Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIKUM KLINIK V

Konstipasi Pada Lansia

Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah penurunan frekuensi normal buang air besar (BAB) disertai dengan feses yang
kering dan keras yang merupakan suatu kondisi patologis yang erat kaitannya dengan sistem
pencernaan (Miller, 2012). Konstipasi ini merupakan keluhan yang paling umum terjadi pada
orang dewasa yang lebih tua (lansia) (Wallace, 2008). Kejadian konstipasi tertinggi yaitu dimulai
pada usia 50 tahun dan terus meningkat sampai usia 70 tahun (McCrea, Miaskowski, Stotts,
Macera, & Varma, 2009 dalam Miller, 2012).

Etiologi

Penyebab terjadinya konstipasi pada lansia yaitu karena adanya perubahan fisiologis dari sistem
pencernaan pada lansia seiring dengan pertambahan usia. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik
juga dapat menjadi contributor untuk menyebabkan konstipasi pada lansia (Wallace, 2008).
Kondisi patologis seperti hipotiroidisme juga dapat menjadi salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya konstipasi. Penyebab lain yaitu efek dari obat-obatan yang dikonsumsi
oleh lansia (termasuk obat pencahar yang digunakan dalam jangka panjang) dan pola makan
yang buruk (misal kurang serat dan cairan yang tidak cukup) (Miller, 2012).
Patofisiologi Konstipasi

Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami, tetapi konstipasi diperkirakan termasuk


gangguan pada salah satu dari tiga fungsi utama usus besar yaitu transportasi mukosa (yaitu
sekresi mukosa memfasilitasi pergerakan isi usus besar), aktivitas mioelektrik (yaitu
pencampuran massa rektal), atau proses buang air besar (misalnya disfungsi dasar panggul)
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Dorongan untuk melakukan buang air besar secara
normal dirangsang oleh distensi rektum yang memulai serangkaian empat tahap yaitu
penghambat stimulasi refleks rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter
eksternal dan otot di daerah pelvis, serta peningkatan tekanan intra-abdominal. Gangguan pada
salah satu dari empat proses tersebut dapat menyebabkan konstipasi (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010).

Bila keinginan untuk buang air besar diabaikan, maka membran mukosa rektal dan otot
menjadi tidak sensitif terhadap adanya massa feses. Hal tersebut mengakibatkan perlunya
rangsangan yang kuat untuk menghasilkan dorongan peristaltik yang diperlukan untuk
melakukan buang air besar. Efek awal dari retensi feses ialah untuk menimbulkan kepekaan usus
besar, di mana pada tahap tersebut sering mengalami spasme, khususnya pada saat makan.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan nyeri kolon midabdominal atau abdomen bawah. Setelah
proses tersebut berlangsung sampai beberapa tahun, usus besar kehilangan tonus dan menjadi
sangat responsive terhadap rangsang normal sehingga terjadi konstipasi. Atoni usus
(menurunnya otot usus) juga terjadi pada proses penuaan yang dapat diakibatkan oleh
penggunaan laksatif yang berlebihan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Pemeriksaan Fisik

Lansia merupakan kelompok yang rentan mengalami konstipasi dan berlanjut menjadi
impaksi bagi lansia yang memiliki fungsi kolon hipotonik, imobilisasi dan kelemahan, atau yang
memiliki luka pada sistem saraf pusat. Jadi sangat penting dalam melakukan pengkajian kepada
lansia untuk mencatat adanya perubahan status kognitif, inkontinensia, peningkatan suhu,
penurunan nafsu makan, atau kejadian jatuh yang tidak dapat dijelaskan dapat menjadi gejala
klinis konstipasi bagi lansia yang renta atau mengalami gangguan kognitif. Pengkajian dimulai
dengan melakukan klarifikasi kepada lansia mengenai pemahaman merekai terkait dengan
konstipasi. Setelah itu perawat kembali mengkaji hal-hal yang penting seperti pola eliminasi,
frekuensi, konsistensi, ukuran, dan semua perubahan yang terjadi (Touhy & Jett, 2014).

Gejala gangguan gastrointestinal juga dapat ditemui, seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, penurunan berat badan, melena, perdarahan pada rektal, nyeri pada rektal, dan demam.
Hal penting yang perlu dikaji dari lansia ialah meninjau kembali masukan makanan dan cairan
untuk menentukan jumlah serat dan cairan yang dicerna (Touhy & Jett). Mini Nutritional
Assessment (MNA) dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan kejadian konstipasi dengan
masalah nutrisi pada lansia (Miller, 2012). Tingkat aktivitas fisik dan penggunaan medikasi,
suplemen atau herbal, harus menjadi pertanyaan wajib yang diberikan kepada lansia. Riwayat
psikososial seperti depresi, kecemasan, dan manajemen stres juga dapat menjadi indikasi yang
harus diperhatikan oleh perawat (Touhy & Jett, 2014). Pengkajian yang dilakukan oleh perawat
yaitu anamnesis dan pemeriksa fisik mulai dari inspeksi sampai dengan pemeriksaan rektal.

1. Anamnesis
a. Melakukan anamnesis pada klien tentang pola defekasi klien dan pehaman klien
mengenai konstipasi
b. Mengkaji karakteristik feses klien
c. Meninjau makanan/ minuman apa saja yang dikonsumsi klien
d. Mengkaji Status nutrisi/ status hidrasi klien
e. Mengkaji riwayat medikasi klien sampai saat pengkajian
f. Mengkaji riwayat penyakit klien terutama yang berhubungan dengan gastrointestinal
g. Mengkaji pola diet klien
h. Mengkaji aktivitas klien, mood, peningkatan dan manajemen stres klien.
2. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik yang tepat dan lengkap mampu membantu perawat untuk membantu
mengidentifikasi penyakit sistemik yang menyebabkan konstipasi. Area abdomen yang
dikaji dengan benar dan hati-hati dapat menunjukkan adanya feses terutama pada kuadran
kiri rongga abdomen. Ini merupakan hal yang penting untuk mengetahui massa intestinal
a. Inspeksi
Inspeksi pada abdomen klien apakah terdapat ketidaksimetrisan bentuk, massa, gerak
peristaltik, warna kulit, dan distensi. Distensi dapat berupa tonjolan yang keras dan
kulit terlihat mengeras dan menegang.

b. Palpasi
Lakukan palpasi pada area abdomen untuk mengetahui apakah ada pembesaran perut,
atau tonjolan atau dapat mengetahui apakah ada tumor. Dengan palpasi perawat juga
dapat mengetahui massa feses yang menumpuk dan besar di usus besar. Apakah juga
dapat ditemukan nodul-nodul pada area abdomen, penurunan musle tone .
c. Perkusi
Perkusi apakah ada suara dullness yang menunjukkan adanya suatu massa padat,
yaitu massa feses pada rongga abdomen, apakah suara timpani atau adanya suara gas
yang berlebihan.
d. Auskultasi
Untuk mengetahui apakah karakter suara bowel, suara bising usus, suara gerakan usus
besar atau adanya sumbatan pada usus.
e. Pemeriksaan Rektal
 Untuk mengevaluasi spingter tonus eksternal, obstipasi, dan mengevaluasi
hemoroid internal ataupun ada tumor
 Pemeriksaan rektal mempunyai kontraindikasi dengan adanya leukopenia atau
trombokitopenia
 Tanda-tanda kondisi sistemik berhungan dengan hidrasi, dan dibawah kondisi
yang berhubungan dengan konstipasi (misal: tugor kulit)

Pemeriksaan Penunjang Abdomen

1. Uji Noninvasif

a. Flat Plat Abdomen


Flat plat abdomen merupakan pemeriksaan rontgen dari organ abdomen. Alat digunakan
untuk mengidentifikasi tumor, obstruksi, iskemi usus, kalsifikasi pancreas, penumpukan
gas abnormal, dan penyempitan (Black & Hawks, 2014).
b. Studi barium pada GI bawah
Barium enema digunakan untuk pemeriksaan radiografi (dengan atau tanpa fluoroskopi)
dari usus besar. Barium sulfat, barium sulfat dan udara dimasukkan melalui dubur pasien.
Indikasi pemeriksaan ini untuk pasien dengan riwayat perubahan pola defekasi, nyeri
abdomen bawah, atau feses disertai darah, mukus, atau nanah. Selain itu, prosedur ini
dapat mendeteksi keberadaan tumor, divertikula, stenosis, obstruksi, inflamasi, colitis
ulseratif, dan polip. Proktografi defekasi berguna untuk mengkaji lebih dalam penyebab
konstipasi dengan memberikan informasi mengenai kamampuan pengosongan rectum,
laju pengosongan, lebar kanal anal, dan pergerakan pelvis (Black & Hawks, 2014).
c. Computed Tomography
CT digunakan untuk mengkaji diverkulitis akut dan pembentukan abses, mendiagnosis
kanker kolorektal, dan stadium tumor rektal. Pemeriksaan ini digunakan pada klien yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan barium (tidak mampu menahan barium) (Black &
Hawks, 2014).
d. Scintigrafi
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis hambatan pengosongan gaster, dan juga
transit pada usus kecil maupun kolon. Klien diberikan makanan yang diberikan
radioaktif dan sebuah kamera gama yang akan mengambil gambar dari saluran GI pada
interval 2,4,6, dan 24 jam. Scintigrafi juga dapat mengidentifikasi sindrom dismotilitis
ketika tidak ada obstruksi mekanik yang ditemukan (Black & Hawks, 2014).
e. Abdominal ultrasonografi
- Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang mana gelombang suara
dengan frekuensi tinggi dilewatkan ke struktur internal tubuh dan bunyi ultrasonik
direkam pada oscilloscope. Ini juga berguna untuk mendeteksi pembesaran kandung
kemih atau pankreas, adanya batu empedu, pembesaran ovarium, kehamilan ektopik,
atau apendisitis. Selain itu, banyak digunakan untuk mendiagnosis acute colonic
diverticulitis (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2012).
- Endoscopic ultrasonography (EUS) merupakan prosedur enteroskopi yang membantu
mendiagnosis gangguan GI dengan memberi gambaran pada target area. EUS
digunakan untuk mengevaluasi lesi submucosa, khususnya pada lokasi dan
kedalaman penetrasi. Selain itu, dapat juga mendeteksi Barrett’s esophagus,
hipertensi portal, kronik pankreatik, neoplasma pankreatik, penyakit biliary tract, dan
perubahan pada dinding usus selama ulcerative colitis (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2012).
f. Manometri
Manometri rektal digunakan untuk mengukur tekanan dari sfingter internal dan eksternal
saat istirahat dan kontraksi, serta sensasi dan fungsi rektal pada klien yang dicurigai
mengalami disfungsi lantai pelvis atau inkontinensia fekal. Penemuan yang positif
menandakan terjadinya deficit neurogenik atau luka di sfingter (Black & Hawks, 2014).

2. Uji Invasif
a. Endoskopi
Endoskopi adalah visualisasi langsung dari sistem GI menggunakan selang yang fleksibel
dan dilengkapi dengan sinar. Melalui pemeriksaan ini dapat terdeteksi sumber perdarahan
dan lesi di permukaan, serta menentukan status jaringan yang mulai sembuh (Black &
Hawks, 2014).
b. Proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi adalah pemeriksaan endoskopik dari lapisan kolon sigmoid bagian
distal, rektum, dan anal kanal dengan menggunakan dua instrumen (protoskop dan
sigmoidoskop). Pemeriksaan ini diindikasikan pada klien dengan perubahan pola
defekasi, nyeri abdomen bawah dan nyeri perineal, prolaps rektal saat defekasi, pruritus
anal, dan keluarnya darah, mukus, maupun nanah (Black & Hawks, 2014).
c. Kolonoskopi
Kolonoskopi yaitu pemeriksaan visual dari seluruh lapisan kolon menggunakan
fiberoptik endoskop yang fleksibel. Diindikasikan untuk klien dengan riwayat konstipasi
dan diare, perdarahan rektal yang persisten, nyeri abdomen bawah. Pemeriksaan ini
sebagai skrining untuk klien yang berisiko menderita kanker kolon (Black & Hawks,
2014).

3. Uji Laboratorium
a. Pemeriksaan serum laboratorium
Uji diagnostik dimulai dengan pemeriksaan serum laboratorium. Pemeriksaan meliputi
carcinoembryonic antigen (CEA) dan cancer antigen (CA) untuk mendeteksi kanker
kolorektal, dan alpha-fetoprotein yang berguna untuk mendeteksi kanker hati (Smeltzer,
Bare, Hinkle, & Cheever, 2012).
- CEA adalah protein yang secara normal tidak terdeteksi pada darah orang yang sehat.
Jika CEA terdeteksi, maka mengindikasikan adanya kanker. Hasil CEA digunakan
untuk menentukan tingkat, perluasan penyakit, prognosis kanker, khususnya GI pada
kasus kanker kolorektal.
- CA merupakan protein yang terdapat pada permukaan sel tertentu dan dilepaskan
oleh sel tumor. Kadar CA meningkat pada beberapa pasien dengan perkembangan
kanker pankreatik. Tetapi, dapat juga meningkat pada pasien dengan kondisi seperti
kolorektal, paru, dan kanker kandung kemih; batu empedu, pankreatik, fibrosis sistik,
dan penyakit hati.
b. Uji feses
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat spesimen feses dari jumlah, konsistensi, warna,
dan skrining darah yang samar. Selain itu, terdapat juga uji urobilinogen fekal, lemak,
nitrogen, parasit, pathogen, residu makanan, dan zat lain yang dibutuhkan untuk dikirim
ke laboratorium. Sampel feses biasanya ditampung secara acak kecuali bila dilakukan
pemeriksaan kuantitatif seperti lemak fekal atau urobilinogen. Spesimen acak dikirim ke
laboratorium langsung untuk dianalisis. Sedangkan penampungan kuantitatif 24-72 jam
harus tetap dalam pendinginan hingga di bawa ke laboratorium (Smeltzer, Bare, Hinkle,
& Cheever, 2012).
- Fecal occult blood testing (FOBT) digunakan untuk skrining beberapa gangguan,
paling banyak sebagai deteksi awal kanker. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di
tempat tidur, laboratorium, maupun di rumah. Selain itu juga murah, non-invasif, dan
minimal risiko pada pasien. Namun, tidak disarankan dilakukan pada pasien yang
sedang mengalami perdarahan hemoroid.
- Fecal immunologic test merupakan pemeriksaan yang menggunakan antibodi
monoklonal atau poliklonal untuk mendeteksi protein globin pada hemoglobin
manusia.
- Stool DNA test merupakan pemeriksaan baru untuk mendeteksi DNA tertentu yang
diketahui memiliki hubungan dengan kanker kolon. Pemeriksaan ini tidak
membutuhkan beberapa pengurangan makanan dan obat serta dapat mendeteksi
neoplasia di kolon.

c. Breath test
- Hydrogen breath test dikembangkan untuk mengevaluasi absorsi karbohidrat,
mendukung diagnosis pertumbuhan bakteri pada intestin dan short bowel syndrome.
Pemeriksaan ini berfungsi menghitung jumlah hidrogen yang terbuang saat bernapas
setelah diproduksi di kolon dan diabsorpsi ke dalam darah. Urea breath test
digunakan untuk mendeteksi adanya Helicobacter pylori, merupakan bakteri yang
dapat hidup di mukosa perut dan menyebabkan penyakit peptic ulcer.
Rencana Asuhan Keperawatan pada Kelompok Lansia

Kasus

Pada saat dilakukan kunjungan ke Panti Sasana Tresna Werdha dari mahasiswa keperawatan
terdapat beberapa orang lanisa mengeluhkan bahwa mereka sekarang sulit untuk buang air besar
dan juga feses yang dikeluaran terkadang sediki. Mereka berkata bahwa pola BAB nya saat ini
sudah tidak seperti dulu lagi. Saat dilakukan pemeriksaan fisik terdapat beberapa lansia
mengalami distensi abdomen dan didapatkan juga dari lansia yang mengeluh sulit BAB bising
ususnya kurang dari 10 detik.

Analisa Masalah :
No Analisa Data Diagnosa Keperawatan
1 Data Objektif : Konstipasi (00011)
 Bising usus <10 detik Definisi :
 Distensi abdomen Penurunan frekuensi normal defekasi
Data Subjektif : yang disertai kesulitan atau pengeluaran
 Lansia di Panti mengeluh BAB nya feses tidak tuntas dan/atau feses yang
sudah tidak lancar seperti dulu keras dan kering.
 Lansia mengatakan mereka sulit untuk
buang air besar
Rencana Asuhan Keperawatan :
Data Diagnosa NOC NIC
Data Objektif : Konstipasi 1. Lansia mampu Bowel Management
 Bising usus untuk menerapkan (0430) :
<10 detik diet sehat (1621) 1. Mencatat tanggal
 Distensi 2. Lansia mampu buang air besar
abdomen menjaga terakhir
Data Subjektif : keseimbaangan 2. Memantau
 Lansia di cairan (0601) pergerakan usus :
Panti 3. Hipoperistaltik frekuensi,
mengeluh menjadi konsistensi,
BAB nya berkurang(0501) bentuk, volume,
sudah tidak warna
lancar seperti 3. Melaporkan
dulu adanya
 Lansia peningkatan
mengatakan frekuensi/bising
mereka sulit usus
untuk buang 4. Melaporkan
air besar adanya suara
bising usus yang
berkurang
5. Mengarakan lanis
mengenai makanan
tertentu yang dapat
membantu
melancarka buang
air besar
6. Menganjurkan
lanisa untuk
mengingat warna,
volume, frekuensi,
dan konsistensi
tinja
7. Memberikan
supositoria ke
dubur sesuia
dengan kebutuhan
8. Memula melatih
usus sesuai
kebutuhan
9. Mendorong asupan
makanan yang
dapat mendukung
pembentukan gas
10. Mengajurkan
lansia untuk
mengkonsumsi
makanan tinggi
serat
11. Memberikan
cairanhangat
setelah makan
12. Mengevaluasi
riwayat pengobatan
yang memiliki efek
samping terhadap
saluran pencernaan

Daftar pustaka

Black, J.M & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan, Edisi 8, Buku 2. Singapore : Elsevier

Bulechek, M. Gloria., et all. (2013). Nursing Intervention Classification. Elsevier : St. Louis

Hermand, Kamitsuru. (2014). Nursing Diagnoses Definition and Classification. West Sussex,
UK : Wiley Blackwell

Miller, C. A. (2012). Nursing For Wellness in Older Adults (6th ed.). Philadelphia: Lippicont
Wiliams & Wilkins.

Moorhead, Sue., et all. (2013). Nursing Outcomes Classification. Elsevier : St. Louis

Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., & Cheever, K. (2010). Brunner & Suddarth's textbook of
medical-surgical nursing. 12th ed. China: Lippincott Williams & Wilkins.

Wallace, M. (2008). Essentials of Gerontological Nursing. Springer Publishing Company (Vol.


18). USA. https://doi.org/10.1016/S0197-4572(97)90051-3

Thouhy, T.A., Jett, K. F. (2014). Ebersole And Hess’ Gerontological Nursing & Healthy Aging.
4th Ed. United State : Mosby Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai