Disusun oleh :
Khoiriyah
Muhammad Izzudin Safa
Nurwasilatus sa’adah
Rike Nurfadilah
Ririn Dwi Septiarini
Tasya Ramanda Efendi
A. DEFINISI ICU
ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan dalam
keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit operasi
kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat.
Unit perawatan kritis atau ICU adalah merupakan unit perawatan khusus yang membutuhkan
keahlian dalam penyatuan informasi, membuat keputusan dan dalam membuat prioritas, karena
saat penyakit menyerang sistem tubuh, sistem yang lain terlibat dalam upaya mengatasi adanya
ketidakseimbangan. Esensi asuhan keperawatan kritis tidak berdasarkan kepada lingkungan yang
khusus ataupun alat-alat, tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada
pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologik dan psikologik (Hudak & Gallo, 2012).
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan pelengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi bagi
yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf dalam mengelola keadaan
tersebut. Saat ini di Indonesia, rumah sakit kelas C yang lebih tinggi sebagai penyedia pelayanan
kesehatan rujukan yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.
1. Pasien berat, kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan
ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, contoh gagal
nafas berat, syok septik.
2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensif invasive atau non invasive sehingga
komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi, contoh paska bedah besar dan luas,
pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal, atau lainnya.
3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi akut, sekalipun
manfaat ICU sedikit, contoh pasien dengan tumor ganas metastasis dengan komplikasi,
tamponade jantung, sumbangan jalan nafas.
3. Pasien secara medis tidak ada harapan dapat disembuhkan lagi, contoh karsinoma
stadium akhir, kerusakan susunan saraf pusat dengan keadaan vegatatif.
ICU Medik
ICU trauma/bedah
ICU umum
ICU pediatrik
ICU neonatus
ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien yang
sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU
umum, dengan pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan
utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi
peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.
2. Tujuan ICU
Berikut adalah tujuan ICU :
Menyelamatkan kehidupan
C. JENIS-JENIS ICU
1. ICU Primer
Ruang Perawatan Intensif primer memberikan pelayanan pada pasien yang memerlukan
perawatan ketat (high care). Ruang perawatan intensif mampu melakukan resusitasi
jantung paru dan memberikan ventilasi bantu 24-48 jam. Kekhususan yang dimiliki ICU
primer adalah:
Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat, dan ruang
rawat pasien lain.
Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat pelatihan
perawatan intensif, minimal satu orang per shift
ICU Sekunder
Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus mampu memberikan ventilasi
bantu lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
Kekhususan yang dimiliki ICU sekunder adalah:
Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang rawat
lain
Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi setiap saat
bila diperlukan
Memiliki seorang Kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensif care atau bila
tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung
paru (bantuan hidup dasara dan hidup lanjut)
Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun
Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas
tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup
Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi (Depkes RI, 2006).
ICU Tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek perawatan intensif, mampu
memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi
system yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu melakukan
bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskuler invasif dalam jangka
waktu yang terbatas. Kekhususan yang dimiliki ICU tersier adalah:
Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat bila
diperlukan
Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensif care atau dokter ahli
konsultan intensif care yang lain, yang bertanggung jawab secara keseluruhan. Dan
dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut)
Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman
kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama tiga tahun
Mampu melakukan semua bentuk pemantuan dan perawatan intensif baik invasive
maupun non-invasif
Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medic dan perawat agar
dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien
Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medic, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian (Depkes RI, 2006).
a. INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU
Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan
pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat
prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU.
1. Kriteria Masuk
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif
dan tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat penunjang fungsi organ, infus, obat
vasoaktif/inotropic, obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah
kardiotoraksis, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang
mengancam nyawa.
Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya,
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di
ICU pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh ntara lain pasien dengan
keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial tamponande, sumbatan
jalan nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi
kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi
atau resusitasi jantung paru.
Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk
pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan dengan catatan bahwa pasien
golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas
terbatas dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang
memebuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan
hanya demi perawataan yang aman saja, pasien dengan perintah “Do Not
Resuscitate”, pasien dalam keadaan vegetative permanen, pasien yang ddipastikan
mati batang otak namun hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat
dirawat di ICU demi menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan orga
untuk donasi.
