
Pasien yang beresiko menjadi kritis yaitu : Pasien emergensi, komorbid serius seperti
penyakit jantung, penyakit paru, pasca bedah mayor, pasca bedah disertai komorbid
Sebagian besar pasien sebelum masuk perawatan ICU mempunyai riwayat difungsi fisiologis
patofisiologis yang utama sebelum terjadi henti jantung adalah gejala respiratorik, metabolik,
jantung dan neurologik dan hal ini biasanya berhubungan. Riwayat klinik yang berdasarkan
kriteria fisiologis telah diidentifikasi menghasilkan protokol dasar pengawasan atau sistem
skoring untuk mendiagnosis ancaman atau timbulnya penyakit kritis. Sebagai contoh adalah
4
Sistem Skor dari bagian ICU Cambridge yang disebut ‘Modified Early Warning
Score’(MEWS).
Sebagian besar pasien dengan disfungsi multi organ kadang-kadang sulit dilakukan
identifikasi adanya keadaan patologis yang menjadi penyebabnya. Namun, sekali waktu
seorang pasien dipikirkan akan mengalami keadaan kritis, dengan segera dokter yang
merawat agar bekerja sama dengan tim yang merawat atau dengan tim dokter ICU untuk
Walaupun penanganan awal dapat dibagi sebagaimana yang ditulis di bawah ini,
proses pada individu biasanya terjadi secara simultan sehingga perlu terus mendapat
perawatan mulai dari bangsal, ruang operasi atau pada bagian emergensi. Pembagian yang
dimaksud adalah:
Penanganan segera
Penilaian utuh
Transfer ke ICU
Perawatan awal di ICU
Penanganan keluarga pasien ICU
sebagai berikut :
c. Menerima rujukan dari level yang lebih rendah & melakukan rujukan ke level yang
lebih tinggi
5
e. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan
pasien.
Staf yang mengelola ICU terdiri dari Tim yang diketuai oleh seorang
intensivist/spesialis anestesi, berkolaborasi dengan dokter spesialis terkait, dokter jaga ICU
dan perawata terlatih ICU. Staf tersebut dituntut untuk memahami teknologi kedokteran,
fisiologi, farmakologi dan kedokteran konvensional dengan terus kolaborasi erat bersama
tenaga medis lainnya seperti rehab medis, gizi, laboratorium, radilogi, dan lain-lain.
Sarana dan prasarana ICU rumah sakit yang terbatas sedangkan kebutuhan pelayanan
ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas pasien
yang akan masuk ICU. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan.
Bila kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia. Kepala ICU
menentukan berdasarkan prioritas medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Pada
dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih
diharapkan reversible (pulih kembali) mengingat ICU adalah tempat perawatan yang
memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga (yang khusus). Kebutuhan
pelayanan di ICU adalah tindakan resusitasi jangka panjang yang meliputi dukungan hidup
untuk fungsi fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas), breathing (fungsi pernapasan),
Circulating (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, disertai dengan
Meskipun prosedur masuk dan keluar ICU telah ditetapkan oleh rumah sakit namun
dalam pelaksanaannya, prosedur masuk ICU, indikasi masuk ICU, kontra indikasi masuk
ICU dan kriteria keluar ICU sangat perlu di sosialisasikan dan di pahami kepada seluruh
6
tenaga di Rumah sakit baik perawat di IGD, ruangan rawat biasa, IBS, laboratorium,
radiologi dll agar tidak menjadi konflik dalam proses masuk dan keluar pasien ICU. Keluarga
juga perlu mendapat edukasi sebelum pasien masuk ke ICU tentang prosedur, resiko dan
Dalam keadaan terbatas tinggal satu tempat tidur tersedia sedangkan ada 1 atau lebih
pasien yang perlu perawatan ICU maka diambil kebijakan, pasien yang memerlukan terapi
intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan
pemantauan intensif (prioritas 2) penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit
hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan petioritas masuk ICU.
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan
tertitrasi, seperti : dukungan / bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ / system yang
lain, infuse obat obat vasoaktif / inotropik, obat anti artimia, serta pengobatan lain secara
kontinyu dan tertitrasi. Sebagai contoh antara lain : sepsis berat, gangguan keseimbangan
asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa, hipoksemia, infark miokard akut. Terapi
Kelompok pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat
beresiko nila tidak mendapatkan terapi intensif segera. Contoh pasien yang menderita
7
penyakit dasar jantung parum gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah mengalami
pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena
Kelompok pasien ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada
golongan ini sangat kecil. Contoh pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit
infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan nafas, atau pasien penyakit jantung, penyakit
paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini
hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai
Pengecualian dengan pertimbangan luar bias am dan atas persetujuan Kepala ICUm
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa
pasien golongan demikian sewaktu- waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas
ICU yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga).
8
Gambar 1. Penggolongan prioritas pasien ICU
a. Prioritas 1
Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang memerlukan terapi intensif dan
agresif seperti Gangguan atau gagal nafas akut , Gangguan atau gagal sirkulasi, Gangguan
b. Prioritas 2
Pemantauan atau observasi intensif secara ekslusif atas keadaan-keadaan yang dapat
menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital Misalnya Observasi intensif
pasca bedah operasi : post trepanasi, post open heart, post laparatomy dengan
komplikasi, Observasi intensif pasca henti jantung dalam keadaan stabil , dan Observasi
c. Prioritas 3
9
Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang mempunyai harapan kecil
untuk penyembuhan (prognosa jelek). Pasien kelompok ini mugkin memerlukan terapi
intensif untuk mengatasi penyakit akutnya, tetapi tidak dilakukan tindakan invasife
yang sangat menular, misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak
rutin
Tingkat 1
• Pasien yang kondisinya berisiko memburuk dan memerlukan observasi klinis secara
kebutuhannya dapat dipenuhi dengan anjuran dan dukungan dari tim perawatan klinis
Tingkat 2 (HCU)
Pasien yang memerlukan pemantauan yang lebih mendetail (missal tekanan darah
arteri invasif, CVP). Bantuan untuk kegagalan sistem organ tunggal, termasuk
Pasien-pasien pasca operasi tertentu (misal setelah operasi besar pada pasien-pasien
berisiko tinggi)
Tingkat 3 (ICU)
• Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (intubasi trakea dan ventiasi
mekanis)
• Pasien-pasien dengan MOFS (multiple organ failure syndrome)
10
• Ancaman/kegagalan sistem pernafasan: Gagal nafas, impending gagal nafas.
• Ancaman/kegagalan sistem hemodinamik: Shock
• Ancaman/kegagalan sistem syaraf pusat: Stroke, penurunan kesadaran.
• Overdosis obat, reaksi obat dan intoksikasi: Depresi nafas
• Infeksi berat : sepsis
11
Gambar 3. Penanganan dan manajemen awal kategori pasien ICU
kepada keluarga.
Pemeriksaan fisik dari seluruh aspek fisiologis dan data demografi minimal 1 kali
sehari.
Observasi dan monitoring rutin → EKG, tekanan darah arteri, CVP, tekanan darah a.
pulmonalis, fungsi ginjal, neurologis, fungsi hati, ventilasi mekanis, sedasi dan
12
Adapun indikasi keluar ICU antara lain sebagai berikut :
g. Pasien/keluarga memerlukan terapi yang lebih gawat mau masuk ICU dan tempat
penuh.
13
2.9 Kekhawatiran Klinis Umum dalam Pengobatan Perawatan Klinis
1. GAGAL NAPAS
Gagal napas dapat diartikan sebagai gangguan pertukaran gas yang cukup berat yang
membutuhkan intervensi terapeutik akut. Hal ini menyebabkan terganggunya pertukaran
oksigen di dalam alveolus menimbulkan hipoksemia. Eliminasi karbondioksida (CO 2) bisa
saja dalam keadaan normal atau meningkat namun pada keadaan yang berat dapet
menganggu pengeluaran CO2itu sendiri yang menyebabkan hiperkapnia. Hipoksemia terjadi
apabila kadar gas CO2 dalam arteri mencapai 75-80 mmHg dalam keadaan pasien dapat
bernapas dalam ruangan normal.
a. Tatalakasana
Penanganan gagal napas salah satunya dengan menanganai penyakit yang
mendasari. Hipoksemia dapat diterapi dengan oksigen dan tekanan jalan napas
positif. Hiperkarbia dirawat dengan mesin ventilasi apabila penanganan
farmakologis tidak memberikan hasil yang baik. Langkah umum lainnya dapat
menggunakan aerosol bronkodilator, antibiotik intravena, dan diuretik untuk
kelebihan cairan seta terapi untuk meningkatkan fungsi jantung dengan bantuan
nutrisi.
2. EDEMA PARU
Edema paru merupakan akibat dari transudasi cairan yang berpindah dari pembuluh
dara kapiler paru menuju ruangan intersisial. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik serta permeabilitas pembuluh darah kapiler yang dipengaruhi oleh kadar
albumin.
a. Tatalakasana
Penanganan edema paru salah satunya pada kasus kardiogenik edema paru
dapat diberikan diuretik untuk meperbaiki kelebihan cairan,sedangkan untuk
terapi farmakologis lainnya dapat diberikan oksigen, morfin, golongan nitrat dan
inotrop seperti dobutamin atau milrion, dengan mengurangi tekanan atrium kiri,
kongesti pulmo dapat berkurang. Terapi tekanan udara positif dapat meningkatkan
oksigenasi. Apabila terjadi kongesti paru yang diakibatkan oleh iskemia koroner
akut, revaskularisasi dapat dianjurkan.
14
Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan troponin, elektrokardiogram (EKG), serta
riwayat klinis. Perioperatif akan sedikit sulit dan bergantung dengan kadar troponin
dalam darah.
a. Tatalaksana
Apabila tidak terdapat kontraindikasi tatalaksana ST-Elevation Myocard
Infarct (STEMI) adalah trombolisis dan percutaneous coronary intervention
(PCI). Oksigen disiapkan apabila terjadi penurunan saturasi. Pada tatalaksana
STEMI difokuskan terhadap terapi reperfusi cepat. Untuk tindakan operatif dapat
dilakukan angiografi atau operasi bypass arteri koroner.
4. INFEKSI PADA RUANG ICU
Infeksi merupakan penyebab utama kematian di ICU. Infeksi serius mungkin bersifat
“community acquired” atau didapat setelah masuk yang tidak berhubungan dengan
penyakit awal yang diderita. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapatkan di
rumah sakit yang berkembang setidaknya selama 48 jam. Sebagian besar infeksi
nosokomial muncul dari flora bakteri endogen pasien. Pada pasien kritis banyak yang
terinfeksi bakteri strain resisten. Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif biasanya terkait dengan penggunaan kateter yang tidak higienis atau akibat dari
obstruksi urin. Dengan perhatian serius pada kebersihan tangan, perhatian penempatan
aseptik kateter vena setral, serta melepas kateter kandung kemih dapat menurunkan
infeksi nosokomial. Elevasi rutin kepala tempat tidur juga menurunkan infeksi pneumonia
terkait ventilator. Nutrisi yang baik dapat menurunkan potensi bakteri melewati usus yang
dapat mengakibatkan sepsis.
15
16
17
Gambar 4. Patogen penyebab infeksi nosokomial
18
5. SYOK SEPTIK
Konferensi Konsensus SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS mendefinisikan syok septik
akibat sepsis ang terkait dengan hipotensi (sistolik < 90mmHg, MAP < 60 mmHg, atau
tekanan darah sistemik < 40 mmHg) meskipun resusitasi cairan cukup.
Syok septik biasanya ditandai oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat dan disfungsi
seluler yang luas. Berbeda dengan jenis syok lainnya (hipovolemik, kardiogenik,
neurogenik, neurogenik, atau anafilaksis), disfungsi seluler pada syok septik tidak selalu
terkait dengan hipoperfusi. Sebagai gantinya, blok metabolisme di tingkat seluler dan
mikrosirkulasi dapat menyebabkan gangguan oksidasi sel.
a. Tatalaksana
Syok merupakan keadaan darurat medis yang membutuhkan penanganan medis
segera. Terdapat tiga langkah penangan yakni: (1) kontrol dan tagani infeksi
dengan antibiotik intravena, drainase abses,debridemen jaringan nekrotik, (2) jaga
perfusi dengan cairan intravena, inotropik, dan vasopresor, (3) pengobatan
suportif apabila terdapat komplikasi seperti ARDS, gagal ginjal, perdarahan
gastrointestinal, dan DIC.
Pemberian antibiotik empiris pada pasien dengan imunokompromais harus
berdasarkan jenis pathogen yang menyebabkan imunitas menurun. Vankomisin
dapat diberikan jika infeksi terkait dengan kateter intravaskular. Klindamisin atau
metronidazol dapat diberikan pada pasien neutropenia atau curiga abses rektum.
Apabila pada pemeriksaan radiologi terdapat gambaran infilrat pada paru, terapi
empiris yang dapat diberikan adalah trimethoprim-sulfamethoxazole dan
eritromisin. Untuk melihat perfusi yang tidak adekuat dapat dipantau dari kadar
laktat darah. Transfusi Packed Redblood Cell (PRC) diberikan untuk menjaga
kadar hemoglobin (Hb) setidaknya 8 g/dl, terlebih pada pasien dengan nilai
caridac output (CO) rendah atau pasien dengan saturasi oksigen pada vena sentral
dibawah target. Pemberian cairan intravena koloid lebih cepat mengembalikan
volume intravaskular dibandingkan dengan cairan kristaloid namun sebaliknya
tidak memberikan mnfaat yang signifikan. Vasopresor dapat diberikan apabila
MAP <65 mmHg atau pada kondisi kadar lactat darah tinggi. Pemberian
norepinefrin dapat diberikan dengan memantau kadar gula darah dengan target <
180 mg/dl.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. America college of Surgeons. Advandcenve Trauma Life support for doctors, 7 th
2. Buttereorth, JF., Mackey, DC., Wasnick, JD. 2018. Morgan &Mikhail’s Clinical
6. Mangku G., Senapathi TGA., Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Jakarta :
from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28926/4/Chapter%20II.pdf
9. Sukoco B., Penentuan rute Optimal menuju lokasi pelayanan gawat darurat,
20
21