Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KEPERAWATAN RUANG ICU

Disusun oleh :
Khoiriyah
Muhammad Izzudin Safa
Nurwasilatus sa’adah
Rike Nurfadilah
Ririn Dwi Septiarini
Tasya Ramanda Efendi

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH
TAHUN 2020
KONSEP INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

A. DEFINISI ICU

ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan dalam
keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit operasi
kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat.

Unit perawatan kritis atau ICU adalah merupakan unit perawatan khusus yang membutuhkan
keahlian dalam penyatuan informasi, membuat keputusan dan dalam membuat prioritas, karena
saat penyakit menyerang sistem tubuh, sistem yang lain terlibat dalam upaya mengatasi adanya
ketidakseimbangan. Esensi asuhan keperawatan kritis tidak berdasarkan kepada lingkungan yang
khusus ataupun alat-alat, tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada
pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologik dan psikologik (Hudak & Gallo, 2012).

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan pelengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi bagi
yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf dalam mengelola keadaan
tersebut. Saat ini di Indonesia, rumah sakit kelas C yang lebih tinggi sebagai penyedia pelayanan
kesehatan rujukan yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.

Adapun beberapa kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah:

1. Pasien berat, kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan
ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, contoh gagal
nafas berat, syok septik.
2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensif invasive atau non invasive sehingga
komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi, contoh paska bedah besar dan luas,
pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal, atau lainnya.

3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi akut, sekalipun
manfaat ICU sedikit, contoh pasien dengan tumor ganas metastasis dengan komplikasi,
tamponade jantung, sumbangan jalan nafas.

Sedangkan pasien yang tidak perlu masuk ICU adalah:

1. Pasien mati batang otak (dipastikan secara klinis dan laboratorium).

2. Pasien yang menolak terapi bantuan hidup.

3. Pasien secara medis tidak ada harapan dapat disembuhkan lagi, contoh karsinoma
stadium akhir, kerusakan susunan saraf pusat dengan keadaan vegatatif.

B. FUNGSI DAN TUJUAN ICU


1. Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :

 ICU Medik

 ICU trauma/bedah

 ICU umum

 ICU pediatrik

 ICU neonatus

 ICU respiratorik

Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien yang
sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU
umum, dengan pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan
utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi
peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

2. Tujuan ICU
Berikut adalah tujuan ICU :

 Menyelamatkan kehidupan

 Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan


monitaring evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data
yang didapat dan melakukan tindak lanjut.

 Meningkatkan kualitas pasien dan mempertahankan kehidupan.

 Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.

 Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan


pasien

C. JENIS-JENIS ICU

Pelayanan ICU dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. ICU Primer
Ruang Perawatan Intensif primer memberikan pelayanan pada pasien yang memerlukan
perawatan ketat (high care). Ruang perawatan intensif mampu melakukan resusitasi
jantung paru dan memberikan ventilasi bantu 24-48 jam. Kekhususan yang dimiliki ICU
primer adalah:

 Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat, dan ruang
rawat pasien lain.

 Memiliki kebijakan/kriteria pasien yang masuk dan yang keluar

 Memiliki seorang anestesiologi sebagai kepala

 Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru


 Konsulen yang membantu harus siap dipanggil

 Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat pelatihan
perawatan intensif, minimal satu orang per shift

 Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk


kemudahan diagnostic selama 24 jam dan fisioterapi (Depkes RI, 2006).

 ICU Sekunder

Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus mampu memberikan ventilasi
bantu lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
Kekhususan yang dimiliki ICU sekunder adalah:

 Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang rawat
lain

 Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan

 Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi setiap saat
bila diperlukan

 Memiliki seorang Kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensif care atau bila
tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung
paru (bantuan hidup dasara dan hidup lanjut)

 Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun

 Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas
tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup

 Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk


kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi

 Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi (Depkes RI, 2006).
 ICU Tersier

Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek perawatan intensif, mampu
memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi
system yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu melakukan
bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskuler invasif dalam jangka
waktu yang terbatas. Kekhususan yang dimiliki ICU tersier adalah:

 Tempat khusus tersendiri di dalam rumah sakit

 Memilik kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan

 Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat bila
diperlukan

 Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensif care atau dokter ahli
konsultan intensif care yang lain, yang bertanggung jawab secara keseluruhan. Dan
dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut)

 Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman
kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama tiga tahun

 Mampu melakukan semua bentuk pemantuan dan perawatan intensif baik invasive
maupun non-invasif

 Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk


kemudahan diagnostic selama 24 jam dan fisioterapi

 Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medic dan perawat agar
dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien

 Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medic, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian (Depkes RI, 2006).

 
a. INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU

Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan
pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat
prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU.

1. Kriteria Masuk

 Golongan pasien prioritas 1

Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif
dan tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat penunjang fungsi organ, infus, obat
vasoaktif/inotropic, obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah
kardiotoraksis, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang
mengancam nyawa.

 Golongan pasien prioritas 2

Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat


beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif
menggunakan pulmonary arterial catheter. Sebagai contoh pasien yang mengalami
penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah
mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas 2 tidak
mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa berubah.

 Golongan pasien priorotas 3

Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya,
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di
ICU pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh ntara lain pasien dengan
keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial tamponande, sumbatan
jalan nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi
kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi
atau resusitasi jantung paru.

 Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk
pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan dengan catatan bahwa pasien
golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas
terbatas dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang 
memebuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan
hanya demi perawataan yang aman saja, pasien dengan perintah “Do Not
Resuscitate”, pasien dalam keadaan vegetative permanen, pasien yang ddipastikan
mati batang otak namun hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat
dirawat di ICU demi menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan orga
untuk donasi.
2. Kriteria Keluar

 Penyakit pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak memerluka terapi
atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.

 Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak bermanfaat
atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien
tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus (Kemenkes RI, 2011).

D. ALUR PELAYANAN ICU

Pasien yang memerlukan pelayanan ICU berasal dari:

 Pasien dari Instalasi Gawat Darurat (IGD)

 Pasien dari High Care Unit (HCU)

 Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain seperti kamar bersalin, ruang
endoskopi, ruang dialysis, dan sebagainya.

 Pasien dari bangsal (Ruang Rawat Inap)


D. KARAKTERISTIK PERAWAT ICU
Karakteristik Perawat yang bekerja di lingkungan keperawatan intensif meliputi:

 Mengelola pasien mengacu pada standar keperawatan intensif dengan konsisten

 Menghormati sesama sejawat dan tim lainnya

 Mengintegrasikan kemampuan ilmiah dan ketrampilan khusus serta diikuti oleh nilai
etik dan legal dalam memberikan asuhan keperawatan

 Berespon secara terus menerus dengan perubahan lingkungan

 Menerapkan ketrampilan komunikasi secara efektif

 Mendemonstrasikan kemampuan ketrampilan klinis yang tinggi

 Menginterpretasiakan analisa situasi yang kompleks

 Mengembangkan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga

 Berpikir kritis

 Mampu menghadapai tantangan

 Mengembangkan pengetahuan dan penelitian

 Berpikir ke depan

 Inovatif

a. Peran Perawat Kritis

Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan pasien yang berkualitas
tinggi dan komprehensif. Untuk pasien yang kritis, waktu adalah sesuatu hal yang vital. Proses
keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat keperawatan kritis
dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat (Talbot, 1997).
ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan dalam
keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit operasi
kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat. (Hartshorn et all, 1997).

Peran perawat kritis sebagai berikut:

1. Advokat
Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu membantu
mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kecelakaan dan melindungi klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari
pengobatan atau tindakan diagnostik tertentu (Potter dan Perry, 2005).
2. Care giver
Perawat memberikan bantuan secara langsung pada klien dan keluarga yang mengalami
masalah kesehatan (Vicky, 2010).
3. Kolaborator
Peran ini dilakukan perawat karena perawat bekerja bersama tim kesehatan lainnya seperti
dokter, fisioterapis, ahli gizi, apoteker, dan lainnya dalam upaya memberikan pelayanan yang
baik (Vicky, 2010).
4. Peneliti
Peran sebagai pembaharu dan peneliti dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan sistematis, dan terarah sesuai metode pemberian pelayanan (Vicky,
2010). Selain itu juga meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan, baik
dalam praktik maupun dalam pendidikan keperawatan (Aryatmo, 1993).
5. Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan, dan mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian layanan dapat terarah serta sesuai
kebutuhan (Vicky, 2010).
6. Konsultan

Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah keperawatan terutama
mengenai keamanan pasien dan keluarga (Vicky, 2010).

b. KOLABORASI TIM KEPERAWATAN KRITIS


1. Kolaborasi Tim dalam Keperawatan Kritis
Dasar pengelolaan  pasien ICU adalah pendekatan  multidisiplin dari beberapa disiplin
ilmu terkait  yang dapat memberikan  kontribusinya  sesuai dengan bidang keahliannya 
dan bekerjasama  di dalam tim. Tim tersebut terdiri  dari:

 Spesialis anestesi

 Dokter spesialis

 Perawat ICU

 Dokter ahli mikrobiologi klinik

 Ahli farmasi klinik

 Ahli nutrisi

 Fisioterapis

 Tenaga lain sesuai klasifikasi pelayanan ICU

2. Tim Multidisiplin  mempunyai  5 (lima)  karakteristik:

 Staf medik dan keperawatan yang tanggung  jawab

 Staf medik, keperawatan, farmasi klinik, farmakologi  klinik, gizi klinik dan
mikrobiologi klinik yang berkolaborasi  pada pendekatan

 Mempergunakan standar, protocol  atau guideline  untuk memastikan  pelayanan yang


konsisten  baik oleh dokter, perawat  maupun staf  yang lain.

 Memiliki dedikasi untuk melakukan koordinasi dan komunikasi.


 Menekankan pada pelayaanan yang sudah tersertifikasi, pendidikan, penelitian,
masalah etik dan pengutamaan  pasien (Kemenkes, 2011)

3. Peran koordinasi dan integrasi dalam kerjasama  tim


Mengingat keadaan pasien yang sedang dalam kondisi kritis, maka sistem  kerja tim
multidisiplin  diatur sebagai  berikut :

 Dokter primer yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan
memberi pandangan atau usulan

 Ketua tim melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan,  memberi


instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan  usulan
anggota  tim lainnya.

 Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan mempertimbangkan usulan-


usulan anggota  tim dan memberikan perintah baik tertulis  dalam status  maupun
lisan.

 Untuk menghindari kesimpangsiuran/tumpang tindih pelaksanaan pengelolaan pasien,


maka perintah  yang dijalankan  oleh petugas hanya yang berasal  dari ketua tim saja
(Kemenkes,2011).

c. Konsep Holism Dalam Perawatan Kritis

Salah satu teori yang mendasari praktik keperawatan profesional adalah memandang manusia
secara holistik, yaitu meliputi dimensi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual sebagai
suatu kesatuan yang utuh. Apabila satu dimensi terganggu akan mempengaruhi dimensi lainnya.
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, konsep holistik ini merupakan salah satu konsep
keperawatan yang harus di pahami oleh perawat agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas kepada klien.

Dengan menggunakan konsep holistik perawat dapat melihat apa saja dampak lingkungan
perawatan kritis yang mengganggu pasien. Sebagai contoh dalam lingkungan unit perawatan
intensif (intencive care unit, ICU) perawat dapat menggambarkan lingkungan ICU dalam hal
fisik dan emosional yang dapat mengganggu pasien. Sehingga perawat dapat mengendalikan
lingkungan untuk meningkatkan kesembuhan pasien serta dapat memberikan intervensi kritis
bagaimana cara mengatasinya (Hudak&Gallo, 2012).

1. Gambaran Fisik ICU


Secara umum gambaran fisik lingkungan ICU terdapat monitor yang berkedip, ventilator,
pompa intravena (IV), kebisingan dari peralatan dan banyak orang yang berbicara disisi
tempat tidur, cahaya terang dan langkah yg tergesa-gesa di ruangan ramai. Oleh sebab itu,
asuhan keperawatan kritis dibentuk untuk mengatasi pasien sakit dan cidera sangat serius
agar mendapatkan asuhan keperawatan yang fokus untuk meningkatkan ketahanan hidup.

2. Gambaran Emosional ICU


Gambaran emosional lingkungan ICU sama pentingnya dengan elemen fisik, dan bahkan
lebih penting untuk hasil pasien. Elemen ini mencakup gejala yang timbul pada pasien
karena dirawat di ICU demikian juga dengan pola komunikasi semua orang yang
memberikan perawatan di unit yang menimbulkan stres ini. Bahkan untuk pengunjung
yang baru pertama kali datang ke ICU, perasaan berlebihan tentang tempat tersebut dapat
menimbulkan rasa takut. Lingkungan ICU menciptakan rasa rapuh karena ketergantungan
fisik dan emosional, kurangnya informasi dan perawatan yang menyamakan semua
pasien dapat menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.

Pengidentifikasian gambaran dan respons emosional di lingkungan ICU sangatlah penting karena
banyak yang dapat ditangani oleh intervensi keperawatan. Langkah pertamanya adlah
pengenalan dan pemahaman terhadap paradoks yang terjadi di lingkungan ICU. Lingkungan
yang tidak bersahabat tersebut harus menjadi tempat penyembuhan bagi pasien, keluarga dan
perawat. Perawat perlu mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan dan
kemungkinan bencana yang dapat ditimbulkan oleh lingkungan pada pasien yang keadaan
fisiologis dan emosionalnya telah terganggu. Mengubah lingkungan yang kemungkinan tidak
bersahabat menjadi lingkungan yang menyembuhkan adalah sebuah tantangan bagi semua
perawat perawatan kritis.
Selain itu, kualitas emosional di lingkungan ICU sering kali ditentukan oleh tingkat pembagian
tanggung jawab, kolaborasi dan caring yang diperlihatkan oleh seluruh tim perawatan kesehatan.
Hidup dan mati pasien secara harfiah bergantung pada tingkat komunikasi dokter dan perawat
tentang pasien tersebut. Perhatian terhadap struktur organisasi yang membantu kolaborasi ini dan
kemitraan yang sejajar antara dokter dan perawat sebagai coleader unit adalah penting.
Menciptakan budaya yang menerapkan komunikasi yang saling menghargai antara semua
anggota tim perawatan kesehatan adalah standar kesempurnaan yang merupakan unsur penting
untuksemua lingkungan penyembuhan. Perawat pemula perlu belajar dan mempraktiakn
ketrampilan advokasi pasien selama ronde klinis di samping tempat tidur di ICU. Cara keluarga
diperlakukan dan dihormati sebagai mitra penuh dalam perawatan adalah ukuran penting dari
kualitas emosional dan budaya positif di ICU.
 TATALAKSANA COVID-19 DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

A. Permasalahan Pasien COVID-19 di ICU

Penderita COVID-19 dapat muncul dengan berbagai gejala penyakit virus. Tetapi umumnya pasien
masuk ke ICU diakibatkan oleh ARDS dan/atau sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia. Pasien
asimtomatis, dengan gejala ISPA dan pasien dengan pneumonia ringan bukanlah ranah perawatan
ICU.

a. Onset: gejala pernapasan baru atau memburuk dalam waktu satu minggu dari peristiwa klinis yang
diketahui.

b. Chest imaging (Rontgen dada, CT scan, atau Ultrasonografi (USG paru): Opasitas bilateral, yang tidak
sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai efusi, lobar atau kolaps paru, atau nodul.

c. Asal edema: Gagal napas yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh gagal jantung atau kelebihan
cairan. Diperlukan penilaian objektif (misal Ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema
hidrostatik jika tidak ada factor risiko.

d. Oksigenasi (Dewasa):

 ARDS ringan: Tekanan parsial oksigen (PaO2)/Fraksi inspirasi oksigen (FiO O, atau non-
ventilated)
 ARDS sedang: PaO2/FiO O, atau non-ventilated)
 ARDS berat: PaO2/FiO O, atau non-ventilated)
 Jika PaO2 tidak tersedia, SpO (termasuk pasien yang non-ventilated)

2. Sepsis

Sepsis sendiri dapat tampil dalam 2 wujud, sepsis dan syok sepsis. Keduanya didefinisikan sebagai
berikut:

a. Sepsis Dewasa: disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon host yang
tidak terkendali terhadap infeksibaik yang dicurigai maupun yang terbukti, dan disertai disfungsi
organ yang dibuktikan dengan peningkatan skor Sepsis-related Organ Failure Assessment (SOFA)
(Tabel 2). Skor SOFA awal diasumsikan sebagai 0, jika tidak diketahui.
Tabel 2. Skor Sepsis -relatedOrganFailureAssessment (SOFA ).21

Anak: Adanya infeksi/kecurigaan infeksi dan kriteria systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) >2, dimana salah satunya harus disregulasi suhu atau jumlah sel darah putih (Tabel
3).
Tabel 3. Systemicinfla mmatoryresponsesyndrome (SIRS ).21

a. Syok Sepsis o Dewasa: hipotensi yang menetap meskipun dengan resusitasi volume,
yang memerlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan tingkat laktat
serum >2 mmol/L.

o Anak: hipotensi yang disebabkan apapun (SBP <5th centile atau >2 SD dibawah normal sesuai
usia) atau 2-3 dari berikut: gangguan status mental; takikardia atau bradikardia (HR <90 bpm atau
>160 bpm pada bayi dan HR <70 bpm atau >150 bpm pada anak-anak); capillary refill memanjang
(>2detik) atau vasodilasi hangat dengan nadi yang kuat; takipnea; bercak-bercak di kulit atau
petechiae atau purpurea; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia or hipotermia.
B. Strategi Manajemen di ICU
Setelah melakukan deteksi dan intervensi dini. Penanganan pasien secara menyeluruh
perlu dievaluasi kembali untuk memberikan luaran pasien yang optimal. Society of
Critical Care Medicine mengeluarkan sekumpulan rekomendasi yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien COVID-19 di ICU. Rekomendasinya adalah sebagai berikut:

1. Pengendalian Infeksi dan Pengujian

a. Petugas ICU menggunakan masker respirator (respirator N95, FFP2, atau yang setara)
disertai dengan alat pelindung diri (APD) lain berupa sarung tangan, gaun kedap air dan
pelindung mata.

b. Perawatan ICU dilakukan pada ruangan dengan tekanan negative (atau di ruangan dengantekanan
normal, ventilasi yang cukup, dan pasien terisolasi dari pasien yang lain).

c. Intubasi pasien kritis dengan teknik rapid sequence intubation (RSI), disarankan dengan
menggunakan videolaryngoscope (bila tersedia), dan dilakukan oleh personel yang paling mahir di
dalam tim.

d. Gunakan barrier atau box aerosol bila tersedia.

e. Pada pasien yang terintubasi, pengambilan sampel sebaiknya dari aspirasi endotrakea
untuk mendapatkan sampel dari saluran nafas bawah.

f. Pengambilan sampel melalui bronkoskopi tidak direkomendasikan.

2. Hemodinamik

Pada pasien COVID-19 yang mengalami syok, lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu
kulit, waktu pengisian kembali kapiler darah, dan kadar laktat serum untuk menilai respons
terhadap cairan.

a. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, gunakan strategi pemberian
cairan konservatif dengan menggunakan balanced kristaloid.

b. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari penggunaan koloid.

c. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari penggunaan albumin
secara rutin untuk resusitasi.

d. Pilihan vasopressor utama adalah norepinefrin, tetapi dapat diganti dengan vasopressin atau
epinefrin.

e. Hindari penggunaan dopamin jika norepinefrin tersedia.

f. Target mean arterial pressure (MAP) 60-65 mmHg.


g. Jika penggunaan norepinefrin tidak mencapai MAP target, tambahkan vasopressin.

h. Pada pasien COVID-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi persisten, tambahkan
dobutamin.

i. Pada pasien COVID-19 dengan syok yang refrakter, gunakan kortikosteroid dosis rendah, seperti
hidrokortison 200 mg/hari

3. Ventilasi

a. Berikan suplementasi oksigen jika SpO2 < 92% dengan target SpO2. TIdak lebih dari 96%.

b. Pada pasien COVID-19 dengan gagal nafas hipoksemia akut yang tidak merespons terapi oksigen
konvensional, gunakan HFNC.

c. Jika tidak terdapat HFNC dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, dapat diberikan
suplementasi oksigen dengan NIV disertai dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi
mengenai jenis perangkat NIV yang lebih baik.

d. Segera lakukan intubasi dan ventilasi mekanik jika terjadi perburukan selama penggunaan
HFNC ataupun NIV.

e. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan volume tidal (TV) 4-8 ml/kgBB dengan
tekanan plateau (Pplat) < 30 cmH2O.

f. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan tekanan positif akhir
ekspirasi (PEEP) tinggi dan posisikan pada posisi tengkurap (prone) selama 12-16 jam per
hari.

g. Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP > 10 cmH2O.

h. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan strategi pemberian cairan konservatif.

i. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan pelumpuh otot bolus jika
diperlukan. Tetapi jika terdapat asinkroni ventilasi menetap, kebutuhan sedasi dalam, kebutuhan
posisi tengkurap, atau tekanan plateau tinggi yang menetap, gunakan pelumpuh otot kontinu
maksimal selama 48 jam.

j. Penggunaan N2O inhalasi tidak direkomendasikan.

k. Lakukan rekrutmen paru pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik, jika
terjadi hipoksemia persisten.

l. Terdapat beberapa strategi rekrutmen paru, tetapi hindari penggunaan strategi staircase.
m. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik, jika terjadi
hipoksemia persisten dapat coba diberikan inhalasi vasodilator paru sebagai terapi bantuan ( rescue).
Tetapi jika tidak terjadi perbaikan gejala, terapi ini perlu segera dihentikan

n. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik adalah indikasi terapi
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) jika terjadi hipoksemia refrakter setelah semua
upaya konvensional dilakukan.

