PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari
sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Inkontinensia
dapat berupa inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah
keluarnya feses pada waktu yang tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin atau alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,
2000).
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai
inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat menambah pengetahuan pembaca
serta mampu memberikan penanganan pada lansia yang mengalaminya, dan
khususnya penanganan oleh perawat sebagai tenaga kesehatan melalui pemberian
asuhan keperawatan gerontik.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
3. Apa etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
5. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
B. Klasifikasi
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006):
Jenis Inkontinensia Urin
Inkontinensia dorongan
Definisi
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
Inkontinensia total
yang
terus
menerus
dan
tidak
dapat
3
dan
refleks
trauma
atau
detrusor
penyakit
karena
yang
neuropati.
tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat,
Inkontinensia reflex
tertawa.
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
Inkontinensia fungsional
C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
4
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika
perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan
yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic
alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.
Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
5
inkontinensia.
Semakin
tua
seseorang
semakin
besar
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen.
normal diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh
refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing tekanan
didalam kandung kemih meningkat.
Stimulus
Sering miksi
Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
8
flavoxate,
untuk
meningkatkan
retensi
urethra.
Pada sfingter
overflow umumnya
memerlukan
tindakan
pembedahan
untuk
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
10
II.
KONSEP
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
LANSIA
DENGAN
INKONTINENSIA URIN
A. PENGKAJIAN
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing /
dapat juga di luar waktu kencing.
11
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih
2) Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
3) Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
4) Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
5) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
6) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kondisi penyakit.
C. INTERVENSI
1. Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia.
Kriteria Hasil: Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan
rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang
telah direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
12
Kriteria hasil
penyebab gangguan
tidur.
R/ Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.
3. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum tidur.
R/ Mengurangi frekuensi berkemih pada malam hari
4. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein
13
3. Diagnosa 3
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil : Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau
darah
yang
terjadi
(memberikan
perawatan
perianal,
4. Diagnosa 4
14
15
Kriteria Hasil : klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan
pengobatan, mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alas an
mengikuti prosedur tersebut, mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup
dan berpartisipasi dalam pengobatan, bekerjasama dengan pemberi informasi.
Intervensi :
1. Tentukan persepsi klien tentang kondisinya
R/ Memungkinkannya dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan
konsepsi serta kesalahan pengertian.
2. Beri informasi yang akurat dan actual. Jawab pertanyaan secara spesifik,
hindari informasi yang tidak diperlukan.
R/ Membantu klien dalam memahami proses penyakit
3. Berikan bimbingan kepada klien atau keluarga sebelum mengikuti prosedur
pengobatan, terap, dan komplikasi.
R/ Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.
4. Anjurkan klien untuk memberikan unpan balik verbal dan mengkoreksi
miskonsepsi tentang penyakitnya
R/ Mengetahui sampai sejauh mana pemahaman klien dan keluarga mengenai
penyakit klien
16
6. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang telah
dibuat.
7. EVALUASI
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang cukup, klien
mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan factor
penghambat tidur.
c) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
d) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
e) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
f) klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan,
mengikuti prosedur dengan
17
III.
C. Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit,
penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan
stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan
kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock
Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan
atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses
yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari
anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.
Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara
flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes
18
melalui sela sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi
inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari
macam macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare.
Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan
dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi
sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian
atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk,
1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat
pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi
akibat
gangguann
fungsi
D. Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis
Feses masuk rectum
Saraf rectum
Dibawa ke spinal cord
Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum
Intensifkan peristaltic
Kelemahan spingter interna anus
Inkontinensia alvi
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang
hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan
akibat motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada
lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan
pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada
perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster
juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium
dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya
usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas
tetap dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan
toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi
otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.
E. Manifestasi Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar
merembes.
20
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,
dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk
diagnosis.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan
sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari
rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari
sfingter anal
3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh
rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum
mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk
menemukan tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan
inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.
G. Penatalaksanaan
Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
a. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
b. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
c. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti
sayuran, buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 3 liter/hari
d. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
e. Positioning
Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat
seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang
perlu menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami
kelemahan, perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan
seperti tissue dan tetap berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi.
Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat
berdiskusi ketika terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk
21
defekasi. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita
waktu untuk defekasi.
Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien
yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien
dapat membantu defekasi normal.
Untuk Konstipasi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat
dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin
seharusnya dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat
dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan
klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa
sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti
pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah,
sereal
f. Batasi makanan berlemak
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah
iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan
minum produk-produk susu fermentasi.
Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah
gusi; untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang
menghasilkan gas, seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi
normal) mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik
sebagai berikut :
22
mukosa
usus,
meningkatkan
peristaltik
dan
membantu
hemorrhoid.
Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi.
Hindari negativefeedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan
waktu dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan
24
IV.
KONSEP
A.
ASUHAN
KEPERAWATAN
INKONTINENSIA ALVI
PENGKAJIAN
Untuk mengkaji pola
perawatmelakukan
eliminasi
pengkajian
abdomen,menginspeksi
PADA
LANSIA
danmenentukan
riwayatkeperawatan,
karakteristik
feses
adanya
DENGAN
kelainan,
pengkajian
danmeninjau
kembali
fisik
hasil
inkontinensia{tidak tuntas}) ?
Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman,
hasilnya ?
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan
dilakukan ?
Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi
sistem pencernaan (misalnya Fe, antibiotik) ?
25
Normal
Abnormal
Kemungkinan penyebab
k
Warna
Dewasa :
Pekat / putih
kecoklatan
Bayi : kekuningan
menggunakan barium
Hitam / spt ter.
Merah
Pucat
Orange atau
Infeksi usus
hijau
26
Konsistensi
Berbentuk, lunak,
Keras, kering
Dehidrasi, penurunan
basah.
Bentuk
Silinder (bentuk
Mengecil, bentuk
pensil atauseperti
cm u/
benang
orangdewasa
Jumlah
Tergantung diet
(100 400 gr/hari)
Bau
Aromatik
Tajam, pedas
Infeksi, perdarahan
Pus
Infeksi bakteri
Mukus
Konsidi peradangan
Parasit
Perdarahan gastrointestinal
Darah
Malabsorbsi
epitel, lemak,
Lemak
Salah makan
protein, unsur-
dalamjumlah
unsur kering
besar
:dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan flora
bakteri.
Unsur pokok Sejumlah kecil
bagian kasar
makanan yang
tidak dicerna,
potongan bakteri
yang mati, sel
cairan pencernaan
(pigmen empedu
Benda asing
dll)
27
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan diare berkepanjangan
2. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Inkontinensia fekal
3. Harga diri rendah berhubungan dengan
b. Inkontinensia fekal
c. Perlunya bantuan untuk toileting
4. Defisit pengetahuan tentang bowel training
C.
INTERVENSI
1. Diagnosa 1
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diare
berkepanjangan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
Awasi TTV
rasional
Pengawasan invasive diperlukan untuk
mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi
jantung buruk
Untuk
menentukan
kebutuhan
fungsi
penggantian
usus,
cairan
dan
Membantu
24 jam
tanpa
cairan,
intervensi
Kaji kulit tiap hari. Catat warna,
rasional
Menentukan garis dasar dimana
perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan
berkerut
meningkatkan kenyamanan.
Friksi kulit disebabkan oleh kain
yang berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi dan potensial
terhadap infeksi.
3. Resiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan rasa malu tentang
inkontinensia di depan orang lain.
Kriteria Hasil.
Klien akan:
a)
b)
intervensi
Akui frustasi klien dengan
rasional
Bagi klien, inkontinensia
29
inkontinensia
terhadap cedera.
Ajarkan klien cara untuk
mengontrol masalah
inkontinensia.
frustasinya.
Tindakan ini dapat
mendorong sosialisasi
Perjalanan singkat membantu
awalnya, kemudian
intervensi
Berikan pengetahuan tentang
latihan bowel training pada
rasional
Latihan bowel training dapat
membantu untuk menangani
30
pasien
Inkontinensia
Nokturia
Berkemih yang terjadi sebelum mencapai tempat atau wadah yang tepat
Pasien berkemih dalam situasi yang tepat dengan menggunakan wadah sesuai. (2,3,4)
32
33
5. Turunkan penggunaan alcohol pada pasien untuk mengurangi deficit sensori dan
mobilitas.
6. Ajarkan pasien dan anggota keluarga atau pasangan mengenal teknik kontinensia
untuk diterapkan dirumah. Beri kesempatan pada pasien dan keluarga atau pasangan
untuk mengikuti demonstrasi. Tindakan ini akan meningkatkan kemungkinan
keberhasilan bladder training.
7. Beri dorongan kepada pasien dan anggota keluarga atau pasangan utntuk berbagi rasa
yang berhubungan dengan inkontinensia. Hal ini memungkinkan masalah-masalah
khusus diidentifikasi dan diatsai. Mendengarkan dengan penuh perhatian dapat
memberikan penghargaan dan perhatian.
8. Rujuk pasien dan anggota keluarga atau pasangan diperawat psikiatsi, lembaga
perawatan rumah, kelompok pndukung, dan sumber-sumber yang berupa bila
memungkinkan untuk memberikan akses terhadap sumber-sumber komunitas
tambahan.
9. Pertahankan kulit sebersih dan sekering mungkin. Gunakan sabun lembut dan air
untuk membersihkan daerah yang terbakar dan mencegaj kerusakan kulit.
Definisi
Pengeluaran feses yang di luar keinginan.
Batasan karakteristik
Bukti klinis adanya defisit neuromuskular.
Pengeluaran feses di luar keinginan.
Hasil yang diharapkan
Pasien menentukan dan mempertahankan pola defekasi. (1, 2, 4)
Pasien menyatakan memahami defekasi. (2, 3, 4, 5)
Pasien atau pemberi asuhan mendemonstrsikan keterampilan
dalam
1
2
jam agar supositoria meleleh dan terjadi respons refleks maksimum. Pola yag
b.
teratur,
menstimulasi
peristaltis,
meminimalkan
infeksi,
dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
yang baik.
Pertahankan catatan harian asupan diet untuk mengidentifikasi makanan-makanan
yang dapat mengiritasi. Ajarkan pasien untuk menghindari makanan yang pedas,
8.
9.
teratur.
Anjurkan pasien untuk menggunakan bantalan proteksi di bawah pakaian, tukar
bila memungkinkan untuk mencegah bau, kerusakan kulit, atau rasa malu dan
untuk meningkatkan citra diri yang positif.
35
D.
IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang telah dibuat.
E.
EVALUASI
a. Asupan cairan dan diet klien sudah tepat
b. Harga diri pasien kembali normal
c. Klien dan keluarga memahami instruksi tentang training bowel
36
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada lanjut usia.
Prevalensinya meningakat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada
wanita. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibanding inkontinensia urine.
Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi
sistem saraf, respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan
mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia alvi bukan merupakan sesuatu
yang normal pada lanjut usia. Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses
tanpa disadari, dalam batas dan yang cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan
kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari
kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia
urine terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya hanya sementara.
Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius ( paraplegia ),
kemungkinan besar bersifat permanen.
B. Saran
1. Kurangi aktitas yang benar seperti mengangkat benda yang berat
2. Buatlah jadwal ketika ingin berkemih
3. Lakukan latihan bowel training inkontinensia alvi
4. Ketika merasakan sensasi ingin BAK/BAB segeralah ke toilet
5. Lakukan latihan blaidder training pada inkontinensia uri
DAFTAR PUSTAKA
37
inkontinensia
urin
pada
pasien
stoke. Diakses
dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=76387&lokasi=lokal pada tanggal 15 Juni 2015.
Hidayat, A. Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep
Dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Proses Dan Praktik.
Ed. 4. Jakarta: EGC.
Rochani. 2002. Penduduk Indonesia Idap Inkontinensia Urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 14 Juni 2015.
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnose Keperawatan: dengan Rencana Asuhan. Jakarta:
EGC.
38