Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID ABDOMINALIS

Disusun Oleh :

YORI DILARIYADI

NIM 1490120059

Prodi Profesi Ners XXV

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel

Bandung

2020
A. Definisi
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Typhi, typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan kesadaran dan saluran pencernaan (Mansjoer,2003).
Typus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala,
kelesuan, anoreksia, bradikardi, kadang-kadang pembesaran hati/limpa/atau
keduanya.
Typoid adalah suatu penyakitpada usus yang menimbulkan gejal-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typosa, salmonellatype A,B,C penularan terjadi secara
pecal, oral, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief. M,
2009).

B. Anatomi Fisiologi
Anatomi fisiologi pada klien Typhoid menurut Syaifudin (1997) meliputi sistem yang
mengalami gangguan, yaitu system pencernaan. Sistem pencernaan atau system
Gastrointestinal adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke
dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut,
tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan
anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran
pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
1. Mulut Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada
manusia. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal
dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir. Mulut merupakan jalan masuk
untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir.
Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah.
Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh Saraf Olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai
macam bau.
2. Lambung Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti
kandang keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu Kardia, Fundus, Antrum. Makanan
masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin
(Sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfingter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan. Lambung
berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Lendir melindungi sel-sel lambung
dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini bisa
menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
3. Usus halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran
pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya
akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui Vena
Porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahanpecahan makanan yang dicerna). Lapisan usus
halus terdiri dari lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar
(Muskulus Sirkuler), lapisan otot memanjang (Muskulus Longitidinal) dan lapisan
serosa (sebelah luar).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (Duodenum), usus
kosong (Jejunum), dan usus penyerapan (Ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah
bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya
ke usus kosong (Jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian
terpendek dari usus halus, dimulai dari Bulbo Duodenale dan berakhir di
ligamentum Treitz.
b. Usus Kosong (Jejenum) Usus kosong atau Jejunum adalah bagian kedua dari
usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(Ileum). Panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter pada orang dewasa, 1-2
meter adalah berupa jejunum. Jejunum dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot
usus (Vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat
dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner.
Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni
sedikitnya Sel Globet dan Plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus
kosong dan usus penyerapan.
c. Usus Penyerapan (lleum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir
dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia ini memiliki panjang sekitar
2-4 m dan terletak setelah Duodenum dan Jejunum dan dilanjutkan oleh usus
buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan
berfungsi menyerap vitamin B 12 dan garam-garam empedu.
d. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus
antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air
dari feses. Usus besar terdiri dari Kolon asendens (kanan), Kolon transversum,
Kolon desendens (kiri), Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare.
e. Rectum dan Anus Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
Intestinum Mayor dengan anus terletak didalam Rongga Pelvis di depan Os
Sacrum dan Os Koksigis. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar) terletak di dasar Pelvis
dindingnya diperkuat oleh 3 spincter, yaitu spincter ani ekstemus yang bekerja
menurut kehendak, spincter ani internus dan spincter levator ani yang bekerja
tidak menurut kehendak.

C. Etiologi
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasive yang ditandai oleh demam,
toksemia, nyeri perut, konstipasi, diare. Etiologi tipoid dan paratyphoid adalah
S.typhi, S. Paratyhpi A, B, C. (Arjatmo Tjokronegoro, 2007), yaitu :
1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu :
Antigen O (somatic, terdiri dari zat komplek liopolisakarida), Antigen H
(flagella), Antigen V1 dan protein membrane hialin.
2. Salmonella paratyphi A, B, dan C merupakan bagian dari virus Salmonella yang
dapat ditentukan dengan adanya pemeriksaan laboratorium.
3. Faces dan urine dari penderita thypus (Rahmat Juwono, 2006).

D. Patofisiologi
Proses infeksi dari penyakit typhoid menurut Rampengan (2001) disebabkan oleh
kuman Salmonella Typhi yang masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut dengan
perantara makanan dan minuman yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan terjadi meningkatan produksi asam lambung yang menimbulkan
perasaan yang tidak enak di perut mual, muntah, anoreksia, dan mengakibatkan terjadi
iritasi mukosa lambung sebagian lagi masuk ke dalam usus halus sehingga terjadi
infeksi yang merangsang peristaltik usus sehingga menimbulkan diare atau konstipasi.
Kuman juga sering mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi. Di tempat ini terjadi komplikasi perdarahan, kuman salmonella
kemudian menembus ke krina propia, masuk ke aliran limfe dan mencapai kelenjar
limfe mesentrial, yang juga mengalami hipertropi. Selanjutnya kuman Salmonella
Typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella Typhi
bersarang di plaque peyeri, limpa hati, dan bagian-bagian lain system
reticuloendotelia. Endotoksik Salmonella Typhi menyebabkan terjadinya proses
inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella Typhi berkembangbiak. Sementara
demam pada Typhus Abdominalis disebabkan karena Salmonella Typhi dan
endotoksik merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Kuman yang berkembangbiak juga dapat mengakibatkan hipertropi
hepatomegali sehingga menyebabkan nyeri. Proses ini terjadi pada masa tunas 10-14
hari dan berakhir saat sel-sel retikuloendoteal melepaskan kuman ke dalam darah.
E. Pathway

Salmonella
typhosa

Masuk ke mulut bersama


makanan dan minuman

Sampai ke
usus halus

Bakteri mengadakan
Multiplikasi di usus halus

Iritasi mukosa usus halus

Pelepasan zat Peningkatan Stress fisik dan mental


Pirogen pada peristaltik
jaringan yang
meradang Rangsangan sel
Out put >
parietal lambung

Melalui Peredaran
darah, samapi ke Gangguan Volume
Peningkatan asam
Hepatomolus Cairan
lambung

Gangguan fungsi Lambung terisi


Termoregulasi Kelemahan
udara (Flatulence)

Hipertermi
Kembung
Intoleransi aktivitas
Nekrosis usus halus
Mual, Muntah,
Anoreksia
Ulkus diplak peyeri

Penurunan nafsu
Motilitas usus makan
terganggu

Peristaltik Usus Gangguan


pemenuhan
Konstipasi kebutuhan nutrisi
F. Manifestasi Klinik
1. Demam
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat remiten dan suhu
tinggi sekali selama minggu pertama, suhu badan berangsur-angsur naik setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore hari dan
malam hari. Dalam minggu kedua pasienterus berada dalam keadaan demam,pada
minggu ketiga suhu berangsur turun dan normalkembali.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(rageden) lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limpa membesar disertai nyeri palpasi. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi
juga dapat diare atau normal.
3. Gangguan kesadaran umum
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam kondisi apatis,
sampa samnolen jarang terjadi stupor, koma, atau gelisah (kecuali penyakit berat
dan terlambat mendapat pengobatan).
4. Gejala lain
Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya pada punggung
dan anggota gerak dapat ditemukan bintik-bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-
kadang ditemukan pula bradikardi dan epistaksis (mimisan) pada anak besar.

G. Komplikasi
Dapat terjadi pada:
1. Usus halus,umumnya jarang terjadi akan tetapi sering total yaitu:
 Pendarahan usus, bila pendarahan hanya sedikit ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan tinja dengan benzidin.jika pendarahan banyak terjadi melena,
dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
 Perporasi usus, timbil biasanya pada minggu ketigaatau setelah itu terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertaiperitonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum. Yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
 Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitunyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang dan nyeri tekan.
2. Komplikasi luar usus terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
maningitis, koleistisis, encepalopati, dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder
yaitu : bronkopneumonia.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah tepi:dapat ditemukan leukopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia, trombositopenia, anemia.
2. Biakan empedu: basil salmonella typhi ditemukan dalam darah penderita biasanya
dalam minggu pertama sakit.
3. Uji widal: adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
 Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
 Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
 Aglutini Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
4. Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

I. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Pemberian antibiotik ; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran
kuman. Antibiotik yang dapat digunakan :
a. Kloramfenikol ; dosis hari pertama 4X250 mg, hari kedua 4X500 mg,
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4X250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian
terakhir (Nelwan, dkk. Di RSUP Persahabatan), penggunaan klomfenikol
masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat
terbaru dari jenis kuinolon.
b. Ampisilin/amoksisilin ; dosis 50-150 mg/kg/BB, diberikan selama 2 minggu.
c. Kotrimoksazol ; 2X2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80
mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu pula.
d. Sefalosporin generasi II dan III dapat berhasil mengatasi demam dengan baik.
Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Regimen yang dipakai adalah:
 Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari.
 Norfloksasin 2 X 400 mg/hari selama 14 hari.
 Siprofloksasin 2 X 500 mg/hari selama 6 hari.
 Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari.
 Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
 Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
2. Istirahat dan perawatan professional
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dapat kesadaran
menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus, dan pneumonia
hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin.
3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suporatif).
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayur dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga
diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan
umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan hemoestasis, sistem
imun akan tetap berfungsi dengan optimal. Pada kasus perforasi intestinal dan
renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total.
Spektrum antibiotik maupun kombinasi bebrapa obat yang bekerja secara sinergis
dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik.
Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas. Namun berbeda dengan
pengobatan pada penderita demam tifoid yaitu untuk wanita hamil. Tidak semua
antibiotik dapat diberikan. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trimister
ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan sindrom Gray pada neonatus. Demikian pula dengan tiamfenikol
yang mempunyai efek teratogenik terhadap fetus. Namun pada kehamilan lebih
lanjut tiamfenikol dapat diberikan. Selain itu, kotrimoksazol dan fluorokuinolon
juga tidak boleh diberikan. Antibiotik yang aman bagi kehamilan adalah golongan
penisil (ampisin, amoksisilin), dan sefalosporin generasi ketiga, kecuali pasien
yang hipersensitif terhadap obat tersebut.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian:
a. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
no.registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan,
tanggal MR.
b. Keluhan Utama
Pada pasien typhoid biasanya mengeluh perut mual dan kembung, nafsu
makan menurun, panas, dan demam.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Typhoid adalah demam, anoreksia, mual,
diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemia), nyeri kepala pusing, nyeri
otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
d. Riwayat Kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit dan dirawat dengan yang
sama, atau apakah menderita penyakit lainnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita yang sama atau
sakit yang lainnya.
f. Riwayat Psikososial
Intrapersonal: perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).
Interpersonal: hubungan dengan orang lain.

2. Pola fungsi kesehatan


 Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang, adanya mual, muntah selama sakit,
lidah kotor, dan terasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi
status nutrisi berubah karena terjadi gangguan pada usus halus.
 Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan sakit
pada perutnya, mual, muntah, kadang diare. Kebiasaan tidur pasien akan
terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa
gelisah pada waktu tidur.
 Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah
dalam kesehatannya.
 Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien
akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
 Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi referensi bila dehidrasi karena
panas yang meninggi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
 Pola reproduksi dan seksual
Mengalami perubahan pada pasien yang telah menikah.
 Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
 Pola persepsi dan konsep diri
Di dalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
 Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
 Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap berhubungan interpersonal
dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama
sakit.
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi
cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.

3. Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma)
untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.
 Tanda - tanda vital dan keadaan umum
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umum pasien / kondisi pasien. Disamping itu juga penimbangan BB untuk
mengetahui adanya penurunan BB karena peningkatan gangguan nutrisi yang
terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Biasanya
pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak
enak, anorexia.
 Kepala dan leher
Kepala tidak ada benjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva
anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor,
ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid.
 Dada dan abdomen
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan
nyeri tekan.
 Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat
cuping hidung.
 Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh.
 Sistem integument
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
 Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien
bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam.
 Sistem muskuloskoletal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada
gangguan.
 Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil.
 Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit thypoid.

4. Diagnosa Keperawatan
 Hipertermi berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia,
 Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat peningkatan
metabolisme sekunder.
 Konstipasi berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus.

5. Intervensi

Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
.
1 Hipertermi Setelah dilakukan 1. Monitor suhu 1. Dapat memantau
berhubungan tindakan tubuh hipetermi
dengan infeksi keperawatan 3 x 2. Longgarkan 2. Baju longgar lebih
Salmonella 24 jam masalah pakaian nyaman agar suhu
Typhii. keperawatan tubuh stabil
3. Kompres air hangat
peningkatan suhu 3. Melancarkan aliran
di dahi dan aksila.
tubuh teratasi. darah dalam
Dengan kriteria pembuluh darah
4. Anjurkan klien
hasil : 4. Membatasi
untuk bedrest.
1. Suhu tubuh aktivitas sebagai
normal tindakan untuk
mencegah
terjadinya respon
panas.
5. Kolaborasi dengan
5. Menurunkan panas
dokter dalam
dengan obat.
pemberian obat
antipiuretik.
2 Gangguan Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Makanan yang
pemenuhan tindakan makanan yang disukai dapat
kebutuhan keperawatan 3 x disukai menyebabkan
nutrisi kurang 24 jam masalah nafsu makan
dari kebutuhan keperawatan meningkat
berhubungan defisit nutrisi 2. Monitor asupan 2. Gizi klien
dengan teratasi. makanan termonitor dan
anoreksia. Dengan kriteria tercukupi
hasil : 3. Monitor berat 3. BB termonitor
1. Berat badan badan
membaik 4. Anjurkan klien 4. Mengurangi kerja
2. Nafsu makan makan sedikit tapi usus, menghindari
membaik sering. kebosanan makan.
5. Berikan suplemen 5. Apabila asupan
makanan nutrisi kurang bisa
diberikan vitamin
tambahan

3 Gangguan Setelah dilakukan 1. Berikan 1. Untuk


keseimbangan tindakan penjelasan mempermudah
cairan (kurang keperawatan 3 x tentang pemberian cairan
dari 24 jam masalah pentingnya (minum) pada
kebutuhan) keperawatan kebutuhan cairan pasien.
berhubungan kebutuhan cairan pada pasien dan
dengan teratasi. keluarga.
pengeluaran Dengan kriteria 2. Observasi TTV 2. Untuk memantau
cairan yang hasil : 3. Observasi tanda – tanda vital
berlebihan 1. Turgor kulit pemasukan dan klien
(mual/muntah) membaik pengeluaran 3. Untuk mengetahui
. 2. Tidak pucat cairan. keseimbangan
4. Anjurkan pasien cairan, 2,5 liter / 24
untuk banyak jam.
minum. 4. Untuk pemenuhan
5. Penatalaksannan kebutuhan cairan.
dengan dokter 5. Untuk pemenuhan
untuk terapi kebutuhan cairan
cairan (oral / yang tidak
parenteral). terpenuhi (secara
parenteral).

4 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji respon 1. Untuk


aktivitas tindakan pasien terhadap mengetahui
berhubungan keperawatan 3 x aktivitas. perubahan-
dengan 24 jam masalah 2. Anjurkan klien perubahan
kelemahan keperawatan untuk tetap aktivitas yang
fisik akibat intoleransi istirahat dialami oleh
peningkatan aktivitas teratasi. 3. Batasi klien.
metabolisme Dengan kriteria pengunjung yang 2. Untuk
sekunder. hasil : dating mempercepat
aktivitas klien 4. Bantu klien untuk proses
tetap normal, beraktivitas penyembuhan
kelemahan fisik sehari-hari sesuai 3. Agar klien
berkurang dengan kebutuhan tidak
klien. terganggu
5. Ajarkan aktivitas dalam
yang dapat beristirahat
dilakukan klien 4. Memberikan
secara bertahap rasa nyaman,
karena
kebutuhan
klien dapat
terpenuhi
dengan
dibantu oleh
perawat
ataupun
keluarga.
5. Agar tidak
mengganggu
bedrest pada
proses
penyembuhan
klien.

5 Konstipasi Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Menentukan


berhubungan tindakan penyebab dasar awal
dengan proses keperawatan 3 x timbulnya tindakan
peradangan 24 jam masalah konstipasi. keperawatan
pada usus keperawatan 2. Ganti posisi klien 2. Mengurangi
halus konstipasi teratasi. tiap 2 jam sekali. resiko konstipasi
Dengan kriteria 3. Pertahankan intake lanjutan karena
hasil : cairan 2-3 liter aktivitas kurang.
BAB normal setiap hari. 3. Memenuhi cairan
4. Kolaborasi dengan dan memperbaiki
ahli gizi dengan konsistensi feces.
pemberian diet 4. Tinggi serat
tinggi serat dan memudahkan
rendak lemak. pengeluaran
5. Kolaborasi dengan feses.
dokter dalam 5. Membantu
pemberian laksatif. mengeluarkan
feses.

DAFTAR PUSTAKA

Gupte, S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Alih bahasa Julius ES. Binarupa Aksara. Edisi III.

Simanjuntak, C H. 1990. Masalah Demam Tifoid di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran


No.60

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, “Mikrobiologi Kedokteran”, P.T. Binarupa


Aksara, Jakarta, 1993.

Staf pengajar FKUNDIP. 1996. Pengendalian Demam Tifoid. Jen. I.

Sudibjo, HR, “Jurnal Kedokteran YARSI”, Vol.4 No. 1 Jakarta, 1996, Januari.
Suzzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Jakarta :
EGC.

Arief Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu ika W, Wiwiek S. Kapita selekta kedokteran.


Penerbit Media Aesculapius, FKUI Jakarta, 2000.

Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke Tiga. FKUI, Jakarta. 1997.

Anda mungkin juga menyukai