4. Terapi

a. Pada pasien yang terventilasi mekanik dengan COVID-1 dan ARDS, pedoman Surviving Sepsis
Campaign (SSC) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik pada kasus yang
berat dengan tingkat rekomendasi yang lemah.

b. Pada pasien dewasa yang terventilasi mekanik dengan COVID-19 dan gagal napas (tanpa ARDS),
pedoman SSC tidak menyarankan penggunaan kortikosteroid sistemik.

c. Dalam tatalaksana dukungan hemodinamik pada pasien dengan COVID-19


dan syok refrakter, pedoman SSC merekomendasikan untuk
menggunakan terapi kortikosteroid dosis rendah dibandingkan tidak ada terapi
kortikosteroid.

d. Pada pasien COVID-19 dalam ventilasi mekanik, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotic empiric
dengan monitoring dan de-eskalasi ketat.

e. Gunakan parasetamol untuk control suhu.

f. Hati-hati dalam penggunaan terapi intravenous immunoglobulins (IVIG), convalescent plasma,


da lopinavir/ritonavir.

Rekomendasi ini cukup komprehensif tetapi kurang praktis. Untuk kepentingan praktik klinis ICU,
penanganan akan dirangkum dalam format FASTHUGSBID. Metode FASTHUGSBID adalah salah
satu metode penanganan di ICU yang dapat membantu mengurangi kesalahan dalam penanganan,
yang meliputi:

1. Nutrisi dan Cairan

• Strategi cairan konservatif


Berbagai literature yang membahasCOVID-19 menunjukkan bahwa strategi cairan konservatif memberi
manfaat positif, tetapi tidak ada yang membahas secara terperinci bagaimana teknis pelaksanaan
strategi yang dimaksud. Studi oleh Silverside dkk memberi gambaran tentang strategi pemberian cairan
konservatif pada pasien ARDS. Terdapat beberapa kriteria klinis dimana cairan diberikan selama pasien
diperkirakan masih akan mendapatkan manfaat positif. Kita dapat menggunakan salah satu
atau beberapa kriteria, tergantung pada ketersediaan fasilitas yang ada. Kriteria yang dimaksud
adalah:
1. Extravascular Lung Water Index (EVLW) > 7 ml/kgBB.
2. Stroke Volume Variation (SVV)>10 pada pemeriksaan passive leg rising (PLR).
3. Pulse Pressure Variation (PPV) > 13% pada pemeriksaan PLR.
4. Intrathoracic Blood Volume Index (ITBVI) <850 ml.

Pada keadaan dimana terdapat keterbatasan sumber daya kesehatan dapat dilakukan strategi berikut:

1. Pemberian kristaloid 200-500 ml jika terdapat tanda hipoperfusi (Laktat serum > 4
mmol/L, MAP<50 mmHg, atau produksi urin <0.5 ml/kgBB selama 2 jam).

2. Pembatasan regimen cairan maintenance sebesar 80% dari perhitungan kebutuhan harian.

• Pemberian nutrisi
Nutrisitidak dibahas dalam kebanyakan literature yangtersedia. Hanya tersedia sebuah literature
dari Cina yang mengharuskan pemberian nutrisi yang cukup. Pedoman l WH menganjurkan
untuk memberikan nutrisi dalam 24-48 jam sejak pasien dirawat di ICU. Tetapi
hal ini tidak diterangkan lebih lanjut.

Tidak semua pasien dapat langsung mendapatkan asupan nutrisi, karena itu diperlukan penilaian
risiko dan manfaat pemberian nutrisi. Penilaian risiko nutrisi dapat menggunakan skor nutric
(Tabel 4-6). Pasien dengan risik tinggi harus segera mendapatkan nutrisi, jika tidak dapat
diberikan nutrisi enteral (EN), maka pasien perlu mendapatkan nutrisi parenteral (PN). Jika
pasien dengan risiko rendah, pemberian nutrisi dapat ditunda untuk mengurangi
risiko penggunaan PN.

Pasienyang tidak memiliki kontraindikasi pemberian EN. Maka pasien diberikan makan biasa.
Kemudian untuk penentuan kebutuhan kalori harian dapat digunakan rule o thumb: 25-30
kkal/kgBB, disertai dengan pemberia protein yang cukup 1.5-2 gram/kgBB/hari. Sumber
kalori lainnya dititikberatkan pada pengurangan karbohidrat dan peningkatan kalori yang berdasar
dari lemak.
Tabel 4. Skor nutric.25

Tabel 5. Interpretasi
skor nutric
jika tidak
ada pemeriksaan
interleukin-6.25

Tabel 6. Interpretasi skor nutric jika tidak ada pemeriksaan interleukin-6.25

Pemberian EN sebaiknya menggunakan protokol. Penggunaan protokol


dapat meningkatkan kesuksesan dari EN. Terdapat beragam protokol
yang dapat digunakan, antara lain protokol Feed Early Enteral Diet
adequately for Maximum Effect (FEED ME) (Gambar 2) dan
Protein-Energy Provision via the Enteral Route in Critically Ill
Patients (PEP
uP). 28

Gambar 2. Dosisdan penyesuaiandosisprotokolFEEDME. 28

2. Analgesia

• Analgosedation untuk kenyamanan pasien. Agen yang digunakan umumnya


adalah morfin, fentanyl maupunremifentanil yang dititrasi berdasarkan
29,30
kebutuhan pasien. Kedalaman sedasi dapat diukur dengan beberapa
metode pengukuran. Umumnya klinisi ICU menargetkan Richmond
Agitation-Sedation Scale (RASS) (Gambar 3).31

• Tidak ada pedoman spesifik dalam pemberian analgesia pada pasien


COVID-19.
• Penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dicurigai dapat
mempermudah infeksi COVID-19 dan bahkan memperburuk perjalanpenyakit.
Hal ini dikaitkan dengan peningkatan reseptorangiotensin converting
enzyme II (ACE II) yang menjadireseptortempat virus berikatan dan
menginfeksi tubuh manusia. Tetapi hal ini tidak didasari oleh bukti
ilmiah yang kuat. Beberapa penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa
OAINS dapat membantu dalam penanganan pasien SARS yang juga
32,33
disebabkan oleh virus corona. Oleh karena itu, hal ini perlu
di waspadai. Penggunaan OAINS tidak dilarang selama terdapatindikasi
yang jelas dengan
mempertimbanganrisikodanmanfaat.

Gambar 3. Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS).34

3. Sedasi

• Sedasi pada pasien COVID-19 dengan ARDS harus diminimalkan untuk


memfasilitasi pemulihan yang lebih cepat. Oleh karena itu berkembang
konsep analgosedation, dengan maksud meningkatkan kenyamanan pasien dalam
menghadapi prosedur-prosedur ICU yang menimbulkan rasa sakit sehingga
kebutuhan obat sedasi murni pun berkurang. Penggunaan agen sedasi
dapat digunakan jika pasien perlu disedasilebih dalam, seperti pada kasus
asinkroni ventilasi mekanik. Asinkroni pada kasus ARDS
umumnya terjadi akibat strategi volume tidal rendah dan PEEP yang tinggi.35,36

• Penggunaan agen pelumpuh otot dapat digunakan jika pasien terjadi asinkroni
yang persisten setelah pemberian analgetik dan sedasi. Untuk
meminimalkan efek samping obat akibat dosis yang tinggi, dapat
dilakukan strategi balanced sedation menggunakan pelumpuh otot.36
Pelumpuh otot ini diberikan secara intermiten. Tetapi pada kasus
yang refrakter, dapat digunakan secara kontinu, selama durasi dibatasi
<48 jam. Hal ini terkait peningkatan mortalitas yang didapatkan
pada pasien yang diberikan pelumpuh otot selama lebih dari 48
22,36
jam saat dirawat di ICU.

4. Profilaksis Thromboemboli dan Regulasi Suhu

• Parasetamol adalah pilihan farmakologik dalam penatalaksanaan demam.Penggunaan


OAINS lain tidak dianjurkan mengingat risiko yang belum didapat
dikonfirmasi terkait dengan reseptorACE II yang menjadititik infeksi 2019-
nCoV.32,33

• Profilaksis thromboemboli dengan low molecular-weight heparin (lebih disarankan


jika tersedia) atau heparin 5000-unit subkutan dua kali sehari
pada remaja dan dewasa tanpa kontraindikasi. Bagi pasien dengan kontraindikasi,
gunakan profilaksis mekanis (alat kompresi pneumatik
20
intermiten).

5. Elevasi Kepala

• Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat tidur 30-45o).Hal ini
penting untuk memaksimalkan fungsi paru, mengurangi kejadian
pneumonia terkait ventilator (VAP) dan melancarkan drainase darah
20
dari otak.

6. Profilaksis Ulkus

• Agen blokade reseptorhistamin-2 atau proton-pump inhibitors terutama


pada pasien dengan faktor risiko perdarahan gastrointestinal (GI). Faktor risiko
perdarahan GI meliputi penggunaan ventilasi mekanik ≥48
jam, koagulopati, terapi penggantian ginjal, penyakit hepar, komorbiditas
multipel, dan skor kegagalan organ yang tinggi.20

• Gunakan kasur antidekubitus dan putar tubuh pasien setiap 2 jam untuk
mencegah ulkus dekubitus.20
7. Kontrol Glikemik

• Pertahankan target gula darah dalam rentang 120-180 mg/dl. Kontrol gula darah
yang terlalu ketat dapat menyebabkan risiko hipoglikemia dan perburukan
luaran pasien. Sebaliknya, gula darah yang terlalu tinggi diasosiasikan dengan
penurunan fungsi kognitif jangka panjang.37

8. Suplementasi Oksigen dan Spontaneous


Breathing Trial

• Berikan suplementasi oksigen 20,22,38


a. Segera berikan oksigen dengan nasal kanul atau facemask.

b. Jika tidak respon, gunakan HNFC.

c. NIV boleh dipertimbangkan jika tidak terdapatHFNC dan tidak ada


tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, tetapi harus disertai dengan NIV disertai
dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi mengenai jenis
perangkat NIV yang lebih baik.

d. Target SpO2 tidak lebih dari 96%.

e. Segera intubasi dan beri ventilasi mekanik jika terjadi perburukan


selama penggunaan HFNC ataupun NIV atau tidak membaik dalam waktu 1
jam.

• Pengaturan ventilator

a. Mode ventilasi dapat menggunakan volume maupunpressure based.

b. Volumetidal (VT) awal 8 ml/kgBB.

i. Titrasi VT dengan penurunan sebesar 1 ml/kgBB setiap 2 jam


sampai mencapai TV 6 ml/kgBB.

ii. Rentang VT yang disarankan adalah 4-8 ml/kgBB.

iii. Gunakan predicted body weight untuk menghitung VT. Adapun rumus
perhitungan predicted body weight adalah sebagai berikut:

• Laki-laki = 50 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])


• Perempuan = 45.5 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])
c. Laju nafas diatur dengan memperhitungan ventilasi semenit yang adekuat,
maksimal 35 kali per menit.

d. Tekanan plateau (Pplat) <30 cmH2O.


i. Periksa Pplat setiap 4 jam atau setelah perubahan PEEP dan
VT ii. Titrasi Pplat

Ø Jika Pplat > 30 cm H2O: turunkan TB sebesar 1ml/kg secara bertahap


(minimal = 4 ml/kg).
Ø Jika Pplat< 25 cm H2O dan VT< 6 ml/kg, naikkan VT sebesar 1
ml/kg secara bertahap sampai
Pplat>25cmH2O atau VT =6ml/kg.

Ø Jika Pplat < 30 dan terjadi asinkroni: boleh naikkan VT sebesar 1ml/kg
secara bertahap sampai 7 or 8 ml/kg selama Pplat tetap <
30 cm H2O.

e. Gunakan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) tinggi.


i. Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.

ii. Sesuaikan FiO2 dengan PEEP yang diberikan dengan menggunakan tabel
ARDSnet (tabel 7).
Tabel 7. PasanganPEEPdanFiO 2.

iii. TargetoksigenasiPaO 2 55 -80 mmHgatauSpO 2 88 -95 %.

• Jika terjadi hipoksemia refrakter

a. Lakukan rekrutmen paru

i. Posisikan tengkurap (posisi prone) selama 12-16 jam per hari.


ii. Hindari strategi staircase
b. Pertimbangkan pemberian inhalasi vasodilator paru sebagai terapi bantuan (rescue),
tetapi jika tidak terjadi perbaikan gejala, terapi ini perlu segera
dihentikan. Penggunaan N2O inhalasi tidak direkomendasikan.

c. Setelah semua upaya ventilasi mekanik konvensional dilakukan, segera


pertimbangkan pasien untuk mendapatkan terapi extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO) atau dirujuk ke pusat pelayanan yang dapat
memiliki fasilitas ECMO.

• Perawatan pasca intubasi


a. Intubasioral lebih dipilih dibandingkan intubasi nasal pada remaja dan orang
dewasa

b. Gunakan sistem suctioning tertutup; lakukan drainase secara berkala


dan buang kondensat dalam tabung

c. Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; jika pasien telah
terventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau rusak tetapi tidak secara rutin

d. Ubah heat moisture exchanger jika tidak berfungsi, kotor, atau


setiap 5-7 hari

e. Gunakan protokol penyapihan yang mencakup penilaian harian


untuk persiapan bernafas spontan

• Penyapihan ventilasi mekanik

a. Syarat penyapihan

i. PEEP ≤ 8 dan FiO 0,4 atau PEEP ≤ 5 dan FiO

ii. Usaha nafas adekuat

iii. Hemodinamik stabil tanpa topangan atau topangan minimal iv.


Patologi paru sudah membaik
f. Tehnik penyapihan

i. Gunakan T-piece atau CPAP ≤ 5 cmH2O dan PS ≤ 5 cmH2O


ii. Awasi toleransi selama 30 menit, maksimal 2 jam
Ø SpO2 > 90% dan/atau PaO2 > 60 mmHg
Ø VT > 4 ml/kgBB
Ø RR < 35 kali/menit
Ø pH > 7.3
Ø Tidak ada tanda kesulitan bernafas seperti laju nadi > 120
kali/menit, gerakan nafas paradoks, penggunaan otot-otot pernafasan
sekunder, keringat berlebih atau sesak.

iii. Jika terdapattanda intoleransi, lanjutkan ventilasi mekanik sesuai


pengaturan sebelum penyapihan

9. Pergerakan Usus

• Gunakan bowel movement protocol (BMP)


Lebih dari 75% pasien mengalami disfungsi saluran cerna. Disfungsi ini
dapat berupa diare, konstipasi maupunketidakmampuan menerima EN.
Hal ini diasosiasikan dengan kesulitan penyapihan ventilator,
translokasi bakteri, dan peningkatan durasi rawat. Warren dalam studinya
menunjukkan suatu strategi BMP yang dapat dipergunakan untuk mengoptimalkan
fungsi saluran cerna (Gambar
39
4).
Gambar 4. Bowel movement protocol.
10. Indwelling Catheter

• Gunakan checklist yang diverifikasi oleh real-time observer sebagai pengingat setiap langkah
yang diperlukan untuk pemasangan steril.

• Lepas kateter jika tidak diperlukan lagi.

• Ganti kateter secara reguler.

11. Obat dan De-eskalasi Obat

• Manajemen Syok
a. Lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu kulit, waktu pengisian kembali kapiler darah,
dan kadar laktat serum untuk menilai respons terhadap cairan.

b. Jika memungkinkan gunakan ekokardiografi ataupun monitor PiCCO2.

c. Gunakan strategi pemberian cairan konsevatif

Ø Gunakan balanced crystalloid.


Ø Albumin 5% dapat dipertimbangkan, tetapi tidak secara rutin.
Ø Hindari penggunaan koloid lain.

• Antibiotik

Pemberian antibiotic empiric terhadap pneumonia dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-
19 yang mendapatkan ventilasi mekanik. Regimen antibiotic empiric terbagi menjadi 2, regimen
antibiotic empiric pneumonia komunitas (Tabel 8) dan regimen antibiotic empiric terkait rumah sakit
dan ventilasi mekanik (Tabel 9).
Tabel 8.Regimenantibiotikempirikpneumoniakomunitas.

Tabel 9. Regimenantibiotikempirikterkaitrumah sakitdanventilasimekanik.


• Kortikosteroid
Kortikosteroid pilihan adalah hidrokortison 200 mg/24 jam. Kortikosteroid ini diberikan
hanya pada syok yang refrakter atau dapat dipertimbangkan jika terdapat tanda-tanda ARDS.
Steroid dapat menekan sistem imun sehingga memperlambat bersihan virus. Mengingat
patofisiologi COVID-19 diakibatkan oleh adanya badai sitokin, pemberian steroid dapat
menurunkan intensitas badai sitokin dan meringankan gejala.

• Antivirus
Terapi antivirus masih belum memiliki bukti yang kuat. WHO dan SCCM meminta kehati-
hatian dalampenggunaannya. Petunjuk penggunaan agen antivirus lebih jelas di bahas dalam
pedoman kesehatan yang digunakan oleh pemerintah China.

a. Alpha-interferon (5 juta UI/dosis ditambahkan 2 ml air steril, diberikan dengan inhalasi atomik
setiap 12 jam)

b. Lopinavir/ritonavir 400 mg/100mg /12 jam untuk orang dewasa selama maksimal 10 hari.

c. Ribavirin 500 mg intravena (IV)/8-12 jam untuk orang dewasa selama maksimal 10 hari (sebaiknya
dikombinasi dengan interferon)
d. Klorokuin (500 mg/12 jam selama 7 hari untuk orang dewasa usia 18-65 dengan berat badan >
50 kg; 500 mg/12 jam selama 2 hari lalu dilanjutkan 1 kali sehari selama 4 hari untuk
orang dewasa dengan berat badan <50 kg)

e. Arbidol 200 mg /8 jam untuk orang dewasa selama maksimal 10 hari.

Penggunaan lebih dari 2 jenis kombinasi antivirus tidak disarankan, karena dapat
memberikan efek samping yang besar.

Gunakan obat dengan efek samping terhadap kehamilan terkecil, jika diberikan pada
ibu hamil.

12. Lain-lain

a. Lakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan rRT-PCR setiap 2-4


hari untuk penegakan diagnosa dan memastikan kesembuhan.

b. Lakukan pengambilan sampel darah sebelum pemberian antibiotik


dosis pertama. Pengambilan darah ini penting,tetapi jangan menyebabkan
penundaan pemberian antibiotik dosis pertamalebih dari 1 jam.20

c. Pengawasan hemodinamik secara ketat untuk mengoptimalkan waktu


dilakukannya penyesuaian penanganan.20

d. Mobilisasi aktif pasien segera setelah kondisi pasien memungkinkan untuk mengurangi
insidens kelemahan terkait ICU. Terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRT) dapat
dipertimbangkan penggunaannya.

 
DAFTAR PUSTAKA

Carolyn, et all. 1997. Critical Care Nursing Seventh Edition. Philadelphia: Lippincott Company.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Standar Pelayanan Keperawatan di ICU.


Jakarta: Depkes

Doengoes, M. E. (2002). Nursing care plane: Guidelines for planning & documenting patient
care, 3rd edition, FA. Davis

Dossey, B. M. 2002. Critical Care Nursing: body-mind-spirit. (3rd ed.). Philadelphia: J. B.


Lippincott Company.

George. (1995). Nursing Theories (The Base for Profesional Nursing Practice), Fourth Edition.
USA : Appleton & Lange.

Hartshorn et all. 1997. Introduction To Critical Care Nursing Second Edition. Philadelphia: WB
Saunders Company.

Hidayat AA. (2004). Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Hudak, CM. Gallo, BM. 2012. Critical Care Nursing: A Holistic Approach. Edisi ke-8. Alih
Bahasa Subekti. Jakarta: EGC

Kemenkes. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. Diakses
pada 18 September 2013 melalui www.kemenkes.go.id

Mansjoer, A. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Marquis, BL & Huston, Cj. 1998. Management Decision Making For Nurses 3th Ed.
Philadelphia: JB Lippincott

Perry, Anne .G. & Potter, Patricia. A. 1997. Fundamental of Nursing : Concepts, process and
Practice (vol 2). Washington DC: The C.V. Mosby Company.
Sitorus, R.Y. 2005. Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit; Penataan Struktur
dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta: EGC

Talbot, Laura, dan Mary Meyers-Marquardt. 1997. Pengkajian Keperawatan Kritis ed 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tomey. Alligood M.R.(2006). Nursing Theorists and Their work. 6

Ed. USA : Mosby Inc.

Vicky. 2010. Keperawatan Gawat Darurat

Anda mungkin juga menyukai