Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

KERATITIS

Oleh :
Tsamara Zakiyyah
11151030000074

Pembimbing :
dr. Ria M , SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


RUMAH SAKIT UMUM CHASBULLAH ABDUL MADJID
KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Tsamara Zakiyyah


NIM : 11151030000074
Judul Referat : Keratitis

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Bekasi, Juli 2019

Pembimbing

dr Ria M, SpM

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kahadirat Allah SWT, tuhan semesta alam,
yang dimana berkat rahmat, berkah, dan kasih sayang yang selalu dicurahkan-Nya, penulis
dapat menyelesaikan sebuah referat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Mata di Rumah Sakit Umum Chasbullah Abdul Majid Kota Bekasi dengan judul
“KERATITIS” dengan Alhamdulillah tepat waktu. Dan tidak lupa sholawat serta salam
penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir
zaman.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr Ria, SpM selaku dokter pembimbing saya yang
telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikirannya dalam membimbing pembuatan dan
penyelesaian referat ini. Serta saya memohon maaf apabila referat ini masih terdapat
kekurangan dan beberapa kesalahan dalam pembuatannya, karena penulis masih jauh dari
kesempurnaan.
Demikian yang saya sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca, saya
ataupun sejawat yang sedang menempuh kegiatan klinik di RSUD Bekasi.

Bekasi, Juli 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................................................. 1


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................................ 2
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... 3
DAFTAR ISI............................................................................................................................................ 4
BAB 1 : PENDAHULUAN................................................................................................................. 5
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 6
2.1 Struktur Kornea .......................................................................................................................... 6
2.2 Definisi Keratitis ........................................................................................................................ 7
2.3 Etiologi Keratitis ........................................................................................................................ 7
2.4 Klasifikasi Keratitis .................................................................................................................. 7
2.5 Keratitis Bakterialis .................................................................................................................. 9
2.6 Keratitis Jamur ........................................................................................................................... 11
2.7 Keratitis Virus ............................................................................................................................ 12
2.9 Diagnosis Banding Keratitis ................................................................................................... 16
BAB 3 : KESIMPULAN ..................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 18

4
5
BAB I
PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 39 juta orang mengalami


kebutaan. Kebutaan kornea menempati urutan kelima sebagai penyebab kebutaan penduduk di
dunia setelah katarak, glaukoma, degenerasi makula, dan kelainan refraksi. Berdasarkan
Riskesdas 2013, prevalensi kebutaan nasional adalah sebesar 0,4%. Prevalensi kekeruhan
kornea adalah 5,5%, dan ditemukan terbanyak di provinsi Bali, diikuti oleh Yogyakarta dan
Sulawesi Selatan, sedangkan terendah oleh provinsi DKI Jakarta. Insidensi infeksi kornea di
negara maju adalah 2 – 11 / 100.000 per tahun dan cenderung meningkat karena penggunaan
lensa kontak. Insidensi di negara berkembang dijumpai jauh lebih tinggi.1 Keratitis infeksi
merupakan kondisi mengancam penglihatan yang bersifat progresif, penanganan yang telah
maksimal masih sering menyebabkan kondisi berlanjut menjadi ulserasi kornea, abses stroma,
bahkan rupture bola mata. Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang
tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata depan dan terdiri diri ada
beberapa lapis seperti lapisna epitel, membrane bowman, stroma, membrane descemen, dan
lapisan endotel. Fungsi utama kornea adalah untuk membiaskan cahaya yang masuk ke dalam
bola mata, kemudian cahaya diterima di saraf retina dan pupil optik untuk diteruskan ke saraf
otak untuk proses penglihatan. Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-beda
tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak
ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat
merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan
dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat
agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Kornea


