Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini
lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia
di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine
yang baik.

Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih
bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara
terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli.
Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih
yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-
buli yang sempurna, proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang
baik serta setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk
terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal. Bila salah satu atau beberapa
aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul gangguan miksi yang
disebut inkontinensia urin

Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan
berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun
mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65

1
tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu
mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.

Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya


keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan
jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan
miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum
mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering
didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
a. Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan
Gangguan Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari Inkontinensia urine.
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari Inkontinensia urine.
c. Untuk mengetahui etiologi dari Inkontinensia urine.
d. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Inkontinensia urine.
e. Untuk mengetahui epidemiologi dari Inkontinensia urine
f. Untuk mengetahui patofisiologi Inkontinensia urine.
g. Untuk mengetahui pathway Inkontinensia urine.
h. Untuk mengetahui prognosis Inkontinensia urine.
i. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Inkontinensia urine.
j. Untuk mengetahui komplikasi dari Inkontinensia urine.
k. Untuk mengetahui therapi Inkontinensia urine.

2
l. Untuk mengetahui penatalaksanaan medik untuk Inkontinensia urine.
m. Untuk mengetahi pemeriksaan diagnostik Inkontinensia urine.
n. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Inkontinensia
urine.

C. Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :
1. Metode Kepustakaan
Adalah metode pengumpulan data yang digunakan penulis dengan
mempergunakan buku atau refrensi yang berkaitan dengan masalah yang
sedang dibahas.
2. Metode Media Informatika
Adalah metode dengan mencari data melalui situs-situs di internet dan
mengutip materi dari sumber internet yang terpercaya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Inkontinensia Urine


Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya
(FKUI, 2006). Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser
sebagai bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut
usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah
dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes
urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai
inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).

Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan


sebagai keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara
objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis.
Hal ini memberikan perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap
Oikehidupan sosial, psikologi, aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan
hubungan interaksi sosial dan interpersonal. Inkontinensia urine dapat bersifat
akut atau persisten. Inkontinensia urine yang bersifat akut dapat diobati bila
penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih,
gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan masalah
psikologik.

Diperkirakan prevalensi inkontinensia urine berkisar antara 15 – 30% usia lanjut


di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit

4
mengalami inkontinensia urine, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urine ini
angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih
bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi
inkontinensia bukan bagian normal proses menua.

B. Klasifikasi Inkontinensia Urine


Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all ) :
1. Inkontinensia Urine Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke
toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urine umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urine
fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan,
atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urine.
Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)
mungkin akan memicu inkontinensia urine.

Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi


yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urine,
seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urine nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urine seperti Calcium Channel Blocker, agonist
adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urine akut
reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :

5
a. Delirium.
b. Restriksi mobilitas, retensi urin.
c. Infeksi, inflamasi, Impaksi.
d. Poliuria, pharmasi.

2. Inkontinensia Urine Kronik (Persisten)


Inkontinensia urine persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis,
klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan
intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urine stress
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intra
abdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya
disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab
tersering inkontinensia urine pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat
kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan
radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk,
atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urine urgensi
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urine jenis ini umumnya dikaitkan dengan
kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-
masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urine urgensi
ini, meliputi stroke, penyakit parkinson, demensia dan cedera medula
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet
setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urine. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi

6
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter
tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki gejala seperti inkontinensia urine stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karen aitu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat.

3. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )


Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung
kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis
multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung
kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

4. Inkontinensia Urine Fungsional


Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran
urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah
demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urine pada lansia muncul dengan berbagai gejala
dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urine.
Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.

Walaupun begitu, bebrapa perubahan–perubahan berkaitan dengan


bertambahnya usia, dan faktor–faktor yang sekarang timbul sebagai akibat
seorang menjadi lanjut usia dapat mendukung terjadinya inkontinensia
(kane, dkk). Faktor–faktor yang berkaitan dengan bertambahnya usia antara
lain :

7
a. Mobilitas yang lebih terbatas karena menurunnya panca indra dan
kemunduran system lokomosi.
b. Kondisi–kondisi medis yang patologik dan berhubungan dengan
pengaturan urin, misalnya pada penyakit DM, gagal jantung kongestif.

