KEPERAWATAN JIWA
ASKEP JIWA PADA LANSIA DENGAN DEMENSIA
Disusun Oleh :
Kelompok I
1. Sofia Erfiani 10215002
2. Kastina Sholihah 10215007
3. M. Robieth Alhady W. 10215008
4. Selviana Hanif M. 10215012
5. Oktavia Eka P. 10215013
6. Karunia Wati Susanti 10215015
7. Iit Retnaning M. 10215023
8. Dewi Khusnita Sari 10215027
9. Fatin Afizah Sari 10215037
10. Dewi Chur’any 10215040
11. M. Anjas Adi Putra 10215048
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugrah dari-Nya ,sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran
dari semua pihak tetap kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah selanjutnya. Terima Kasih.
ii
DAFTAR ISI
Cover ........................................................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Definisi ............................................................................................. 3
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia .............. 3
C. Masalah Kesehatan Lansia ................................................................ 4
D. Penyakit Psikiatri Demensia .............................................................. 5
E. Klasifikasi ......................................................................................... 6
F. Etiologi .............................................................................................. 9
G. Patofisiologi ....................................................................................... 9
H. Manifestasi Klinis .............................................................................. 11
I. Komplikasi......................................................................................... 11
J. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 11
K. Penatalaksanaan ................................................................................. 13
L. Pendekatan Perawatan Lansia............................................................ 14
M. Pathway(lampiramn).......................................................................... 17
N. Diagnosa Keperawatan ...................................................................... 17
A. Kesimpulan ........................................................................................ 28
B. Saran .................................................................................................. 28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses atau keadaan menjadi tua merupakan
fenomena perkembangan manusi yang alamiah dimana secara
berangsur-angsur terjadi kemunduran dari kapasitas mental,
berkurangnya minat social dan menurunnya aktifitas fisik. Menjadi
tua adalah hal yang normal yang disertai pula dengan problema yang
khusus pula. Tekanan hidup yang beraneka ragam yang terdapat
dalam masyarakat ikut membentuk keadaan istimewa atau khusus ini
pada usia lanjut.
Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang
memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis pada lanjut usia dan dengan meningkatkan umur panjang.
Pelayanan/ asuhan keperawatan gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan
dalam manifestasi klinis, patogenesis, dan patofisiologi gangguan
mental antara dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada
pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan; faktor-faktor tersebut
adalah sering adanya penyakit dan kecacatan medis penyerta,
pemakaian banyak medikasi, dan peningkatan kerentanan terhadap
gangguan kognitif.
Proses penuaan otak merupakan bagian dari proses degenerasi
yang dapat menimbulkan gangguan neuropsikologis, beberapa
diantaranya yang paling umum terjadi adalah demensia (Djokosetio,
2006.)
Menurut data, dari 580 juta lansia di dunia sekitar 40 juta
diantaranya mengalami demensia. (WHO, 2000)
Berdasarkan data Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan
insidensi demensia di Indonesia menempati urutan keempat setelah
China, India, dan Jepang. Pada tahun 2000 prevalensi demensia
1
sebanyak 606.100 orang dan insidensi sebanyak 191.400 orang. Pada
tahun 2020 diprediksikan prevalensi demensia meningkat menjadi
1.016.800 orang dengan insidensi sebanyak 314.100 orang, dan pada
tahun 2050 prevalensi demensia meningkat menjadi 3.042.000 orang
dengan insidensi sebanyak 932.000 orang.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perawatan usia lanjut
yang keadaan kesehatannya terutama dipengaruhi oleh proses
ketuaannya,maka penulis mengambil judul makalah ini “Asuhan
Keperawatan pada Pasien Lansia dengan Demensia”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan demensia ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui konsep teori keperawatan jiwa pada lansia
2. Dapat mengetahui asuhan keperawatan jiwa pada lansia meliputi
pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi dan evaluasi.
2
BAB II
TINJUANA PUSTAKA
A. Definisi
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Menurut WHO lanjut usia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.
3
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-
lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
semakin lambat. Sementara fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga
mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan
keadaan kepribadian lansia.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun
tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua
atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga
diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung
dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas.
4
aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial,
kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah
kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif
dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang
mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek
promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang
menyertai kehidupan lansia.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan
Psikogeriatri, yaitu :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya
usia
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain).
Menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab,
diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan
lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis)
sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi)
yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung,
panik, depresif, apatis dan sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari
munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian
pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan
penegak hukum, atau trauma psikis.
5
gangguan fungsi kognitif antara lain intelegensi, belajar dan daya ingat,
bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi,
penyesuaian dan kemampuan bersosialisasi (Corwin, 2009).
E. Klasifikasi Demensia
1. Klasifikasi berdasarkan umur
Beberapa ahli memisahkan demensia yang terjadi sebelum usia 65
tahun (demensia prasenilis) dan yang terjadi setelah usia 65 tahun
(demensia senilis). Perbedaan ini berdasarkan asumsi yang
penyebabnya berbeda-beda; degenerasi neural yang jarang pada orang
muda dan penyakit vaskuler atau keadaan lanjut usia pada orang tua.
Meskipun ekspresi penyakit dapat berbeda pada usia yang berbeda,
kelainan utama pada pasien demensia dari semua usia adalah sama,
dan pembedaan berdasarkan kenyataan (Wilson, dkk, 1999).
6
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi
pada korteks serebri substansia grisea yang berperan penting
terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan bahasa.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal
adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit Vaskular, Penyakit Lewy
Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit
Pick, Penyakit Creutzfelt-Jakob.
Demensia kortikal ditandai dengan hilangnya fungis kognitif
seperti bahasa, persepsi, kalkulasi.
b. Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul
dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia alba.
Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia
subkortikal adalah penyakit Huntington, hipotiroid, Parkinson,
kekurangan vitamin B1, B12, Folate, sifilis, hematoma
subdural, hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac,
AIDS, gagal hepar, ginjal, nafas, dll.
Demensia subkortikal menunjukkan perlambatan kognitif dan
proses informai (“bradiphrenia”), dan gangguan motivasi,
suasana hati, dan bangun.
4. Klasifikasi berdasarkan kerusakan struktur otak
Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan,
yaitu Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskular.
a. Demensia Alzheimer
Penyakit Alzheimer adalah penyakit degenerasi neuron
koligenik yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang berusia 65 tahun ke atas. Penyakit
Alzheimer ditandai oleh hilangnya ingatan dan fungsi kognitif
secara progresif. Penyebab degenerasi neuron kolinergik pada
penyakit Alzheimer tidak diketahui (Price dan Wilson, 1995
dalam Arif Muttaqin, 2008).
7
Sedangkan Grayson, C. (2004) menyebutkan
bahwa Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak
mengalami kematian sehingga membuat signal dari otak tidak
dapat di transmisikan sebagaimana mestinya.
Demensia Alzheimer merupakan penyebab demensia yang
paling sering ditemukan pada sekitar 50-60 % kasus demensia,
yaitu demensia akibat hilangnya jaringan kortikal terutama
pada lobus temporalis, parietalis, dan frontalis. Hal ini
menyertai sebagian kasus dengan bertambahnya jarak antara
girus dan pembesaran ventrikel (Wilson, dkk, 1999).
b. Demensia Vaskular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi
darah di otak dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke
dapat berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan
karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah
otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai demensia
vaskular. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya
dengan riwayat hipertensi dan factor kardiovaskuler
lainnya.Demensia ini berhubungan dengan penyakit serebro
dan kardiovaskuler seperti hipertensi, kolesterol tinggi,
penyakit jantung, diabetes, dll. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang yang
mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multiple
yang menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi
pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli
dari tempat lain( misalnya katup jantung).
Demensia Vaskular merupakan penyebab kedua demensia
yang terjadi pada hampir 40 % kasus. Gambaran klinis dapat
berupa gangguan fungsi kognitif, gangguan daya ingat, defisit
intelektual, adanya tanda gangguan neurologis fokal, aphasia,
disarthria, disphagia, sakit kepala, pusing, kelemahan,
8
perubahan kepribadian, tetapi daya tilik diri dan daya nilai
masih baik.
F. Etiologi
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan
menjadi 3 golongan besar yaitu :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya
tidak dikenal kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler
atau secara biokimiawi pada system enzim, atau pada
metabolism
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum
dapat diobati, penyebab utama dalam golongan ini
diantaranya :
1. Penyakit degenerasi spino - serebelar
2. Subakut leuko-esefalitis sklerotik fan bogaert
3. Khorea Hungtington
c. Sindrome demensia dengan etiologi penyakit yang dapat
diobati
G. Patofisiologi
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia (usia >65 tahun)
adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga
mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Lansia penderita demensia tidak
memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka
sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan
degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri,
mereka sulit untuk mengingat dan sering lupa jika meletakkan suatu
barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan
meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka.
Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat
yang tinggal bersama mereka, mereka merasa khawatir terhadap
penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi
9
keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu lebih
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah
besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Faktor Psikososial
10
H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Dimensia (Depkes, 2001).
Terdapat beberapa tanda dan gejala dimensia yaitu sering lupa
kejadian yang baru dialami, kesulitan berfikir abstrak, kesulitan
melakukan pekerjaan sehari-hari, ialah menaruh barang, kesulitan
dalam berbahasa, terjadi perubahan suasana perasaan dan perilaku,
disorientasi waktu dan tempat, perubahan kepribadian serta tidak
mampu membuat keputusan, kehilangan inisiatif.
I. Komplikasi Demensia
a. Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :
1. Ulkus Dekubitus
2. Infeksi saluran kencing
3. Pneumonia
b. Thromboemboli, infark miokardium.
c. Kejang
d. Kontraktur sendi
e. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
f. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan
menggunakan peralatan
g. Kehilangan kemampuan berinteraksi
h. Harapan hidup berkurang
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi
pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan
pemeriksaan genetika (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia
khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang
demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium
11
normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium
darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik
dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium
lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik.
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia
akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan
meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan Mini-Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan Mini Mental State Examination adalah pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi kognitif.
MMSE dipakai untuk melakukan skrining pada pasien dengan
gangguan kognitif, menelusuri perubahan dalam fungsi kognitif dari
waktu ke waktu. MMSE menilai sejumlah domain kognitif yaitu
orientasi waktu dan tempat, registrasi, atensi dan kalkulasi, recall, dan
bahasa yang terdiri dari penamaan benda, pengulangan kata,
pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal dan tulisan, menulis, dan
menyalin gambar. Setiap penilaian terdiri dari beberapa tes dan diberi
skor untuk setiap jawaban yang benar (Kochhann, 2009).
Total skor pada MMSE jika semua jawaban benar adalah 30.
Berdasarkan skor pada MMSE, status demensia pasien dapat
digolongkan menjadi:
12
Normal : skor 25-30
Demensia ringan : skor 20-24
Demensia sedang : skor 13-19
Demensia berat : skor 0-12
Sehingga, demensia dapat ditunjukkan dengan skor MMSE 0-24
(Alzheimer’s Association, 2007).
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara holistik meliputi penatalaksanaan fisik,
psikologis, serta social yang termasuk keluarga dan lingkungan.
Secara fisik, perhatikan asupan nutrisi baik secara kuantitas maupun
kualitas, serta hindari makanan pantangan yang dapat memperparah
penyakit yang diderita.
Penatalaksanaan pada pasien dengan demensia antara lain sebagai
berikut :
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Galantamine ,
Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat-obatan anti platelet seperti
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak
sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-
depresi seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang
bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-
psikotik (misalnya Haloperidol, Quetiapine dan Risperidone).
13
2. Dukungan atau Peran Keluarga
Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita
tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam
dinding dengan angka-angka yang
3. Terapi Simtomatik Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan
terapi simtomatik, meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah-masalah
4. Pencegahan dan perawatan demensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya
demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan
senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti
alkohol dan zat adiktif yang berlebihan.
2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya
dilakukan setiap hari.
3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif
: Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
4. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang
memiliki persamaan minat atau hobi
5. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks
dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.
14
disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang
tidak tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup
aspek psikososial dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan
Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk
meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan
menyeluruh.
1. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya cedera
sehingga diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti berdiri disamping
klien, menghilangkan sumber bahaya dilingkungan, memberikan perhatian
dan sentuhan, bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya,
memberikan label gambar atau hal yang diinginkan klien.
2. Pendekatan psikologis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai
supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung
rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya
memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu
yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut
usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple”, yaitu
sabar, simpatik dan service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan
psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-
perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk
peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan,
peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan
untuk tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido. Perawat harus sabar
mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan
menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan
. Harus diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan
tertentu. Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan –lahan dan
bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan
15
pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban,
bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
3. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungan lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam keadaan
sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual
bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian. Seorang dokter
mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa
semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi
dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian
setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari
kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang
timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga, perawat harus dapat meyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi ditinggalkan , masih ada orang lain
yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran
lanjut usia.
4. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi
mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat
bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan
orang lain. Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
para lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal
jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur
terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah
sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa
kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut
usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan
kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan
16
komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara
langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.
M. Patwhay
(lampiran)
17
dengan memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara
langsung, duduk dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data yang
baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan sumber
dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda
kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat tidak boleh berasumsi
bahwa pasien memahami tujuan atau protocol wawancara pengkajian. Hal
ini dapat meningkatkan kecemasan dan stres pasien karena kekurangan
informasi. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan
mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
c. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan
takut. Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman
mungkin. Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia
yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan
kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi
dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada
keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat
harus memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara dan
faktor lain yang dapat mempengaruhi status, seperti pengobatan media,
nutrisi atau tingkat cemas.
d. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia karena
beberapa hal termasuk :
Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan
keterbatasan kognitif .
a. Status Afektif
18
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting.
Kebutuhan termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit,
khususnya pada leher, kepala, punggung atau perut dengan sejarah
penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk kehilangan berat badan,
paranoia, kelelahan, distress gastrointestinal dan menolak untuk makan
atau minum dengan konsekuensi perawatan selama kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa penyakit
yang berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid, kanker,
khususnya kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan
stroke. Beberapa pengobatan da[at meningkatkan angka kejadian depresi,
termasuk steroid, Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive.
Skala Depresi Lansia merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid
untuk mengukur depresi.
b. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam
perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan
gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin,
pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah. Hal ini
menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan
pada lansia.
Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah
laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika
terjadi perubahan perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.
c. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator
dalam kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam
pengkajian fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa dan
emosi.
d. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan
pribadi lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk
berpindah di lingkungan, partisipasi dalam aktifitas penting, dan
19
mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam mengkaji ambulasi ,
perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan fungsi motorik,
adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan tipe pertolongan yang
dibutuhkan. Kemampuan fungsi
e. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat
penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi,
berpakaian, makan, hubungan seksual, dan aktifitas toilet) merupakan
tugas dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk membantu pasien untuk
mandiri sebagaimana penampilan pasien dalam menjalankan ADL.
f. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk
setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan
makan. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk
mengukur perubahan fungsi ADL setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan
aktivitas rehabilisasi.
g. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena
interaksi dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit sensori, dan
frekuensi tingkah laku dalam masalah kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic
yang dilakukan diantaranya EEG, lumbal; funksi, nilai kimia darah, CT
Scan dan MRI. Selain itu, nutrisi dan pengobatan medis juga harus dikaji.
h. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau
rencana nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial
memiliki kebutuhan pertolongan dalam makan dan monitor makan.
Perawat harus secara rutin mengevaluasi kebutuhan diet pasien.
Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih dalam secara perseorangan termasuk
pola makan rutin, waktu dalam sehari untuk makan, ukuran porsi,
makanan kesukaan dan yang tidak disukai.
i. Pengobatan Medis
20
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus
dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas.
j. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan
zat-zat berbahaya beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan
gangguan kesehatan lainnya apabila mengalami kehilangan dan perubahan
peran yang signifikan. Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya
lainnya oleh seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti
kehilangan dan kesepian.
k. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera
sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang
budaya pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam
mengidentifikasi support system. Perawat harus mengkaji dukungan sosial
pasien yang ada di lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat
pelayanan kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam
mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
l. Interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya
harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pemberian perawatan dan dukungan
kepada lansia. Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk
berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan
hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk menerima kehilangan dan
peningkatan kemandirian pada anggota keluarga yang sudah dewasa.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
(degenerasi neuron ireversibel)
b. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi,
transmisi atau integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu
berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri)
21
c. Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan
kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan,
kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
e. Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn
sensori.
3. Intervensi Keperawatan
22
suara yang agak
rendah dan e. Meningkatkan
berbicara dengan pemahaman. Ucapan
perlahan pada tinggi dan keras
klien. menimbulkan stress yg
mencetuskan
konfrontasi dan respon
marah.
23
strategi untuk stimulasi sensori yang
mengurangi stress. menurunkan perasaan
curiga dan halusinasi
e. Ajak piknik yang disebabkan
sederhana, jalan- perasaan terkekang.
jalan keliling
rumah sakit.
Pantau aktivitas.
24
berkemih dengan
c. Perhatikan memegang dirinya.
adanya tanda-
tanda nonverbal
yang fisiologis. d. Pekerjaan yang
tadinya mudah sekarang
d. Beri banyak menjadi terhambat
waktu untuk karena penurunan
melakukan tugas. motorik dan perubahan
kognitif.
e. Meningkatkan
e. Bantu kepercayaan untuk
mengenakan hidup.
pakaian yang rapi
dan indah.
25
adalah awal terjadi
c. Alihkan trauma akibat tidak
perhatian saat bertanggung jawab
perilaku teragitasi/ terhadap kebutuhan
berbahaya, keamanan dasar.
memenjat pagar
tempat tidur. c. Mempertahankan
keamanan dengan
d. Kaji efek menghindari
samping obat, konfrontasi yang
tanda keracunan meningkatkan risiko
(tanda terjadinya trauma.
ekstrapiramidal,
hipotensi d. Klien yang tidak
ortostatik, dapat melaporkan
gangguan tanda/gejala obat dapat
penglihatan, menimbulkan kadar
gangguan toksisitas pada lansia.
gastrointestinal). Ukuran dosis/
penggantian obat
e. Hindari diperlukan untuk
penggunaan mengurangi gangguan.
restrain terus-
menerus. Berikan e. Membahayakan
kesempatan klien, meningkatkan
keluarga tinggal agitasi dan timbul risiko
bersama klien fraktur pada klien lansia
selama periode (berhubungan dengan
agitasi akut. penurunan kalsium
tulang).
26
keperawatan diharapkan dukungan untuk saat klien
klien mendapat nutrisi yang penurunan berat mengidentifikasi
seimbang dengan KH: badan. kebutuhan berarti.
a. Mengubah pola asuhan
yang benar b. Awasi berat b. Memberikan
b. Mendapat diet nutrisi badan setiap umpan balik/
yang seimbang. minggu. penghargaan.
c. Mendapat kembali berat
badan yang sesuai. c. Kaji c. Identifikasi
pengetahuan kebutuhan
keluarga/ klien membantu perencanaan
mengenai pendidikan.
kebutuhan
makanan. d. Klien tidak mampu
menentukan pilihan
d. Usahakan/ kebutuhan nutrisi.
beri bantuan
dalam memilih e. Ketidakmampuan
menu. menerima dan
hambatan sosial dari
e. Beri Privasi kebiasaan makan
saat kebiasaan berkembang seiring
makan menjadi berkembangnya
masalah. penyakit.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki gangguan
kejiwaan harus menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa dengan
pengetahuan gangguan fisiologis, proses penuaan yang normal, dan
sosiokultural pada lansia dan keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan
perawatan primer, perawat jiwa lansia harus pandai dalam mengkaji
kognitif, afektif, fungsional, fisik, dan status perilaku. Perencanaan dan
intervensi keperawatan mungkin diberikan kepada pasien dan keluarganya
atau pemberi pelayanan lain.
Perawat jiwa lansia mengkaji penyediaan perawatan lain pada lansia
untuk mengidentifikasi aspek tingkah laku dan kognitif pada perawatan
pasien. Perawat jiwa lansia harus memiliki pengetahuan tentang efek
pengobatan psikiatrik pada lansia. Mereka dapat memimpin macam-
macam kelompok seperti orientasi, remotivasi, kehilangan dan kelompok
sosialisasi dimana perawat dengan tingkat ahli dapat memberikan
psikoterapi.
B. Saran
Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang
asuhan keperawatan kehilangan disfungsional.
28
DAFTAR PUSTAKA
29