Kornea menutup 1/6 permukaan anterior bulbus oculi dan bersifat transparan sehingga
memudahkan cahaya masuk ke bulbus oculi. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
yang berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, yang masuk kedalam stroma kornea dan
menembus membran bowman.2 Kornea berisi epitel gepeng berlapis dengan mikrovili pada
lapisan luar, lapisan ini berisi feritin untuk melindungi terhadap kerusakan DNA. Membran
basal tebal (membran bowman) dibawahnya membantu mencegah infeksi. Membran bowman
ini merupakan kolagen yang tersusun tidka teratur dan lapisan ini tidak mempunyai daya
regenerasi. Lapisan stroma kornea terletak dibawah membran basal, pada lapisan ini berisi 60
lamela tipis; serabut kolagen yang tersusun dalam kumpulan paralel, dengan kumpulan pada
satu lapis yang tersusun pada sudut yang tepat dengan kumpulan disebelahnya. Susunan inilah
yang menyebabkan kornea menjadi transparan. Sel endotel kornea melapisi permukaan dalam
stroma, ditunjang oleh lamina basal yang tebal (membran descement). Membran descement
merupakan memberan aselular, dan bersifat sangat elastis juga berkembang terus seumur
hidup. Lapisan endotel melekat pada membran descement melalui zonula okleden, endotel
ini tidak mempunyai daya regenrasi.3 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sstem pompa endotel terganggu sehingga terjadi dekompensais endotel dan
terjadi edema kornea. Selain itu, kornea juga bersifat avaskular, sifat kornea yang avaskuler
inilah membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan di sekitarnya yaitu humor akuos
melalui proses difusi, lapisan air mata, dan pembuluh darah limbus. Kornea merupakan
bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar, masuk
kornea

6
Gambar 1. Lapisan pada kornea 3

2.2 Definisi Keratitis


Keratitis adalah peradangan pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatannya menurun. Infeksi pada
kornea bisa mengenai lapisan superficial yaitu pada lapisan epitel atau lapisan bowman
hingga profunda jika sudah mengenai lapisan stroma. 4

2.3 Etiologi Keratitis


Keratitis pada umumnya disebabkan atau didahului oleh : 4
a. Infeksi bakteri, virus maupun jamur
b. Defisiensi vitamin A
c. Reaksi konjungtivitis menahun
d. Trauma dan kerusakan epitel kornea
e. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak, sehingga dapat menyebabkan infeksi
f. Mata kering
g. Terdapat benda asing di mata terutama pada kornea
h. Daya imunitas yang berkurang
i. Musim panas dan daerah yang lembab
j. Pemakaian kortikosteroid
k. Penderita herpes genital

2.4 Klasifikasi Keratitis


Keratitis dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal. Klasifikasi keratitis berdasarkan
lapisan yang terkena yaitu: 4
a. Keratitis pungtata

7
Keratitis ini merupakan keratitis yang terkumpul didaerah membran bowman, dengan
infiltrat berbentuk bercak bercak halus. Keratitis pungtata ini disebabkan oleh hal yang
tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, akne rosasea, herpes
simpleks, herpes zoster, blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinia, trakoma, dry eyes,
lagoftalmos, hingga keracunan obat (seperti neomisin). Keratitis pungtata biasanya
bilateral dan berjalan kronis. Kelainan dapat berupa :
 Keratitis pungtata superfisial, merupakan radang pada kornea (bentuk kecil dan
multipel) akibat infeksi bakteri (chlamydial, staphylococcal), defisiensi vitamin B2,
infeksi virus herpes, trauma kimia, sinar ultraviolet, sindrom dry eye, blefaritis,
keratopati lagoftalmos, keracunan obat topikal, dan pemakaian lensa kontak. Keluhan
yang dapat dikeluhkan pasien adalah mata sakit, penglihatan silau, mata merah dan
rasa kelilipan. Pengobatan bergantung pada penyebabnya, namun biasanya pasien
diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata, dan sikloplegik.

 K1eratitis pungtata superfisial Thygeson merupakan keratitis yang jarang terjadi
dengan bentuk kelainan bulat atau lonjong berwarna putih abu abu. Keluhan yang
dapat timbul adalah fotofobia dan gangguan penglihatan

 Keratitis pungtata subepitel


b. Keratitis marginal
Keratitis ini merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiba dapat menyebabkan keratitis tipe ini. Keratitis ini
merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokok. Keratitis ini biasanya
terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati
dengan baik maka akan mengakibatkan ulkus kornea. Pada anamnesis, pasien akan mengeluh
sakit, disertai dengan rasa seperti kelilipan, lakrimasi, dan fotofobia berat. Pada pemeriksaan
mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus

memanjang, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.4

c. Keratitis interstitial
Keratitis ini ditemuakn pada jaringan kornea yang lebih dalam pada kedua mata.
Keratitis interstitial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket kedalam stroma kornea dan
akibat tuberkulosis. Keratitis ini merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan
neovaskularisasi. Keluhan yang dapat timbul adalah fotofobia, lakrimasi, kelopak

8
meradang, sakit mata, dan penurunan visus. Pada pemeriksaan tampak seluruh kornea
keruh, terdapat injeksi siliar disertai serbukan pembuluh kedalam yang memberikan
gambaran “Salmon Patch”. 4
Selain itu, keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis
bakteri, keratitis jamur, keratitis virus dan keratitis alergi. Dan juga dapat diklasifikasi
berdasarkan bentuk klinisnya yaitu keratitis flikten, keratitis sika, keratitis neuroparalitik, dan
keratitis numularis. 6

2.5 Keratitis Bakterialis


Keratitis ini biasanya disebabkan oleh beberapa bakteri seperti Staphylococcus,
Pseudomonas, Haemophillus, Streptococci, dan Enterobacteriacea. Faktor predisposisi yang
biasanya dapat menyebabkan keratitis bakterial adalah pemakaian lensa kontak, trauma dan
kontaminasi obat tetes. Gejala yang dapat dirasakan pada keratitis bakterial adalah nyeri tiba
tiba pada mata, mata merah, penglihatan berkurang, fotofobia, dan sekret pada mata.5
Keratitis akibat Streptococcus pneumoniae menimbulkan sebuah infiltrat kelabu dengan batas
cukup tegas yang cenderung menyebar tidak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea,
biasanya akan tampak hipopion. Obat yang disarankan untuk bakteri ini adalah moxifloxacin,
gatifloxacin, atau cefazolin. 7

Gambar 2. Keratitis bacterial

Pada pemakaian lensa kontak, keratitis ini biasanya disebabkan bakteri Pseudomonas
aeruginosa, Acanthamoeba. Gejala yang sering dirasakan pada keratitis karena pemakai lensa
kontak ini adalah sakit mata, mata merah, lakrimasi, fotofobia, dan mata kotor. Pada pemeriksaan
fisik mata dapat ditemukannya infiltrat, edema kornea, kelopak bengkak, kornea

9
tampak keruh, dan flare di bilik mata depan.4 Keratitis karena Pseudomonas aeruginosa ini
akan berupa infiltrat kelabu atau kuning ditempat epitel kornea yang rusak, lesi ini cenderung
akan cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim proteolitik yang dihasilkan
bakteri ini, dan terkadang tampak hipopion besar yang akan berkembang menjadi ulkus.
Kuman ini sering berhubungan dengan pemakaian kontak lens terutama jenis yang extended-
wear. Obat yang dapat diberikan untuk keratitis karena pseudomonas adalah moxifloxacin,
gatifloxacin, ciprofloxacin, tobramisin atau gentamisin. Terapi obat ini umumnya dimulai
dengan isethionate propamidine topikal 1% secara intensif dan salah satu dari
polyhexamethylene biguanide (0,01 - 0,2%) atau tetes mata neomycin forte.5 Pencegahan
yang dapat dilakukan pada pengguna lensa kontak adalah selalu cuci tangan dan keringkan
sebelum memakai kontak lens, lepas kontak lens ketika berenang atau mandi, jangan
menggunakan larutan saline untuk membersihkan lensa, jaga kontak lens tetap bersih, jangan
menggunakan kontak lens dalam waktu yang lama, dan lain sebagainya.

Keratitis yang disebabkan Staphylococcus aureus, Streptococcus epidermidis, dan


streptococcus alpha-haemolyticus, prevalensinya meningkat karena pengobatan kortikosteroid
topikal . lesinya sering indolen, dan mungkin disertai dengan hipopion dan sedikit infiltrat pada
kornea sekitar. Lesi seringkali superfisial. Biasanya memberikan gambaran ulkus kornea yang
berbentuk oval berwarna putih kekuningan yang dikelilingi oleh kornea yang relatif jernih. Untuk

pengobatannya dapat diberikan seftriakson atau sefazolin. 5

Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan
atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi
dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul
efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi
pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea.
Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi
nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma.7
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan
sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon. Toksin bakteri yang
lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea
yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.7
Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin8

2.6 Keratitis Jamur

Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis
ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. Beberapa
spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu Aspergilus fusarium, Cefalosporium,
dan Candida albicans.8,9

Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam
bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi
cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.8
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-
abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak
elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat
mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi
tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya
ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.10
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut8,9 :
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di
bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.

Gambar 8. Keratitis Aspergilus Gambar 9. Keratitis Candida

Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang
tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama
dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat
terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%,
fluoconazol 2 % .
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga
obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara
lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga
daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus.
Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil,
bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi
keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.10
2.7 Keratitis Virus

1. Keratitis Herpes Simplek


Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek
dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin
yang mengandung virus.3
Manifestasi klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan.
lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam,
malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi
keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun
ke atas.8
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion
otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris
berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea
sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang
berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan
kondisi imunosupresi.5
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan
meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang lebih
besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah
infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam
kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.5
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus
pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak
dapat dibedakan.8
Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang
terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada
awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada
riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang
merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens.5
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya foto-fobia.3
Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan
bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis
pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ
kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik
merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian
kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat
dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang
lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.5
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik
menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus
menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur.
Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari.5
Gambar 3. Lesi dendritik Gambar 4. Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi
mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV.
Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya
tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan
dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu,
namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting,
dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.5
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya
infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika
terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau
fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda
khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh
reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.
Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.5
Gambar 5. Lesi dengan Gambar 6. Keratitis
Wessely Ring Diskiformis

Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan
terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan
membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh
terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam
stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan
merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan
pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama
kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun
pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan
dapat merusak.5
Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus
berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal
tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi
1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat
pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai
keracunan obat.8,9,10
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit stroma
dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik.
Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada
orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes
simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease
study).8,9,10
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea,
umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal
dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika
memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting
sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.8,9
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma
bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi
kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.8,9
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai
secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus
tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena
lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes
simplek.8,9
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus dalam 2
tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.8,9
2.9 Diagnosis banding keratitis
Diagnosis banding keratitis pada umumnya adalah kelainan mata merah visus turun
lainnya yaitu glaukoma akut dan uveitis akut. Berikut adalah perbedaan diantara ketiganya,4
Gejala subjektif Glaukoma akut Uveitis akut Keratitis akut
Injeksi Silier + ++ +++
Injeksi konjungtiva ++ ++ ++
Kekeruhan kornea +++ - +/+++
Kelainan pupil Midriasis non reaktif Miosis iregular Normal / miosis
Kedalaman BMD Dangkal Dalam Dalam
TIO Tinggi Rendah Normal

16
BAB III
KESIMPULAN

Keratitis merupakan peradangan kornea. Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapis


kornea yang terkana yaitu keratitis pungtata, keratitis marginal dan keratitis interstisial.
Keratitis sendiri umumnya disebabkan oleh adanya infeksi, yaitu infeksi bakteri, jamur,
acanthamoeba, dan virus. Gejala yang umumnya timbul adalah nyeri pada mata, silau, mata
berair, terdapat lesi pada kornea, dan penglihatan berkurang. Namun gejala dan tanda pada
pemeriksaan ini tetap bergantung pada penyebab dari keratitis tersebut. Keratitis bakteri paling
sering disebabkan oleh Pseudomonas dan staphylococcal, dengan ciri khas lesinya masing
masing. Terapi untuk keratitis bakterialis tergantung pada penyebab mikroorganismenya,
biasanya dapat diberikan cefazolion, gentifloxasin, dan lain sebagainya. Keratitis jamur
biasanya berkaitan dengan trauma tumbuh tumbuhan yang mengenai kornea dan juga
pemakaian steroid topical pada mata. Lesinya tidak begitu khas dan diagnosis keratitis jamur
hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% pada
kerokan kornea. Keratitis virus yang terjadi biasanya disebabkan oleh adenovirus, herpes virus
dan varisella zoster virus, biasanya herpes virus dapat sembuh sendiri, namun apabila imun
host sedang rendah maka dapat timbul ulkus kornea. Bentuk khas pada keratitis virus adalah
keratitis dendritik. Jenis keratitis lainnya adalah keratokonjungtivitis flikten,
keratokonjungtivitis sika, keratokonjungtivitis vernal, keratitis lagoftalmos, dan keratitis
filamentosa. Adapun untuk diagnosis banding dari keratitis adalah penyakit mata merah visus
turun lainnya yaitu glaukoma akut dan uveitis akut.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono, dr. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian Kemenkes. Desember
2013
2. Drake, Richard L. Gray : Dasar-dasar anatomi. Singapore : Elservier. 2013
3. Peckham, Michele. At a Glance : Histologi. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2014
4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi kelima. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2015
5. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftamologi Umum. Jakarta : EGC. 2015
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual of Ocular
Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
p. 67-129
7. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology Umum. Edisi 17.
Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48
8. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd edition.
Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60

9. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101


10. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual of Ocular
Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
p. 67-129

18

Anda mungkin juga menyukai