2. Kriteria Keluar
Penyakit pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak memerluka terapi
atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.
Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak bermanfaat
atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien
tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus (Kemenkes RI, 2011).
Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain seperti kamar bersalin, ruang
endoskopi, ruang dialysis, dan sebagainya.
Mengintegrasikan kemampuan ilmiah dan ketrampilan khusus serta diikuti oleh nilai
etik dan legal dalam memberikan asuhan keperawatan
Berpikir kritis
Berpikir ke depan
Inovatif
Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan pasien yang berkualitas
tinggi dan komprehensif. Untuk pasien yang kritis, waktu adalah sesuatu hal yang vital. Proses
keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat keperawatan kritis
dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat (Talbot, 1997).
ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan dalam
keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit operasi
kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat. (Hartshorn et all, 1997).
1. Advokat
Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu membantu
mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kecelakaan dan melindungi klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari
pengobatan atau tindakan diagnostik tertentu (Potter dan Perry, 2005).
2. Care giver
Perawat memberikan bantuan secara langsung pada klien dan keluarga yang mengalami
masalah kesehatan (Vicky, 2010).
3. Kolaborator
Peran ini dilakukan perawat karena perawat bekerja bersama tim kesehatan lainnya seperti
dokter, fisioterapis, ahli gizi, apoteker, dan lainnya dalam upaya memberikan pelayanan yang
baik (Vicky, 2010).
4. Peneliti
Peran sebagai pembaharu dan peneliti dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan sistematis, dan terarah sesuai metode pemberian pelayanan (Vicky,
2010). Selain itu juga meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan, baik
dalam praktik maupun dalam pendidikan keperawatan (Aryatmo, 1993).
5. Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan, dan mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian layanan dapat terarah serta sesuai
kebutuhan (Vicky, 2010).
6. Konsultan
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah keperawatan terutama
mengenai keamanan pasien dan keluarga (Vicky, 2010).
Spesialis anestesi
Dokter spesialis
Perawat ICU
Ahli nutrisi
Fisioterapis
Staf medik, keperawatan, farmasi klinik, farmakologi klinik, gizi klinik dan
mikrobiologi klinik yang berkolaborasi pada pendekatan
Dokter primer yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan
memberi pandangan atau usulan
Salah satu teori yang mendasari praktik keperawatan profesional adalah memandang manusia
secara holistik, yaitu meliputi dimensi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual sebagai
suatu kesatuan yang utuh. Apabila satu dimensi terganggu akan mempengaruhi dimensi lainnya.
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, konsep holistik ini merupakan salah satu konsep
keperawatan yang harus di pahami oleh perawat agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas kepada klien.
Dengan menggunakan konsep holistik perawat dapat melihat apa saja dampak lingkungan
perawatan kritis yang mengganggu pasien. Sebagai contoh dalam lingkungan unit perawatan
intensif (intencive care unit, ICU) perawat dapat menggambarkan lingkungan ICU dalam hal
fisik dan emosional yang dapat mengganggu pasien. Sehingga perawat dapat mengendalikan
lingkungan untuk meningkatkan kesembuhan pasien serta dapat memberikan intervensi kritis
bagaimana cara mengatasinya (Hudak&Gallo, 2012).
Pengidentifikasian gambaran dan respons emosional di lingkungan ICU sangatlah penting karena
banyak yang dapat ditangani oleh intervensi keperawatan. Langkah pertamanya adlah
pengenalan dan pemahaman terhadap paradoks yang terjadi di lingkungan ICU. Lingkungan
yang tidak bersahabat tersebut harus menjadi tempat penyembuhan bagi pasien, keluarga dan
perawat. Perawat perlu mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan dan
kemungkinan bencana yang dapat ditimbulkan oleh lingkungan pada pasien yang keadaan
fisiologis dan emosionalnya telah terganggu. Mengubah lingkungan yang kemungkinan tidak
bersahabat menjadi lingkungan yang menyembuhkan adalah sebuah tantangan bagi semua
perawat perawatan kritis.
Selain itu, kualitas emosional di lingkungan ICU sering kali ditentukan oleh tingkat pembagian
tanggung jawab, kolaborasi dan caring yang diperlihatkan oleh seluruh tim perawatan kesehatan.
Hidup dan mati pasien secara harfiah bergantung pada tingkat komunikasi dokter dan perawat
tentang pasien tersebut. Perhatian terhadap struktur organisasi yang membantu kolaborasi ini dan
kemitraan yang sejajar antara dokter dan perawat sebagai coleader unit adalah penting.
Menciptakan budaya yang menerapkan komunikasi yang saling menghargai antara semua
anggota tim perawatan kesehatan adalah standar kesempurnaan yang merupakan unsur penting
untuksemua lingkungan penyembuhan. Perawat pemula perlu belajar dan mempraktiakn
ketrampilan advokasi pasien selama ronde klinis di samping tempat tidur di ICU. Cara keluarga
diperlakukan dan dihormati sebagai mitra penuh dalam perawatan adalah ukuran penting dari
kualitas emosional dan budaya positif di ICU.
TATALAKSANA COVID-19 DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Penderita COVID-19 dapat muncul dengan berbagai gejala penyakit virus. Tetapi umumnya pasien
masuk ke ICU diakibatkan oleh ARDS dan/atau sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia. Pasien
asimtomatis, dengan gejala ISPA dan pasien dengan pneumonia ringan bukanlah ranah perawatan
ICU.
a. Onset: gejala pernapasan baru atau memburuk dalam waktu satu minggu dari peristiwa klinis yang
diketahui.
b. Chest imaging (Rontgen dada, CT scan, atau Ultrasonografi (USG paru): Opasitas bilateral, yang tidak
sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai efusi, lobar atau kolaps paru, atau nodul.
c. Asal edema: Gagal napas yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh gagal jantung atau kelebihan
cairan. Diperlukan penilaian objektif (misal Ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema
hidrostatik jika tidak ada factor risiko.
d. Oksigenasi (Dewasa):
ARDS ringan: Tekanan parsial oksigen (PaO2)/Fraksi inspirasi oksigen (FiO O, atau non-
ventilated)
ARDS sedang: PaO2/FiO O, atau non-ventilated)
ARDS berat: PaO2/FiO O, atau non-ventilated)
Jika PaO2 tidak tersedia, SpO (termasuk pasien yang non-ventilated)
2. Sepsis
Sepsis sendiri dapat tampil dalam 2 wujud, sepsis dan syok sepsis. Keduanya didefinisikan sebagai
berikut:
a. Sepsis Dewasa: disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon host yang
tidak terkendali terhadap infeksibaik yang dicurigai maupun yang terbukti, dan disertai disfungsi
organ yang dibuktikan dengan peningkatan skor Sepsis-related Organ Failure Assessment (SOFA)
(Tabel 2). Skor SOFA awal diasumsikan sebagai 0, jika tidak diketahui.
Tabel 2. Skor Sepsis -relatedOrganFailureAssessment (SOFA ).21
Anak: Adanya infeksi/kecurigaan infeksi dan kriteria systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) >2, dimana salah satunya harus disregulasi suhu atau jumlah sel darah putih (Tabel
3).
Tabel 3. Systemicinfla mmatoryresponsesyndrome (SIRS ).21
a. Syok Sepsis o Dewasa: hipotensi yang menetap meskipun dengan resusitasi volume,
yang memerlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan tingkat laktat
serum >2 mmol/L.
o Anak: hipotensi yang disebabkan apapun (SBP <5th centile atau >2 SD dibawah normal sesuai
usia) atau 2-3 dari berikut: gangguan status mental; takikardia atau bradikardia (HR <90 bpm atau
>160 bpm pada bayi dan HR <70 bpm atau >150 bpm pada anak-anak); capillary refill memanjang
(>2detik) atau vasodilasi hangat dengan nadi yang kuat; takipnea; bercak-bercak di kulit atau
petechiae atau purpurea; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia or hipotermia.
B. Strategi Manajemen di ICU
Setelah melakukan deteksi dan intervensi dini. Penanganan pasien secara menyeluruh
perlu dievaluasi kembali untuk memberikan luaran pasien yang optimal. Society of
Critical Care Medicine mengeluarkan sekumpulan rekomendasi yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien COVID-19 di ICU. Rekomendasinya adalah sebagai berikut:
a. Petugas ICU menggunakan masker respirator (respirator N95, FFP2, atau yang setara)
disertai dengan alat pelindung diri (APD) lain berupa sarung tangan, gaun kedap air dan
pelindung mata.
b. Perawatan ICU dilakukan pada ruangan dengan tekanan negative (atau di ruangan dengantekanan
normal, ventilasi yang cukup, dan pasien terisolasi dari pasien yang lain).
c. Intubasi pasien kritis dengan teknik rapid sequence intubation (RSI), disarankan dengan
menggunakan videolaryngoscope (bila tersedia), dan dilakukan oleh personel yang paling mahir di
dalam tim.
e. Pada pasien yang terintubasi, pengambilan sampel sebaiknya dari aspirasi endotrakea
untuk mendapatkan sampel dari saluran nafas bawah.
2. Hemodinamik
Pada pasien COVID-19 yang mengalami syok, lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu
kulit, waktu pengisian kembali kapiler darah, dan kadar laktat serum untuk menilai respons
terhadap cairan.
a. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, gunakan strategi pemberian
cairan konservatif dengan menggunakan balanced kristaloid.
b. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari penggunaan koloid.
c. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari penggunaan albumin
secara rutin untuk resusitasi.
d. Pilihan vasopressor utama adalah norepinefrin, tetapi dapat diganti dengan vasopressin atau
epinefrin.
h. Pada pasien COVID-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi persisten, tambahkan
dobutamin.
i. Pada pasien COVID-19 dengan syok yang refrakter, gunakan kortikosteroid dosis rendah, seperti
hidrokortison 200 mg/hari
3. Ventilasi
a. Berikan suplementasi oksigen jika SpO2 < 92% dengan target SpO2. TIdak lebih dari 96%.
b. Pada pasien COVID-19 dengan gagal nafas hipoksemia akut yang tidak merespons terapi oksigen
konvensional, gunakan HFNC.
c. Jika tidak terdapat HFNC dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, dapat diberikan
suplementasi oksigen dengan NIV disertai dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi
mengenai jenis perangkat NIV yang lebih baik.
d. Segera lakukan intubasi dan ventilasi mekanik jika terjadi perburukan selama penggunaan
HFNC ataupun NIV.
e. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan volume tidal (TV) 4-8 ml/kgBB dengan
tekanan plateau (Pplat) < 30 cmH2O.
f. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan tekanan positif akhir
ekspirasi (PEEP) tinggi dan posisikan pada posisi tengkurap (prone) selama 12-16 jam per
hari.
h. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan strategi pemberian cairan konservatif.
i. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan pelumpuh otot bolus jika
diperlukan. Tetapi jika terdapat asinkroni ventilasi menetap, kebutuhan sedasi dalam, kebutuhan
posisi tengkurap, atau tekanan plateau tinggi yang menetap, gunakan pelumpuh otot kontinu
maksimal selama 48 jam.
k. Lakukan rekrutmen paru pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik, jika
terjadi hipoksemia persisten.
l. Terdapat beberapa strategi rekrutmen paru, tetapi hindari penggunaan strategi staircase.
m. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik, jika terjadi
hipoksemia persisten dapat coba diberikan inhalasi vasodilator paru sebagai terapi bantuan ( rescue).
Tetapi jika tidak terjadi perbaikan gejala, terapi ini perlu segera dihentikan
n. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik adalah indikasi terapi
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) jika terjadi hipoksemia refrakter setelah semua
upaya konvensional dilakukan.
4. Terapi
a. Pada pasien yang terventilasi mekanik dengan COVID-1 dan ARDS, pedoman Surviving Sepsis
Campaign (SSC) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik pada kasus yang
berat dengan tingkat rekomendasi yang lemah.
b. Pada pasien dewasa yang terventilasi mekanik dengan COVID-19 dan gagal napas (tanpa ARDS),
pedoman SSC tidak menyarankan penggunaan kortikosteroid sistemik.
d. Pada pasien COVID-19 dalam ventilasi mekanik, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotic empiric
dengan monitoring dan de-eskalasi ketat.
Rekomendasi ini cukup komprehensif tetapi kurang praktis. Untuk kepentingan praktik klinis ICU,
penanganan akan dirangkum dalam format FASTHUGSBID. Metode FASTHUGSBID adalah salah
satu metode penanganan di ICU yang dapat membantu mengurangi kesalahan dalam penanganan,
yang meliputi:
Pada keadaan dimana terdapat keterbatasan sumber daya kesehatan dapat dilakukan strategi berikut:
1. Pemberian kristaloid 200-500 ml jika terdapat tanda hipoperfusi (Laktat serum > 4
mmol/L, MAP<50 mmHg, atau produksi urin <0.5 ml/kgBB selama 2 jam).
2. Pembatasan regimen cairan maintenance sebesar 80% dari perhitungan kebutuhan harian.
• Pemberian nutrisi
Nutrisitidak dibahas dalam kebanyakan literature yangtersedia. Hanya tersedia sebuah literature
dari Cina yang mengharuskan pemberian nutrisi yang cukup. Pedoman l WH menganjurkan
untuk memberikan nutrisi dalam 24-48 jam sejak pasien dirawat di ICU. Tetapi
hal ini tidak diterangkan lebih lanjut.
Tidak semua pasien dapat langsung mendapatkan asupan nutrisi, karena itu diperlukan penilaian
risiko dan manfaat pemberian nutrisi. Penilaian risiko nutrisi dapat menggunakan skor nutric
(Tabel 4-6). Pasien dengan risik tinggi harus segera mendapatkan nutrisi, jika tidak dapat
diberikan nutrisi enteral (EN), maka pasien perlu mendapatkan nutrisi parenteral (PN). Jika
pasien dengan risiko rendah, pemberian nutrisi dapat ditunda untuk mengurangi
risiko penggunaan PN.
Pasienyang tidak memiliki kontraindikasi pemberian EN. Maka pasien diberikan makan biasa.
Kemudian untuk penentuan kebutuhan kalori harian dapat digunakan rule o thumb: 25-30
kkal/kgBB, disertai dengan pemberia protein yang cukup 1.5-2 gram/kgBB/hari. Sumber
kalori lainnya dititikberatkan pada pengurangan karbohidrat dan peningkatan kalori yang berdasar
dari lemak.
Tabel 4. Skor nutric.25
Tabel 5. Interpretasi
skor nutric
jika tidak
ada pemeriksaan
interleukin-6.25
2. Analgesia
3. Sedasi
• Penggunaan agen pelumpuh otot dapat digunakan jika pasien terjadi asinkroni
yang persisten setelah pemberian analgetik dan sedasi. Untuk
meminimalkan efek samping obat akibat dosis yang tinggi, dapat
dilakukan strategi balanced sedation menggunakan pelumpuh otot.36
Pelumpuh otot ini diberikan secara intermiten. Tetapi pada kasus
yang refrakter, dapat digunakan secara kontinu, selama durasi dibatasi
<48 jam. Hal ini terkait peningkatan mortalitas yang didapatkan
pada pasien yang diberikan pelumpuh otot selama lebih dari 48
22,36
jam saat dirawat di ICU.
5. Elevasi Kepala
• Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat tidur 30-45o).Hal ini
penting untuk memaksimalkan fungsi paru, mengurangi kejadian
pneumonia terkait ventilator (VAP) dan melancarkan drainase darah
20
dari otak.
6. Profilaksis Ulkus
• Gunakan kasur antidekubitus dan putar tubuh pasien setiap 2 jam untuk
mencegah ulkus dekubitus.20
7. Kontrol Glikemik
• Pertahankan target gula darah dalam rentang 120-180 mg/dl. Kontrol gula darah
yang terlalu ketat dapat menyebabkan risiko hipoglikemia dan perburukan
luaran pasien. Sebaliknya, gula darah yang terlalu tinggi diasosiasikan dengan
penurunan fungsi kognitif jangka panjang.37
• Pengaturan ventilator
iii. Gunakan predicted body weight untuk menghitung VT. Adapun rumus
perhitungan predicted body weight adalah sebagai berikut:
Ø Jika Pplat < 30 dan terjadi asinkroni: boleh naikkan VT sebesar 1ml/kg
secara bertahap sampai 7 or 8 ml/kg selama Pplat tetap <
30 cm H2O.
ii. Sesuaikan FiO2 dengan PEEP yang diberikan dengan menggunakan tabel
ARDSnet (tabel 7).
