Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792
PROGRAM STUDI PROFESI NERS XVI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY. J DENGAN OSTEOPOROSIS
DI TRUNOJOYO KOTAGEDE YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792
2015
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. J DENGAN OSTEOPOROSIS
DI TRUNOJOYO KOTAGEDE YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792
24.15.0792
Pembimbing Akademik
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSTIPASI
A. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang
disertai dengan
perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007).
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
a.
b.
c.
feses,
sedangkan
penundaan
pada
muara
rektosigmoid
karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang
3.
4.
menyebabkan konstipasi.
Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi
normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan
5.
6.
atau
aluminium,
dan
obat-obatan
antiparkinson
dapat
menyebabkan konstipasi.
Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot
abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering
7.
oleh
(gastrointestinal),
usus,
seperti
obstruksi
kelainan
ileus
saluran
paralitik,
GI
dan
8.
divertikulitus.
Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya
9.
10.
diperkirakan
D. Manifestasi klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
E. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan
perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan
fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari
konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses
BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh
distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks
penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter
external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intraabdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna.
Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi
oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi
ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator
ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan
keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang
dengan
konstipasi
mempunyai
kesulitan
lebih
besar
untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras
dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1.
Diskesia Rektum
Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan
sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik
menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3.
F. Komplikasi
Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat atau komlikasi dari
konstipasi antara lain:
a. Impaksi feses
Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.
b. Volvulus daerah sigmoid
Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan
konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.
c. Haemorrhoid
Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi
sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.
d. Kanker kolon
Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang
keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu
yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan,
anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus
besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya
sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%),
usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan
kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi
menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi
demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran),
perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan
cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja
berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi
urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya
poros usus.
H. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b) Serat
berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu.
Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur,
jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat
pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu
dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti
obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan,
obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan
konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan
yang sering pula menyebabkan konstipasi.
2. Tatalaksana farmakologik
a)
Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh
orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja.
Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak
feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang
kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
c)
Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia
lanjut.
Senna
meningkatkan
peristaltik
di
kolon
distal
dan
Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan
sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon
menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara
osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek
waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama
menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang
usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30
selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar
hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan
merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar
hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e)
Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien
usia
lanjut
yang
mengalami
tirah
baring
mungkin
iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds)
sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
I. Diagnosa keperawatan
Beberapa diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
konstipasi diantaranya:
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
3) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
J. Rencana tindakan keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
NOC : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
c. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
Intervensi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
bising usus
Monitor tanda dan gejala rupture usus atau peritonitis
Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien
Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
Dukung intake cairan
Kolaborasi dalam pemberian laksatif
Pantau tanda dan gejala konstipasi
Dorong untuk meningkatkan asupan cairan kecuali yang di
kontraindikasikan
l. Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal
m. Anjurkan pasien untuk diet tinggi serat
n. Anjurkan pasien untuk mencatat warna, konsistensi, frekuensi dan
volume feses
o. Menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika
sembelit atau impaksi terus ada
konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan harian makanan
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
diinginkan
4) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dengan menggunakan managemen nyeri
d. Mampu mengenali nyeri
e. Merasakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi:
Pain managemen:
a.
b.
c.
d.
e.
DAFTAR PUSTAKA
Stanley dan Beare, 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.