Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kasus : Hisprung, Atresia ani,


Labiopalatoschzis, dan Hipospadia”

OLEH :

TK 2. A

KELOMPOK 2 :

Chykita Putri Amanda (203110126)

Cardilla Meida Putri (203110125)

Dilla Febriani Lukman (203110127)

Ella Angelina (203110128)

DOSEN PEMBIMBING :

Delima, S.Pd. M.Kes

D-III KEPERAWATAN PADANG

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

TAHUN AJARAN 2021-2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada anak
Dengan Kasus : Hisprung, Atresia ani, Labiopalatoschzisis, dan Hipospadia”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Pkl Kerinci, 13 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah ………………………………………………………………... 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan ada anak dengan kasus …………………………………. 6
1. Hisprung …………………………………………………………………… 6
2. Atresia ani …………………………………………………………………. 16
3. Labiopalatoschzisis ………………………………………………………... 28
4. Hipospadia..................................................................................................... 48
B. Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan Perkemihan ... 57
C. Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post Operatif ……………... 61

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan......................................................................................................... 65
B. Saran................................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 66
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan pada sistem pencernaan dapat terjadi jika salah satu atau lebih
proses pencernaan tidak berjalan dengan baik. Anak masih sangat rentan terhadap
masalah pencernaan. Sebenarnya sistem pencernaan pada anak dan orang dewasa
adalah sama, namun demikian, anak-anak masih belum optimal dalam
memaksimalkan fungsi dari masing-masing organ pada sistem pencernaannya.
Penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyakit kongenital saluran
cerna yang sering terjadi pada bayi dengan insidensi 1 dari 1500-7000 kelahiran hidup
di seluruh dunia. Kejadian pada bayi laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidensi pada kasus-kasus dengan faktor
risiko familial yang rata-rata mencapai 6% (Kapur, 2009).
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang
terlambat mengeluarkan tinja. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah
pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah
hijau, dan perut membuncit keseluruhan (Imseis dan Gariepy, 2012).
Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak.
Atresia ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang.
Atresia berasal dari bahasa Yunani, yaitu berarti tidak ada, dan trepsis yang artinya
nutrisi atau makanan. Menurut istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan
tidak adanya atau tertutupnya lubang badan yang normal (Rizema, Setiatava P, 2012).
Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh
kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan
atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat
muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-
laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.
Labio palatoschizis merupakan kelainan bibir dan langit – langit, hal ini
biasanya   disebabkan karena perkembangan bibir dan langit – langit yang tidak dapat
berkembang secara sempurna pada masa  pertumbuhan di dalam kandungan. Dimana
biasanya penderita labio palatoschizis mempunyai bentuk wajah kurang normal dan
kurang jelas dalam berbicara sehingga menghambat masa persiapan sekolahnya.
Labio palatoschizis sering dijumpai pada anak laki – laki dibandingkan anak
perempuan (Randwick, 2002) kelainan ini merupakan kelainan yang disebabkan
faktor herediter, lingkungan, trauma, virus (Sjamsul Hidayat, 1997). Kelainan ini
dapat dilihat ketika bayi berada di dalam kandungan, melalui alat yang disebut USG
atau Ultrasonografi. Setelah bayi lahir kelainan ini tampak jelas pada bibir dan langit
–langitnya.
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang
terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).Istilah
hipospadia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Hypo (below) dan
spaden(opening). Hipospadia menyebabkan terjadinya berbagai tingkatan defisiensi
uretra. Jaringan fibrosis yang menyebabkan chordee menggantikan fascia Bucks dan
tunika dartos. Kulit dan preputium pada bagian ventral menjadi tipis, tidak sempurna
dan membentuk kerudung dorsal di atas glans (Duckett, 1986, Mc Aninch,1992)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hisprung ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atresia ani ?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Labiopalatoschzisis ?
4. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipospadia ?
5. Bagaimana Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan
Perkemihan ?
6. Bagaimana Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post Operatif ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hisprung
2. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atresia ani
3. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Labiopalatoschzisis
4. Untuk mengetahui serta memahami Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipospadia
5. Untuk mengetahui Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada Sistem Pencernaan dan
Perkemihan.
6. Untuk mengetahui Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post
Operatif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kasus


1. Hisprung
a. Konsep Dasar Hisprung
1) Pengertian Hisprung
Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon
(aganglionicmegacolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan
sebagian tidak ada dalam colon ( Suriadi, 2001).
Penyakit Hirschsprung (HSCR) atau yang secara awam dikenal sebagai
megakolon kongenital adalah penyakit saluran cerna yang ditandai dengan
tidak adanya sel saraf pada saluran cerna sehingga menyebabkan gejala
sumbatan usus. Akibatnya, di bagian atas dari sumbatan tersebut usus akan
melebar (megakolon). 

2) Etiologi Hisprung
Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional
yang berimigrasi kedalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus
dan submukoisa untuk berkembang kearah kranio kaudal di dalam dinding
usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus
Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai
rectum dan bagian bawah kolonsigmoid dan terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon.
Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak etilogi pada hisprung, yaitu
 Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
 Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.

3) Klasifikasi Hisprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
 Penyakit Hirschprung segmen pendek. Segmen ganglionosis mulai dari
anus sampai sigmoid ini merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung
dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingakan perempuan.
 Penyakit Hirschprung segmen panjang. Kelainan dapat melebihi sigmoid,
bahkan dapat mengenai saluran kolon atau usus halus. Ditemukan banyak
terdapat pada laki-laki maupun perempuan.

4) Patofisiologi Hisprung
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen
kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/
penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan
(megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi
berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat
mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas. Persarafan
parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional.
Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran
dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gas trointestinal
antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus
bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi
menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang
merupakan penyebab kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung

5) Tanda dan Gejala Hisprung


Tanda dan gejala umumnya sudah dapat dideteksi sejak bayi baru lahir,
di mana bayi tidak buang air besar (BAB) dalam 48 jam setelah lahir.
Selain bayi tidak BAB, di bawah ini adalah gejala lain penyakit
Hirschsprung pada bayi baru lahir :
 Muntah-muntah dengan cairan berwarna coklat atau hijau
 Perut buncit
 Rewel

Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak
berusia lebih besar. Gejala penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar
terdiri dari :

 Mudah merasa lelah


 Perut kembung dan kelihatan buncit
 Sembelit yang terjadi dalam jangka panjang (kronis)
 Kehilangan nafsu makan
 Berat badan tidak bertambah
 Tumbuh kembang terganggu

6) WOC Hisprung
7) Komplikasi Hisprung
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia
mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada
komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1,
infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab
terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan
menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,
diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis
akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan
terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi
usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada
dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan
iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen.
Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan
muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan
iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis
dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat
menyebabkan enterokilitis.

8) Pemeriksaan Penunjang Hisprung


a) Radiologi
 Pada foto polos abdomen memperlihatkan obstruksi pada bagian distal dan
dilatasi kolon proksimal.
 Pada foto barium enema memberikan gambaran yang sama disertai dengan
adanya daerah transisi diantara segmen yang sempit pada bagian distal
dengan segmen yang dilatasi pada bagian yang proksimal. Jika tidak
terdapat daerah transisi, diagnosa penyakit hirschprung ditegakkan dengan
melihat perlambatan evakuasi barium karena gangguan peristaltik.
 Laboratorium : tidak ditemukan adanya sesuatu yang khas kecuali jika
terjadi komplikasi, misal : enterokolitis atau sepsis.
 Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner,
apakah terdapat ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung
ganglion ini tidak ditemukan.
 Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada
waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu
dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di
bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

9) Penatalaksanaan Hisprung
a) Konservatif.
Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal
untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
b) Tindakan bedah sementara.
Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis, eneterokolitis berat dan
keadaan umum buruk.
c) Tindakan bedah defenitif.
Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan membuat anastomosis.

b. Asuhan Keperawatan Pada Anak Hisprung


1) Pengkajian
a) Identitas.
Meliputi nama, umur, agama, suku bangsa, dan alamat pasien.
b) Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi
total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi
mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk
dapat terjadi.
c) Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d) Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada
anaknya.
e) Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f) Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
g) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
h) Nutrisi.
i) Pemeriksaan fisik.
 Sistem kardiovaskuler (Tidak ada kelainan)
 Sistem pernapasan (Sesak napas, distres pernapasan)
 Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna
hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus
jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan
keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
 Sistem genitourinarius.
 Sistem saraf (Tidak ada kelainan)
 Sistem lokomotor/muskuloskeletal (Gangguan rasa nyaman)
 Sistem endokrin (Tidak ada kelainan)
 Sistem integumen (Akral hangat)
 Sistem pendengaran (Tidak ada kelainan)

j) Pemeriksaan diagnostik dan hasil.


 Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat
gambaran obstruksi usus rendah.
 Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada
segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
 Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
 Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
 Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat
peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang kemungkinan muncul menurut SDKI :
 Dx 1 : Koping tidak efektif
 Dx 2 : Defisit nutrisi
 Dx 3 : Gangguan rasa nyaman
3) Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SDKI) Intervensi (SIKI)
Keperawata
m
Koping tidak Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan diri
efektif keperawatan x jam
Observasi
diharapkan status koping
membaik dengan kriteria  Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan
diri sesuai usia
hasil :  Monitor tingkat kemandirian
 Kemampuan memenuhi  Identifikasi kebutuhan alat bantu
peran sesuai usia kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan
meningkat makan.
 Perilaku koping adaptif
meningkat Terapeutik

 Verbalisasi kemampuan
 Sediakan lingkungan yang terapeutik
mengatasi masalah
(mis. suasana hangat, rileks, privasi)
meningkat
 Siapkan keperluan pribadi (mis. parfum,
 Verbalisasi pengakuan
sikat gigi, dan sabun mandi)
masalah meningkat
 Dampingi dalam melakukan perawatan
 Verbalisasi kelemahan
diri sampai mandiri
diri meningkat
 Fasilitasi untuk menerima keadaan
 Perilaku asertif
ketergantungan melakukan perawatan diri
meningkat
 Partisipasi social
Edukasi
menurun
 Verbalisasi
 Anjurkan melakukan perawatan diri
menyalahkan orang lain
secara konsisten sesuai kemampuan
menurun
 Verbalisasi rasionalisasi
kegagalan menurun
 Hipersensitif terhadap
kritik menurun

Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


intervensi keperawatan
Observasi
selama x jam, maka status
nutrisi membaik dengan
 Identifikasi status nutrisi
kriteria hasil :
 Identifikasi alergi dan intoleransi
 Berat badan membaik
makanan
 Indek Massa Tubuh
 Identifikasi makanan yang disukai
(IMT) membaik
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
 Nafsu makan membaik
nutrient
 Frekuensi makan
 Identifikasi perlunya penggunaan selang
membaik
nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

 Lakukan oral hygiene sebelum makan,


jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui
selang nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi

Edukasi

 Anjurkan posisi duduk, jika mampu


 Ajarkan diet yang diprogramkan
 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik),
jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Terapi Relaksasi


nyaman keperawatan 3x24 jam
Observasi
diharapkan gangguan rasa
nyaman menurun dengan
 Identifikasi penurunan tingkat energi,
kriteria hasil :
ketidakmampuan berkonsentrasi, atau
gejala lain yang mengganggu kemampuan
 Kesejahteraan fisik
kognitif
meningkat
 Identifikasi teknik relaksai yang pernah
 Kesejahteraan
efektif digunakan
psikologis meningkat
 Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
 Rileks meningkat
penggunaan teknik sebelumnya
 Keluhan tidak nyaman
 Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
menurun
tekanan darah, dan suhu sebelum dan
 Gelisah menurun
sesudah latihan
 Mual menurun  Monitor respon terhadap terapi relaksai
 Lelah menurun
Terapeutik
 Merintih menurun
 Menangis menurun  Ciptakan lingkungan yang tenag dan
 Kewaspadaan membaik tanpa gangguan dengan pencahayaan dan
 Pola tidur membaik suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
 Pola hidup membaik  Berikan informasi tertulis tentang
 Pola tidur membaik persiapan dan prosedur teknik relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan nalgesik atau tindakan
medis lain, jika sesuai

Edukasi

 Jelaskan tujuan manfaat, batasan, dan


jenis relaksasi yang tersedia (mis. musik,
meditasi, napas dalam, relaksasi otot
progresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi
yang dipilih
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensai
relaksasi
 Anjurkan sering mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi

4) Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan kepada klien. Pencataan mencakup tindakan keperawatan yang
diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan kriteria
hasil terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Hutahean, 2010).
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Dalam
evaluasi keperawatan akan mengkaji sesuai SOAP.
 S: respon subyektif setelah tindakan; ungkapan verbal klien
 O: respon obyektif setelah tindakan; respon non verbal klien.
 A: assesment; penilaian/pembandingan respon klien dengan TUK
 P: planning lanjutan dengan memperhatikan respon klien yang muncul
terhadap tindakan yg telah dilaksanakan: untuk perawat dan untuk klien

2. Atresia ani
a. Konsep Dasar Atresia ani
1) Pengertian Atresia ani
Atresia ani adalah kelainan congenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum, atau keduanya Betz (2012). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (congenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus Donna L. Wong (2013)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membrane yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rectum Purwanto (2011).
Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang
anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak
ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

2) Etiologi Atresia ani


Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan. 4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan
rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis
anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa
ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab
atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit
ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat
kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang
mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).

3) Klasifikasi Atresia Ani


Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
 Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
 Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
 Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
 Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum

4) Patofisiologi Atresia Ani


Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi
atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon
antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga
karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.

5) Tanda dan Gejala Atresia Ani


Menurut Ngastiyah (2011), gejala yang menunjukan terjadinya atresia
ani atau anus, imperforate tejadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala ini dapat
berupa :
a) Perut kembung
b) Muntah
c) Tidak bisa buang air besar
d) Pada pemeriksaan radiologi denagn posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan
e) Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(mengeluarkan tinja yang menyerupai pita)
f) Perut membuncit
g) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
h) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi
i) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
j) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula)
k) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
l) Perut kembung

6) WOC Atresia Ani


7) Komplikasi Atresia Ani
Adapun komplikasi yang dapat terjadi antra lain:
a) Asidosis hiperkioremia
b) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
c) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
d) Komplikasi jangka panjang : Eversi mukosa anal, stenosis (akibat kontriksi
jaringan perut dianastomosis)
e) Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training
f) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g) Prolaps mukosa anorektal
h) Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dean infeksi

8) Penatalaksaanaan Atresia Ani


a) Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan
keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur
pengobatanya.Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian
anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum
abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
b) Pengobatan
 Aksisi membrane anal (membuat anus buatan)
 Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan
dilakukan korksi sekaligus (pembuatan anus permanen)
c) Keperawatan
Kepada orang tua diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan
keadaan tesebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan
2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3
bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu diberitahukan perawatan anus
buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi serta
memperhatikan kesehatan bayi.

9) Pemeriksaan Penunjang Atresia Ani


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
a) Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b) Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
c) Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
d) CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
e) Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f) Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
g) Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

b. Asuhan Keperawatan Pada Anak Atresia Ani


1) Pengkajian
a) Identitas.
Meliputi nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan dan
alamat pasien.
b) Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama : Distensi abdomen
 Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit,
tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium
terdapat dalam urinc.
 Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-
48 jam pertama kelahiran
 Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota
keluarga yang laine.
 Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
 Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, dan suhu
 Kepala : Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal
hematom.
 Mata : Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidakikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.
 Hidung : Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
 Mulut : Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
 Telinga : Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
 Thorak : Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak
funnel shest, pernafasan normal
 Jantung : Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
 Abdomen : Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilicus
 Getalia : Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
 Anus : Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan
kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar
peristaltic.
 Ektrimitas atas dan bawah : Simetris, tidak fraktur, jumlah jari
lengkap, telapak tangan maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat

 Pola fungsi kesehatan


 Pola persepsi terhadap kesehatan :Klien belum bisa
mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan
apa yang diinginkan
 Pola aktifitas kesehatan/latihan : Pasien belum bisa melakukan
aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi
 Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain
 Pola nutrisi metabolic : Klien hanya minum ASI atau susu kalenge.
 Pola eliminasi : Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin
ada mekonium
 Pola kognitif perseptual : Klien belum mampu berkomunikasi,
berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain
 Pola seksual  : ReproduksiKlien masih bayi dan belum menikahi. 
 Pola nilai dan kepercayaan : Belum bisa dikaji karena klien belum
mengerti tentang kepercayaan 
 Pola peran hubungan : Belum bisa dikaji karena klien belum mampu
berinteraksi dengan orang lain secara mandiri
 Pola koping : Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum
mampu berespon terhadap adanya suatu masalah

2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang kemungkinan muncul menurut SDKI :
a) Dx 1 : Defisit nutrisi
b) Dx 2 : Gangguan rasa nyaman
c) Dx 4 : Risiko infeksi
d) Dx 4 : Gangguan integritas kulit/jaringan

3) Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnose Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawata
n
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
intervensi
Observasi
keperawatan selama x
jam, maka status
 Identifikasi status nutrisi
nutrisi membaik
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
dengan kriteria hasil :
 Identifikasi makanan yang disukai

 Berat badan  Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient


membaik  Identifikasi perlunya penggunaan selang
 Indek Massa nasogastrik
Tubuh (IMT)  Monitor asupan makanan
membaik  Monitor berat badan
 Nafsu makan  Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
membaik
 Frekuensi
Terapeutik
makan
membaik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

 Anjurkan posisi duduk, jika mampu


 Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan


(mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

Gangguan Setelah dilakukan Terapi Relaksasi


rasa nyaman tindakan keperawatan
Observasi
3x24 jam diharapkan
gangguan rasa
 Identifikasi penurunan tingkat energi,
nyaman menurun,
ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala
dengan kriteria hasil:
lain yang mengganggu kemampuan kognitif
 Kesejahteraan  Identifikasi teknik relaksai yang pernah efektif
fisik meningkat digunakan
 Kesejahteraan  Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
psikologis penggunaan teknik sebelumnya
meningkat  Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan
 Rileks meningkat darah, dan suhu sebelum dan sesudah latihan
 Keluhan tidak  Monitor respon terhadap terapi relaksai
nyaman menurun
Terapeutik
 Gelisah menurun
 Mual menurun  Ciptakan lingkungan yang tenag dan tanpa
 Lelah menurun gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruang
 Merintih menurun nyaman, jika memungkinkan
 Menangis  Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan
menurun prosedur teknik relaksasi
 Kewaspadaan  Gunakan pakaian longgar
membaik  Gunakan nada suara lembut dengan irama
 Pola tidur lambat dan berirama
membaik  Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
 Pola hidup dengan nalgesik atau tindakan medis lain, jika
membaik sesuai
 Pola tidur
membaik Edukasi

 Jelaskan tujuan manfaat, batasan, dan jenis


relaksasi yang tersedia (mis. musik, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang
dipilih
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensai relaksasi
 Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik
yang dipilih
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, peregangan, atau imajinasi
terbimbing)

Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi


intervensi Observasi
keperawatan selama x  Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
jam, maka tingkat alergi
infeksi menurun Terapeutik
dengan kriteria hasil :  Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha
 Kemerahan anterolateral
menurun  Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang
 Nyeri menurun tepat
 Bengkak menurun Edukasi
 Nafsu makan  Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi,
meningkat jadwal dan efek samping

Informasikan imunisasi yang diwajibkan


pemerintah
Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
integritas intervensi Observasi
kulit/jaringan keperawatan selama x  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
jam, maka inegritas Terapeutik
kulit dan jaringan  Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
meningkat dengan  Gunakan produk berbahan petrolium atau
kriteria hasil : minyak pada kulit kering
 Kerusakan  Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
jaringan menurun hipoalergik pada kulit sensitif
 Kerusakan lapisan  Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
kulit menurun kulit kering
 Kemerahan Edukasi
menurun  Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotin,
 Elastisitas serum)
meningkat  Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat asupan buah dan saur

Perawatan Luka
Observasi
 Monitor karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,bau
 Monitor tanda –tanda inveksi
Terapeutik
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih
non toksik,sesuai kebutuhan
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium
dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antibiotik

4) Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan kepada klien. Pencataan mencakup tindakan keperawatan yang
diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan kriteria
hasil terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Hutahean, 2010).
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Dalam
evaluasi keperawatan akan mengkaji sesuai SOAP.
a) S: respon subyektif setelah tindakan; ungkapan verbal klien
b) O: respon obyektif setelah tindakan; respon non verbal klien.
c) A: assesment; penilaian/pembandingan respon klien dengan TUK
d) P: planning lanjutan dengan memperhatikan respon klien yang muncul
terhadap awtindakan yg telah dilaksanakan: untuk perawat dan untuk klien.

3. Labiopalatoschzisis
a. Konsep Dasar Labiopalatoschzisis
1) Pengertian
Labiopalatoschzisis berasala dari kata labium berarti bibir, palatum
berarti langit-langit, dan skisis berarti celah. Jadi labiopalatoschzisis deformasi
kongenital daerah orofaring, baik labium, palatum, atau keduanya. Celah pada
labium disebut labioskisis (sumbing pada bibir) dan celah pada lapatum
disebut palatoskisis (sumbing pada palatum).
Labiopalatoschzisis adalah kelainan kongenital berupa celah pada bibir
atas, gusi, rahang dan langit-langit yang terjadi akibat gagalnya penyatuan
jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio.

2) Etiologi
a) Faktor genetic
 Mutasi gen
 Kelainan kromosom, missal : trisomi 13 (patau), trisomi 15, trisomi 18
(edwars), dan trisomi 21
b) Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan zink)
c) Pengaruh obat teratology : jamu, kontrasepsi hormonal, dan obat-obatan
seperti talidomid, diazepam (obat-obat penenang), aspirin (obat analgetik),
kosmetik yang mengandung merkuri & timah hitam (cream pemutih)
d) Faktor lingkungan, meliputi : zat kimia (rokok dan alkohol), gangguan
metabolic (DM), penyinaran radioaktif, infeksi (khususnya virus toxoplasma)
e) Factor usia ibu
f) Stress emosional : korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang
menyebabkan labiopalatoschzisis
g) Trauma : kecelakaan atau benturan saat hamil minggu ke-5

3) Klasifikasi
Berdasarkan organ yang terlibat, yaitu :
 Celah bibir (labioschizisis) : celah terdapat pada bibir bagian atas
 Celah gusi (gnatoschzisis) : celah terdapat pada gusi gigi bagian atas
 Celah palatum (palatoschzisis) : celah terdapat pada palatum

Berdasarkan lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk, yaitu :


 Komplit : jika celah melebar sampai ke dasar hidung
 Inkomplit : jika celah tidak melebar sampai ke dasar hidung

Berdasarkan letak celah, yaitu :


 Unilateral : celah terjadi hanya pada satu sisi bibir
 Bilateral : celah yang terjadi pada kedua sisi bibir
 Midline : celah terjadi pada tengah bibir

4) Patofisiologi

Proses terjadinya labiopalatoschzisis yaitu ketika kehamilan trimester I


dimana terjadinya gangguan oleh karena beberapa penyakit seperti virus. Pada
trimester I terjadi proses perkembangan pemebntukan berbagai organ tubuh
dan saat itu terjadi kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan
lunak atau tulang selama fase embrio.
Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medical dan
maxilaris maka dapat mengalami labioschzisis (sumbing bibir) dan proses
penyatuan tersebut terjadi pada usia 6-8 minggu. Kemudian apabila terjadi
kegagalan penyatuan pada susunan palate selama kehamilan 7-12 minggu,
maka dapat mengakibatkan palatoschzisis (sumbing palatum).

Beberapa teori yang menggambarkan terjadinya celah bibir :

a) Teori Fusi / Teori kalsik


Pada akhir minggu keenam dan awal minggu ketujuh masa kehamilan,
processus maxillaries berkembang kearah depan menuju garis median,
mendekati processus nasomedialis dan kemudian bersatu. Bila terjadi
kegagalan fusi antara processus maxillaries dengan processus nasomedialis
maka celah bibir akan terjadi.
b) Teori Penyusupan Mesodermal / Teori hambatan perkembangan
Mesoderm mengadakan penyusunan menyebrangi celah sehingga bibir
atas berkembang normal. Bila terjadi kegagalan migrasi mesodermal
menyebrangi celah bibir akan terbentuk.
c) Teori Mesodermal sebagai Kerangka Membran Brankhial
Pada minggu kedua kehamilan, membran brankhial memerlukan
jaringan mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi ke
arah muka. Bila mesodermal tidak ada maka dalam pertumbuhan embrio
membran brankhial akan pecah sehingga akan terbentuk celah bibir.
d) Gabungan Teori Fusi dan Penyusupan Mesodermal
Pertama kali menggabungkan kemungkinan terjadinya celah bibir, yaitu
adanya fusi processus maxillaris dan penggabungan kedua processus
nasomedialis yang kelak akan membentuk bibir bagian tengah

5) Manifestasi Klinis
a) Deformitas pada bibir
b) Kesukaran dalam menghisap/makan
c) Kelainan susunan archumdentis
d) Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
e) Gangguan komunikasi verbal
f) Regurgitasi makanan
Pada Labio skisis, yaitu :
a) Distorsi pada hidung
b) Tampak sebagian atau keduanya
c) Adanya celah pada bibir

Pada Palato skisis, yaitu :


a) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen incisive.
b) Ada rongga pada hidung.
c) Distorsi hidung
d) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
e) Kesukaran dalam menghisap/makan.

6) WOC

7) Komplikasi

a) Kesulitan berbicara : hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan


adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga
suara yang keluar menjadi sengau
b) Maloklusi : pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkantulang alveol,
alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan disaerah celah
sering terjadi erupsi.
c) Masalah pendengaran : otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah
pada paltum sehingga muara tuba eustachi terganggu akibatnya dapat terjadi
otitis media rekurens sekunder.
d) Aspirasi : dengan terganggunya tuba eustachi, menyebabkan reflek
menghisap dan menelanterganggu akibanya dapat terjadi aspirasi.
e) Distress pernapasan : dengan terjadinya aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernapasan
f) Risiko infeksi saluran pernafasan : adanya celah pada bibir dan palatum
dapat mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh,
sehingga kuman-kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan
g) Pertumbuhan dan perkembangan terlambat : dengan adanya celah pada
bibir dan palatum menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu.
Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga menghambat
pertumbuhan dan perkembangan bayi.
h) Asimetri wajah : jika celah melebar ke dasar hidung “alar kartilago” dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris
wajah.
i) Penyakit peri odontal : gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang
tidak mencukupi didalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek
distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri
odontal.
j) Crosbite : penderita labiopalatoschzisis seringkali paroksimalnya menonjol
dan lebih rendah posteriorpremaxillary yang colaps medialnya dapat
menyebabkan terjadinya crosbite.
k) Perubahan harga diri dan citra tubuh : adanya celah pada bibir dan
palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri
dan citra tubuh.
l) Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan
dan jaringan.

8) Penatalaksanaan
Prioritas pertama pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat

a) Pemasangan selang Nasogastrik tube, adalah selang yang dimasukkan


melaluihidung berfungsi untuk memasukkan susu langsung ke dalam lambung
untuk memenuhi intake makanan.
b) Pemasangan Obturator/ “feeding plate” yang terbuat dari bahan akrilik
yang elastis,semacam gigi tiruan tapi lebih lunak, jadi pembuatannya khusus
dan memerlukan pencetakan di mulut bayi.
c) Pemberian dot khusus, dot ini bisa dibeli di apotik-apotik besar. Dot ini
bentuknya lebih panjang dan lubangnya lebih lebar daripada dot biasa,
tujuannya dot yang panjang menutupi lubang di langit2 mulut; susu bisa
langsung masuk kekerongkongan. Karena daya hisap bayi yang rendah, maka
lubang dibuat sedikit lebih besar. Penatalaksanaan tergantung pada kecacatan.
Prioritas pertama antaralain pada tekhnik pemberian nutrisi yang adekuat
untuk mencegah komplikasi,fasilitas pertumbuhan dan perkembangan.

Perawatan preoperative :
a) Menyediakan dukungan psikologis bagi keluarga
b) Modifikasi teknik menyusui
c) Tahan anak dalam posisi tegak
d) Gunakan peralatan makan khusus (besar, puting susu lembut dengan lubang
besar)
e) Jelaskan masalah jangka sekarang dan jangka panjangnya

Operasi, dengan beberapa tahap, sebagai berikut :


a) Penjelasan kepada orangtuanya
b) Umur 3 bulan (rule over ten) : Operasi bibir dan alanasi(hidung), evaluasi
telinga.
c) Umur 10-12 bulan : Qperasi palato/celah langit-langit, evaluasi pendengaran
dantelinga.
d) Umur 1-4 tahun : Evaluasi bicara, speech theraphist setelah 3 bulan pasca
operasi
e) Umur 4 tahun : Dipertimbangkan repalatoraphy atau/dan Pharyngoplasty
f) Umur 6 tahun : Evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.
g) Umur 9-10 tahun : Alveolar bone graft (penambahan tulang pada celah gusi)8
h) Umur 12-13 tahun : Final touch, perbaikan-perbaikan bila diperlukan.
i) Umur 17 tahun : Evaluasi tulang-tulang muka, bila diperlukan
advancementosteotomy LeFORT.

Perawatan pascaoperasi :
a) Posisi di belakang atau samping berbaring
b) Menjaga perangkat pelindung bibir
c) Menahan tangan anak
d) Mencegah menangis parah
e) Bersihkan garis jahitan dengan lembut setelah menyusui
f) Ajarkan orang tua tentang:Peralatan makanan dan teknik pemberian makan
g) Menahan Prosedur
h) Perawatan mulut

Operasi ini merupakan operasi bedah plastik yang bertujuan menutupi


kelainan, mencegah kelainan, meningkatkan tumbuh kembang anak. Labio plasty
dilakukan apabila sudah tercapai ”rules of overten” yaitu :
a) Umur diatas 10 minggu
b) BB diatas 10 ponds (± 5 kg)
c) Hb lebih 10 g/dl
d) Leukosit lebih dari 10.000/ul
e) Tidak ada infeksi mulut
f) Saluran pernafasan untuk mendapatkan bibir dan hidung yang baik
g) Koreksi hidung dilakukan pada operasi yang pertama.

Palato plasty dilakukan pada umur 12-18 bulan, pada usia 15 tahun
dilakukan terapi dengan koreksi-koreksi bedah plastik. Pada usia 7-8 tahun
dilakukan ”bone skingraft”, dan koreksi dengan flap pharing. Bila terlalu awal
sulit karena rongga mulut kecil. Terlambat, proses bicara terganggu, tindak
lanjutnya adalah pengaturan diet. Diet minum susu sesuai dengan kebutuhan klien

9) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto rontgen, tapi sekarang menggunakan USG : pemeriksaan prenatal
b) MRI untuk evaluasi abnormal (ultrasound kehamilan) : pemeriksaan prenatal
c) Pemeriksaan fisik : pemeriksaan Bayi Baru Lahir (BBL)
b. Asuhan Keperawatan Pada Anak Labiopalatoschzisis
1) Pengakajian
a) Identitas
 Identitas pasien meliputi : nama, umur, tanggal lahir, alamat, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, pendidikan.
 Identitas penanggung jawab, meliputi : nama, pekerjaan, jenis kelamin,
alamat, hubungan dengan pasien.
b) Keluhan utama : bayi sulit untuk menyusui (ASI keluar lewat hidung)
c) Riwayat kesehatan sekarang : terdapat celah pada bibir, palatum, atau
keduanya.
d) Riwayat kesehatan dahulu : kehamilan : pasien menderita insufisiensi zat
untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional.
e) Riwayat kesehatan keluarga : anggota keluarga ada yang bibir sumbing,
apakah orang tua memiliki kelainan kromosom, apakah di dalam keluarga ada
yang menderita CLP, apakah ada anggota keluarga dirumah yang merokok.
f) Riwayat psikososial : orang tua menyatakan tidak dapat merawatnya.
g) Imunisasi : nama, jumlah dosis, usia saat diberikan.
h) Pemeriksaan fisik
 Mata : keadaan konjungtiva, sclera, dan lensa
 Hidung : kemampuan kepekaan penciuman, adanya polip/hambatan lain
dalam hidung, adanya pilek
 Telinga : bentuk telinga, kepekaan pendengaran, dan kebersihan telinga
 Mulut dan bibir : warna bibir, ada luka atau ada kelainan lain.
 Leher : keadaan vena jungularis, ada pembesaran kelenjar tiroid/tidak
 Dada : bentuk dan irama nafas, keadaan jantung dan paru-paru.
 Abdomen : ada kelainan atau tidak, bentuknya supel atau tidak
 Kulit : warna kulit, turgor kulit.
 Ekstremitas atas dan bawah : bentuknya normal/tidak, tonusnya lemah
atau kuat.

i) Pengkajian pola
 Aktivitas / istirahat : bayi sulit menghisap ASI, sulit menelan ASI, bati
rewel, menangis, tidak dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman.
 Sirkulasi : bayi tamapk pucat dan turgor kulit jelek
 Makanan / cairan : berat badan turun, perut kembung, dan kulit kering
 Neurosensori : adanya trauma psikologi orang tua, dan adanya sifat
kurang menerima, sensitive.
 Nyaman / nyeri : adanya risiko tersedak, disfungsi tuba eustachi, dan
adanya garis jahitan pada daerah mulut.

2) Diagnosa Keperawatan

Pre Op
a) Defisit nutrisi berhubungan dengan gangguan menelan dibuktikan dengan
berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan
menurun, otot menelan lemah.
b) Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi dibuktikan
dengan merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur.
c) Risiko aspirasi dibuktikan dengan gangguan menelan

Post Op
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat , dan sulit
tidur.
b) Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive

3) Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
Pre Op
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan gangguan selama x jam, maka  Identifikasi status nutrisi
menelan status nutrisi membaik  Identifikasi perlunya penggunaan selang
dibuktikan dengan kriteria hasil : nasogastrik
dengan berat  Berat badan  Monitor asupan makanan
badan menurun membaik Terapeutik
minimal 10%  Indek Massa Tubuh  Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
dibawah rentang (IMT) membaik perlu
ideal, nafsu  Nafsu makan  Hentikan pemberian makan melalui selang
makan menurun, membaik nasigastrik jika asupan oral dapat
otot menelan  Frekuensi makan ditoleransi
lemah. membaik Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
Promosi Berat Badan
Observasi
 Identifikasi kemungkinan penyebab BB
kurang
 Monitor berat badan
Terapeutik
 Sediakan makan yang tepat sesuai kondisi
pasien( mis. Makanan dengan tekstur
halus, makanan yang diblander, makanan
cair yang diberikan melalui NGT atau
Gastrostomi, total perenteral nutritition
sesui indikasi)
 Berikan pujian pada pasien atau keluarga
untuk peningkatan yang dicapai
Edukasi
 Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
dibutuhkan
Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan kurang selama x jam, maka  Identifikasi saat tingkat anxietas berubah
terpaparnya tingkat ansietas (mis. Kondisi, waktu, stressor)
informasi menurun dengan  Monitor tanda anxietas (verbal dan non
dibuktikan kriteria hasil : verbal)
dengan merasa  Verbalisasi Terapeutik
bingung, merasa kebingungan  Ciptakan suasana terapeutik untuk
khawatir dengan menurun menumbuhkan kepercayaan
akibat dari  Verbalisasi  Temani pasien untuk mengurangi
kondisi yang khawatir akibat kecemasan , jika memungkinkan
dihadapi, sulit kondisi yang akan  Pahami situasi yang membuat anxietas
berkonsentrasi, dihadapi menurun  Gunakan pedekatan yang tenang dan
tampak gelisah,  Perilaku gelisah meyakinkan
tampak tegang, menurun Edukasi
dan sulit tidur.  Perilaku tegang  Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
menurun pasien,
 Konsentrasi  Latih kegiatan pengalihan, untuk
membaik mengurangi ketegangan
 Pola tidur membaik Terapi relaksasi
Observasi
 Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
 Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan suhu sebelum dan
sesudah latihan
 Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
 Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan
jenis, relaksasi yang tersedia
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
 Anjurkan sering mengulang atau melatih
teknik yang dipilih
Risiko aspirasi Setelah dilakukan Pencegahan Aspirasi
dibuktikan intervensi keperawatan Observasi
dengan gangguan selama x jam, maka  Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah
menelan tingkat aspirasi dan kemampuan menelan
menurun dengan  Monitor status pernafasan
kriteria hasil :  Periksa kepatenan selang nasogastric
 Kemampuan sebelum memberi asupan oral
menelan meningkat Terapeutik
 Kelemahan otot  Posisikan semi fowler (30-45 derajat) 30
menurun menit sebelum memberi asupan oral
 Gelisah menurun  Pertahankan posisi semi fowler (30-45
derajat) pada pasien tidak sadar
 Lakukan penghisapan jalan nafas, jika
produksi secret meningkat
 Hindari memberi makan melalui selang
gastrointestinal jika residu banyak
Edukasi
 Anjurkan makan secara perlahan
 Ajarkan teknik mengunyah atau menelan
Post Op
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi keperawatan Observasi
dengan agen selama x jam, maka  Idenrifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencederaan fisik tingkat nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan kriteria hasil :  Identifikasi skala nyeri
dengan mengeluh  Keluhan nyeri  Identifikasi faktor yang memperberat dan
nyeri, tampak menurun memperingan nyeri
meringis, gelisah,  Meringis menurun  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
frekuensi nadi  Gelisah menurun hidup
meningkat , dan  Kesulitan tidur Terapeutik
sulit tidur. menurun  Berikan teknik nonfarmakologis untuk
 Frekuensi nadi mengurangi rasa nyeri
membaik  Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
dibuktikan intervensi keperawatan Observasi
dengan efek selama x jam, maka  Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
prosedur invasif tingkat infeksi menurun alergi
dengan kriteria hasil : Terapeutik
 Kemerahan  Berikan suntikan pada pada bayi dibagian
menurun paha anterolateral
 Nyeri menurun  Jadwalkan imunisasi pada interval waktu
 Bengkak menurun yang tepat
 Nafsu makan Edukasi
meningkat  Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang
terjadi, jadwal dan efek samping
 Informasikan imunisasi yang diwajibkan
pemerintah.
4) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan kepada klien. Pencataan mencakup tindakan keperawatan yang
diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan kriteria
hasil terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Hutahean, 2010).
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Dalam
evaluasi keperawatan akan mengkaji sesuai SOAP.
c) S: respon subyektif setelah tindakan; ungkapan verbal klien
d) O: respon obyektif setelah tindakan; respon non verbal klien.
e) A: assesment; penilaian/pembandingan respon klien dengan TUK
f) P: planning lanjutan dengan memperhatikan respon klien yang muncul
terhadap awtindakan yg telah dilaksanakan: untuk perawat dan untuk klien.

4. Hipospadia
a. Konsep Dasar Hipospadia
1) Pengertian

Hipospadia berasal dari kata hypo berarti di bawah dan spadon berarti
keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital
dimana meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke
proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glans penis

2) Etiologi
a) Gangguan dan ketidakseimbangan hormone : Hormone yang dimaksud di sini
adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau
biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang
kurang atau tidak ada.
b) Genetika : Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi
karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga
ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
c) Prematuritas : Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang
lahir dari ibu dengan terapi estrogen selama kehamilan
d) Lingkungan : yaitu polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat
mengakibatkan mutasi.

3) Klasifikasi
Berdasarkan letak orifisum atau posisi meatus uretra, yaitu :
a) Hipospadia type perennial : lubang kencing berada diantara anus dan
skrotum.
b) Hipospadia type scrotal : lubang kencing berada tepat dibagian depan
skrotum.
c) Hipospadia type peno scrotal : lubang kencing terletak diantara skrotum dan
batang penis.
d) Hipospadia type peneana proximal : lubang kencing berada dibawah
pangkal penis.
e) Hipospadia type mediana : lubang kencing berada dibawah bagian tengah
dari batang penis.
f) Hipospadia type distal peneana : lubang kencing berada dibawah bagian
ujung batang penis.
g) Hipospadia tyoe sub coronal : lubang kencing berada pada sulcus coronaries
penis (cekungan kepala penis).
h) Hipospadia type granular : lubang kencing sudah berada pada kepala penis
hanya letaknya masih berada dibawah kepala penisnya.

Berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :

a) Tipe sederhana/ Tipe anterior (60-70%)


Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis, bersifat asimtomatik dan
tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan
dilatasi atau meatotomi.
b) Tipe penil/ Tipe Middle (10-15%)
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-
escrotal. Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya
disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian
ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi
pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara
bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya
pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna
untuk tindakan bedah selanjutnya
c) Tipe Posterior (20%)
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini,
umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum
bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.

Semakin ke proksimal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan
semakin rendah frekuensinya.

4) Patofisiologi
Hipospadia meruapkan suatu cacat bawaan yang dieprkirakan terjadi
pada masa embrio selama penegmbangan uretra dari kehamilan 8-20 minggu.
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat
kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans,
kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium
tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari
glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral
menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Hipospadia terjadi dari pengembangan tidak lengkap uretra dalam rahim.
Penyebab pasti cacat diperkirakan terkait dengan pengaruh lingkungan dan
hormonal genetic.Perpindahan dari meatus uretra biasanya tidak mengganggu
kontinensia kemih. Namun, stenosis pembukaan dapat terjadi, yang akan
menimbulkan obstruksi parsial outflowing urin. Hal ini dapat mengakibatkan
ISK atau hidronefrosis. Selanjutnya, penempatan ventral pembukaan urethral
bisa mengganggu kesuburan pada pria dewasa, jika dibiarkan tidak terkoreksi.

5) Manifestasi Klinis
a) Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian
bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b) Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis.
c) Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
d) Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e) Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f) Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g) Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
h) Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
i) Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
j) Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada
saat BAK.
k) Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan
mengangkat penis keatas.
l) Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok.
m) Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.

Gambaran klinis hipospadia :


a) Kesulitan / ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan posisi berdiri.
b) Chordee (melengkungnya penis) dapat menyertai hipospadia.
c) Hernia inguinalis (testis tidak turun) dapat menyertai hipospadia.
d) Lokasi meatus urine yang tidak dapat terlihat saat lahir.

6) WOC
7) Komplikasi
a) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin
dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b) Infertility
c) Resiko hernia inguinalis
d) Gangguan psikologis dan psikososial
e) Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa.

Komplikasi paska operasi yang terjadi :


a) Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
b) Struktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh
angulasi dari anastomosis.
c) Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing
berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
d) Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat
ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.
e) Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna,
dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar
yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang.
f) Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau
adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.

8) Penatalaksanaan

Untuk penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak biasanya


dilakukan dengan prosedur pembedahan. Tujuaan utama pembedahan ini
adalah untuk merekontruksi penis menjadi lurus dengan meatus uretra di
tempat yang normal atau dekat normal sehingga pancaran kencing arahnya
kedepan. Keberhasilan pembedahan atau operasi dipengaruhi oleh tipe
hipospadia dan besar penis. Semakin kecil penis dan semakin ke proksimal
tipe hipospadia semakin sukar tehnik dan keberhasilan operasinya.

a) Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:


 Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan
terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2
tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang
abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal
dan kulit penis
 Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah
lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke
glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk,
luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke
bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah
tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.

b) Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih
besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi
jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap
mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki)
kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk bahan
dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan
dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

9) Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen
b) USG sistem kemih kelamin.
c) BNO-IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan
kongenital ginjal
d) Culture urine (anak-hipospadia)

b. Asuhan Keperawatan Pada Anak Labiopalatoschzisis


1) Pengakajian
a) Identitas
Meliputi : nama, alamat, diagnose medis, tanggal masuk rumah sakit,
hubungan dengan pasien.
Usia : ditemukan saat lahir
Jenis kelamin : hipospadia merupakan anomaly uretra yang paling
sering terjadi pada laki-laki dengan angka kemunculan 1:250 dari
kelahiran hidup.
b) Keluhan Utama : Lubang penis tidak terdapat diujung penis, tetapi berada
dibawah atau didasar penis, penis melengkung kebawah, penis tampak seperti
berkerudung karena adanya kelainan pada kulit dengan penis, jika berkemih
anak harus duduk.(Muslihatum, 2010:163)
c) Riwayat Kesehatan Sekarang : Pada umumnya pasien dengan hipospadia
ditemukan adanya lubang kencing yang tidak pada tempatnya sejak lahir dan
tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.
d) Riwayat Kesehatan Dahulu : Biasanya pasien dengan hipospadia ditemukan
adanya penis yang melengkung kebawah adanya lubang kencing tidak pada
tempatnya sejak lahir
e) Riwayat Kongenital :
 Penyebab yang jelas belum diketahui.
 Dihubungkan dengan penurunan sifat genetik.
 Lingkungan polutan teratogenik. (Muscari, 2005:357)
f) Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran : Hipospadia terjadi karena adanya
hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke-10 sampai
minggu ke-14. (Markum, 1991: 257
g) Pola Fungsi Kesehatan
 Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : pasien biasanya tidak
mengetahui penyakinya, kurangnya pemahaman pasien dan keliuarga
terkait penyakit yang diderita pasien dan pada umumnya pemeliharaan
kesehatan pasien tidak ada masalah
 Pola Nutrisi : pada umumnya pasien hipospadia nutrisi dan cairan
elektrolit dalam tubuhnya tidak mengalami gangguan
 Pola Eliminasi : anak laki-laki dengan hipospadia akan mengalami
kesukaran dalam mengarahkan aliran urinnya, bergantung pada keparahan
anomali, penderita mungkin perlu mengeluarkan urin dalam posisi duduk.
Konstriksi lubang abnormal menyebabkan obstruksi urin parsial dan
disertai oleh peningkatan insiden ISK. (Brough, 2007: 130)
 Aktivitas dan Latihan : Aktivitas klien hipospadia tidak ada masalah.
 Tidur dan istirahat :Pada umumnya klien dengan hipospadia tidak
mengalami gangguan atau tidak ada masalah dalam istirahat dan tidurnya.
 Pola sensori, persepsi, dan kognitif : Secara fisik daya penciuman,
perasa, peraba dan daya penglihatan pada klienhipospadia adalan normal,
secara mental kemungkinan tidak ditemukan adanya gangguan.
 Konsep diri : Adanya rasa malu pada diri klien sendiri apabila sudah
dewasa juga akan merasa malu dan kurang percaya diri atas kondisi
kelainan yang dialaminya.
 Seksual dan reproduksi : Adanya kelainan pada alat kelamin terutama
pada penis klien akan membuat klien mengalami gangguan pada saat
berhubungan seksual karena penis yang tidak bisa ereksi.
 Pola peran hubungan : Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi
terhadap hubungan interpersonal dan peran dalam menjalankan perannya
selama sakit
 Pola manajemen koping stress : Biasanya orang tua klien akan
mengalami stress pada kondisi anaknya yang mengalami kelainan.
 Sistem nilai dan keyakinan : Kepercayaan klien, kepatuhan klien dalam
melaksanakan ibadah dan keyakinan-keyakinan pribadi yang bisa
mempengaruhi pilihan pengobatan

h) Pemeriksaan Fisik
 Sistem kardiovaskuler: Tidak ditemukan kelainan
 Sistem neurologi: Tidak ditemukan kelainan
 Sistem pernapasan: Tidak ditemukan kelainan
 Sistem integument: Tidak ditemukan kelainan
 Sistem muskuloskletaL: Tidak ditemukan kelainan
 Sistem Perkemihan:
 Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau
pembesaran pada ginjal.
 Kaji fungsi perkemihan
 Dysuria setelah operasi

 Sistem Reproduksi
 Adanya lekukan pada ujung penis
 Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
 Terbukanya uretra pada ventral
 Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan,
drinage.

2) Diagnosa Keperawatan

Pre Op
a) Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi dibuktikan
dengan merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tanpak tegang, dan sulit tidur.
Post Op
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, dan sulit tidur.
b) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan outlet kandung kemih tidak
lengkap dibuktikan dengan urin menetes, sering buang air kecil, nokturia,
mengompol, dan berkemih tidak tuntas
c) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan kurang terpaparnya
informasi tentang upaya mempertahankan / melindungi integritas jaringan
dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit, nyeri, dan
kemerahan.
d) Risiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer

3) Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Perencanaan
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
Pre Op
Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan intervensi Observasi
dengan kurang keperawatan  Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
terpaparnya selama x jam, Kondisi, waktu, stressor)
informasi maka tingkat  Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
dibuktikan dengan ansietas menurun Terapeutik
merasa bingung, dengan kriteria  Temani pasien untuk mengurangi kecemasan ,
merasa khawatir hasil : jika memungkinkan
dengan akibat dari  Verbalisasi  Dengarkan dengan penuh perhatian
kondisi yang kebingungan  Gunakan pedekatan yang tenang dan
dihadapi, sulit menurun meyakinkan
berkonsentrasi,  Verbalisasi Edukasi
tampak gelisah, khawatir  Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
tanpak tegang, dan akibat kondisi mungkin dialami
sulit tidur. yang dihadapi  Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
menurun persepsi
 Perilaku  Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
gelisah ketegangan
menurun  Latih teknik relaksasi
 Perilaku Kolaborasi
tegang  Kolaborasi pemberian obat anti anxietas
menurun Teknik relaksasi
 Pola tidur Observasi
membaik  Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
 Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
 Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau tindakan medis lain, jika
sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
 Anjurkan mengambil psosisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
 Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih.
Post Op
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi Observasi
dengan agen keperawatan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencederaan fisik selama x jam, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan maka tingkat  Identifikasi skala nyeri
mengeluh nyeri, nyeri menurun  Identifikasi faktor yang memperberat dan
tampak meringis, dengan kriteria memperingan nyeri
bersikap protektif, hasil :  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
gelisah, dan sulit  Keluhan nyeri Terapeutik
tidur. menurun  Berikan teknik nonfarmakologis untuk
 Meringis mengurangi rasa nyeri
menurun  Fasilitasi istirahat dan tidur
 Sikap Edukasi
protektif  Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
menurun
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Gelisah
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
menurun
Kolaborasi
 Kesulitan
 Kolaborasi pemberian analgetik
tidur menurun

Gangguan Setelah dilakukan Manajemen Eliminasi Urin


eliminasi urin intervensi Observasi
berhubungan keperawatan  Identifkasi tanda dan gejala retensi atau
dengan outlet selama x jam, inkontinensia urine
kandung kemih maka eliminasi  Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi
tidak lengkap urin membaik atau inkontinensia urine
dibuktikan dengan dengan kriteria  Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi,
urin menetes, hasil : konsistensi, aroma, volume, dan warna)
sering buang air  Sensasi Terapeutik
kecil, nokturia, berkemih  Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
mengompol, dan meningkat  Batasi asupan cairan, jika perlu
berkemih tidak  Berkemih tidk  Ambil sampel urine tengah (midstream) atau
tuntas tuntas kultur
menurun Edukasi
 Urin menetes  Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
menurun  Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran
 Nokturia urine
menurun  Anjurkan mengambil specimen urine
 Mengompol midstream
menurun  Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu
 Frekuensi yang tepat untuk berkemih
BAK Kolaborasi
membaik  Kolaborasi pemberian obat suposituria uretra
Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
integritas intervensi Observasi
kulit/jaringan keperawatan  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
berhubungan selama x jam, Terapeutik
dengan kurang maka inegritas  Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
terpaparnya kulit dan jaringan  Gunakan produk berbahan petrolium atau
informasi tentang meningkat dengan minyak pada kulit kering
upaya kriteria hasil :  Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
mempertahankan /  Kerusakan hipoalergik pada kulit sensitif
melindungi jaringan  Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
integritas jaringan menurun kulit kering
dibuktikan dengan  Kerusakan Edukasi
kerusakan jaringan lapisan kulit  Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotin,
dan / atau lapisan menurun serum)
kulit, nyeri, dan  Kemerahan  Anjurkan minum air yang cukup
kemerahan. menurun  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Elastisitas
 Anjurkan meningkat asupan buah dan saur
meningkat Perawatan Luka
Observasi
 Monitor karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,bau
 Monitor tanda –tanda inveksi

Terapeutik
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Bersihkan dengan cairan NACL atau
pembersih non toksik,sesuai kebutuhan
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika
perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan
luka
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam
atau sesuai kondisi pasien
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium
dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antibiotik
Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
dibuktikan dengan intervensi Observasi
ketidakadekuatan keperawatan  Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
pertahanan tubuh selama x jam, alergi
primer makatingkat Terapeutik
infeksi menurun  Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha
dengan kriteria anterolateral
hasil : Edukasi
 Kemerahan  Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi,
menurun jadwal dan efek samping
 Nyeri
menurun
 Bengkak
menurun
 Kebersihan
badan
meningkat

4) Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan kepada klien. Pencataan mencakup tindakan keperawatan yang
diberikan baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan kriteria
hasil terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Hutahean, 2010).
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Dalam
evaluasi keperawatan akan mengkaji sesuai SOAP.
a) S: respon subyektif setelah tindakan; ungkapan verbal klien
b) O: respon obyektif setelah tindakan; respon non verbal klien.
c) A: assesment; penilaian/pembandingan respon klien dengan TUK
d) P: planning lanjutan dengan memperhatikan respon klien yang muncul
terhadap awtindakan yg telah dilaksanakan: untuk perawat dan untuk klien.

B. Persiapan Pemeriksaan Penunjang Pada System Pencernaan dan Perkemihan


1. Barium Enema
a. Pengertian
Barium enema adalah jenis pemeriksaan radiologi atau rontgen untuk
mendeteksi perubahan atau kelainan pada usus besar.
b. Tujuan
Untuk mencari penyebab kelainan atau masalah pada usus besar yang meliputi:
1) Nyeri perut
2) Perdarahan rektal, yakni perdarahan yang keluar lewat anus
3) Perubahan pola buang air besar
4) Penurunan berat badan dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan
5) Diare kronis
6) Konstipasi kronis

Untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dari kondisi-kondisi di


bawah ini :

1) Polip usus besar


2) Radang usus besar kronis (inflammatory bowel disease), seperti penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif)
3) Irritable bowel syndrome
4) Kanker usus besar

c. Persiapan

Guna melakukan pengosongan usus besar, pasien akan diminta untuk :


1) Menerapkan pola makan khusus sehari sebelum pemeriksaan. pasien hanya
akan diperbolehkan mengonsumsi cairan bening, seperti air putih dan sup
kaldu.
2) Berpuasa setidaknya delapan jam sebelum pemeriksaan.
3) Mengonsumsi obat pencahar pada malam sebelum hari pemeriksaan.
4) Menanyakan pada dokter mengenai obat rutin yang boleh dan tidak boleh
terus dikonsumsi sebelum pemeriksaan.

d. Prosedur
1) Pasien diminta mengganti pakaiannya dengan gaun khusus dari rumah sakit.
2) Pasien diminta untuk melepaskan kacamata, perhiasan, atau gigi palsu karena
dapat memengaruhi hasil pemeriksaan.
3) Pasien diminta berbaring miring di atas meja pemeriksaan.
4) Petugas medis melakukan rontgen terlebih dahulu untuk memastikan usus besar
pasien sudah bersih.
5) Setelah usus besar dipastikan bersih, barium enema akan dimasukkan melalui
dubur.
6) Bila pemeriksaan yang dilakukan adalah double contrast, udara akan dipompa
bersamaan dengan cairan barium.
7) Saat barium dimasukkan ke dalam usus besar, pasien mungkin akan merasakan
dorongan untuk mengejan dan mengalami kram perut. Namun pasien diharap
menahan keinginan ini dan mencoba untuk relaks dengan menarik napas dalam.
8) Pasien akan diminta berubah posisi beberapa kali sembari petugas medis
mengambil gambar rontgen. Langkah ini akan memastikan agar keseluruhan usus
besar sudah dilapisi oleh barium dan memudahkan petugas radiologi untuk
menilai keadaan usus besar Anda dari berbagai posisi.

e. Hasil
1) Negatif atau normal : Hasil barium enema dikatakan negatif bila dokter ahli
radiologi tidak menemukan kelainan pada usus besar pasien.
2) Positif atau abnormal : Hasil barium enema dikatakan positif jika ahli
radiologi menemukan kelainan pada usus besar pasien. Dokter mungkin akan
menganjurkan pemeriksaan penunjang lain untuk memastikan diagnosis.
Misalnya, kolonoskopi dan biopsi.

2. USG / Rontgen Abdomen


a. Pengertian USG Abdomen
USG abdomen adalah suatu prosedur pemeriksaan menggunakan teknologi
gelombang suara frekuensi tinggi untuk memeriksa organ-organ utama dalam
rongga perut. Organ-organ tersebut, termasuk kandung empedu, ginjal, hati,
pankreas, limpa, kandung kemih, hati, dan usus.
b. Tujuan
Untuk membantu dalam:
1) Mendeteksi penyebab nyeri pada perut.
2) Mendeteksi penyebab infeksi pada ginjal.
3) Mendeteksi penyebab pembengkakan perut.
4) Mendeteksi kerusakan setelah cedera.
5) Mendeteksi lokasi batu ginjal atau batu empedu.
6) Mendeteksi penyebab tes darah yang abnormal, seperti tes ginjal atau tes
fungsi hati.
7) Mendiagnosis serta memantau perkembangan tumor dan kanker.
c. Persiapan
1) Dokter biasanya akan meminta pasien mengonsumsi setidaknya 6 gelas air
putih 2 jam sebelum pemeriksaan dan menahan buang air kecil untuk USG
daerah panggul karena kandung kemih harus penuh.
2) Pasien juga diminta untuk berpuasa selama 8-12 jam sebelum pemeriksaan
USG.
3) Hal ini karena makanan yang belum tercerna dengan baik dalam perut dan
urine di kandung kemih dapat menghalangi gelombang suara sehingga hasil
pemeriksaan menjadi kurang optimal.
4) Tanyakan pula kepada dokter apakah pasien bisa mengonsumsi obat-obatan
yang biasa pasien minum atau tidak sebelum melakukan USG abdominal.
d. Prosedur
1) Pasien akan diminta melepas pakaian maupun aksesoris yang pasien kenakan,
seperti ikat pinggang, perhiasan, serta benda lainnya yang berisiko mengganggu
proses pemindaian.
2) Pasien wajib melepas pakaian dari bagian pinggang ke bawah dan mengenakan
pakaian khusus yang disediakan oleh rumah sakit.
3) Pasien akan diminta untuk berbaring di atas meja scanner dengan kondisi perut
yang terbuka.
4) Dokter akan mengoleskan gel konduktif ke seluruh permukaan area kulit perut
yang diperiksa.
5) Kemudian, dokter akan menggerakkan stik bernama transduser dengan gerakan
maju mundur secara perlahan ke area permukaan kulit perut tertentu guna
menangkap gambar organ-organ di dalamnya.
6) Transduser akan menggambarkan kondisi organ dalam perut Anda secara jelas
melalui monitor.

Terkadang, dokter akan meminta pasien untuk mengubah posisi saat berbaring
atau menarik, menahan, dan menghembuskan napas guna mendapatkan hasil gambar
yang jelas. Namun, jika tidak ada aba-aba tersebut, pasien bisa bernapas secara
normal.

Setelah pemeriksaan USG perut dilakukan, pasien dapat langsung pulang ke


rumah atau kembali melakukan aktivitas dengan normal.
C. Prosedur Perioperatif dan Tindakan Keperawatan Post Operatif
1. Fase pre operasi
Fase pre operasi merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang
dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan operasi.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah,
wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang diberikan
pada saat operasi.
Persiapan pada fase pre operasi dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi :
a. Persiapan Psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak
stabil. Hal ini dapat disebabkan karena takut akan perasaan sakit, narcosa atau
hasilnya dan keeadaan sosial ekonomi dari keluarga. Maka hal ini dapat diatasi
dengan memberikan penyuluhan untuk mengurangi kecemasan pasien. Meliputi
penjelasan tentang peristiwa operasi, pemeriksaan sebelum operasi (alasan
persiapan), alat khusus yang diperlukan, pengiriman ke ruang operasi, ruang
pemulihan, kemungkinan pengobatan- pengobatan setelah operasi, bernafas dalam
dan latihan batuk, latihan kaki, mobilitas dan membantu kenyamanan.
b. Persiapan Fisiologi
1) Diet (puasa), pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam menjelang operasi
pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak
diperbolehkan minum. Pada operasai dengan anaesthesi lokal /spinal
anaesthesi makanan ringan diperbolehkan.Tujuannya supaya tidak aspirasi
pada saat pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu jalannya
operasi.
2) Persiapan Perut, Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan pada
bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal. Tujuannya mencegah
cidera kolon, mencegah konstipasi dan mencegah infeksi.
3) Persiapan Kulit, Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut
4) Hasil Pemeriksaan, hasil laboratorium, foto roentgen, ECG, USG dan lain-
lain.
5) Persetujuan Operasi / Informed Consent/ Izin tertulis dari pasien / keluarga
harus tersedia.
2. Fase Intra operatif
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke instalasi
bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini
lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath, pemberian
medikasi intaravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh
sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh:
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi, bertindak sebagai
perawat scrub atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh.
Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi yaitu pengaturan
posisikarena posisi yang diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman
pasien dan keadaan psikologis pasien. Faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam pengaturan posisi pasien adalah :
a. Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
b. Umur dan ukuran tubuh pasien.
c. Tipe anaesthesia yang digunakan.
d. Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).

 Anggota tim tindakan keperawatan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam
dua bagian, yaitu :
 Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator, asisten ahli bedah, Scrub
Nurse / Perawat Instrumen
 Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau pelaksana anaesthesi, perawat
sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang
rumit).

3. Fase Post operasi


Fase Post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operasi dan
intra operasi yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan (recovery
room)/pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan
klinik atau di rumah. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup
rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian
meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah
komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan
pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang
penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.
a. Fase tindakan keperawatan post operasi meliputi beberapa tahapan, diantaranya
adalah :
1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi
(recovery room, Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus
diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan.
Pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat
drain dan selang drainase. Selama perjalanan transportasi dari kamar operasi
ke ruang pemulihan pasien diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien
dengan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus
dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury. Proses transportasi ini
merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesi dengan
koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.
2) Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit perawatan pasca
anastesi, Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara
di ruang pulih sadar (recovery room : RR) atau unit perawatan pasca anastesi
(PACU: post anasthesia care unit) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke
ruang perawatan (bangsal perawatan). PACU atau RR biasanya terletak
berdekatan dengan ruang operasi.

Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk :


 Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)
 Ahli anastesi dan ahli bedah
 Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
Komplikasi post operatif dan penatalaksanaanya

a. Syok
Syok yang terjadi pada pasien operasi biasanya berupa syok hipovolemik.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter terkait
dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, terapi pernafasan, memberikan
dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi, memantau reaksi pasien
terhadap pengobatan, dan peningkatan periode istirahat.
b. Perdarahan
Penatalaksanaannya pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki
membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus
c. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah
vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
d. Retensi urin
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus operasi rektum, anus dan
vagina.Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk
membatu mengeluarkan urine dari kandung kemih.
e. Infeksi luka operasi
Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi
pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan
infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga
perawatan luka dengan prinsip steril.
f. Embolisme pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak)
yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Intervensi
keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus
pulmonal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan pada sistem pencernaan dapat terjadi jika salah satu atau lebih proses
pencernaan tidak berjalan dengan baik. Anak masih sangat rentan terhadap masalah
pencernaan. Sebenarnya sistem pencernaan pada anak dan orang dewasa adalah sama,
namun demikian, anak-anak masih belum optimal dalam memaksimalkan fungsi dari
masing-masing organ pada sistem pencernaannya, seperti pada penyakit Hisprung,
Atresia ani, Labiopalatoschzis, dan Hipospadia

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga dapat menambah pengetahuan dan


memperluas wawasan pembaca. Maaf atas kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah. Oleh sebab itu mohon kritik dan sarannya agat menjadi lebih baik untuk
penulisan berikunya.
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.


Masrochah, Siti dkk. 2011. Invertogram Atresia Ani. Modul praktek teknik radiografi lanju
II. Muttaqin, Arif. 2009. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Kepearawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),
Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC
HIPKABI. 2014. Buku Keterampilan Dasar Bagi Perawat Kamar Bedah. Jakarta: Hipkabi
Press.

Anda mungkin juga menyukai