Tabel 7. PasanganPEEPdanFiO 2.
c. Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; jika pasien telah
terventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau rusak tetapi tidak secara rutin
a. Syarat penyapihan
9. Pergerakan Usus
• Gunakan checklist yang diverifikasi oleh real-time observer sebagai pengingat setiap langkah
yang diperlukan untuk pemasangan steril.
• Manajemen Syok
a. Lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu kulit, waktu pengisian kembali kapiler darah,
dan kadar laktat serum untuk menilai respons terhadap cairan.
• Antibiotik
Pemberian antibiotic empiric terhadap pneumonia dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-
19 yang mendapatkan ventilasi mekanik. Regimen antibiotic empiric terbagi menjadi 2, regimen
antibiotic empiric pneumonia komunitas (Tabel 8) dan regimen antibiotic empiric terkait rumah sakit
dan ventilasi mekanik (Tabel 9).
Tabel 8.Regimenantibiotikempirikpneumoniakomunitas.
• Antivirus
Terapi antivirus masih belum memiliki bukti yang kuat. WHO dan SCCM meminta kehati-
hatian dalampenggunaannya. Petunjuk penggunaan agen antivirus lebih jelas di bahas dalam
pedoman kesehatan yang digunakan oleh pemerintah China.
a. Alpha-interferon (5 juta UI/dosis ditambahkan 2 ml air steril, diberikan dengan inhalasi atomik
setiap 12 jam)
b. Lopinavir/ritonavir 400 mg/100mg /12 jam untuk orang dewasa selama maksimal 10 hari.
c. Ribavirin 500 mg intravena (IV)/8-12 jam untuk orang dewasa selama maksimal 10 hari (sebaiknya
dikombinasi dengan interferon)
d. Klorokuin (500 mg/12 jam selama 7 hari untuk orang dewasa usia 18-65 dengan berat badan >
50 kg; 500 mg/12 jam selama 2 hari lalu dilanjutkan 1 kali sehari selama 4 hari untuk
orang dewasa dengan berat badan <50 kg)
Penggunaan lebih dari 2 jenis kombinasi antivirus tidak disarankan, karena dapat
memberikan efek samping yang besar.
Gunakan obat dengan efek samping terhadap kehamilan terkecil, jika diberikan pada
ibu hamil.
12. Lain-lain
d. Mobilisasi aktif pasien segera setelah kondisi pasien memungkinkan untuk mengurangi
insidens kelemahan terkait ICU. Terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRT) dapat
dipertimbangkan penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Carolyn, et all. 1997. Critical Care Nursing Seventh Edition. Philadelphia: Lippincott Company.
Doengoes, M. E. (2002). Nursing care plane: Guidelines for planning & documenting patient
care, 3rd edition, FA. Davis
George. (1995). Nursing Theories (The Base for Profesional Nursing Practice), Fourth Edition.
USA : Appleton & Lange.
Hartshorn et all. 1997. Introduction To Critical Care Nursing Second Edition. Philadelphia: WB
Saunders Company.
Hidayat AA. (2004). Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Hudak, CM. Gallo, BM. 2012. Critical Care Nursing: A Holistic Approach. Edisi ke-8. Alih
Bahasa Subekti. Jakarta: EGC
Kemenkes. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. Diakses
pada 18 September 2013 melalui www.kemenkes.go.id
Mansjoer, A. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Marquis, BL & Huston, Cj. 1998. Management Decision Making For Nurses 3th Ed.
Philadelphia: JB Lippincott
Perry, Anne .G. & Potter, Patricia. A. 1997. Fundamental of Nursing : Concepts, process and
Practice (vol 2). Washington DC: The C.V. Mosby Company.
Sitorus, R.Y. 2005. Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit; Penataan Struktur
dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta: EGC
Talbot, Laura, dan Mary Meyers-Marquardt. 1997. Pengkajian Keperawatan Kritis ed 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.