C. Etiologi Inkontinensia Urine


Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine antara
lain :
1. Kelainan Traktus Urinenarius Bagian Bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi
estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.

2. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.

3. Kelainan Neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis),
medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis),
dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma saraf).

4. Kelainan Sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau

8
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.

5. Kondisi Fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-
otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor resiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga beresiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

6. Efek Samping Pengobatan


Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor
kolinestrase.

Etiologi Inkontinensia Urine pada Lansia


Inkontinensia urine khususnya pada lansia dapat merupakan sebuah gejala dari
penyakit lain. Terlebih bila gejala tersebut disertai dengan polyuria, nokturia,
peningkatan tekanan abdomen atau gangguan system saraf pusat. Beberapa
kondisi yang dapat menjadi penyebabnya ialah sebagai berikut :

9
1. Gagal jantung
2. Penyakit ginjal kronik
3. Diabetes
4. Penyakit paru obstruktif kronik
5. General cognitive impairment
6. Gangguan tidur, misalnya sleep apnea
7. Penyakit neurologis, misalnya stroke dan sclerosis multiple
8. Obesitas

D. Anatomi Fisiologi Inkontinensia Urine

Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air
kemih).
1. Ginjal
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis
dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat
langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang,
jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal
kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.

10
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang
terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan
korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla
(substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid.
Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil
disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna
renalis, jumlah renalis 15-16 buah.

Garis-garis yang terlihat pada pyramid disebut tubulus nefron yang


merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerolus, tubulus
proksimal (tubulus kontorti satu), ansa Henie, tubulus distal (tubuli kontorti
dua) dan tubulus urinarius (papilla vateri). Pada setiap ginjal diperkirakan
ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri
renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang
terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler
satu badan malfigi yang disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang
bercabang mebentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah
dari ginjal ke vena kava inferior.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh
akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam
jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine
yang diekskresikan berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga
susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relative normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan
ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan
garam yang berlebihan/penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan
meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting (misal Na, K, Cl, Ca dan
Fosfat).

11
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa
yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat
agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme
protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa.
pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai
dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat
toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia
asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin
yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system renin
angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan
penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).
Disamping itu ginjal juga membentuk hormon dihidroksi kolekalsiferol
(vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.

Proses pembentukan urin


Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman, berfungsi
untuk menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus ginjal akan
terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerolus,
sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke ureter. Urine
berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada tiga tahap pembentukan urine :
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairan yang tersaring ditampung oleh sampai Bowman yang terjadi dari

12
glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke
tubulus ginjal.
b. Proses reabsopsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas.
Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara
aktif dikenal dengan reabsopsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke
vesika urinaria.

2. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30cm, dengan
penampang kurang lebih 0,5cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga
abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter
terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa).
b. Lapisan tengah lapisan otot polos.
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa.

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic tiap 5


menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung
kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltic mendorong urine melalui ureter
yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran,

13
melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih. Ureter berjalan
hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh
peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan
pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe berasal dari
pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.

Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak di belakang


peritonium sebelah media anterior psoas mayor dan ditutupi oleh fasia
subserosa. Vasa spermatika/ovarika interna menyilang ureter secara oblique,
selanjutnya ureter akan mencapai kavum pelvis dan menyilang arteri iliaka
ekterna. Ureter kanan terletak pada pars desendens duodenum. Sewaktu
turun ke bawah terdapat di kanan bawah dan disilang oleh kolon dekstra dan
vosa iliaka iliokolika, dekat apertum pelvis akan dilewati oleh bagian bawah
mesenterium dan bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa koplika
sisintra dekat aperture pelvis superior dan berjalan di belakang kolon
sigmoid dan mesenterium. Pars pelvis ureter berjalan pada bagian dinding
lateral dari kavum pelvis sepanjang tepi anterior dari insisura iskhiadika
mayor dan tertutup oleh peritoneum. Ureter dapat ditemukan di depan arteri
hipogastrika bagian dalam nervus obturatoris arteri vasialia anterior dan
arteri hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura iskhiadika mayor,
ureter agak miring ke bagian medial untuk mencapai sudut lateral dari vesika
urinaria.

Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh
duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter
berjalan obloque sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut
lateral dari trigonum vesika. Sewaktu menembus vesika urinaria, dinding
atas dan dinding bawah ureter akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria
penuh akan membentuk katup (valvula) dan mencegah pengembalian dari
vesika urinaria. Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan

14
berjalan kebagian medial dan kedepan bagian lateralis serviks uteri bagian
atas, vagina untuk mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya,
ureter didampingi oleh arteri uterine sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri
ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara lapisan ligamentum.
Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga tempat yang penting
dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu sambungan ureter pelvis
diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan pada saat masuk
ke vesika urinaria yang berdiameter 1-5 mm.

3. Vesika Urinaria (kandung kemih)


Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti
balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul.
Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat,
berhubungan dengan ligamentum vesika umbilicus medius. Bagian vesika
urinaria terdiri dari :
a. Fundus yaitu bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah,
bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi
oleh jaringan ikat duktus deferen, vesika seminalis, dan prostat.
b. Korpus yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks bagian yang memancung kearah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.

Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa (lapisan
bagian dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke
dalam nodi limfatik iliaka interna dan eksterna.

15
4. Uretra
a. Uretra Pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah
prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang
pubis kebagian penis panjangnya kurang lebih 20 cm. Lapisan uretra
laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam) dan lapisan
submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium uretra interna di dalam
vesika urinaria sampai orifisium uretra ekterna. Pada penis panjangnya
17,5-20 cm yang terdiri dari bagian-bagian berikut :
1) Uretra prostatia
Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3 cm,
berjalan hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari
basis sampai ke apeks dan lebih dekat ke permukaan anterior.
Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih
luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung
dengan pars membran. Potongan transversal saluran ini menghadap
kedepan. Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang
berbentuk kulit yang dibentuk oleh penonjolan membran mukosa
dan jaringan di bawahnya dengan panjang 15-17 cm dan tinggi 3
cm. Pada kiri dan kanan krista uretralis terdapat sinus prostatikus
yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostat dan duktus dari lobus medial glandula prostat
bermuara di belakang Krista uretralis.

Bagian depan dari krista uretralis terdapat tonjolan yang disebut


kolikus seminalis. Pada orifisium utrikulus, prostatikus berbentuk
kantong sepanjang 6 cm yang berjalan ke atas dan ke belakang di
dalam substansia prostate di belakang lobus medial. Dindingnya
terdiri dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan membran mukosa.
Beberapa glandula kecil terbuka ke permukaan dalam.

16
2) Uretra membranosa
Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang paling
pendek dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dan
kedepan di antara apeks glandula prostat dan bulbus uretra. Pars
membranasea menembus diafragma urogenitalis, panjangnya kira-
kira 2,5cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh jaringan
sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat vena
dorsalis penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum equarta pubis.
3) Uretra kavernosa
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra
dan terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-
kira 15 cm, mulai dari pars membranasea sampai ke orifisium dari
difragma urogenitalis. Pars kavernosus rata berjalan ke depan dan
ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada keadaan penis
berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke bawah dan ke
depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus penis 6
mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan berdilatasi di dalam
gland penis yang akan membentuk fossa navikularis uretra.

Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang paling


berkontraksi berupa sebuah celah vertikal di tutupi oleh kedua sisi
bibir kecil dan panjangnya 6 mm. Glandula uretralis yang akan
bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu glandula
dan lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di dalam
korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lacuna bagian
dalam epithelium. Lacuna yang lebih besar di permukaan atas
disebut lacuna magma orifisium dan lacuna ini menyebar ke depan
sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang dilalui
sepanjang saluran.

17
b. Uretra Wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring
sedikit kearah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra
wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa
merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan
sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina
(antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran
ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm. uretra ini
menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung
di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula
uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula
pars uretralis (skene) yang bermuara ke dalam orifisium uretra yang
hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.

Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan


permukaan vagina dan 2,5 cm di belakang gland klitoris. Uretra wanita
jauh lebih pendek daripada uretra pria dan terdiri lapisan otot polos yang
diperkuat oleh sfingter otot rangka pada muaranya penonjolan berupa
kelenjar dan jarongan ikat fibrosa longgar yang ditandai dengan banyak
sinus venosa mirip jaringan kavernosus.

E. Epidemiologi Inkontinensia Urine


Diperkirakan prevalensi inkontinensia urine berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urine, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urine ini
angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari
pada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia

18
telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi
kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina
dengan kontinensia urine yang baik.

Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian


bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses penuaan.

F. Patofisiologi Inkontinensia Urine


Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi
sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau
bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing.
Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Inkontinensia urine
dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan
timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang
dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari
kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada
beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan
menjadi 4 :
1. Urinary stress incontinence
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar
akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam
kandung kencing menjadi lebih besar dari pada tekanan pada urethra.
Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengejan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi (misalnya dengan kegel

19
exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara
yang lebih sering dipakai).

2. Urge incontinence
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil,
dimana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan
ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari,
dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan
dan beberapa latihan.

3. Total incontinence
Total incontinence, dimana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan
pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran
abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau
ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara
kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran
antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai, dapat ditangani dengan
tindakan operasi.

4. Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang
sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang
lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit
diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang
tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.

20
G. Pathway Inkontinensia Urine
Perubahan Neurologik Perubahan struktur kandung
kemih (degenerative)

Perubahan otot urinari


Gangguan kontrol berkemih

Defisiensi tahanan urethra

Inkontinensia Urin

Inkontinensia Stress
Inkontinensia Urgensi
Tekanan kandung kemih >
ansietas Otot detrusor tidak stabil tekanan urethra

Reaksi otot berlebihan Tekanan pada rongga


perut

Kandung kemih bocor


hari kali

batuk bersin tertawa mengedan


Inkontinensia
Tidur
Rembesan urin

Mengenai area
genitalia

Resiko kerusakan
integritas kulit

21
Inkontinensia Total
Inkontinensia Overflow

Diabetes, cedera sumsum


Adanya fistula tl. Belakang, saluran
kencing tersumbat

Vistula vesiko vaginalis


atau vistula uretrovaginalis Gangguan saraf

Otot detrusor lemah


Bedrest

Urin di kandung kemih


Immobilitas

kemih berlebih

Isolasi Sosial Risiko Infeksi


Diri

H. Prognosis Inkontinensia Urine


1. Inkontinensia Tekanan Urine
Pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang efektif adalah dengan
latihan otot (latihan kegel) dan tindakan bedah. Perbaikan dengan terapi
alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan
Kegel bisa mencapai 87%-88%.

2. Inkontinensia Urgensi
Dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung kemih memberikan
perbaikan yang cukup signifikat (75%) dibandingkan dengan penggunaan

22
obat antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.

3. Inkontinensia Luapan
Terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi gejala
inkontinensia.

4. Inkontinensia Campuran
Latihan kandung kemih dan latihan panggul memberikan hasil yang lebih
memuaskan dibandingkan penggunaan obat-obata anti kolinergik.

I. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine


Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering Berkemih
Merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di
bandingkan dengan pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering
dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi
Berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam.
3. Nokturia
Malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi
Keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh
seperti keadaan normal.
5. Urge Inkontinensia
Dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat ditahan
sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar
lebih dulu.

23
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia
merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar
pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak dari pada kapasitas kandung
kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan
urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot
detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada
beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter
berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat
kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan
frekuensi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada
kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat hubungannya
dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya
pada sepertiga kasus inkontinensia urine.

J. Kompikasi Inkontinensia Urine


Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan
antara lain :
1. Infeksi saluran kemih.
2. Ulkus pada kulit.
3. Problem tidur.
4. Depresi dan kondisi medis lainnya..

K. Therapi Inkontinensia Urine


1. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :

24
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan lansia.
c. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
d. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
1) Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ±
10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air
besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra
dapat tertutup dengan baik.

2. Terapi Farmakologi
a. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate, Imipramine.

25
b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi uretra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti bethanechol
atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

L. Penatalaksanaan Medik Inkontinensia Urine


1. Latihan otot-otot dasar panggul, latihan penyesuaian berkemih, obat-
obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen, tindakan
pembedahan memperkuat muara kandung kemih.
a. Inkontinen Stres
1) Latihan otot-otot dasar panggul.
2) Latihan penyesuaian berkemih.
3) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.
4) Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih.
b. Inkontinensia Urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya.
2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.
3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain
keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih
bagian bawah.
c. Inkontensia Overflow
1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak
mungkin secara menetap.
2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
d. Inkontinensia Tipe Fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan
kebiasaan berkemih.
2) Pakaikan dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
3) Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih.

26
4) Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung
kemih.

2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang
paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan
pemakaian alat mekanis.
a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar
pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar
panggul membantu penutupan uretra pada keadaan yang
membutuhkan ketahanan uretra misalnya pada waktu batuk. Juga
dapat mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang
ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan
peningkatan tekanan intra abdominal, perubahan posisi dan
pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat
hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal.
Fisioterapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik
uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan
kandung kemih (bladder training) telah menunjukan hasil yang
efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung
kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung
kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
b. Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk

27
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu
yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted
voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).

3. Penatalaksanaan Farmakologik
a. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretra proksimal megandung alfa adrenoseptor
yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan
penutupan uretra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan
tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan
efektif pada inkotinensia stres. Efek samping meningkatkan tekanan
darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP.

c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding
dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA
adalah komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan anti
histamin dan anti hikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek
samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stress
mengalami perbaikan.

28
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal
pada uretra dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal.
Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada
inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan
penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang
akurat.

4. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah
menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai
implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan
tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama
beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan
penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena
sering terjadi efek mekanis dan morbilitas karena infeksi. Sedang
stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan
baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan
dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, hodge
pessary, silindris.

5. Alat Mekanis (Mechanical Devices)


a. Tampon
Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila
kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan.
Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.

29
b. Edward Spring
Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita
dengan inkontinensia stress dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian
terjadi ulserasi vagina.
c. Bonnas’s Device
Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.

6. Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat
dan baik pada penderita dan keluarganya karena angka kegagalan
maupun rekurensi tindakan ini tetap ada. Terapi ini dapat
dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan


dengan beberapa cara meliputi :
a. Kolporafi anterior.
b. Uretropeksi retropubik.
c. Prosedur jarum.
d. Prosedur sling pubovaginal.
e. Periuretral bulking agent.
f. Tension vaginal tape (TVT).

7. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urine, dapat pula digunakan beberapa alat

30
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urine, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah
seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal,
dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

M. Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urine


1. Tes diagnostik pada inkontinensia urine
a. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi.
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
c. Urodinamik:
1) Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran.
2) Sistrometri : menggambarkan kontraksi detrusor.
3) Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat mengejan
pada pasien dengan inkontinensia stres.

31
4) Flowmetri tekanan udara : mengukur tekanan uretra dan
kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih.

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.
d. Urografi Ekskretorik
Urografi ekskretorik bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan
kandung kemih.
e. Kateterisasi Residu Pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih
dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.

3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi

32
inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan
kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris,
gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis,
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat medis
yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.

Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk


menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau
masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih).
Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat
menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan
gejala lebih lanjut. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang
terfokus pada saluran kemih bagian bawah, termasuk penilaian
neurologis pada tungkai dan perineum, juga diperlukan. Sebagai
tambahan, pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian kandung
kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil,
dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data
mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih
belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian
urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai tekanan/volume dan
hubungan tekanan/aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran tekanan
detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
overaktifitas detrusor.

33
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA
DENGAN INKONTINENSIA URINE FUNGSIONAL

Kasus
Ny.W berusia 63 tahun dengan BB 76kg ketika datang kerumah sakit Dr.
Soetomo dengan keluhan BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga
sampai ke toilet. Ny.W mengatakan kencing sebanyak lebih dari 10 kali dalam
sehari,dengan jumlah urine 1000-1500ml. Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya
tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet dan terasa perih pada area
perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan
sering menahan haus, dan mengalami penurunan BB sebanyak 5kg menjadi 71kg.
Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air
kencingnya yang menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat
ditanyakan tentang riwayat kehamilan, anak klien mengatakan bahwa klien
memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami keguguran. Anaknya
mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti itu
sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. Dulunya klien adalah seorang
penjahit di rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi bekerja.
Setelah dilakukan pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan membran mukosa
kering, turgor kulit kering dan keriput serta lecet-lecet pada kulitnya. Hasil dari
TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi 90x/menit, RR 19x/menit, dan Suhu
370C.

34
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien dan penanggung jawab
a. Identitas klien
Nama : Ny. W
Tempat/Tanggal lahir : Solo, 12 Mei 1956
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5

b. Identitas penanggung jawab


Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMK
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5
Hubungan dengan klien : Anak kandung

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya
sehingga mengompol.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus
dengan frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa
menahan kencingnya untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol.
Klien mengaku mengurangi minum dan menahan rasa haus.

35
c. Riwayat penyakit keluarga
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang
mengalami penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit
keturunan.
d. Riwayat psikologi
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan
bau kencingnya sangat menyengat.
e. Riwayat kehamilan
Klien memiliki 2 orang anak dan tidal pernah mengalami keguguran.

3. Pola fungsi kesehatan


a. Pola manajemen kesehatan/penyakit
1) Tingkat pengetahuan kesehatan/penyakit
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini.
2) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
Klien mengatakan belum berobat kemanapun saat mengalami
penyakit ini.
3) Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
Klien mengatakan tidak tahu penyebab penyakit ini.
b. Pola aktivitas dan latihan
1) Sebelum sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
36
2) Saat sakit

Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat √
tidur
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √

Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dibantu sebagian
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan peralatan
4 : Ketergantungan / tidak mampu
c. Pola istirahat dan tidur
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00
WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00
WIB
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00
WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00
WIB

37
d. Pola nutrisi dan metabolik
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan
lauk, habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 7 – 8 gelas sehari
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan
lauk, habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 4 – 5 gelas sehari
e. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat,
bau khas dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 2 – 6 kali sehari, warnanya kuning
bening
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat,
bau khas dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 9 – 10 kali sehari, warnanya
kuning keruh dan bau urin menyengat.
f. Pola toleransi - koping
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari
(menjahit).
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu jika keluar rumah karena sering
mengompol dan bau kencingnya sangat menyengat.

38
g. Pola hubungan peran
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bisa berkumpul berbincang dengan keluarga
dan tetangganya dan menjahit.
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu untuk berkumpul berbincang
dengan tetanggannya dan sudah tidak bisa menjahit lagi.
h. Pola nilai dan keyakinan
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bahwa ia beribadah 5 waktu sehari.
2) Saat sakit
Klien mengatakan dapat beribadah 5 waktu sehari dan berdoa
meminta kesembuhan oleh ALLAH untuk sabar dan pasrah akan
kesembuhannya.

4. Pengkajian fisik
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg Suhu:370C RR:19x/me Nadi:90x/
nit menit
b. Kepala dan leher
1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan
potongan rambut pendek.

39
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri
tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva
pucat pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang
keluar seperti nanah atau darah.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan
tanda – tanda infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa
bibir kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.

40
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke
kiri.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.

c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi

41
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran
hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas,
pergerakan normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot

5 5

5 5
Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai
perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.

42
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan.
B. Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah

1. DS : Kegagalan mekanisme Kekurangan volume


- Klien mengatakan regulasi cairan
mengurangi
minum.
- Klien mengatakan
sering merasa
haus.
DO :
- Membran mukosa
kering.
- Turgor kulit
kering.
- TTV :
- TD : 160/90
mmHg.
- N : 90x/menit.
- RR :
19x/menit.
- S : 37°C.
- BB 71kg
- Frekuensi minum
4-5 gelas dalam
sehari.

43
2. DS : Gangguan fungsi kognisi Inkontinensia
- Klien mengatakan urinarius fungsional
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
- Klien mengatakan
bahwa dirinya
tidak bisa
menahan kencing
untuk sampai ke
toilet.
DO :
- Klien sering
mengompol.

44
3. DS : Gangguan turgor kulit Kerusakan integritas
- Klien mengatakan kulit
perih di daerah
perinealnya.
DO :
- Tampak
kemerahan di area
perineal.
- Turgor kulit
kering.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme
regulasi.
2. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan gangguan fungsi
kognitif.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.

45
D. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan Intervensi
keperawatan
1. Kekurangan Setelah dilakukan asuhan Jaga intake/asupan yang
volume keperawatan selama 1x24 akurat dan catat output.
cairan jam klien mampu
berhubungan menunjukan hidrasi yang Monitor status hidrasi
dengan adekuat, dengan kriteria : (misalnya : membran
kegagalan 1. Keseimbangan mukosa lembab,denyut
mekanisme intake dan output nadi adekuat, dan tekanan
regulasi dalam 24 jam. darah ortostatik.
2. Turgor kulit elastis.
3. Kelembapan Monitor tanda tanda vital
membran mukosa. pasien.
4. TTV stabil.

Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian.
Distribusikan asupan
cairan salama 24 jam.

2. Inkontinensia Setelah dilakukan asuhan Jaga privasi klien saat


urinarius keperawatan selama 1x24 berkemih.
fungsional jam klien mampu
Modifikasi pakaian dan
berhubungan mengontrol pola
lingkungan untuk
dengan berkemih, dengan kriteria
mempermudah akses ke
gangguan :
toilet.

46
fungsi 1. Klien dapat Batasi intake cairan 2-3
kognitif. merespon saat jam sebelum tidur.
kandung kemih
penuh dengan tepat
Instruksikan klien untuk
waktu.
minum minimal 1500 cc
air per hari.

3. Kerusakan Setelah dilakukan asuhan Bantu pasien


integritas keperawatan selama 1x24 membersihkan perineum.
kulit jam klien mampu
berhubungan menunjukan perbaikan Jaga agar area perineum
dengan keadaan turgor dan tetap kering.
irigasi mempertahankan
kontras oleh keutuhan kulit, dengan Bersihkan area perineum
urine. kriteria : secara teratur.
1. Kulit perianal tetap
Berikan posisi yang
utuh.
nyaman.
2. Urin jernih dengan
sedimen minimal. Berikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).

47
E. Implementasi dan Evaluasi
No.
Tanggal Implementasi Evaluasi
Dx
23-09-19 1. 1. Menjaga intake/asupan S :
(07.00 s/d yang akurat dan catat - Klien mengatakan
14.00 output. mengurangi minum.
WIB) - Respon : Klien - Klien mengatakan
mengatakan masih sering merasa haus.
sering merasakan haus
karena intake dibatasi. O:
2. Memonitor status hidrasi - Membran mukosa
(misalnya : membran kering.
mukosa lembab,denyut - Turgor kulit kering.
nadi adekuat, dan tekanan - TTV :
darah ortostatik. - TD : 160/90
- Respon : mmHg
- Membran mukosa - N : 90x/menit.
tampak kering. - RR : 19x/menit.
- Turgor kulit tidak - S : 37°C.
elastis. - BB 71 kg
3. Memonitor tanda tanda - Frekuensi minum 4-5
vital pasien. gelas dalam sehari.
- Respon :
- TD : 160/90 mmHg. A:
- N : 90x/menit. Masalah belum teratasi.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C. P:
4. Berkolaborasi dengan Intervensi dilanjutkan :
keluarga untuk mengawasi - Menjaga
asupan cairan pasien. intake/asupan yang

48
- Respon : Keluarga akurat dan catat
mengatakan pasien output.
sering mengeluh haus. - Memonitor status
hidrasi (misalnya :
membran mukosa
lembab,denyut nadi
adekuat, dan tekanan
darah ortostatik.
- Memonitor tanda
tanda vital pasien.
- Berkolaborasi dengan
keluarga untuk
mengawasi asupan
cairan pasien.
24-09-19 2. 1. Menjaga privasi klien saat S :
(07.00 s/d berkemih. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien tampak frekuensi pipis masih
WIB) lebih nyaman saat 10x dalam sehari.
sedang berkemih dan - Klien mengatakan
tidak merasa bahwa dirinya masih
malu/terganggu dengan belum bisa menahan
orang di sekitar. pipis untuk sampai ke
2. Memodifikasi pakaian dan toilet.
lingkungan untuk
mempermudah akses ke O :
toilet. - Tampak masih
- Respon : Klien sudah mengompol.
terlihat lebih mudah saat
akan berkemih. A:
Masalah belum teratasi.

49
3. Membatasi intake cairan P :
2-3 jam sebelum tidur. Intervensi dilanjutkan :
- Respon : Klien masih - Memodifikasi
terlihat mengompol pakaian dan
tetapi dalam jumlah yang lingkungan untuk
sedikit/jarang. mempermudah akses
4. Menginstruksikan klien ke toilet.
untuk minum minimal - Membatasi intake
1500 cc air per hari. cairan 2-3 jam
- Respon : Klien sebelum tidur.
mengatakan/tampak
tidak mengalami
dehidrasi karena output
berlebih.
25-09-19 3. 1. Membantu pasien S :
(07.00 s/d membersihkan perineum. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien terlihat perih pada area
WIB) lebih nyaman jika perinealnya.
perenieumnya bersih.
2. Menjaga agar area O :
perineum tetap kering. - Terdapat lecet di area
- Respon : Pasien tampak perineal.
sangat memperhatikan
perenieumnya agar tidak A :
lembab/basah. Masalah belum teratasi.
3. Membersihkan area
perineum secara teratur. P:
- Respon : Pasien tampak Intervensi dilanjutkan :
sering mengeluh perih - Menjaga agar area
saat sedang dibersihkan. perineum tetap

50
4. Memberikan posisi yang kering.
nyaman. - Membersihkan
- Respon : Pasien masih area perineum
tampak kurang nyaman secara teratur
dan sering - Memberikan posisi
berganti/berpindah yang nyaman.
posisi.
5. Memberikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).
- Respon : Pasien tampak
tidak khawatir lagi
dengan keadaan
pereniumnya setelah
diberikan lotion.

51
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan
tekanan abdomen secara tiba-tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada
pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi
lanjut usia.

B. Saran
Kami selaku mahasiswa berharap dengan pembuatan paper dalam bentuk
makalah ini, dapat memberikan manfaat dalam proses belaja mengajar. Dan
tetap mengharapkan bimbingan lebih dalam lagi dari para Dosen pembimbing
mengenai penyakit “Inkontenensia Urin”.

52

Anda mungkin juga menyukai