Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

NY. J DENGAN OSTEOPOROSIS DI TRUNOJOYO KOTAGEDE


YOGYAKARTA
Disusun guna memenuhi tugas individu stase gerontik

Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792
PROGRAM STUDI PROFESI NERS XVI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY. J DENGAN OSTEOPOROSIS
DI TRUNOJOYO KOTAGEDE YOGYAKARTA

Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792

PROGRAM STUDI PROFESI NERS XVI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA

2015
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. J DENGAN OSTEOPOROSIS
DI TRUNOJOYO KOTAGEDE YOGYAKARTA

Disusun oleh:
Alfiana Zahara, S.Kep
24.15.0792

PROGRAM STUDI PROFESI NERS XVI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2015
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XVI
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disahkan Laporan Pendahuluan dan asuhan Keperawatan pada Ny. J dengan
osteoporosis di Trunojoyo Kotagede Yogyakarta guna memenuhi tugas stase
Keperawatan Gerontik program pendidikan Profesi Ners STIKes Surya Global
Yogyakarta Tahun 2015.
Yogyakarta, November 2015
Mahasiswa
Alfiana Zahara

24.15.0792

Pembimbing Akademik

(Fitri Dian Kurniati, S.Kep., Ns)

Pembimbing Lahar Praktek

(Rahmafitri Budiarie Setyaningtyas, S.Kep.,Ns)

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSTIPASI
A. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang
disertai dengan
perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007).
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).

Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah


penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama
atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat,
masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras
dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1.
Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a.
b.
c.
d.
2.

Mengedan keras 25% dari BAB


Feses yang keras 25% dari BAB
Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
BAB kurang dari 2 kali per minggu
Penundaan pada muara rektum
Kriteria:

a.
b.
c.

Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB


Waktu untuk BAB lebih lama
Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat
dari

feses,

sedangkan

penundaan

pada

muara

rektosigmoid

menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya


perasaan sumbatan pada anus.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah
sebagai berikut:
1.
Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk
2.

defekasi dapat menyebabkan konstipasi.


Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani
(misalnya daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni
(makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi,

karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang
3.

rendah juga memperlambat peristaltik.


Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur

4.

menyebabkan konstipasi.
Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi
normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan

5.

sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.


Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek
menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk
menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan
dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam
kalsium

6.

atau

aluminium,

dan

obat-obatan

antiparkinson

dapat

menyebabkan konstipasi.
Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot
abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering

7.

mengonsumsi makanan rendah serat.


Konstipasi juga dapat disebabkan

oleh

(gastrointestinal),

usus,

seperti

obstruksi

kelainan
ileus

saluran

paralitik,

GI
dan

8.

divertikulitus.
Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya

9.

cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.


Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau

10.

hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.


Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat

diperkirakan

menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus


melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat
menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi
colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada
abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya
11.

antara diare dan konstipasi.


Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi
pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.

D. Manifestasi klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
E. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan
perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan
fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari
konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses
BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh
distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks
penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter
external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intraabdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna.
Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi
oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi
ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator
ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan
keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang

menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang


khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut
yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan
usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus
dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3
hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang
menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9
hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih
panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat
jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari
kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas
motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya
respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena
degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf
pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma
beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor
opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari
sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas
berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan
kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan.
Pasien

dengan

konstipasi

mempunyai

kesulitan

lebih

besar

untuk

mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras
dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1.

Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan


sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih
besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter
eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum
sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan
karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang
dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan
rektum
2.

Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan
sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik
menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.

3.

Peningkatan Tonus Rektum


Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

F. Komplikasi
Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat atau komlikasi dari
konstipasi antara lain:
a. Impaksi feses
Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.
b. Volvulus daerah sigmoid
Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan
konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.
c. Haemorrhoid
Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi
sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.
d. Kanker kolon
Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang
keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu

yang cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang


diproduksi menjadi lebih konsentrat.
e. Penyakit divertikular
Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada
penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung
pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan.
Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan
kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan
menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya
luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa
pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau
tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.
Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari
pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut
atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang
pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan)
atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor
di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya
timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor
risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia
akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada
saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada
penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras

yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan,
anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus
besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya
sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%),
usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan
kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi
menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi
demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran),
perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan
cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja
berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi
urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya
poros usus.
H. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b) Serat

Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna


menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia
disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada
juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per
hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur,
kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat
juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas
dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja.
Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau
dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala
kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3
minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa
untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih
mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal
untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk
dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien
usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang
sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien
yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang
baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang
sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu

berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu.
Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur,
jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat
pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu
dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti
obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan,
obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan
konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan
yang sering pula menyebabkan konstipasi.

2. Tatalaksana farmakologik
a)

Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)


Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di
pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat
seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti
metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama
efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak

menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia


lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti
menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada
hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi
dengan asupan cairan.
b)

Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh
orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja.
Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak
feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang
kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.

c)

Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia
lanjut.

Senna

meningkatkan

peristaltik

di

kolon

distal

dan

menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak.


Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia
lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau
elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu
yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai
kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam
mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus
ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil
supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong
untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek

refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan


sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin,
melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d)

Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan
sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon
menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara
osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek
waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama
menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang
usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30
selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar
hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan
merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar
hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.

e)

Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien

usia

lanjut

yang

mengalami

tirah

baring

mungkin

membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun,


pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek
samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe
paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan

iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds)
sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.

I. Diagnosa keperawatan
Beberapa diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
konstipasi diantaranya:
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
3) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
J. Rencana tindakan keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
NOC : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
c. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
Intervensi :
a.
b.
c.
d.

Constipation/ impaction managemen


Monitor tanda dan gejala konstipasi
Monitor bising usus
Monitor feses, frekuensi, konsistensi dan volume
Konsultasi dengan dokter tentang penurunan atau peningkatan

e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

bising usus
Monitor tanda dan gejala rupture usus atau peritonitis
Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien
Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
Dukung intake cairan
Kolaborasi dalam pemberian laksatif
Pantau tanda dan gejala konstipasi
Dorong untuk meningkatkan asupan cairan kecuali yang di

kontraindikasikan
l. Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal
m. Anjurkan pasien untuk diet tinggi serat
n. Anjurkan pasien untuk mencatat warna, konsistensi, frekuensi dan
volume feses
o. Menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika
sembelit atau impaksi terus ada

2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia
3) NOC : : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Adanya peningkatan berat badan
b. Berat badan sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda0tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi:
Nutrition managemen:
a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan
c. Anjurkan intake Fe
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkna protein dan vitamin C
e. Yakinkan diet yang digunakan tinggi serat untuk mencegah
f.
g.
h.
i.

konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan harian makanan
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang

diinginkan
4) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dengan menggunakan managemen nyeri
d. Mampu mengenali nyeri
e. Merasakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi:
Pain managemen:
a.
b.
c.
d.
e.

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehesif


Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman neri
Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

f. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,


g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

pencahayaan dan kebisingan


Kurangi fktor presipitasi nyeri
Pilih dan lakukan penanganan nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
Kolaborasi untuk pemberian obat analgetik
Evaluasi keefektifan control nyeri
Monitor penerimaan pasien tentang manageman nyeri

DAFTAR PUSTAKA
Stanley dan Beare, 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith.M, 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 7).


Jakarta :EGC
Potter & Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC
Darmojo dan Martono, 2006. Geriatri. Jakarta : Yudistira.
Zulkarnaen, 2011. Asuhan keperawatan konstipasi pada lansia. Diunduh dari
:http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id. diakses pada tanggal 3 november
2015 jam18.30

Anda mungkin juga menyukai