Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE ANAK

“HIPOSPADIA”

DISUSUN OLEH:
DINDA AYU FRAMAISELLA

2011102412069

PROGRAM STUDI PREFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
A. KONSEP TEORI

1. Definisi
Hipospadia merupakan kelainan kongenital yang paling sering ditemukan pada anak
laki-laki. Kata hipospadia berasal dari Bahasa Yunani yaitu Hypo, yang berarti
dibawah, dan Spadon, yang berarti lubang. Hipospadia dapat didefinisikan sebagai
adanya muara urethra yang terletak di ventral atau proximal dari lokasi yang
seharusnya. Kelainan ini terbentuk pada masa embrional karena adanya defek pada
masa perkembangan alat kelamin dan sering dikaitkan dengan gangguan pembentukan
seks primer ataupun gangguan aktivitas seksual saat dewasa. (Krisna & A, 2017)

2. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui
penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli
dianggap paling berpengaruh antara lain :
a. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone
androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga
walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila
reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya.
Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun
akan berdampak sama.
b. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen
tersebut tidak terjadi. Mekanisme genetik yang tepat mungkin rumit dan variabel.
Penelitian lain adalah 3 turunan autosomal resesif dengan manifestasi tidak
lengkap. Kelainan kromosom ditemukan secara sporadis pada pasien dengan
hipospadia.
c. Prematuritas
Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang lahir dari ibu dengan
terapi estrogen selama kehamilan. Prematuritas juga lebih sering dikaitkan dengan
hipospadia.
d. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
3. Manifestasi Klinik
a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah
penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung
penis.
c. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang
hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
d. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
h. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
i. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
j. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah, menyebar,
mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada saat BAK.
k. Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan
mengangkat penis keatas.
l. Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok. Penis akan
melengkung kebawah pada saat ereksi.

4. Klasifikasi
a. Hipospadia type Perenial, lubang kencing berada di antara anus dan buah zakar
(skrotum).
b. Hipospadia type Scrotal, lubang kencing berada tepat di bagian depan buah zakar
(skrotum).
c. Hipospadia type Peno Scrotal, lubang kencing terletak di antara buah zakar
(skrotum) dan batang penis.
d. Hipospadia type Peneana Proximal, lubang kencing berada di bawah pangkal penis.
e. Hipospadia type Mediana, lubang kencing berada di bawah bagian tengah dari
batang penis.
f. Hipospadia type Distal Peneana, lubang kencing berada di bawah bagian ujung
batang penis.
g. Hipospadia type Sub Coronal, lubang kencing berada pada sulcus coronarius penis
(cekungan kepala penis).
h. Hipospadia type Granular, lubang kencing sudah berada pada kepala penis hanya
letaknya masih berada di bawah kepala penisnya.
Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra
eksternum yaitu sebagai berikut:
1) Tipe sederhana/ Tipe anterior (60-70%)
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe
ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini
bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak
sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
2) Tipe penil/ Tipe Middle (10-15%)
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya
disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian
ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis
menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah
secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka
sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat
berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
3) Tipe Posterior (20%)
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida,
meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
Semakin ke proksimal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan
semakin rendah frekuensinya. Pada kasus ini, 90% terletak di distal, dimana meatus
terletak di ujung batang penis atau pada glans penis. Sisanya yang 10% terletak lebih
proksimal yaitu ditengah batang penis, skrotum, atau perineum. Kebanyakan
komplikasinya kecil, fistula, skin tag, divertikulum, stenosis meatal atau aliran kencing
yang menyebar. Komplikasi ini dapat dikoreksi dengan mudah melalui prosedur minor.

5. Patofisiologi
Hipospadia merupakan suatu cacat bawaan yang diperkirakan terjadi pada masa
embrio selama pengembangan uretra, dari kehamilan 8-20 minggu. Perkembangan
terjadinya fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak
meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian di sepanjang
batang penis hingga akhirnya di perineum.
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topu yang menutup sisi
dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral
menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Chordee atau lengkungan ventral dari penis, sering dikaitkan dengan hipospadia,
terutama bentuk-bentuk yang lebih berat. Hal ini diduga akibat dari perbedaan
pertumbuhan antara punggung jaringan normal tubuh kopral dan uretra ventral
dilemahkan dan jaringan terkait. Pada kondisi yang lebih jarang, kegagalan jaringan
spongiosum dan pembentukan fasia pada bagian distal meatus uretra dapat membentuk
balutan berserat yang menarik meatus uretra sehingga memberikan kontribusi untuk
terbentuknya suatu korda.

6. Pathway
7. Komplikasi
a. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b. Infertility
c. Resiko hernia inguinalis
d. Gangguan psikologis dan psikososial
e. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa.

Komplikasi paska operasi yang terjadi :


a. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
b. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi
dari anastomosis.
c. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas.
d. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini
angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.
e. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna,
dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang
berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang.
f. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya
stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan
berikut untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan pada ginjal sebagai komplikasi
maupun kelainan bawaan yang menyertai hipospadia:
a. Rontgen
b. USG sistem kemih kelamin
c. BNO – IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan
kongenital ginjal
d. Kultur urine (Anak-hipospadia)
9. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak biasanya dilakukan dengan
prosedur pembedahan. Tujuaan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi
penis menjadi lurus dengan meatus uretra di tempat yang normal atau dekat normal
sehingga pancaran kencing arahnya kedepan. Keberhasilan pembedahan atau operasi
dipengaruhi oleh tipe hipospadia dan besar penis. Semakin kecil penis dan semakin ke
proksimal tipe hipospadia semakin sukar tehnik dan keberhasilan operasinya. Ada
banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
a. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
1) Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan
yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis
diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan
luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis.
2) Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah
lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans,
lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup
dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan
dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama
dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
b. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar
dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal
(yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit
bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke
bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia,
maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan
operasi hipospadi.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
b. Keluhan Utama
Lubang penis tidak terdapat diujung penis, tetapi berada dibawah atau didasar
penis, penis melengkung kebawah, penis tampak seperti berkerudung karena
adanya kelainan pada kulit dengan penis, jika berkemih anak harus duduk.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang
tidak pada tempatnya sejak lahir dan tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya penis yang melengkung
kebawah adanya lubang kencing tidak pada tempatnya sejak lahir
3) Riwayat Kongenital
a) Penyebab yang jelas belum diketahui.
b) Dihubungkan dengan penurunan sifat genetik.
c) Lingkungan polutan teratogenik.
4) Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran: Hipospadia terjadi karena adanya
hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke-10 sampai minggu
ke-14.
d. Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan
Pada pengkajian ini dilakukan pengkajian berdasarkan 11 komponen pola fungsi
kesehatan yang terdiri dari :
1) Pola persepsi dan pemeliharaan Kesehatan
Klien biasanya tidak mengetahui penyakitnya kurangnya pemahaman klien dan
keluarga terkait penyakit yang diderita klien dan pada umumnya pemeliharaan
kesehatan klien tidak ada masalah.
2) Pola Nutrisi
Pada umumnya pasien hipospadia nutrisi cairan dan elektrolit dalam tubuhnya
tidak mengalami gangguan.
3) Pola Eliminasi
Pada saat BAK mengalami gangguan karena anak harus jongkok karena
pancaran kencing pada saat BAK tidak lurus dan biasanya kearah bawah,
menyebar dan mengalir melalui batang penis.
4) Aktivitas dan Latihan
Aktivitas klien hipospadia tidak ada masalah.
5) Tidur dan istirahat
Pada umumnya klien dengan hipospadia tidak mengalami gangguan atau tidak
ada masalah dalam istirahat dan tidurnya.
6) Pola sensori, persepsi, dan kognitif
Secara fisik daya penciuman, perasa, peraba dan daya penglihatan pada klien
hipospadia adalan normal, secara mental kemungkinan tidak ditemukan adanya
gangguan.
7) Konsep diri
Adanya rasa malu pada diri klien sendiri apabila sudah dewasa juga akan
merasa malu dan kurang percaya diri atas kondisi kelainan yang dialaminya.
8) Seksual dan reproduksi
Adanya kelainan pada alat kelamin terutama pada penis klien akan membuat
klienmengalami gangguan pada saat berhubungan seksual karena penis yang
tidak bisa ereksi.
9) Pola peran hubungan
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
peran dalam menjalankan perannya selama sakit
10) Pola manajemen koping stress
Biasanya orang tua klien akan mengalami stress pada kondisi anaknya yang
mengalami kelainan.
11) Sistem nilai dan keyakinan
Kepercayaan klien, kepatuhan klien dalam melaksanakan ibadah dan
keyakinankeyakinan pribadi yang bisa mempengaruhi pilihan pengobatan
e. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem kardiovaskuler: Tidak ditemukan kelainan
2) Sistem neurologi: Tidak ditemukan kelainan
3) Sistem pernapasan: Tidak ditemukan kelainan
4) Sistem integument: Tidak ditemukan kelainan
5) Sistem muskuloskletaL: Tidak ditemukan kelainan
6) Sistem Perkemihan:
a. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran
pada ginjal
b. Kaji fungsi perkemihan
c. Dysuria setelah operasi
7) Sistem Reproduksi
a. Adanya lekukan pada ujung penis
b. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
c. Terbukanya uretra pada ventral
d. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan,
drinage.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen pencidera fisik (pembedahan)
b. Resiko infeksi b/d efek prosedur invasif
c. Gangguan citra tubuh perubahan struktur/bentuk tubuh (malformasi kongenital)
d. Ansietas b/d krisis situasional (Tindakan operasi yang akan dilakukan)

3. Intervensi

NO SDKI SLKI SIKI


1. Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Manajemen nyeri
pencidera fisik selama…x24 jam diharapkan nyeri yang 1.1 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
(pembedahan) dialami pasien berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil: 1.2 Identifikasi skala nyeri
 Tingkat nyeri 1.3 Identifikasi respon nyeri non verbal
- Keluhan nyeri (5) 1.4 Identifikasi factor yang memperberat dan
- Meringis (5) meringankan nyeri
- Sikap protektif (5) 1.5 Berikan Teknik nonfarmakologi untuk
- Frekuensi nadi (5) mengurangi nyeri
- Pola nafas (5) 1.6 Jelaskan strategi meringankan nyeri
- Tekanan darah (5) 1.7 Ajarkan Teknik nonfarmakologi untuk
 Indicator meredakn nyeri
1. Meningkat/memburuk 1.8 Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu
2. Cukup meningkat/cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup menurun/cukup membaik
5. Menurun/membaik

2. Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan Tindakan keperawatan  Pencegahan infeksi


prosedur invasive selama …x24 jam diharapkan pasien tidak 2.1 Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
mengalami infeksi dengan kriteria hasil: sistemik
 Tingkat Nyeri 2.2 Cuci tangan sebelum dan sesudh kontak
- Demam (5) dengan pasien dan lingkungan pasien
- Kemerahan (5) 2.3 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Nyeri (5) 2.4 Ajarkan cara memcuci tangan yang benar
- Bengkak (5) 2.5 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Kadar sel darah putih (5) 2.6 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Indicator
1. Meningkat/memburuk
2. Cukup meningkat/cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup menurun/cukup membaik
5. Menurun/membaik

3. Gangguan citra tubuh b/d Setelah dilakukan Tindakan keperawatan  Promosi citra tubuh
perubahan selama …x24 jam diharapkan pasien tidak
struktir/bentuk tubuh mengalami gangguan citra tubuh dan dapat 3.1 Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan
(malformasi kongenital) menerima kondisi tubuhnya dengan kriteria tahapan perkembangan
hasil: 3.2 Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin,
 Citra tubuh dan umur terkait citra tubuh
- Melihat bagian tubuh (5) 3.3 Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
- Menyentuh bagian tubuh (5) 3.4 Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang
- Verbalisasi perasaan negative tentang perawatan perubahan citra tubuh
perubahan tubuh (5) 3.5 Latih tubuh yang dimiliki
- Verbalisasi kekhawatiran pada
penolakan/reaksi orang lain (5)
 Indicator
1. Memburuk/meningkat
2. Cukup memburuk/cukup meningkat
3. Sedang
4. Cukup membaik/cukup menurun
5. Membaik/menurun

4. Ansietas b/d krisis Setelah dilakukan Tindakan keperawatan  Persiapan pembedahan


situasional (Tindakan selama …x24 jam diharapkan tidak 4.1 Identifikasi kondisi umum pasien
operasi yang akan mengalami ansietas tentang Tindakan yang 4.2 Monitor tekanan darah, nadi, pernafasan,
dilakukan akan dilakukan (pembedahan) dengan kriteria suhu tubuh, BB, EKG
hasil: 4.3 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan
 Tingkat ansietas kimia darah
- Verbalisasi kekhawatiran akibat 4.4 Puasakan minimal 6 jam sebelum
kondisi yang dihadapi (5) pembedahan
- Perilaku gelisah (5) 4.5 Bebaskan area kulit yang akan di bedah dari
- Perilaku tegang (5) rambut/bulu
- Keluhan pusing (5) 4.6 Jelaskan tentang prosedur, waktu dan
- Pola tidur (5) lamanya operasi
 Indicator 4.7 Jelaskan waktu puasa dan pemberian obat
1. Meningkat/memburuk premedikasi
2. Cukup meningkat/cukup memburuk 4.8 Koordinasi dengan petugas gizi tentang
3. Sedang jadwal puasa dan diet pasien
4. Cukup menurun/cukup membaik
5. Menurun/membaik
DAFTAR PUSTAKA
Krisna, D. M., & A, M. (2017). Hipospadia : Bagaimana Karakteristiknya Di Indonesia? Berkala
Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2(2), 325. https://doi.org/10.21460/bikdw.v2i2.52
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai