Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN HIPOSPADIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pada Stase Keperawatan
Anak Program Profesi Ners XLIV

Ruang:

Kemuning 3

Dosen Pembimbing:

Nenden Nur Asriyani Maryam, S.Kep., Ners., M.Kep

Gita Amoria Haelena Wibowo

220112220003

PROGRAM PROFESI NERS XLIV


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 2


BAB I .................................................................................................. Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ............................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II ................................................................................................. Error! Bookmark not defined.
TINJAU PUSTAKA ............................................................................ Error! Bookmark not defined.
2.1 Kenyamanan ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.1 Definisi Gangguan Rasa Nyaman .................................. Error! Bookmark not defined.
2.1.2 Penyebab Gangguan Rasa Nyaman................................ Error! Bookmark not defined.
2.1.3 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri ...................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.4 Etiologi Nyeri ............................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.5 Tanda dan Gejala Nyeri ................................................. Error! Bookmark not defined.
2.1.6 Klasifikasi Nyeri ........................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.7 Skala Nyeri ................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.8 Penatalaksanaan Nyeri .................................................. Error! Bookmark not defined.
3.1 Asuhan Keperawatan ............................................................ Error! Bookmark not defined.
4.1 Evidence Based Practice ....................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 18

2
2.1 Definisi Hipospadia
Hipospadia merupakan kelainan kongenital urologi yang melibatkan
uretra, korpus spongiosum, kospus kavernosum, glans dan prepusium.
Kelain kongenital merupakan kelainan bawaan yang disebabkan oleh
kegagalan dalam proses pembentukan organ saat fase organogenesis
dikehamilan ibu trimester pertama (Djojodimedjo, & Sigumonrong, 2016).
Kondisi hipospadia merupakan kondisi kelainan bawaan sejak lahir pada alat
kelamin laki – laki, menurut Anisa (2022) menyebutkan bahwa Kata
Hipospadia berasal dari bahasa Yunani yaitu Hypo, yang berarti dibawah dan
Spadon, yang berarti lubang.

Kondisi Hipospadia dapat terjadi akibat perkembangan tuberkulum


genitalia yang tidak lengkap sehingga mengakibatkan pertumbuhan jaringan
di ventral penis menjadi tidak normal. Menurut Djojodimedjo, &
Sigumonrong (2016) menyebutkan bahwa terdapat kelainan anatomis yang
dapat dijumpai pada individu dengan hipospadia yaitu:

1. Meatus uretra yang terletak di ventral penis


2. Korde atau penis yang menekuk ke arah ventral
3. Prepusium yang berlebihan di bagian dorsal penis
4. Glans yang terbelah ke arah ventral
5. Letak muara uretra di ventral penis, terkadang dengan diameter yang
sempit. Pada bagian distal dari muara tersebut biasanya terbentuk
lempeng uretra.
6. Kondisi uretra yang tipis pada bagian yang tidak di lindungi oleh
korpus spongiosum
7. Distal dari korpus spongiosum terbagi dua pilar disertai
vaskularisasinya masingmasing sebelum mencapai posisi muara uretra
normal
8. Korpus spongiosum yang proksimal dari muara uretra mempunyai
struktur yang normal

3
9. Pada kasus yang berat skrotum bisa terbelah dua dan bertemu di
penoskrotal/ skrotal bifid
10. Pada hipospadia berat dijumpai pembesaran utrikulus prostat.

2.2 Klasifikasi
Menurut Anisa (2022) hipospadia dapat dikategorikan menjadi
beberapa jenis berdasarkan lokasi meatus uretra seperti sebagai berikut:

1. Hipospodia Distal (Anterior)


Pada jenis hipospodia distal, kelainan dapat dijumpai pada
kondisi meatus uretra yang terletak di gland penis. Hipospodia distal
yang terletak dibagian anterior ini disebut juga sebagai hipospadia
derajat pertama yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu hipospadial sine,
merupakan kelainan pada curvatura ventral penis dengan letak meatus
urethra eksterna normal, jenis ini sering dianggap hipospadia yang
bukan sebenarnya, glandular merupakan kelaianan yang letak meatus
ekterna hanya turun sedikit pada bagian ventral gland penis, dan sub-
coronal merupakan kelainan yang letak meatus urethra eksterna
terletak di sulcus coronal penis.
2. Hipospodia Intermiten (Middle Shaft)
Hipospadia distal atau anterior dapat disebut juga dengan
hipospadia derajat dua yang terbagi berdasarkan letak meatus uretra
antara lain yaitu hipospadia distal penis, hipospadia mid-shaft, serta
hipospodia proksimal.
3. Hipospodia Proksimal (Posterior)
Hipospadia proksimal atau posterior dapat disebut juga dengan
hipospadia derajat tiga yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu hipospadia
penoscrotal, merupakan kondisi meatus urethra berada diantara
pertemuan basis penis dan scrotum, hipospodia scrotal merupakan
kondisi meatus urethra eksterna di scrotum, serta hipospadia perineal
merupakan kondisi meatus urethra eksterna di bawah scrotum dan

4
pada area perineum. Adapun letak meatus uretra pada penderita
hipospadia dapat dilihat seperti gambar berikut.

