OLEH :
TK 2. A
KELOMPOK 2 :
DOSEN PEMBIMBING :
Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada anak
Dengan Kasus : Hisprung, Atresia ani, Labiopalatoschzisis, dan Hipospadia”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah ………………………………………………………………... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan ada anak dengan kasus …………………………………. 6
1. Hisprung …………………………………………………………………… 6
2. Atresia ani …………………………………………………………………. 16
3. Labiopalatoschzisis ………………………………………………………... 28
4. Hipospadia..................................................................................................... 48
B. Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan Perkemihan ... 57
C. Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post Operatif ……………... 61
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 66
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan pada sistem pencernaan dapat terjadi jika salah satu atau lebih
proses pencernaan tidak berjalan dengan baik. Anak masih sangat rentan terhadap
masalah pencernaan. Sebenarnya sistem pencernaan pada anak dan orang dewasa
adalah sama, namun demikian, anak-anak masih belum optimal dalam
memaksimalkan fungsi dari masing-masing organ pada sistem pencernaannya.
Penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyakit kongenital saluran
cerna yang sering terjadi pada bayi dengan insidensi 1 dari 1500-7000 kelahiran hidup
di seluruh dunia. Kejadian pada bayi laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidensi pada kasus-kasus dengan faktor
risiko familial yang rata-rata mencapai 6% (Kapur, 2009).
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang
terlambat mengeluarkan tinja. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah
pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah
hijau, dan perut membuncit keseluruhan (Imseis dan Gariepy, 2012).
Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak.
Atresia ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang.
Atresia berasal dari bahasa Yunani, yaitu berarti tidak ada, dan trepsis yang artinya
nutrisi atau makanan. Menurut istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan
tidak adanya atau tertutupnya lubang badan yang normal (Rizema, Setiatava P, 2012).
Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh
kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan
atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat
muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-
laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.
Labio palatoschizis merupakan kelainan bibir dan langit – langit, hal ini
biasanya disebabkan karena perkembangan bibir dan langit – langit yang tidak dapat
berkembang secara sempurna pada masa pertumbuhan di dalam kandungan. Dimana
biasanya penderita labio palatoschizis mempunyai bentuk wajah kurang normal dan
kurang jelas dalam berbicara sehingga menghambat masa persiapan sekolahnya.
Labio palatoschizis sering dijumpai pada anak laki – laki dibandingkan anak
perempuan (Randwick, 2002) kelainan ini merupakan kelainan yang disebabkan
faktor herediter, lingkungan, trauma, virus (Sjamsul Hidayat, 1997). Kelainan ini
dapat dilihat ketika bayi berada di dalam kandungan, melalui alat yang disebut USG
atau Ultrasonografi. Setelah bayi lahir kelainan ini tampak jelas pada bibir dan langit
–langitnya.
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang
terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).Istilah
hipospadia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Hypo (below) dan
spaden(opening). Hipospadia menyebabkan terjadinya berbagai tingkatan defisiensi
uretra. Jaringan fibrosis yang menyebabkan chordee menggantikan fascia Bucks dan
tunika dartos. Kulit dan preputium pada bagian ventral menjadi tipis, tidak sempurna
dan membentuk kerudung dorsal di atas glans (Duckett, 1986, Mc Aninch,1992)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hisprung ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atresia ani ?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Labiopalatoschzisis ?
4. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipospadia ?
5. Bagaimana Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan
Perkemihan ?
6. Bagaimana Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post Operatif ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hisprung
2. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atresia ani
3. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Labiopalatoschzisis
4. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipospadia
5. Untuk mengetahui Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan
Perkemihan.
6. Untuk mengetahui Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post
Operatif.
BAB II
PEMBAHASAN
2) Etiologi Hisprung
Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional
yang berimigrasi kedalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus
dan submukoisa untuk berkembang kearah kranio kaudal di dalam dinding
usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus
Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai
rectum dan bagian bawah kolonsigmoid dan terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon.
Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak etilogi pada hisprung, yaitu
Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
3) Klasifikasi Hisprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
Penyakit Hirschprung segmen pendek. Segmen ganglionosis mulai dari
anus sampai sigmoid ini merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung
dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingakan perempuan.
Penyakit Hirschprung segmen panjang. Kelainan dapat melebihi sigmoid,
bahkan dapat mengenai saluran kolon atau usus halus. Ditemukan banyak
terdapat pada laki-laki maupun perempuan.
4) Patofisiologi Hisprung
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen
kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/
penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan
(megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi
berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat
mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas. Persarafan
parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional.
Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran
dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gas trointestinal
antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus
bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi
menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang
merupakan penyebab kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung
Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak
berusia lebih besar. Gejala penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar
terdiri dari :
6) WOC Hisprung
7) Komplikasi Hisprung
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia
mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada
komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1,
infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab
terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan
menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,
diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis
akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan
terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi
usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada
dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan
iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen.
Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan
muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan
iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis
dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat
menyebabkan enterokilitis.
9) Penatalaksanaan Hisprung
a) Konservatif.
Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal
untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
b) Tindakan bedah sementara.
Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis, eneterokolitis berat dan
keadaan umum buruk.
c) Tindakan bedah defenitif.
Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan membuat anastomosis.
Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SDKI) Intervensi (SIKI)
Keperawata
m
Koping tidak Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan diri
efektif keperawatan x jam
Observasi
diharapkan status koping
membaik dengan kriteria Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan
diri sesuai usia
hasil : Monitor tingkat kemandirian
Kemampuan memenuhi Identifikasi kebutuhan alat bantu
peran sesuai usia kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan
meningkat makan.
Perilaku koping adaptif
meningkat Terapeutik
Verbalisasi kemampuan
Sediakan lingkungan yang terapeutik
mengatasi masalah
(mis. suasana hangat, rileks, privasi)
meningkat
Siapkan keperluan pribadi (mis. parfum,
Verbalisasi pengakuan
sikat gigi, dan sabun mandi)
masalah meningkat
Dampingi dalam melakukan perawatan
Verbalisasi kelemahan
diri sampai mandiri
diri meningkat
Fasilitasi untuk menerima keadaan
Perilaku asertif
ketergantungan melakukan perawatan diri
meningkat
Partisipasi social
Edukasi
menurun
Verbalisasi
Anjurkan melakukan perawatan diri
menyalahkan orang lain
secara konsisten sesuai kemampuan
menurun
Verbalisasi rasionalisasi
kegagalan menurun
Hipersensitif terhadap
kritik menurun
Terapeutik
Edukasi
Edukasi
2. Atresia ani
a. Konsep Dasar Atresia ani
1) Pengertian Atresia ani
Atresia ani adalah kelainan congenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum, atau keduanya Betz (2012). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (congenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus Donna L. Wong (2013)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membrane yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rectum Purwanto (2011).
Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang
anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak
ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang kemungkinan muncul menurut SDKI :
a) Dx 1 : Defisit nutrisi
b) Dx 2 : Gangguan rasa nyaman
c) Dx 4 : Risiko infeksi
d) Dx 4 : Gangguan integritas kulit/jaringan
Diagnose Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawata
n
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
intervensi
Observasi
keperawatan selama x
jam, maka status
Identifikasi status nutrisi
nutrisi membaik
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
dengan kriteria hasil :
Identifikasi makanan yang disukai
Edukasi
Kolaborasi
Perawatan Luka
Observasi
Monitor karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,bau
Monitor tanda –tanda inveksi
Terapeutik
Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih
non toksik,sesuai kebutuhan
Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
Pasang balutan sesuai jenis luka
Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium
dan protein
Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
3. Labiopalatoschzisis
a. Konsep Dasar Labiopalatoschzisis
1) Pengertian
Labiopalatoschzisis berasala dari kata labium berarti bibir, palatum
berarti langit-langit, dan skisis berarti celah. Jadi labiopalatoschzisis deformasi
kongenital daerah orofaring, baik labium, palatum, atau keduanya. Celah pada
labium disebut labioskisis (sumbing pada bibir) dan celah pada lapatum
disebut palatoskisis (sumbing pada palatum).
Labiopalatoschzisis adalah kelainan kongenital berupa celah pada bibir
atas, gusi, rahang dan langit-langit yang terjadi akibat gagalnya penyatuan
jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio.
2) Etiologi
a) Faktor genetic
Mutasi gen
Kelainan kromosom, missal : trisomi 13 (patau), trisomi 15, trisomi 18
(edwars), dan trisomi 21
b) Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan zink)
c) Pengaruh obat teratology : jamu, kontrasepsi hormonal, dan obat-obatan
seperti talidomid, diazepam (obat-obat penenang), aspirin (obat analgetik),
kosmetik yang mengandung merkuri & timah hitam (cream pemutih)
d) Faktor lingkungan, meliputi : zat kimia (rokok dan alkohol), gangguan
metabolic (DM), penyinaran radioaktif, infeksi (khususnya virus toxoplasma)
e) Factor usia ibu
f) Stress emosional : korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang
menyebabkan labiopalatoschzisis
g) Trauma : kecelakaan atau benturan saat hamil minggu ke-5
3) Klasifikasi
Berdasarkan organ yang terlibat, yaitu :
Celah bibir (labioschizisis) : celah terdapat pada bibir bagian atas
Celah gusi (gnatoschzisis) : celah terdapat pada gusi gigi bagian atas
Celah palatum (palatoschzisis) : celah terdapat pada palatum
4) Patofisiologi
5) Manifestasi Klinis
a) Deformitas pada bibir
b) Kesukaran dalam menghisap/makan
c) Kelainan susunan archumdentis
d) Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
e) Gangguan komunikasi verbal
f) Regurgitasi makanan
Pada Labio skisis, yaitu :
a) Distorsi pada hidung
b) Tampak sebagian atau keduanya
c) Adanya celah pada bibir
6) WOC
7) Komplikasi
8) Penatalaksanaan
Prioritas pertama pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat
Perawatan preoperative :
a) Menyediakan dukungan psikologis bagi keluarga
b) Modifikasi teknik menyusui
c) Tahan anak dalam posisi tegak
d) Gunakan peralatan makan khusus (besar, puting susu lembut dengan lubang
besar)
e) Jelaskan masalah jangka sekarang dan jangka panjangnya
Perawatan pascaoperasi :
a) Posisi di belakang atau samping berbaring
b) Menjaga perangkat pelindung bibir
c) Menahan tangan anak
d) Mencegah menangis parah
e) Bersihkan garis jahitan dengan lembut setelah menyusui
f) Ajarkan orang tua tentang:Peralatan makanan dan teknik pemberian makan
g) Menahan Prosedur
h) Perawatan mulut
Palato plasty dilakukan pada umur 12-18 bulan, pada usia 15 tahun
dilakukan terapi dengan koreksi-koreksi bedah plastik. Pada usia 7-8 tahun
dilakukan ”bone skingraft”, dan koreksi dengan flap pharing. Bila terlalu awal
sulit karena rongga mulut kecil. Terlambat, proses bicara terganggu, tindak
lanjutnya adalah pengaturan diet. Diet minum susu sesuai dengan kebutuhan klien
9) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto rontgen, tapi sekarang menggunakan USG : pemeriksaan prenatal
b) MRI untuk evaluasi abnormal (ultrasound kehamilan) : pemeriksaan prenatal
c) Pemeriksaan fisik : pemeriksaan Bayi Baru Lahir (BBL)
b. Asuhan Keperawatan Pada Anak Labiopalatoschzisis
1) Pengakajian
a) Identitas
Identitas pasien meliputi : nama, umur, tanggal lahir, alamat, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, pendidikan.
Identitas penanggung jawab, meliputi : nama, pekerjaan, jenis kelamin,
alamat, hubungan dengan pasien.
b) Keluhan utama : bayi sulit untuk menyusui (ASI keluar lewat hidung)
c) Riwayat kesehatan sekarang : terdapat celah pada bibir, palatum, atau
keduanya.
d) Riwayat kesehatan dahulu : kehamilan : pasien menderita insufisiensi zat
untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional.
e) Riwayat kesehatan keluarga : anggota keluarga ada yang bibir sumbing,
apakah orang tua memiliki kelainan kromosom, apakah di dalam keluarga ada
yang menderita CLP, apakah ada anggota keluarga dirumah yang merokok.
f) Riwayat psikososial : orang tua menyatakan tidak dapat merawatnya.
g) Imunisasi : nama, jumlah dosis, usia saat diberikan.
h) Pemeriksaan fisik
Mata : keadaan konjungtiva, sclera, dan lensa
Hidung : kemampuan kepekaan penciuman, adanya polip/hambatan lain
dalam hidung, adanya pilek
Telinga : bentuk telinga, kepekaan pendengaran, dan kebersihan telinga
Mulut dan bibir : warna bibir, ada luka atau ada kelainan lain.
Leher : keadaan vena jungularis, ada pembesaran kelenjar tiroid/tidak
Dada : bentuk dan irama nafas, keadaan jantung dan paru-paru.
Abdomen : ada kelainan atau tidak, bentuknya supel atau tidak
Kulit : warna kulit, turgor kulit.
Ekstremitas atas dan bawah : bentuknya normal/tidak, tonusnya lemah
atau kuat.
i) Pengkajian pola
Aktivitas / istirahat : bayi sulit menghisap ASI, sulit menelan ASI, bati
rewel, menangis, tidak dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman.
Sirkulasi : bayi tamapk pucat dan turgor kulit jelek
Makanan / cairan : berat badan turun, perut kembung, dan kulit kering
Neurosensori : adanya trauma psikologi orang tua, dan adanya sifat
kurang menerima, sensitive.
Nyaman / nyeri : adanya risiko tersedak, disfungsi tuba eustachi, dan
adanya garis jahitan pada daerah mulut.
2) Diagnosa Keperawatan
Pre Op
a) Defisit nutrisi berhubungan dengan gangguan menelan dibuktikan dengan
berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan
menurun, otot menelan lemah.
b) Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi dibuktikan
dengan merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur.
c) Risiko aspirasi dibuktikan dengan gangguan menelan
Post Op
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat , dan sulit
tidur.
b) Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive
3) Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
Pre Op
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan gangguan selama x jam, maka Identifikasi status nutrisi
menelan status nutrisi membaik Identifikasi perlunya penggunaan selang
dibuktikan dengan kriteria hasil : nasogastrik
dengan berat Berat badan Monitor asupan makanan
badan menurun membaik Terapeutik
minimal 10% Indek Massa Tubuh Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
dibawah rentang (IMT) membaik perlu
ideal, nafsu Nafsu makan Hentikan pemberian makan melalui selang
makan menurun, membaik nasigastrik jika asupan oral dapat
otot menelan Frekuensi makan ditoleransi
lemah. membaik Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
Promosi Berat Badan
Observasi
Identifikasi kemungkinan penyebab BB
kurang
Monitor berat badan
Terapeutik
Sediakan makan yang tepat sesuai kondisi
pasien( mis. Makanan dengan tekstur
halus, makanan yang diblander, makanan
cair yang diberikan melalui NGT atau
Gastrostomi, total perenteral nutritition
sesui indikasi)
Berikan pujian pada pasien atau keluarga
untuk peningkatan yang dicapai
Edukasi
Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
dibutuhkan
Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan kurang selama x jam, maka Identifikasi saat tingkat anxietas berubah
terpaparnya tingkat ansietas (mis. Kondisi, waktu, stressor)
informasi menurun dengan Monitor tanda anxietas (verbal dan non
dibuktikan kriteria hasil : verbal)
dengan merasa Verbalisasi Terapeutik
bingung, merasa kebingungan Ciptakan suasana terapeutik untuk
khawatir dengan menurun menumbuhkan kepercayaan
akibat dari Verbalisasi Temani pasien untuk mengurangi
kondisi yang khawatir akibat kecemasan , jika memungkinkan
dihadapi, sulit kondisi yang akan Pahami situasi yang membuat anxietas
berkonsentrasi, dihadapi menurun Gunakan pedekatan yang tenang dan
tampak gelisah, Perilaku gelisah meyakinkan
tampak tegang, menurun Edukasi
dan sulit tidur. Perilaku tegang Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
menurun pasien,
Konsentrasi Latih kegiatan pengalihan, untuk
membaik mengurangi ketegangan
Pola tidur membaik Terapi relaksasi
Observasi
Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan suhu sebelum dan
sesudah latihan
Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika memungkinkan
Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik relaksasi
Gunakan pakaian longgar
Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai
Edukasi
Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan
jenis, relaksasi yang tersedia
Anjurkan mengambil posisi nyaman
Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
Anjurkan sering mengulang atau melatih
teknik yang dipilih
Risiko aspirasi Setelah dilakukan Pencegahan Aspirasi
dibuktikan intervensi keperawatan Observasi
dengan gangguan selama x jam, maka Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah
menelan tingkat aspirasi dan kemampuan menelan
menurun dengan Monitor status pernafasan
kriteria hasil : Periksa kepatenan selang nasogastric
Kemampuan sebelum memberi asupan oral
menelan meningkat Terapeutik
Kelemahan otot Posisikan semi fowler (30-45 derajat) 30
menurun menit sebelum memberi asupan oral
Gelisah menurun Pertahankan posisi semi fowler (30-45
derajat) pada pasien tidak sadar
Lakukan penghisapan jalan nafas, jika
produksi secret meningkat
Hindari memberi makan melalui selang
gastrointestinal jika residu banyak
Edukasi
Anjurkan makan secara perlahan
Ajarkan teknik mengunyah atau menelan
Post Op
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan agen selama x jam, maka Idenrifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencederaan fisik tingkat nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan kriteria hasil : Identifikasi skala nyeri
dengan mengeluh Keluhan nyeri Identifikasi faktor yang memperberat dan
nyeri, tampak menurun memperingan nyeri
meringis, gelisah, Meringis menurun Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
frekuensi nadi Gelisah menurun hidup
meningkat , dan Kesulitan tidur Terapeutik
sulit tidur. menurun Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Frekuensi nadi mengurangi rasa nyeri
membaik Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
dibuktikan intervensi keperawatan Observasi
dengan efek selama x jam, maka Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
prosedur invasif tingkat infeksi menurun alergi
dengan kriteria hasil : Terapeutik
Kemerahan Berikan suntikan pada pada bayi dibagian
menurun paha anterolateral
Nyeri menurun Jadwalkan imunisasi pada interval waktu
Bengkak menurun yang tepat
Nafsu makan Edukasi
meningkat Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang
terjadi, jadwal dan efek samping
Informasikan imunisasi yang diwajibkan
pemerintah.
4) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan kepada klien. Pencataan mencakup tindakan keperawatan yang
diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan kriteria
hasil terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Hutahean, 2010).
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Dalam
evaluasi keperawatan akan mengkaji sesuai SOAP.
c) S: respon subyektif setelah tindakan; ungkapan verbal klien
d) O: respon obyektif setelah tindakan; respon non verbal klien.
e) A: assesment; penilaian/pembandingan respon klien dengan TUK
f) P: planning lanjutan dengan memperhatikan respon klien yang muncul
terhadap awtindakan yg telah dilaksanakan: untuk perawat dan untuk klien.
4. Hipospadia
a. Konsep Dasar Hipospadia
1) Pengertian
Hipospadia berasal dari kata hypo berarti di bawah dan spadon berarti
keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital
dimana meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke
proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glans penis
2) Etiologi
a) Gangguan dan ketidakseimbangan hormone : Hormone yang dimaksud di sini
adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau
biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang
kurang atau tidak ada.
b) Genetika : Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi
karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga
ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
c) Prematuritas : Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang
lahir dari ibu dengan terapi estrogen selama kehamilan
d) Lingkungan : yaitu polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat
mengakibatkan mutasi.
3) Klasifikasi
Berdasarkan letak orifisum atau posisi meatus uretra, yaitu :
a) Hipospadia type perennial : lubang kencing berada diantara anus dan
skrotum.
b) Hipospadia type scrotal : lubang kencing berada tepat dibagian depan
skrotum.
c) Hipospadia type peno scrotal : lubang kencing terletak diantara skrotum dan
batang penis.
d) Hipospadia type peneana proximal : lubang kencing berada dibawah
pangkal penis.
e) Hipospadia type mediana : lubang kencing berada dibawah bagian tengah
dari batang penis.
f) Hipospadia type distal peneana : lubang kencing berada dibawah bagian
ujung batang penis.
g) Hipospadia tyoe sub coronal : lubang kencing berada pada sulcus coronaries
penis (cekungan kepala penis).
h) Hipospadia type granular : lubang kencing sudah berada pada kepala penis
hanya letaknya masih berada dibawah kepala penisnya.
Semakin ke proksimal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan
semakin rendah frekuensinya.
4) Patofisiologi
Hipospadia meruapkan suatu cacat bawaan yang dieprkirakan terjadi
pada masa embrio selama penegmbangan uretra dari kehamilan 8-20 minggu.
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat
kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans,
kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium
tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari
glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral
menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Hipospadia terjadi dari pengembangan tidak lengkap uretra dalam rahim.
Penyebab pasti cacat diperkirakan terkait dengan pengaruh lingkungan dan
hormonal genetic.Perpindahan dari meatus uretra biasanya tidak mengganggu
kontinensia kemih. Namun, stenosis pembukaan dapat terjadi, yang akan
menimbulkan obstruksi parsial outflowing urin. Hal ini dapat mengakibatkan
ISK atau hidronefrosis. Selanjutnya, penempatan ventral pembukaan urethral
bisa mengganggu kesuburan pada pria dewasa, jika dibiarkan tidak terkoreksi.
5) Manifestasi Klinis
a) Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian
bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b) Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis.
c) Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
d) Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e) Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f) Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g) Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
h) Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
i) Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
j) Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada
saat BAK.
k) Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan
mengangkat penis keatas.
l) Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok.
m) Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.
6) WOC
7) Komplikasi
a) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin
dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b) Infertility
c) Resiko hernia inguinalis
d) Gangguan psikologis dan psikososial
e) Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa.
8) Penatalaksanaan
b) Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih
besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi
jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap
mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki)
kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk bahan
dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan
dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.
9) Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen
b) USG sistem kemih kelamin.
c) BNO-IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan
kongenital ginjal
d) Culture urine (anak-hipospadia)
h) Pemeriksaan Fisik
Sistem kardiovaskuler: Tidak ditemukan kelainan
Sistem neurologi: Tidak ditemukan kelainan
Sistem pernapasan: Tidak ditemukan kelainan
Sistem integument: Tidak ditemukan kelainan
Sistem muskuloskletaL: Tidak ditemukan kelainan
Sistem Perkemihan:
Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau
pembesaran pada ginjal.
Kaji fungsi perkemihan
Dysuria setelah operasi
Sistem Reproduksi
Adanya lekukan pada ujung penis
Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
Terbukanya uretra pada ventral
Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan,
drinage.
2) Diagnosa Keperawatan
Pre Op
a) Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi dibuktikan
dengan merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tanpak tegang, dan sulit tidur.
Post Op
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, dan sulit tidur.
b) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan outlet kandung kemih tidak
lengkap dibuktikan dengan urin menetes, sering buang air kecil, nokturia,
mengompol, dan berkemih tidak tuntas
c) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan kurang terpaparnya
informasi tentang upaya mempertahankan / melindungi integritas jaringan
dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit, nyeri, dan
kemerahan.
d) Risiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
3) Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
Pre Op
Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan intervensi Observasi
dengan kurang keperawatan Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
terpaparnya selama x jam, Kondisi, waktu, stressor)
informasi maka tingkat Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
dibuktikan dengan ansietas menurun Terapeutik
merasa bingung, dengan kriteria Temani pasien untuk mengurangi kecemasan ,
merasa khawatir hasil : jika memungkinkan
dengan akibat dari Verbalisasi Dengarkan dengan penuh perhatian
kondisi yang kebingungan Gunakan pedekatan yang tenang dan
dihadapi, sulit menurun meyakinkan
berkonsentrasi, Verbalisasi Edukasi
tampak gelisah, khawatir Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
tanpak tegang, dan akibat kondisi mungkin dialami
sulit tidur. yang dihadapi Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
menurun persepsi
Perilaku Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
gelisah ketegangan
menurun Latih teknik relaksasi
Perilaku Kolaborasi
tegang Kolaborasi pemberian obat anti anxietas
menurun Teknik relaksasi
Pola tidur Observasi
membaik Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
Gunakan pakaian longgar
Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau tindakan medis lain, jika
sesuai
Edukasi
Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
Anjurkan mengambil psosisi nyaman
Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih.
Post Op
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi Observasi
dengan agen keperawatan Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencederaan fisik selama x jam, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan maka tingkat Identifikasi skala nyeri
mengeluh nyeri, nyeri menurun Identifikasi faktor yang memperberat dan
tampak meringis, dengan kriteria memperingan nyeri
bersikap protektif, hasil : Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
gelisah, dan sulit Keluhan nyeri Terapeutik
tidur. menurun Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Meringis mengurangi rasa nyeri
menurun Fasilitasi istirahat dan tidur
Sikap Edukasi
protektif Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
menurun
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Gelisah
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
menurun
Kolaborasi
Kesulitan
Kolaborasi pemberian analgetik
tidur menurun
Terapeutik
Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
Bersihkan dengan cairan NACL atau
pembersih non toksik,sesuai kebutuhan
Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika
perlu
Pasang balutan sesuai jenis luka
Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan
luka
Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam
atau sesuai kondisi pasien
Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium
dan protein
Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik
Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
dibuktikan dengan intervensi Observasi
ketidakadekuatan keperawatan Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
pertahanan tubuh selama x jam, alergi
primer makatingkat Terapeutik
infeksi menurun Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha
dengan kriteria anterolateral
hasil : Edukasi
Kemerahan Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi,
menurun jadwal dan efek samping
Nyeri
menurun
Bengkak
menurun
Kebersihan
badan
meningkat
c. Persiapan
d. Prosedur
1) Pasien diminta mengganti pakaiannya dengan gaun khusus dari rumah sakit.
2) Pasien diminta untuk melepaskan kacamata, perhiasan, atau gigi palsu karena
dapat memengaruhi hasil pemeriksaan.
3) Pasien diminta berbaring miring di atas meja pemeriksaan.
4) Petugas medis melakukan rontgen terlebih dahulu untuk memastikan usus besar
pasien sudah bersih.
5) Setelah usus besar dipastikan bersih, barium enema akan dimasukkan melalui
dubur.
6) Bila pemeriksaan yang dilakukan adalah double contrast, udara akan dipompa
bersamaan dengan cairan barium.
7) Saat barium dimasukkan ke dalam usus besar, pasien mungkin akan merasakan
dorongan untuk mengejan dan mengalami kram perut. Namun pasien diharap
menahan keinginan ini dan mencoba untuk relaks dengan menarik napas dalam.
8) Pasien akan diminta berubah posisi beberapa kali sembari petugas medis
mengambil gambar rontgen. Langkah ini akan memastikan agar keseluruhan usus
besar sudah dilapisi oleh barium dan memudahkan petugas radiologi untuk
menilai keadaan usus besar Anda dari berbagai posisi.
e. Hasil
1) Negatif atau normal : Hasil barium enema dikatakan negatif bila dokter ahli
radiologi tidak menemukan kelainan pada usus besar pasien.
2) Positif atau abnormal : Hasil barium enema dikatakan positif jika ahli
radiologi menemukan kelainan pada usus besar pasien. Dokter mungkin akan
menganjurkan pemeriksaan penunjang lain untuk memastikan diagnosis.
Misalnya, kolonoskopi dan biopsi.
Terkadang, dokter akan meminta pasien untuk mengubah posisi saat berbaring
atau menarik, menahan, dan menghembuskan napas guna mendapatkan hasil gambar
yang jelas. Namun, jika tidak ada aba-aba tersebut, pasien bisa bernapas secara
normal.
Anggota tim tindakan keperawatan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam
dua bagian, yaitu :
Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator, asisten ahli bedah, Scrub
Nurse / Perawat Instrumen
Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau pelaksana anaesthesi, perawat
sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang
rumit).
a. Syok
Syok yang terjadi pada pasien operasi biasanya berupa syok hipovolemik.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter terkait
dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, terapi pernafasan, memberikan
dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi, memantau reaksi pasien
terhadap pengobatan, dan peningkatan periode istirahat.
b. Perdarahan
Penatalaksanaannya pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki
membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus
c. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah
vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
d. Retensi urin
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus operasi rektum, anus dan
vagina.Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk
membatu mengeluarkan urine dari kandung kemih.
e. Infeksi luka operasi
Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi
pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan
infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga
perawatan luka dengan prinsip steril.
f. Embolisme pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak)
yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Intervensi
keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus
pulmonal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan pada sistem pencernaan dapat terjadi jika salah satu atau lebih proses
pencernaan tidak berjalan dengan baik. Anak masih sangat rentan terhadap masalah
pencernaan. Sebenarnya sistem pencernaan pada anak dan orang dewasa adalah sama,
namun demikian, anak-anak masih belum optimal dalam memaksimalkan fungsi dari
masing-masing organ pada sistem pencernaannya, seperti pada penyakit Hisprung,
Atresia ani, Labiopalatoschzis, dan Hipospadia
B. Saran