PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini
lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia
di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine
yang baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih
bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara
terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli.
Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih
yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-
buli yang sempurna, proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang
baik serta setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk
terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal. Bila salah satu atau beberapa
aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul gangguan miksi yang
disebut inkontinensia urin
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan
berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun
mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65
1
tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu
mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
a. Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan
Gangguan Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari Inkontinensia urine.
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari Inkontinensia urine.
c. Untuk mengetahui etiologi dari Inkontinensia urine.
d. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Inkontinensia urine.
e. Untuk mengetahui epidemiologi dari Inkontinensia urine
f. Untuk mengetahui patofisiologi Inkontinensia urine.
g. Untuk mengetahui pathway Inkontinensia urine.
h. Untuk mengetahui prognosis Inkontinensia urine.
i. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Inkontinensia urine.
j. Untuk mengetahui komplikasi dari Inkontinensia urine.
k. Untuk mengetahui therapi Inkontinensia urine.
2
l. Untuk mengetahui penatalaksanaan medik untuk Inkontinensia urine.
m. Untuk mengetahi pemeriksaan diagnostik Inkontinensia urine.
n. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Inkontinensia
urine.
C. Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :
1. Metode Kepustakaan
Adalah metode pengumpulan data yang digunakan penulis dengan
mempergunakan buku atau refrensi yang berkaitan dengan masalah yang
sedang dibahas.
2. Metode Media Informatika
Adalah metode dengan mencari data melalui situs-situs di internet dan
mengutip materi dari sumber internet yang terpercaya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
mengalami inkontinensia urine, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urine ini
angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih
bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi
inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
5
a. Delirium.
b. Restriksi mobilitas, retensi urin.
c. Infeksi, inflamasi, Impaksi.
d. Poliuria, pharmasi.
6
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter
tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki gejala seperti inkontinensia urine stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karen aitu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat.
7
a. Mobilitas yang lebih terbatas karena menurunnya panca indra dan
kemunduran system lokomosi.
b. Kondisi–kondisi medis yang patologik dan berhubungan dengan
pengaturan urin, misalnya pada penyakit DM, gagal jantung kongestif.
2. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.
3. Kelainan Neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis),
medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis),
dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma saraf).
4. Kelainan Sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
8
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
5. Kondisi Fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-
otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor resiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga beresiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
9
1. Gagal jantung
2. Penyakit ginjal kronik
3. Diabetes
4. Penyakit paru obstruktif kronik
5. General cognitive impairment
6. Gangguan tidur, misalnya sleep apnea
7. Penyakit neurologis, misalnya stroke dan sclerosis multiple
8. Obesitas
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air
kemih).
1. Ginjal
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis
dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat
langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang,
jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal
kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.
10
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang
terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan
korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla
(substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid.
Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil
disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna
renalis, jumlah renalis 15-16 buah.
11
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa
yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat
agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme
protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa.
pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai
dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat
toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia
asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin
yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system renin
angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan
penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).
Disamping itu ginjal juga membentuk hormon dihidroksi kolekalsiferol
(vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.
12
glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke
tubulus ginjal.
b. Proses reabsopsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas.
Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara
aktif dikenal dengan reabsopsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke
vesika urinaria.
2. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30cm, dengan
penampang kurang lebih 0,5cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga
abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter
terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa).
b. Lapisan tengah lapisan otot polos.
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa.
13
melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih. Ureter berjalan
hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh
peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan
pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe berasal dari
pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh
duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter
berjalan obloque sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut
lateral dari trigonum vesika. Sewaktu menembus vesika urinaria, dinding
atas dan dinding bawah ureter akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria
penuh akan membentuk katup (valvula) dan mencegah pengembalian dari
vesika urinaria. Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan
14
berjalan kebagian medial dan kedepan bagian lateralis serviks uteri bagian
atas, vagina untuk mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya,
ureter didampingi oleh arteri uterine sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri
ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara lapisan ligamentum.
Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga tempat yang penting
dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu sambungan ureter pelvis
diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan pada saat masuk
ke vesika urinaria yang berdiameter 1-5 mm.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa (lapisan
bagian dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke
dalam nodi limfatik iliaka interna dan eksterna.
15
4. Uretra
a. Uretra Pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah
prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang
pubis kebagian penis panjangnya kurang lebih 20 cm. Lapisan uretra
laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam) dan lapisan
submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium uretra interna di dalam
vesika urinaria sampai orifisium uretra ekterna. Pada penis panjangnya
17,5-20 cm yang terdiri dari bagian-bagian berikut :
1) Uretra prostatia
Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3 cm,
berjalan hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari
basis sampai ke apeks dan lebih dekat ke permukaan anterior.
Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih
luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung
dengan pars membran. Potongan transversal saluran ini menghadap
kedepan. Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang
berbentuk kulit yang dibentuk oleh penonjolan membran mukosa
dan jaringan di bawahnya dengan panjang 15-17 cm dan tinggi 3
cm. Pada kiri dan kanan krista uretralis terdapat sinus prostatikus
yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostat dan duktus dari lobus medial glandula prostat
bermuara di belakang Krista uretralis.
16
2) Uretra membranosa
Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang paling
pendek dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dan
kedepan di antara apeks glandula prostat dan bulbus uretra. Pars
membranasea menembus diafragma urogenitalis, panjangnya kira-
kira 2,5cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh jaringan
sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat vena
dorsalis penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum equarta pubis.
3) Uretra kavernosa
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra
dan terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-
kira 15 cm, mulai dari pars membranasea sampai ke orifisium dari
difragma urogenitalis. Pars kavernosus rata berjalan ke depan dan
ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada keadaan penis
berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke bawah dan ke
depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus penis 6
mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan berdilatasi di dalam
gland penis yang akan membentuk fossa navikularis uretra.
17
b. Uretra Wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring
sedikit kearah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra
wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa
merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan
sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina
(antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran
ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm. uretra ini
menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung
di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula
uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula
pars uretralis (skene) yang bermuara ke dalam orifisium uretra yang
hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.
18
telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi
kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina
dengan kontinensia urine yang baik.
19
exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara
yang lebih sering dipakai).
2. Urge incontinence
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil,
dimana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan
ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari,
dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan
dan beberapa latihan.
3. Total incontinence
Total incontinence, dimana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan
pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran
abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau
ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara
kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran
antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai, dapat ditangani dengan
tindakan operasi.
4. Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang
sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang
lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit
diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang
tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.
20
G. Pathway Inkontinensia Urine
Perubahan Neurologik Perubahan struktur kandung
Diabetes, cedera sumsum
Adanya fistulakemih (degenerative) tl. Belakang, saluran
Gangguan kontrol
berkemih kencing tersumbat
Perubahan
Bedrest
Vistula vesiko otot urinari
vaginalis
Inkontinensia
atau vistula Inkontinensia
Urinarius Total uretrovaginalis Stress
Gangguan saraf
Inkontinensia Urin
Status kesehatanInkontinensia
berubah Reaksi otot berlebihan
Inkontinensia Urgensi Inkontinensia Total
Overflow
Immobilitas
Kencing mendadak Kencing dimalam
ansietas hari Otot detrusor tidak stabil Tekanan kandung kemih
> tekanan urethra
Kencing berulang
Kandung kemih bocor
kali
Otot detrusor lemah
batuk bersin tertawa mengedan
Inkontinensia Gangguan Pola
Urin di kandung kemih
Urinarius Dorongan Tidur
Rembesan urin
Resiko kerusakan
integritas kulit
21
H. Prognosis Inkontinensia Urine
1. Inkontinensia Tekanan Urine
Pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang efektif adalah dengan
latihan otot (latihan kegel) dan tindakan bedah. Perbaikan dengan terapi alfa
agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan Kegel bisa
mencapai 87%-88%.
2. Inkontinensia Urgensi
Dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung kemih memberikan
perbaikan yang cukup signifikat (75%) dibandingkan dengan penggunaan
obat antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan memiliki
tingkat morbiditas yang tinggi.
3. Inkontinensia Luapan
Terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi gejala
inkontinensia.
4. Inkontinensia Campuran
Latihan kandung kemih dan latihan panggul memberikan hasil yang lebih
memuaskan dibandingkan penggunaan obat-obata anti kolinergik.
22
Malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi
Keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti
keadaan normal.
5. Urge Inkontinensia
Dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga
kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia
merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada
inkontinensia urine biasanya lebih banyak dari pada kapasitas kandung kemih
yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine.
Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan
dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien
mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu
sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor,
sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuensi yaitu lebih kurang
80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan
simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan
urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.
23
K. Therapi Inkontinensia Urine
1. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan
adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
c. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
d. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
1) Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra
dapat tertutup dengan baik.
24
2. Terapi Farmakologi
a. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine.
b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi uretra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
25
d. Inkontinensia Tipe Fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan
kebiasaan berkemih.
2) Pakaikan dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
3) Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih.
4) Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung
kemih.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan
tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang
paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian
alat mekanis.
a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar pelvis.
Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul
membantu penutupan uretra pada keadaan yang membutuhkan
ketahanan uretra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat
sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan
abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan
intra abdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada
inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan
abdominal pada uretra proksimal. Fisioterapi membantu meningkatkan
tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih
neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan
hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih
kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang
abnormal.
26
b. Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara
mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik
ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
3. Penatalaksanaan Farmakologik
a. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretra proksimal megandung alfa adrenoseptor
yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan
penutupan uretra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe
stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan
efektif pada inkotinensia stres. Efek samping meningkatkan tekanan
darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP.
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan
efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah
komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan anti histamin
dan anti hikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping
27
minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stress mengalami
perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan
efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra
dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya
diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan
untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential,
walaupun belum ada data yang akurat.
4. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan
kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-
implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra.
Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari
selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara
implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan
morbilitas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator
mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian
penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode
vaginal : ring, hodge pessary, silindris.
28
b. Edward Spring
Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan
inkontinensia stress dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi
ulserasi vagina.
c. Bonnas’s Device
Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.
6. Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan
baik pada penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun
rekurensi tindakan ini tetap ada. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada
inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan
farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
7. Modalitas lain
29
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urine, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalami inkontinensia urine, diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine. Namun
pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka
lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air
seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko
menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
30
4) Flowmetri tekanan udara : mengukur tekanan uretra dan kandung
kemih saat istirahat dan selama berkemih.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi Ekskretorik
Urografi ekskretorik bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan
kandung kemih.
e. Kateterisasi Residu Pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Menurut
National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi inkontinensia urine
dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk
31
dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis,
ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan
psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat mendiagnosis inkontinensia urine
dengan pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan menggunakan tabel
penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan
apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau masalah lain,
seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa
normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk
mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.
Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih
bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum,
juga diperlukan. Sebagai tambahan, pasien dapat diminta untuk mengisi
buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan
seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk
mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis
definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis
untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai
tekanan/volume dan hubungan tekanan/aliran di dalam kandung kemih.
Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor.
BAB III
32
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA
DENGAN INKONTINENSIA URINE FUNGSIONAL
Kasus
Ny.W berusia 63 tahun dengan BB 76kg ketika datang kerumah sakit Dr. Soetomo
dengan keluhan BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet.
Ny.W mengatakan kencing sebanyak lebih dari 10 kali dalam sehari,dengan jumlah
urine 1000-1500ml. Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menahan
kencingnya untuk sampai ke toilet dan terasa perih pada area perianalnya. Karena
sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan sering menahan haus,
dan mengalami penurunan BB sebanyak 5kg menjadi 71kg. Ny.W merasa malu
apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat
sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat ditanyakan tentang riwayat kehamilan,
anak klien mengatakan bahwa klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah
mengalami keguguran. Anaknya mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang
mengalami penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
Dulunya klien adalah seorang penjahit di rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu
sudah tidak lagi bekerja. Setelah dilakukan pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan
membran mukosa kering, turgor kulit kering dan keriput serta lecet-lecet pada
kulitnya. Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi 90x/menit, RR
19x/menit, dan Suhu 370C.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
33
1. Identitas klien dan penanggung jawab
a. Identitas klien
Nama : Ny. W
Tempat/Tanggal lahir : Solo, 12 Mei 1956
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya sehingga
mengompol.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan
frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa menahan
kencingnya untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol. Klien
mengaku mengurangi minum dan menahan rasa haus.
c. Riwayat penyakit keluarga
34
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
d. Riwayat psikologi
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau
kencingnya sangat menyengat.
e. Riwayat kehamilan
Klien memiliki 2 orang anak dan tidal pernah mengalami keguguran.
2) Saat sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat √
35
tidur
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
Keterangan :
1 : Mandiri
2 : Dibantu sebagian
3 : Dibantu orang lain
4 : Dibantu orang lain dan peralatan
5 : Ketergantungan / tidak mampu
c. Pola istirahat dan tidur
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00
WIB
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00
WIB
d. Pola nutrisi dan metabolik
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan
lauk, habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 7 – 8 gelas sehari
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan
lauk, habis 1 porsi
b) Klien mengatakan minum 4 – 5 gelas sehari
e. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat,
bau khas dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 2 – 6 kali sehari, warnanya kuning
bening
36
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat,
bau khas dan warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 9 – 10 kali sehari, warnanya kuning
keruh dan bau urin menyengat.
f. Pola toleransi - koping
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari (menjahit).
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu jika keluar rumah karena sering
mengompol dan bau kencingnya sangat menyengat.
4. Pengkajian fisik
37
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg 0
Suhu:37 C RR:19x/me Nadi:90x/
nit menit
b. Kepala dan leher
1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan
potongan rambut pendek.
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva
pucat pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang keluar
seperti nanah atau darah.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
38
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan
tanda – tanda infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa
bibir kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke kiri.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
39
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran
hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas,
pergerakan normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot
40
5 5
5 5
Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
.
41
1. DS : Kegagalan mekanisme Kekurangan volume
- Klien mengatakan regulasi cairan
mengurangi
minum.
- Klien mengatakan
sering merasa
haus.
DO :
- Membran mukosa
kering.
- Turgor kulit
kering.
- TTV :
- TD : 160/90
mmHg.
- N : 90x/menit.
- RR :
19x/menit.
- S : 37°C.
- BB 71kg
- Frekuensi minum
4-5 gelas dalam
sehari.
42
2. DS : Gangguan fungsi kognisi Inkontinensia
- Klien mengatakan urinarius fungsional
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
- Klien mengatakan
bahwa dirinya
tidak bisa
menahan kencing
untuk sampai ke
toilet.
DO :
- Klien sering
mengompol.
43
3. DS : Gangguan turgor kulit Kerusakan integritas
- Klien mengatakan kulit
perih di daerah
perinealnya.
DO :
- Tampak
kemerahan di area
perineal.
- Turgor kulit
kering.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme
regulasi.
2. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan gangguan fungsi
kognitif.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.
44
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
. keperawatan
1. Kekurangan Setelah dilakukan asuhan Jaga intake/asupan yang
volume keperawatan selama 1x24 akurat dan catat output.
cairan jam klien mampu
berhubungan menunjukan hidrasi yang Monitor status hidrasi
dengan adekuat, dengan kriteria : (misalnya : membran
kegagalan 1. Keseimbangan mukosa lembab,denyut
mekanisme intake dan output nadi adekuat, dan tekanan
regulasi dalam 24 jam. darah ortostatik.
2. Turgor kulit elastis.
3. Kelembapan Monitor tanda tanda vital
4. TTV stabil.
Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian.
Distribusikan asupan
cairan salama 24 jam.
45
fungsi 1. Klien dapat Batasi intake cairan 2-3
kognitif. merespon saat jam sebelum tidur.
kandung kemih
penuh dengan tepat
Instruksikan klien untuk
waktu.
minum minimal 1500 cc
air per hari.
46
E. Implementasi dan Evaluasi
No.
Tanggal Implementasi Evaluasi
Dx
47
23-09-19 1. 1. Menjaga intake/asupan S :
(07.00 s/d yang akurat dan catat - Klien mengatakan
14.00 output. mengurangi minum.
WIB) - Respon : Klien - Klien mengatakan
mengatakan masih sering sering merasa haus.
merasakan haus karena
intake dibatasi. O:
2. Memonitor status hidrasi - Membran mukosa
(misalnya : membran kering.
mukosa lembab,denyut - Turgor kulit kering.
nadi adekuat, dan tekanan - TTV :
darah ortostatik. - TD : 160/90
- Respon : mmHg
- Membran mukosa - N : 90x/menit.
tampak kering. - RR : 19x/menit.
- Turgor kulit tidak - S : 37°C.
elastis. - BB 71 kg
3. Memonitor tanda tanda - Frekuensi minum 4-5
vital pasien. gelas dalam sehari.
- Respon :
- TD : 160/90 mmHg. A:
- N : 90x/menit. Masalah belum teratasi.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C. P:
4. Berkolaborasi dengan Intervensi dilanjutkan :
keluarga untuk mengawasi - Menjaga
asupan cairan pasien. intake/asupan yang
- Respon : Keluarga akurat dan catat
mengatakan pasien output.
sering mengeluh haus. - Memonitor status
48
hidrasi (misalnya :
membran mukosa
lembab,denyut nadi
adekuat, dan tekanan
darah ortostatik.
- Memonitor tanda
tanda vital pasien.
- Berkolaborasi dengan
keluarga untuk
mengawasi asupan
cairan pasien.
24-09-19 2. 1. Menjaga privasi klien saat S :
(07.00 s/d berkemih. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien tampak frekuensi pipis masih
WIB) lebih nyaman saat 10x dalam sehari.
sedang berkemih dan - Klien mengatakan
tidak merasa bahwa dirinya masih
malu/terganggu dengan belum bisa menahan
orang di sekitar. pipis untuk sampai ke
2. Memodifikasi pakaian dan toilet.
lingkungan untuk
mempermudah akses ke O :
toilet. - Tampak masih
- Respon : Klien sudah mengompol.
terlihat lebih mudah saat
akan berkemih. A:
Masalah belum teratasi.
3. Membatasi intake cairan P :
2-3 jam sebelum tidur. Intervensi dilanjutkan :
- Respon : Klien masih - Memodifikasi
49
terlihat mengompol pakaian dan
tetapi dalam jumlah yang lingkungan untuk
sedikit/jarang. mempermudah akses
4. Menginstruksikan klien ke toilet.
untuk minum minimal - Membatasi intake
1500 cc air per hari. cairan 2-3 jam
- Respon : Klien sebelum tidur.
mengatakan/tampak
tidak mengalami
dehidrasi karena output
berlebih.
25-09-19 3. - Respon : Pasien terlihat S :
(07.00 s/d lebih nyaman jika - Klien mengatakan
14.00 perenieumnya bersih. perih pada area
WIB) 2. Menjaga agar area perinealnya.
perineum tetap kering.
- Respon : Pasien tampak O :
sangat memperhatikan - Terdapat lecet di area
perenieumnya agar tidak perineal.
lembab/basah.
3. Membersihkan area A :
perineum secara teratur. Masalah belum teratasi.
- Respon : Pasien tampak
sering mengeluh perih P :
saat sedang dibersihkan. Intervensi dilanjutkan :
4. Memberikan posisi yang - Menjaga agar area
nyaman. perineum tetap
- Respon : Pasien masih kering.
tampak kurang nyaman - Membersihkan
dan sering area perineum
50
berganti/berpindah secara teratur
posisi. - Memberikan posisi
5. Memberikan lotion yang nyaman.
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).
- Respon : Pasien tampak
tidak khawatir lagi
dengan keadaan
pereniumnya setelah
diberikan lotion.
51
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan menahan air kencing. Inkontinensia
urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada
pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–
30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah
sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Inkontinensia urine
bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih,
kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara
tiba-tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
B. Saran
Kami selaku mahasiswa berharap dengan pembuatan paper dalam bentuk
makalah ini, dapat memberikan manfaat dalam proses belaja mengajar. Dan tetap
mengharapkan bimbingan lebih dalam lagi dari para Dosen pembimbing
mengenai penyakit “Inkontenensia Urin”.
52