2.3 Etiologi
Menurut Krisna & Maulana (2017) terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya hipospodia pada anak diantaranya yaitu:

1. Hormonal
Adanya defek pada produksi testosterone oleh testis dan kelenjar
adrenal, kegagalan konversi dari testosteron ke dihidrotestoteron, defisiensi
reseptor androgen di penis, maupun penurunan ikatan antara
dihidrostestoteron dengan reseptor androgen dapat menyebabkan
hipospadia. Selain itu, adanya paparan estrogen atau progestin pada ibu
hamil di awal kehamilan dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya
hipospadia. Lingkungan yang tinggi terhadap aktivitas estrogen sering
ditemukan pada pestisida di sayuran dan buah, susu sapi, beberapa
tanaman, dan obat-obatan.

1. Genetik/Embrional
Genetik merupakan faktor risiko yang diduga kuat mempengaruhi
proses terjadinya hipospadia. Selama masa embrional, kegagalan dalam
pembentukan genital folds dan penyatuanya diatas sinus urogenital juga

5
dapat menyebabkan terjadinya hipospadia. Biasanya semakin berat derajat
hipospadia ini, semakin besar terdapat kelainan yang mendasari. Kelainan
kromosom dan ambigu genitalia seperti hermafrodit maupun
pseudohermafrodit merupakan kelainan yang kerap kali ditemukan
bersamaan dengan hipospadia (Anisa, 2022).
2. Lingkungan
Faktor lingkungan dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab
hipospadia seperti terdapat paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil
di awal kehamilan, paparan estrogen tersebut biasanya terdapat pada
pestisida yang menempel pada buah, sayuran, tanaman, dan obat obatan
yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Pada ibu hamil yang mengkonsumsi
obat-obatan anti epilepsi seperti asam valporat juga diduga meningkatkan
resiko hipospadia tetapi untuk pil kontrasepsi yang mengandung hormon
estrogen dan progestin diketahui tidak menyebabkan hipospadia (Krisna &
Maulana, 2017). Selain itu, terpapar polutan atau asap rokok juga dapat
menjadi faktor resiko terjadinya hipospadia pada anak.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang timbul dapat bervariasi, sesuai dengan jenis hipospadia
yang dialami oleh penderita, gejala umum yag terjadi yaitu terdapat
percikan urin yang tidak normal pada saat buang air kecil, bentuk penis
melengkung ke bawah, muara uretra yang terletak pada bagian ventral
penis, kulit luar dibagian ventral akan lebih tipis atau bahkan tidak ada,
kulit luar dibagian dorsal akan menebal bahkansampai membentuk seperti
sebuah tudung, sering ditemukan adanya chorda. Selain itu, keluhan lain
yang mungkin timbul yaitu nyeri ketika ereksi.

6
2.5 Patofisiologis

Sumber: Anisa (2022)

7
2.6 Penatalaksanaan
1. Tindakan Pembedahan
Terapi hipospadia hingga saat ini dapat dilakukaan dengan cara
pembedahan. Usia ideal untuk operasi hipospadia adalah saat berusia 6 – 12
bulan. Hal tersebut dilakukan agar semakin mudah perawatan paska operasi,
termasuk dalam masalah higienitas, pemakaian kateter, kebutuhan analgesik,
dan perubahan emosi paska operasi. Teknik yang dipilih untuk perbaikan
hipospadia tergantung pada saat operasi. Pada penelitian ini ditemukan
semua penderita hipospadia diberikan terapi berupa urethroplasty dan
chordectomy (Nugroho,dkk, 2018).
Penatalaksanaan dilakukannya pembedahan pada penderita hipospadia
yaitu untuk membuat penis tegak lurus kembali sehingga dapat digunakan
untuk berhubungan seksual, reposisi muara urethra ke ujung penis agar
memungkinkan pasien berkemih sambil berdiri, membuat neourethra yang
adekuat dan lurus, merekonstruksi penis menjadi terlihat normal serta
menurunkan resiko terjadinya komplikasi seminimal mungkin. Terdapat
beberapa tahap operasi perlu dilakukan seperti orthoplasty (Chordectomy)
yaitu melakukan koreksi chorde sehingga penis dapat tegak lurus kembali,
lalu urethroplasty yaitu membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi
seharusnya, serta Glansplasty yaitu pembentukan glans penis kembali.
Glansplasty sering diikuti dengan prepucioplasty (Krisna & Maulana, 2017).
2. MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty)
Teknik MAGPI ini dapat dilakukan pada penderita hipospadia glanular
dan subcornal, pada teknik ini dilakukan sayatan atau pemberian luka insisi
pada sekeliling subcornal sekitar proksimal ke meatus uretra (Desy, 2017).
3. TIP (Tubularized Incised Plate)
Teknik TIP merupakan teknik modifikasi yang digunakan untuk
mengoreksi hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft atau di daerah
sekitar distal. Pada teknik ini dilakukan sayatan ditengah sampai ke urethral
plate sehingga dapat membuat suatu neourethra (Desy, 2017).

8
4. Onlay Island Flap
Teknik ini dilakukan dengan membuat diseksi jaringan subkutan kulit
penis dan plikasi garis tengah pada bagian dorsal (Desy, 2017).

2.7 Komplikasi
Bila kondisi hipospadia tidak ditangani, maka komplikasi yang akan
terjadi yaitu dapat menimbulkan masalah berkemih pada anak, serta dapat
mengganggu aktivitas seksualnya saat ia dewasa. Anak dengan hipospadia
yang tidak ditangani dapat mengalami komplikasi berupa kesulitan
berkemih, kelainan bentuk penis, serta gangguan ejakulasi. Kelainan bentuk
penis dan gangguan ejakulasi ini akan membuat penderita hipospadia
kesulitan untuk memiliki anak.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan USG harus dilakukan pada hipospadia proksimal
yang disertai anomali pada traktus urinarius dan organ genitalia interna
lainnya. Sisa duktus Mullerian (kista utrikulus atau dilatasi utrikulus)
ditemukan pada 11-14% dari keseluruhan hipospadia dan lebih dari
50% pada hipospadia tipe perineal. Sebagian besar sisa duktus
Mullerian dapat dilihat dengan USG.
2. Pemeriksaan Ureteroskopi
Sisa duktus Mullerian yang tidak terdeteksi dengan USG dapat
menyebabkan obstruksi uretra atau infeksi saluran kemih setelah
perbaikan hipospadia. Pemeriksaan endoskopi ke dalam uretra pada
saat pembedahan dapat mengeksklusi anomali uretra yang tidak
terdeteksi dengan USG
3. Pemeriksaan Rethrograde Urethrograpy
Keluhan nyeri berkemih, hematuria, epididimitis dan infeksi
saluran kemih akibat utrikulus prostat yang tidak diketahui sebabnya

9
juga dapat ditelusuri dengan retrograde urethrography pada kasus
hipospadia proksimal.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Hipospadia yang terjadi bersamaan dengan undesensus testis
baik unilateral maupun bilateral harus diwaspadai sebagai DSD,
terutama pada kasus hipospadia proksimal. Untuk itu diperlukan
rujukan ke ahli endokrin untuk evaluasi genetik dan hormon secara
menyeluruh.

2.9 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian yang faktual dan tepat dibutuhkan untuk menetapkan
data dasar, menegakkan diagnosis keperawatan yang tepat, menyeleksi
terapi yang cocok, dan mengevaluasi respons klien terhadap terapi. Pada
pengkajian komprehensif harus dilakukan untuk mengidentifikasi
bagaimana serangkaian faktor biomedis, psikososial, dan perilaku
berinteraksi untuk mempengaruhi sifat, besarnya, ketahanan, dan respons
pasien terhadap pengobatan (Wallace et al., 2015). Identitas klien ini
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama,suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor rekam
medis dan diagnosa medis.
a. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang sering menjadi alasan
klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari
seberapa jauh dampak trauma yang bisa mengalami nyeri pada
pasien (Nur, M, 2021). Pada klien yang mengalami nyeri secara
subjektif ditunjukkan dengan mengeluh nyeri. Selain itu,
berdasarkan data objektif bisa tampak meringis, bersikap protektif
seperti waspada, posisi menghindari nyeri, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur dan lainnya (Kartika Sari et al., 2021). Selain
itu, keluhan lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan

10
hipospadia yaitu kesulitan berkemih, bentuk penis yang tidak
normal serta posisi meatus uretra yang tidka normal.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan sekarang merupakan rincian dari keluhan
utama yang berisi tentang riwayat perjalanan pasien selama
mengalami keluhan secara lengkap. Misalnya pasien mulai terasa
nyeri saat berkemih.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya trauma pada jaringan tubuh seperti ada bekas luka
operasi yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi
secara langsung pada reseptor sehingga mengganggu rasa nyaman
klien karena adanya nyeri pada luka tersebut (Dahlan, 2017).
d. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai adanya
penyakit keturunan yang menular dalam keluarga (Putri, 2020).
Riwayat kesehatan keluarga juga dapat menyebabkan gangguan rasa
aman dan nyaman. Karena adanya riwayat penyakit maka klien akan
beresiko terkena penyakit tersebut sehingga menimbulkan rasa tidak
nyaman seperti nyeri (Murtiono & Ngurah, 2020).
e. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai proses emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat (Amal et al., 2021).
f. Pengkajian Persistem
Inspeksi mencari lokasi muara meatus eksterna dilakukan pada
glans, shaft, skrotum dan perineum. Meatus biasanya paten dan
ukuran dapat sebesar lubang jarum (pinhole-sized). Jelaskan lokasi

11
secara spesifik, bisa terletak di distal / anterior penis (granular,
koronal, subkoronal), di medial penis (distal, midshaft, proksimal),
atau di proksimal / posterior penis (penoskrotal, skrotal, perineal).
g. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri ini harus dilakukan secara komprehensif agar
data yang terkumpul bisa dijadikan sebagai acuan dalam menentukan
manajemen nyeri yang tepat. Pengkajian nyeri ini bisa menggunakan
skala ukur untuk menentukan nyeri dan menggunakan PQRST
(Ka’arayeno, 2020). Saat mengkaji nyeri, perawat harus memberikan
pasien kesempatan klien untuk mengungkapkan apa yang
dirasakannya dan cara pandang klien terhadap nyeri dan situasi
tersebut dengan cara atau kata-kata mereka sendiri, hal ini juga bisa
membantu perawat memahami makna nyeri yang dirasakan pasien
(Putri, 2020).
a. P (provokatif atau paliatif) merupakan data dari penyebab atau
sumber nyeri pertanyaan yang ditujukan pada pasien berupa:
- Apa yang menyebabkan gejala nyeri?
- Apa saja yang mampu mengurangi ataupun memperberat
nyeri?
- Apa yang anda lakukan ketika nyeri pertama kali
dirasakan?
b. Q (kualitas atau kuantitas) merupakan data yang menyebutkan
seperti apa nyeri yang dirasakan pasien, pertanyaan yang
ditujukan kepada pasien dapat berupa:
- Dari segi kualitas, bagaimana gejala nyeri yang dirasakan?
- Dari segi kuantitas, sejauh mana nyeri yang di rasakan
pasien sekarang dengan nyeri yang dirasakan sebelumnya.
Apakah nyeri hingga mengganggu aktifitas?
c. R (regional atau area yang terpapar nyeri atau radiasi)
merupakan data mengenai dimana lokasi nyeri yang dirasakan

12
pasien. Selain dalam bentuk pertanyaan perawat juga bisa
memberikan bantuan dengan gambar tubuh pada pasien agar bisa
menandai bagian mana yang dirasakan nyeri. Beberapa
pertanyaan yang ditujukan pada pasien dapat berupa :
- Dimana gejala nyeri terasa?
- Apakah nyeri dirasakan menyebar atau merambat?
d. S (skala) merupakan data mengenai seberapa parah nyeri yang
dirasakan pasien, pertanyaan yang ditujukan pada pasien dapat
berupa: seberapa parah nyeri yang dirasakan pasien jika diberi
rentang angka 1-10?
e. (timing atau waktu ) merupakan data mengenai kapan nyeri
dirasakan, pertanyaan yang ditujukan kepada pasien dapat
berupa:
- Kapan gejala nyeri mulai dirasakan?Seberapa sering nyeri
terasa, apakah tiba-tiba atau bertahap?
- Berapa lama nyeri berlangsung?
- Apakah terjadi kekambuhan atau nyeri secara bertahap.
2. Diagnose, Luara dan Invervensi Keperawatan
No Diagnosa Luaran Intervensi
Keperawatan
1. D.0074 Gangguan L. 08064 Status I.09326 Terapi Relaksasi
Rasa Nyaman Kenyamanan Observasi

Gejala dan tanda a. Identifikasi penurunan

Setelah dilakukan tingkat energi,


mayor Subjektif:
tindakan ketidakmampuan
- mengeluh tidak
keperawatan berkonsentrasi atau
nyaman
diharapkan status gejala lain yang
Objektif:
kenyamanan pasien mengganggu
- Gelisah
meningkat dengan kemampuan kognitif
Gejala dan tanda b. Identifikasi teknik
kriteria hasil:

13
minor Subjektif : a. Keluhan tidak relaksasi yang pernah
- mengeluh sulit nyaman menurun efektif digunakan

tidur b. Tidak ada c. Identifikasi kesediaan,


gelisah kemampuan, dan
- tidak mampu
c. Kesejahteraan penggunaan teknik
rileks
fisik meningkat sebelumnya
- mengeluh
d. Kesejahteraan d. Periksa ketegangan otot,
kedinginan/kepa
psikologis frekuensi nadi, tekanan
n asan
meningkat darah, dan suhu sesudah
- merasa gatal e. Kebebasan serta sebelum Latihan
- mengeluh mual melakukan e. Monitor respon terhadap
- mengeluh lelah ibadah terapi relaksasi
Objektif : Terapeutik
- menunjukkan a. Ciptakan lingkungan

gejala distress tenang dan tanpa


gangguan dengan
- tampak
pencahayaan dan suhu
merintih/menang
ruang nyaman, jika
is
memungkinkan
- pola eliminasi
b. Berikan informasi
berubah
tertulis tentang
- postur tubuh persiapan dan prosedur
berubah teknik relaksasi
- iritabilitas. c. Gunakan pakaian
longgar
2. D. 0077 Nyeri Akut L. 08063 Kontrol I.08238 Manajemen
Gejala dan tanda Nyeri Nyeri
mayor : Subjektif: Observasi
- Mengeluh nyeri Setelah dilakukan a. Identifikasi lokasi,
Objektif: tindakan karakteristik, durasi,
- Tampak keperawatan frekuensi, kualitas,
meringis diharapkan tingkat intensitas nyeri

14
- Bersikap nyeri menurun dan b. Identifikasi skala
protektif kontrol nyeri nyeri
(waspada dan meningkat dengan c. Identifikasi respons
posisi kriteria hasil : nyeri non verbal
menghindari a.Nyeri terkontrol d. Identifikasi faktor
nyeri) b.Mampu yang memperberat
mengenali onset dan memperingan
nyeri nyeri
c. Mampu Terapeutik
mengenali a. Berikan teknik
penyebab nyeri nonfarmakologis
Mampu untuk mengurangi
menggunakan rasa nyeri (mis.
teknik non TENS, hypnosis,
farmakologi akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis.
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)

15
c. Fasilitasi istirahat
dan tidur
d. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri.
3. D.0055 Gangguan Pola tidur Dukungan Tidur
pola tidur (L.05045) (I.09265)
Subjektif: Setelah dilakukan Observsi
- Mengeluh sulit asuhan 1. Identifikasi pola
tidur keperawatan aktivitas dan tidur
- Mengeluh diharapkan 2. Identifikasi faktor
sering terjaga gangguan pola penganggu tidur
- Mengeluh tidak tidur dapat teratasi, Teraupetik
puas tidur dengan kriteria 1. Modifikasi lingkungan
- Mengeluh pola hasil: (misal: pencahayaan,
tidur berubah 1. Keluhan sulit kebisingan, suhu,
- Mengeluh tidur membaik matras dan tempat
istirahat tidak 2. Keluhan pola tidur)
cukup tidur membaik 2. Lakukan prosedur
3. Istirahat cukup untuk meningkatkan
meningkat kenyamanan
Edukasi
Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit.

16
17
DAFTAR PUSTAKA
PPNI, P. I. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. In academia.edu.
https://www.academia.edu/download/64914656/adoc.pub_standar_diagnosis_
keperawatan_ indonesia.pdf

Djojodimedjo, T., & Sigumonrong, Y. (2016). Hipospadia.

Noegroho, B. S. (2018). Karakteristik Pasien Hipospadia di Rumah Sakit Hasan


Sadikin Bandung Tahun 2015-2018. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
2(5), 355-358.

Krisna, D. M., & Maulana, A. (2017). Hipospadia: Bagaimana Karakteristiknya Di


Indonesia?. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2(2), 325-334.

Desy,P. (2017). “Hubungan Tipe Hipospadia, Usia dan Teknik Operasi Terhadap
Komplikasi Fistula Uretrokutaneus Pada Kasus Hipospadia Anak”.
Universitas Jember

Nur Khasanah, Annisa (2022) Asuhan Keperawatan An.R Dengan Hipospadia Post
Operasi Uretroplasty Di Ruang Cendana 4 Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta.
skripsi thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai