Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PEDAHULUAN

GANGRENE FOURNIER

A. Pengertian
Fournier's gangrene (FG) merupakan fasciitis nekrotikans yang progresif pada
daerah penis, skrotum, dan perineum. FG termasuk penyakit infeksi yang fatal
namun jarang terjadi. Infeksi pada FG memiliki karakteristik khas, yaitu akan
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah subkutis yang akan menyebabkan
nekrosis kulit di sekitarnya. Penyakit ini merupakan kedaruratan di bidang urologi
karena mula penyakitnya (onset) berlangsung sangat mendadak, cepat
berkembang, bisa menjadi gangren yang luas dan menyebabkan septisemia. Pada
beberapa tahun terakhir ini insiden FG cenderung meningkat yang disebabkan
oleh faktor predisposisi dari FG seperti diabetes mellitus, imunosupresi, dan
penyakit hati dan ginjal kronik juga meningkat. Infeksi pada sebagian besar kasus
FG merupakan gabungan sinergis antara bakteri aerob dan anaerob (Purnomo,
2018).

B. Epidemiologi
Fournier yang pertama kali melaporkan kejadian penyakit ini pada tahun 1883
terhadap 5 pria yang menderita gangrene skrotum, menyebutkan bahwa sebabnya
adalah idiopatik. Saat ini penyebab penyakit ini dapat diungkapkan, di antaranya
13-50% adalah infeksi dari kolorektal dan 17-87% sumber infeksi dari urogenitalia,
sedang yang lain dari trauma lokal atau infeksi kulit di sekitar genitalia.
Tidak ada variasi musiman yang terjadi pada Fournier gangren untuk setiap
wilayah di dunia, meskipun secara klinis terbesar berasal dari benua Afrika, seksual
dan usia juga terkait dalam insiden Fournier gangrene dengan rasio pria ke
perempuan adalah sekitar 10:1. Kejadian yang lebih rendah pada wanita dapat
disebabkan oleh drainase yang lebih baik dari daerah perineum melalui cairan
vagina. Pria yang berhubungan seks dengan sesama jenis berada pada risiko yang
lebih tinggi, terutama untuk infeksi yang disebabkan terkait dengan methicillin-
resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Kebanyakan kasus yang dilaporkan
terjadi pada pasien berusia 30-60 tahun. Sebuah tinjauan literatur hanya ditemukan
56 kasus anak, dengan 66% dari mereka pada bayi yang lebih muda dari 3 bulan .

C. Etiologi
Meskipun awalnya digambarkan sebagai gangren idiopatik alat kelamin, tetapi
penyebab Fournier ganggren dapat diidentifikasikan pada 75-95% dari jumlah
kasusnya. Proses nekrosis biasanya berasal dari infeksi di anorektal, saluran
urogenital, atau kulit di sekitar alat kelamin. Penyebab ganggren Fournier pada
anorektal termasuk perianal, abses perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal, dan
perforasi usus yang terjadi karena cedera kolorektal atau komplikasi keganasan
kolorektal, penyakit radang usus, divertikulitis kolon, atau usus buntu. Pada
saluran urogenital, penyebab fournier gangren mencakup infeksi di kelenjar
bulbourethral, cedera uretra, cedera iatrogenik sekunder untuk manipulasi striktur
uretra, epididimitis, orkitis, atau infeksi saluran kemih bawah (misalnya, pada
pasien dengan penggunaan jangka panjang kateter uretra). Sedangkan pada
dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif hidradenitis, ulserasi karena
tekanan skrotum, dan trauma (Purnomo, 2018).
Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan perineum seperti pada pasien
lumpuh menyebabkan peningkatan risiko. Terkadang akibat trauma, post operasi
dan adanya benda asing juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti
sepsis aborsi, vulva atau abses pada kelenjar Bartholini, histerektomi, dan
episiotomi dapat dicurigai sebagai penyebab Fournier ganggren. Pada pria, seks
pada daerah anal dapat meningkatkan risiko infeksi perineum, baik dari trauma
tumpul langsung atau dengan penyebaran mikroba dari rektal. Sedangkan pada
anak-anak yang bisa menyebabkan Fournier ganggren seperti sirkumsisi,
strangulasi hernia inguinalis, omphalitis, gigitan serangga, trauma, perirektal
abses dan infeksi sistemik (Purnomo, 2018).
Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba dengan
rata-rata 4 isolat per kasus. Escherichia coli adalah aerob dominan, dan
Bacteroides adalah anaerob dominan. Mikroorganisme umum lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Gram-negative
a) E. coli
b) Klebsiella pneumoniae
c) Pseudomonas aeruginosa
d) Proteus mirabilis
e) Enterobacteria
2. Gram Positif
a) Staphylococcus aureus
b) Beta Hemolytic Streptococcus Group B
c) Streptococcus faecalis
3. Anaerob
a) Peptococcus
b) Fusobacterium
c) Clostridium perfringens
4. Mycobacteria
Mycobacterium tuberculosis

D. Patofisiologi
Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya Fournier
gangren. Pada akhirnya, suatu endarteritis obliterative berkembang menyebabkan
kulit, subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian berlanjut iskemia
lokal dan proliferasi bakteri. Tingkat kerusakan fasia setinggi 2-3 cm. Infeksi fasia
perineum (fasia colles) dapat menyebar ke penis dan skrotum melalui fasia buck
dan dartos, atau ke dinding perut anterior melalui fasia scarpa, atau sebaliknya.
Fasia colles melekat pada perineum dan posterior diafragma urogenitalia dan
lateral dari ramus pubis, sehingga membatasi perkembangan ke arah ini.
Keterlibatan testis jarang, karena arteri testis berasal langsung dari aorta dan
dengan demikian memiliki suplai darah terpisah dari infeksi lokal (Price, 2015).
Infeksi merupakan ketidakseimbangan antara (1) imunitas host, yang sering
terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dan (2) virulensi dari
mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi memungkinkan untuk masuknya
mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang turun memberikan
lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi mikroorganisme
menyebabkan penyebaran penyakit ini semakin cepat (Price, 2015).
Virulensi mikroorganisme hasil dari produksi toksin atau enzim yang
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk multiplikasi mikroba yang cepat,
Meskipun Meleney pada tahun 1924 menjelaskan penyebab infeksi nekrotikans
hanya dari spesies Streptococcus saja, tapi klinis selanjutnya telah menekankan
sifat multiorganism dari kebanyakan kasus dari infeksi nekrotiknas, termasuk
Fournier gangren. Keterlibatan polimikroba diperlukan untuk menciptakan
sinergi produksi enzim yang mempromosikan penyebaran Fournier gangren.
Sebagai contoh, salah satu mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang
diperlukan untuk menyebabkan koagulasi dari pembuluh darah. Trombosis
pembuluh darah ini dapat mengurangi suplai darah lokal dengan demikian suplai
oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Hipoksia jaringan yang dihasilkan
memungkinkan pertumbuhan fakultatif anaerob dan organisme mikroaerofilik.
Mikroorganisme kemudian pada gilirannya dapat menghasilkan enzim (misalnya,
lesithinase, kolagenase) yang menyebabkan kerusakan dari fasia, sehingga
memicu perluasan cepat infeksi. Nekrosis fasia adalah awal dasar dari proses
penyakit, hal ini penting untuk sebagai penanda klinis dalam keterlibatan jaringan.
Secara khusus, jika potongan fasia dapat dipisahkan dengan mudah dari jaringan
sekitarnya dengan diseksi tumpul sangat mungkin terlibat dengan proses iskemik-
infkesi oleh karena itu setiap jaringan harus dieksisi (Price, 2015).

E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari Fournier gangren adalah rasa sakit dan nyeri tekan di
alat kelamin. Perjalanan klinis biasanya berlangsung melalui tahap-tahap berikut:
a) Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari
b) Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada kulit di
atasnya yang disertai pruritus
c) Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya
d) Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)
e) Gangren jelas dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka
Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan fisik.
Gangren dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan saraf
menjadi nekrotik. Efek sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal tanpa
disertai syok septik dan kemerahan. Secara umum, semakin besar derajat nekrosis,
yang lebih mendalam efek sistemik. Pada Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
adalah palpasi dari alat kelamin, perineum dan pemeriksaan colok dubur, untuk
menilai tanda-tanda penyakit dan untuk mencari potensi masuknya portal infeksi.
Dapat juga ditemukan krepitasi jaringan lunak, nyeri lokal, ulkus yang disertai
eritem, edema, sianosis, indurasi, blister, maupun gangren. Dari inspeksi kulit
tersebut dapat menentukan derajat dari bau amis ditimbulkan akibat infeksi dari
bakteri anaerob dan krepitasi yang disebabkan mikroorganisme Clostridium yang
dapat memproduksi gas. Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam, takikardia
dan hipotensi (Purnomo, 2018).

F. Pemeriksaan penunjang
1. Tes Darah Lengkap
Untuk menilai respon kekebalan yang ditimbulkan oleh proses infeksi
dan untuk memeriksa jumlah dari sel darah merah, dan mengevaluasi potensi
sepsis-yang menyebabkan trombositopenia. Profil koagulasi seperti,
prothrombin time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT),
jumlah trombosit, kadar fibrinogen sangat membantu untuk mencari sepsis-
induced koagulopati seperti pada ITP. Kultur darah juga diperlukan untuk
menetahui jenis mikroba yang terlibat serta menilai keadaan septisemia.
Kimia darah untuk mengevaluasi gangguan elektrolit, untuk mencari bukti
dehidrasi dapat diperiksa blood urea nitrogen [BUN] / kreatinin rasio, yang
cenderung terjadi sebagai akibat perlangsungan penyakit, juga kadar gula
dalam darah mengevaluasi intoleransi glukosa, yang mungkin disebabkan
untuk DM atau sepsis yang disebabkan gangguan metabolisme. Arterial
blodd gas (ABG) untuk memberikan penilaian yang lebih akurat gangguan
asam dan basa. Asidosis dengan yang dapat terjadi dengan hiperglikemia atau
hipoglikemia
2. Foto Polos Radiologi
Foto polos radiologi harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi
keberadaan dan luasnya penyakit fournier, terutama jika dari pemeriksaan
klinis tidak dapat disimpulkan. Gas dalam jaringan lunak dapat lebih mudah
terdeteksi modalitas pencitraan dibandingkan dengan pemeriksaan fisik.
Radiografi polos harus menjadi pemeriksaan pencitraan awal. Untuk
mengetahui seberapa besar jumlah gas jaringan lunak, benda asing, atau
edema pada jaringan skrotum. Gas dalam jaringan lunak bermanifestasi
sebagai daerah hiperlusen. Namun, tidak adanya gas (hiperlusen) pada foto
polos tidak dapat menyingkirkan diagnosis.
Fournier gangren pada pria umur 32 tahun dengan riwayat nyeri testis
dan infeksi kulit. Pada foto polos radoiografi anteroposterior menunjukkan
tanda radiolusen (panah) dalam jaringan lunak yang melapisi daerah
skrotum dan perineum yang dapat dicurigai sebagai emfisema subkutan.
3. CT-Scan (Computed Tomography)
Meskipun diagnosis Fournier gangren adalah paling sering dibuat
secara klinis, CT-scan dapat membantu pada pasien yang diagnosis tidak jelas
atau sulit untuk menetukan luasnya penyakit. CT-scan memiliki kekhususan
yang lebih besar untuk mengevaluasi penyakit dibandinkan foto polos
radiografi, USG, atau pemeriksaan fisik. Dengan meluasnya penggunaan CT-
scan dalam kondisi darurat, Fournier gangren semakin banyak dipelajari
dengan teknik pencitraan. CT-scan memainkan peran penting dalam
diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur anatomi penyebaran gangren,
akumulasi cairan,abses, emfisema subkutan dan perluasannya yang paling
baik dinilai dengan CT-scan. CT-scan juga tidak hanya membantu
mengevaluasi struktur perineum yang dapat terlibat oleh Fournier gangren,
tetapi membantu menilai retroperitoneum yang dapat menyebar pada
penyakit ini. CT-scan dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak
sebelum krepitasi terdeteksi. Hingga 90% dari pasien dengan Fournier
gangren telah dilaporkan memiliki emfisema subkutan, sehingga setidaknya
10% tidak menunjukkan pada temuan ini.
CT-scan dapat membantu mengevaluasi baik bagian superfisial dan
profunda dari fasia. Dalam banyak kasus, pemeriksaan fisik tidak akurat
membantu memprediksi tingkat nekrosis ditemukan di operas. CT-scan juga
penting dalam membedakan Fournier gangren dari yang lain kurang agresif
seperti jaringan lunak edema atau selulitis, yang mungkin tampak mirip
dengan Fournier gangren pada pemeriksaan fisik. Selain itu, CT-scan sangat
bermanfaat dalam post treatment yang merupakan tindak lanjut dari terapi
respon seperti pada pemberian antibiotik spektrum luas dan debridemen yang
penting untuk keberhasilan.

Fournier gangren pada seorang pria 61 tahun dengan pembengkakan


skrotum, nyeri, dan kemerahan yang bersama dengan nyeri perut. CT-scan
kontrast yang diperbesar menunjukkan skrotum yang mengandung fokus gas
(Panah gambar a) Pada daerah sisi kanan dan kiri terjadi perluasan pada daerah
perineum dan jaringan subkutan dari daerah medial kanan di region glutealis
melalui fasia Colles.
4. USG (Ultrasonografi)
Gambaran USG pada Fournier gangren dinding skrotum menebal
mengandung fokus hiperekoik yang menunjukkan mewakili gas dalam
dinding skrotum. Bukti gas dalam skrotum dinding dapat dilihat sebelum
pemeriksaan fisik yang ditemukan adanya krepitasi. Biasanya juga terdapat
hidrokel unilateral atau bilateral. Testis dan epididimis sering normal dalam
ukuran dan ekotekstur karena vaskularisasi yang berbeda. Vaskularisasi testis
adalah paling sering bertahan karena suplai darah ke skrotum berbeda dengan
yang ke testis.
Pasokan darah skrotum adalah dari arteri pudenda cabang dari arteri
femoralis sedangkan pasokan darah testis adalah dari cabang dari aorta. Jika
terdapat keterlibatan testis, ada kemungkinan sumber infeksi berasal dari
intra abdominal atau retroperitoneal. USG juga berguna dalam membedakan
Fournier gangren dari hernia inguinal skrotalis. Dalam fase lanjut, gas dapat
diamati dalam lumen usus, jauh dari dinding skrotum. USG lebih unggul
dalam foto polos radiografi, karena isi skrotum dapat diperiksa bersama
dengan aliran darah Doppler. Jaringan lunak udara juga lebih jelas di USG
daripada di radiografi, tetapi CT lebih unggul baik di USG dan radiografi
menunjukkan Fournier gangren baik melaui perluasannya dan penyakit yang
mendasarinya.
Fournier gangren pada seorang pria umut 71tahun dengan demam.
USG menunjukkan daerah hyperechoic (panah melengkung) dengan bayangan
ang kabur yang mewakili udara di dinding skrotum dan perineum. Terdapat
juga akumulasi cairan (tanda panah) di jaringan subkutan.

5. Histopatologis
Biopsi insisional pada saat debridemen memungkinkan jenis patologis
Fournier gangren yaitu nekrosisi infeksi dari selulitis. Yang pertama akan
mendapat manfaat dari debridement eksisional, sedangkan yang kedua jarang
membutuhkan bedah eksisi. Sampel biopsi harus diambil mencakup kulit dan
fasia superfisialis dan profunda. Sampel ini dapat dikirim untuk frozen
section untuk menilai nekrosis fasia. Keterlibatan fasia muncul sebagai
pembengkakan juga akibat nekrosis pada analisis mikroskopis.
Temuan Histologis (mikroskop optic dengan eosin-hematoxilin)
necrotizing fasciitis dari dinding skrotum. Tampak jaringan granulasi. Panah
menunjuk ke absen epidermis, menunjukkan ulserasi. Bagian kulit skrotum
hiper-dan parakeratotic memberi jalan untuk ulserasi luas.

G. Penatalaksanaan
Prinsip terapi pada gangren Fournier ada terapi suportif memperbaiki keadaan
umum pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan Fournier
gangren melibatkan beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk diagnosis
definitif dan eksisi jaringan nekrotik. Pada pasien dengan gejala sistemik terjadi
hipoperfusi atau kegagalan organ, resusitasi agresif untuk memulihkan perfusi
organ normal harus lebih diutamakan daripada prosedur diagnostik. Dengan
demikian, pengobatan pasien dengan gangren Fournier meliputi resusitasi agresif
dalam mengantisipasi operasi. Menyediakan manajemen jalan nafas jika ada
indikasi, berikan oksigen tambahan, dan membangun intravena (IV) akses dan
pemantauan jantung terus menerus. Pengganti kristaloid diindikasikan untuk
pasien yang mengalami dehidrasi atau menampilkan tanda-tanda syok. Awal,
antibiotik spektrum luas yang ditunjukkan. Tetanus profilaksis diindikasikan jika
terjadi ulkus pada jaringan lunak.Selain itu, kondisi komorbiditas yang mendasari
(misalnya, diabetes, alkoholisme) harus diatasi. Kondisi seperti itu sering terjadi
pada pasien-pasien dan berpotensi sebagai faktor predisposisi Fournier ganggren.
Kegagalan untuk memadai mengelola kondisi komorbiditas dapat mengancam
keberhasilan bahkan intervensi yang paling tepat untuk menyelesaikan Penyakit
menular.
1. Antibiotik
Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi
antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus,
Enterobacteriaceae organisme, dan anaerob. Dimana secara empiris
ciprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan. Klindamisin sangat berguna
dalam pengobatan nekrosis jaringan lunak infeksi karena spektrum gram positif
dan anaerob. Klindamisin telah terbukti untuk menghasilkan tingkat respons
unggul daripada penisilin atau eritromisin. Pilihan lain yang mungkin termasuk
ampisilin / sulbaktam, tikarsilin / klavulanat, atau piperasilin / Tazobactam dalam
bentuk kombinasi dengan aminoglikosida dan metronidazole atau Klindamisin.
Vankomisin dapat digunakan untuk menyediakan cakupan untuk methicillin-
resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam kasus yang berhubungan
dengan sindrom sepsis, terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIG), yang
diduga untuk menetralisir superantigens (misalnya, streptotoxins A dan B)
diyakini mengurangi respon sitokin berlebihan, telah terbukti menjadi pembantu
yang baik untuk antibiotik dan bedah debridemen. Jika pada tes kalium
hidroksida [KOH] menunjukkan adanya jamur, tambahkan agen empirik anti
jamur seperti amfoterisin B atau caspofungin.
2. Debridemen
Tujuan debridemen adalah mengangkat seluruh jaringan nekrosis (devitalized
tissue) sebelum dilakukan debridement sebaiknya dicari sumber infeksi dari uretra
atau dari kolorektal dengan melakukan uretroskoi atau proktoskopi. Kadang-
kadang perlu dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau diversi feces dengan
melakukan kolostomi. Setelah nektrotomi, dilakukan perwatan terbuka dan kalau
perlu pemasangan pipa drainase. Setelah 12 dan 24 jam lagi dilakukan evaluasi
untuk menilai demarkasi jaringan nekrosis dan kalau perlu dilakukan operasi
ulang. Debridement yang kurang sempurna seringkali membutuhkan operasi
ulang bahkan dilaporkan dapat terjadi dua atau empat kali harus masuk kamar
operasi. Pemberian oksigen hiperbarik masih kontroversi. Terapi ini bermanfaat
pada infeksi kuman anrobik. Perawatan luka pasca operasi dengan hidroterapi
dengan kombinasi rendam duduk hangat, dan pemberian hydrogen peroksida.
Pemberian madu yang belum diproses bergun dalam membersihkan jaringan
nekrosis secara enzimatik mneguangi bau, mampu menstrilkan luka, menyerap air
dari luk dan memperbaiki oksigenasi jaringan dan meningkatkan epiteliisasi.
Angka mortalis gangren Founier berkisar ari 7-75% dengan rerata 20. Berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya mortalitas adalah usia lanjut , penyakit yang
sudah menjalar uar, syok atau sepsis, kultur darah menunjukan bakteriemia, dan
uremia.
3. Oksigen Hiperbarik
Oksigen hiperbarik (HBO) telah digunakan sebagai tambahan dalam
pengobatan gangren Fournier. Protokol yang biasa digunakan antara lain :
ismultiple sesi sebesar 2,5% 90min dan atmfor 100 oksigen inhalasi setiap 20
menit. HBO meningkatkan kadar tekanan oksigen dalam jaringan dan memiliki
efek menguntungkan berbagai penyembuhan luka. Oksigen radikal bebas adalah
jaringan dari hipoksik yang dibebaskan, yang secara langsung beracun terhadap
bakteri anaerob. Aktifitas fibroblast meningkat dengan angiogenesis berikutnya
mengarah ke penyembuhan luka dipercepat. Ini merupakan kontraindikasi untuk
ruang vakum udara di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan karena
ekspansi setelah kembali tekanan atmosfer normal, seperti sinusitis, otitis media,
asma, dan penyakit paru bulosa. Pada pasien diabetes, seperti hipoglikemia dapat
diperburuk oleh HBO. Beberapa penulis mempertanyakan efektivitas empiris
HBO, menunjukkan bahwa pasien harus dipilih hanya jika ada permukaan tubuh
daerah besar keterlibatan yang siap untuk transplantasi kulit dalam menanggapi
reaksi infeksi bakteri anaerob.
4. Rekonstruksi Bedah
Tergantung pada tingkat cacat kulit, pilihan dalam rekonstruksi menjahit,
ketebalan kulit perpecahan pencangkokan, atau vaskularisasi miomukotaneus
pedikel. Cacat kecil dapat ditutup oleh penjahitan primer, terutama dikulit yang
lentur seperti pada skrotum. Kecacatan besar biasa paling sering timbul saat
pencangkokan kulit. Kulit kaki yang sehat, pantat, dan lengan dapat digunakan
untuk pencangkokan. Cacat pada kulit batang penis harus terhindar dari
pencangkokkan untuk mencegah pembentukan bekas luka fibrosis karena
berhubungan dengan masalah ereksi. Pada cacat yang luas, terutama di mana
tendon yang terkena vaskularisasi miokutaneus harus digunakan. Pada daerah
medial paha misalnya myocutaneous gracilis flap pedikel dapat memberikan hasil
terbaik karena dapat menutup kedekatan dengan mobilitas dan perineum yang
baik. Flaps lain yang menggunakan arteri epigastrika inferior juga dapat
dipertimbangkan. Pada pria dengan penyakit striktur uretra yang mendasarinya,
uretroplasti mungkin sangat sulit atau tidak mungkin karena kehilangan kulit
penoskrotal yang cukup luas dan bahkan dari uretra sendiri. Mukosa bukal dapat
digunakan untuk merekonstruksi uretra, tetapi dalam beberapa kasus dengan
jaringan yang luas tidaklah mendapatkan hasil memuaskan, uretrostomi perineum
permanen mungkin solusi terbaik.

H. Komplikasi
Sepsis mungkin karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik, atau
respon yang kurang baik. Banyak pasien yang gagal karea kekebalan organ yang
merupakan konsekuensi paling ditakuti sepsis yang belum terselesaikan dan
biasanya melibatkan paru, kardiovaskular, sistem ginjal, koagulopati, kolesistitis
acalculous, dan cedera serebrovaskular juga telah. Miositis dan mionekrosis dari
paha atas dapat terjadi sebagai akibat sepsis yang berasal dari kantong testis
subkutan saat dilakukan debridemen. Komplikasi akhir meliputi:
a) Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi
b) Infertilitas akibat memindahkan testis di paha kantong (suhu tinggi)
c) Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut
d) Imobilisasi dengan kontraktur yang lama
e) Perubahan sekunder pada perubahan tubuh karena gangguan depresi dismorfik
f) Lymphodema dari kaki sekunder untuk debridement panggul yang selanjutnya
thrombophlebitis.
I. Clinical Pathway

Faktor etiologi
(Virulensi mikroba + Penurunan imun)

Infeksi polymicrobial di daerah perineum

Trombus pembuluh nutrient

Terdapat Penurunan suplai darah
bendungan
uretra ↓
Ketidak efektifan perfusi
karena Penurunan oksigen jaringan jaringan perifer
infeksi

Gangguan
eliminasi urin Pertumbuhan organisme anaerob & aerob

Nekrosis pembuluh darah kutan dan subkutan

Iskemia lokal dan proliferasi bakteri lebih lanjut

Infeksi pada fascia perineum (colles fascia)

Menyebar ke penis dan skrotum


melalui fasia buck dan dartos

Nyeri akut
Gangren jelas dari bagian alat
kelamin disertai drainase purulen
dari luka Kerusakan integritas Risiko Infeksi
kulit
J. Asuhan Keperawatan
1. Anamnesis
a. Identitas pasien
Fournier gangrene dengan rasio pria ke perempuan adalah sekitar 10:1.
Kejadian yang lebih rendah pada wanita dapat disebabkan oleh drainase
yang lebih baik dari daerah perineum melalui sekresi vagina.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan fisik.
Gangren dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan saraf
menjadi nekrotik. Efek sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal
tanpa disertai syok septik dan kemerahan. Secara umum, semakin besar
derajat nekrosis, yang lebih mendalam efek sistemik.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien dengan fournier gangren biasanya pernah menderita infeksi di
anorektal, saluran urogenital, atau kulit di sekitar alat kelamin, gangguan
imun (misalnya HIV).
d. Keluhan utama
Pasien dengan fournier gangren biasanya mengeluhkan nyeri pada alat
kelamin, rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada
kulit di atasnya yang disertai pruritus, Gangren jelas dari bagian alat
kelamin disertai drainase purulen dari luka
e. Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi
yang pernah di derita ibu pasien, seperti HIV, kanker atau DM.
2. Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
a. Keadaan umum
Pasien biasanya lemah, hipertermi karena infeksi, merasakan nyeri.
b. Kesadaran
Kesadaran pasien compos mentis, hingga delirium.
3. Pemeriksaan head to toe
a. Kepala dan rambut
Tidak terdapat kelainan di kepala pada pasien dengan fournier gangren.
b. Wajah
Wajah pasien nampak pucat karena kurangnya oksigen ke jaringan
otak.
c. Mata
Tidak ada kelainan mata pada pasien dengan fournier gangren.
d. Hidung
Tidak ada kelianan pada pada mata pasien
e. Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien
f. Mulut dan bibir
Bibir bisa pucat dikeranakan kurangnya oksigen ke jaringan
g. Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien.
h. Leher
Tidak ditemukan jejas pada leher atau pembesaran kelenjar limfe atau
tiroid.
i. Integumen
Kulit di daerah kelamin dan di bagian atasnya dapat ditemukan edema
dan pruritas.

j. Thorax
Biasanya pasien dengan fournier gangren dapat detemukan takipnea
dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid.
k. Abdomen
Bisa ditemukan odem dan ulkus yang disertai dengan eritema apabila
fournier gangren telah meluas.
l. Ektremitas atas dan bawah
Tidak ada gangguan pada ekstremitas pasien
m. Genetalia\
Pasien mengeluhkan nyeri pada alat kelaminnya, ulkus yang disertai
eritem, edema, sianosis, indurasi, blister, maupun gangren. Pasien juga
mengeluhkan produksi urin sedikit bahkan sampai anuria.

K. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
oksigen ke jaringan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis yaitu infeksi
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka gangren pada
kulit
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan adanya bendungan pada
penis
e. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka
L. Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan, NIC:
jaringan perifer masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi Vena (4066)
berhubungan dengan jaringan teratasi, dengan kriteia hasil: 1. Lakukan penilaian sirkulasi perifer secara komperhensif
penurunan oksigen ke Perfusi jaringan: Perifer (0407): (misalnya, pengecekan nadi perifer, udem, waktu
jaringan a CRT < 2 detik pengisian kapiler, warna dan suhu tubuh)
b Suhu kulit ujung kaki dan tangan hangat 2. Inspeksi kulit apakah terdapat luka tekan dan jaringan yang
c Kekuatan denyut nadi teraba kuat tidak utuh
d Tekanan darah sistole maupun diastole 3. Pertahankan hidrasi untuk menurunkan viskositas darah
berada dalam rentang normal (120/80)
Perawatan Sirkulasi: Insifisiensi arteri (4062)
1. Instruksikan pasien untuk menghindari faktor-faktor yang
mengganggu sirkulasi darah

Manajemen Sensasi Perifer (2660)


1. Monitor adanya parhastesia dengan tepat (misalnya mati
rasa, hipertesia, hipotesia)
2. Diskusikan dan identifikasi penyebab sensasi abnormal
atau perubahan sensasi yang terjadi

Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan, NIC:


dengan agen cedera diharapkan nyeri klien berkurang Manajemen Nyeri (1400)
biologis yaitu infeksi NOC: 1. Kaji tanda-tanda vital klien.
Tingkat Nyeri menurun (2102)
a. Tidak ada ekspresi nyeri di wajah
b. Tidak menangis 2. Kaji secara komprehensif tentang nyeri klien meliputi
c. Tidak ada nyeri yang dilaporkan lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
d. Fokus tidak menyempit nyeri, dan faktor pencetus.
e. Tidak ada ketegangan otot 3. Observasi tanda-tanda non verbal yang mengganggu klien,
terutama dalam berkomunikasi efektif.
4. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang nyeri.
5. Kontrol faktor lingkungan yang menyebabkan
ketidaknyamanan pada klien, misalnya pencahayaan
ruang, temperatur ruang.
6. Ajarkan teknik non-farmakologis untuk mengatasi nyeri
klien, misal hypnosis, relaksasi, akupresur, terapi musik.
Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan luka (3660)
berhubungan dengan kerusakan integritas kulit tidak mengalami 1. Ganti balutan dan pelekat adesi
adanya luka gangren pada infeksi dan teratasi dengan kriteria hasil: 2. Cukur rambut di arealuka jika dibutuhkan
kulit NOC 3. Monitor karakteristik luka termasuk adanya cairan,
Penyembuhan luka intensi sekuder (1103) warna, ukuran dan bau
a. Granulasi luka baik 4. Ukur dasar luka sesuai kebutuhan
b. Pembentukan skar pada luka baik 5. Bersihkan benda yang menempel pada luka
c. Luma semakin mengecil 6. Bersihkan luka dengan normal salin atau caian yang non
a. Tidak terdapat nanah toksik sesuai kebutuhan
7. Jika dibutuhkan letakkan area yang berpengaruh pada
bak pusaran
8. Berikan perawatan area insisi
9. Kelola perawatan ulser kulit
10. Berikan obat salep pada kulit atau lesi jika dibutuhkan
11. Berikan balutan, sesuai kebutuhan tipe luka
12. Menebalkan balutan sesuai kebutuhan
13. Jaga keseterilan balutan, teknik steril saat melakukan
perawatan luka
14. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan cairan
15. Inspeksi luka setip pergantian balutan
16. Secara reguler bandingkan dan rekam perubahan pada
luka
17. Posisikan sesuai untuk menghindari tekanan pada luka
Gangguan eliminasi urin Setelah diberikan asuhan keperawatan, NIC:
diharapkan Gangguan eliminasi urin dapat Urinary Retention Care
berhubungan dengan
teratasi 1. Lakukan penilaian kemih yang komprehensif berfokus
adanya bendungan pada NOC: pada inkontinensia (misalnya, output urin, pola berkemih,
penis Urinary elimination dan fungsi kognitif)
Urinary contiunence 2. Memantau penggunaan obat dengan sifat antikolinergik
a. Kandung kemih kosong secara penuh 3. Memonitor efek dari obat yang diresepkan, seperti calcium
b. Tidak ada residu urine > 100-200 cc channel blockers dan antikolinergik
c. Intake cairan dalam rentang normal 4. Gunakan kekuatan sugesti dengan menjalankan air atau
d. Bebas dari ISK
disiram toilet
e. Tidak ada spasme bladder
f. Balance cairan seimbang 5. Merangsang reflex kandung kemih
6. Sediakan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung
kemih (10 menit)
7. Masukkan kateter
8. Anjurkan keluarga pasien atau pasien untuk mencatat
pengeluaran urine
Resiko infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan, NIC:
diharapkan Resiko infeksi tidak terjadi Infection Control (Kontrol infeksi)
NOC: 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Immune Status 2. Pertahankan teknik isolasi
Knowledge : Infection control 3. Batasi pengunjung bila perlu
Risk Control 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, 5. Gunakan sabun antimikroba untuk mencuci tangan
foktor yang mempengaruhi penularan serta 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
penatalaksanaannya keperawatan
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai APD
timbulnya infeksi 8. Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat
d. Jumlah leukosit dalam batas normal 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat dengan petunjuk
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
kandung kemih
11. Berikan terapi antibiotic bila perlu
12. Monitoring tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
13. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
14. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
15. Ajarkan tanda dan gejala infeksi pada keluarga pasien
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi dan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, dkk. 2015. Nursing Intervension Classification. Jakarta: EGC.

Heather, Herdman. 2015. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Moorhead, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A, Lorraine. 2015. Patofiiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit


Edisi : 6, volume :2. Jakarta : EGC.

Purnomo, Basuki. 2018. Dasar-dasar Urologi. Edisi : 2. Malang : Sagung Seto.

Sjamsuhidajat, Wim De Jong. 2018. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi :2. Jakarta : EGC.

Slone, Ethel. 2015. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai