Disusun oleh :
TA. 2020-2021
BAB I
KONSEP PENYAKIT
1.1 Anatomi Fisiologi
A. Anatomi Fisiologi Paru-paru
Paru-paru atau pulmo merupakan tempat terjadinya pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida. Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang
ujungnya berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya terletak pada
diafragma. Paru-paru terbagi menjadi dua yakni sebelah kanan dan paru
kiri. Paru-paru memiliki jumlah sepasang dan terletak di rongga dada. Untuk
paru-paru sebelah kanan terdiri dari 3 lobus, sedangkan paru-paru sebelah kiri
terdiri dari dua lobus. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang
yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001).
Paru-paru terbungkus oleh selaput rangkap yang disebut pleura. Pleura
sendiri terbagi menjadi pleura viseralis yang langsung membungkus paru,
dan pleura parietal yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura
terdapat rongga yang di sebut kavum pleura. Diantara selaput rangkap ini
juga terdapat cairan yang berfungsi untuk melindungi paru-paru dari
gesekan saat proses bernafas yakni mengembang dan mengempisnya paru-
paru. Dalam artian lain bahwa cairan tersebut mengakibatkan paru-paru
bergerak secara fleksibel, saat inspirasi paru-paru akan ikut mengembang dan
saat ekspirasi paru-paru akan mengempis kembali. Dalam keadaan sehat kedua
lapisan akan bersentuhan erat. Ruang atau rongga pleura merupakan ruang
yang tidak nyata, tetapi dalam keadaan tidak normal udara atau cairan
memishakan kedua pleura itu dan ruang di antaranya menjadi jelas.
Sistem pernafasan dapat dibagi menjadi sistem pernafasan atas dan bagian
bawah.
a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal
dan faring
b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru (Guyton,2007). Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar
maka dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas
jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu :
- Otot inspirasi yang terdiri dari dari otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma
- Otot ekspirasi yakni abdominis dan interkostal internus
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit
yakni bronki dan bronkiolus yang bercabang di kedua belah paru-paru utama
yaitu trakea. Yang selanjutnya berakhir di alveoli dimana menjadi tempat
pertukaran antara oksigen dan karbondioksida. Terdapat kurang lebih 300 juta
alveoli pada paru-paru manusia (McArdle, 2006). Terdapat perbedaan antara
paru kanan dan paru sebelah kiri. Paru kanan sedikit lebih luas dan lebih
pendek dari pada paru-paru kiri. Hal ini disebabkan karena adanya hati,
sehingga untuk luasnya terbatas. Dan juga paru-paru kiri lebih kecil dikarenakan
adanya jantung. Paru-paru pria biasanya bisa menahan sekitar 750 cm 3 udara,
sedangkan untuk wanita sekita 285-393 cm3 udara.
B. Anatomi Fisiologi Pankreas
Pankreas merupakan kelenjar terelongasi yang berukuran besar dibalik
kurvatur besar lambung. Pankreas terletak retroperitoneal melintang di abdomen
bagian atas dengan panjang kurang lebih 12,5 cm dan berat 120 gram.
pankreas terbentang dari atas sampai kelengkungan besar dari perut
dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum. Berstruktur
lunak dan berlobus. Pankreas terdiri dari kaput, leher, korpus, kauda dan
proc uncinatus atau bagian kaput yang menonjol ke bawah. Secara
mikroskopis terdapat dua fungsi pankreas yakni :
a. Eksokrin yang fungsinya sama seperti kelenjar ludah. Dalam hal ini
terdapat kurang lebih 9 enzim yang juga ikut membentuk protein. Pada
eksokrin mengandung banyak elektrolit, serta juga menghasilkan bikarbonat
untuk mentralisir asam lambung yang masuk ke duodenum.
- Enzim proteolitik pankreas (protease)
1) Tripsinogen yang disekresi pankreas dan diaktivasi menjadi tripsin oleh
enterokinase yang diproduksi oleh usus halus. Tripsin ini yang
mencerna protein dan polipeptida besar untuk membentuk polipeptida dan
peptida yang lebih kecil
2) Kimotripsin teraktivasi dari kimotripsinogen oleh kimotriptida yang
berfungsi sama seperti tripsin
3) Karboksipeptidase, aminopeptidase dan dipeptidase adalah enzim yang
melanjutkan pencernaan protein untuk menghasilkan asam amino bebas
- Lipase pankreas menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol
setelah lemak diemulsi oleh garam-garam empedu
- Amilase pankreas menghidrolisis zat tepung yang tidak tercerna oleh
amilase saliva menjadi disakarida (maltosa, sukrosa dan laktosa)
- Ribonuklease dan deoksribonuklease menghidrolisis RNA dan DNA
menjadi blok-blok pembentuk nukleotidanya
- Sekretin dihasilkan oleh duodenum untuk menstimulasi sekresi pankreas dan
merangsang pengeluaran bikarbonat
- Pancreozymin dihasilkan oleh duodenum yang dirangsang melalui makanan
yang masuk sehingga merangsang pankreas
- Gastrin ini merangsang asam lambung dan pankreas
- Cholecystokinin yang menyebabkan relaksasi sphincter pankreas dan ductus
choledochus
b. Endokrin, terdiri dari 2 jenis sel dimana macam-macam sel ini terdapat
di pulau-pulau langerhans yang mana sebanyak kurang lebih 200.000 hingga
2 juta sel.
- Sel alfa, sel ini memproduksi glukagon yang nantinya akan meningkatkan
glukagon, menurunkan kadar glukosa dan faktor hiperglikemia. Sel ini
berbentuk bulat dan memiliki dinding tipis
- Sel beta, sel ini memproduksi insulin dan mempengaruhi faktor
hypoglikemia dan bertentangan dengan sel α
- Sel delta, menyekresi somatostatin yang menekan keluarnya hormon
pertumbuhan, insulin dan gastrin
1.2 Definisi
A. Tuberkulosis Paru
Menurut Kemenkes RI (2018), Tuberculosis paru adalah suatu penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain : M.
Tuberculosis, M. Africanum, M. Bovis, M. Leprae. Yang juga dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TBC. Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang paru tetapi
juga menyerang organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksis, dimana
menyerang parenkim paru. Nama tuberkulosis sendiri berasalah dari kata
tuberkel yang artinya tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem kekebalan membangun tembok mengililingi bakteri dalam paru.
TB paru ini bersifat menahun dan ditandai oleh pembentukan granuloma
dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara,
saat penderita Tb paru batuk, bersin ataupun berbicara.
Mycobacterium tuberculosis sendiri yang menjadi virus TB paru berbentuk
batang lurus, tidak berspora dan tidak berkapsul, serta bersifat aerob dan
tahan asam. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm.
Kuman ini masuk melalui saluran nafas yang nantinya akan bersarang di
jaringan paru sehingga membentuk suatu sarang pneumoni yang mana disebut
sebagai sarang primer atau afek primer. Kuman yang berada dalam
droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan
dapat menginfeksi individu lain.
B. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes melitus didefinisiskan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya
kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan
protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan karena kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO,1999).
Menurut Kemenkes RI, diabetes Melitus (DM) atau yang biasa disebut diabetes
saja merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak
memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur
keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi
glukosa didalam darah (hiperglikemi).
Diabetes melitus sendrii penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan
akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan
penderitanya memiliki 3 kali lebih tinggi untuk menderita TB aktif. Hasil
pengobatan TB paru pada penderita TB dengan komorbid DM akan lebih banyak
mengalami kegagalan dibandingkan dengan yang tidak memiliki komorbid DM.
Hal ini terjadi karena adanya penundaan konversi dari kultur dahakm seriko
kematian selama pengobatan TB apru dan resiko relaps paska pengobatan yang
lebih tinggi pada penderita TB dengan komorbid DM.
1.3 Epidemiologi
A. Tuberkulosis Paru
Menurut WHO tahun 2013 diperkirakan kasus TB di dunia sejumlah 11 juta
diantaranya 9 juta adalah kasus baru dan skitar 1,1 juta meninggal dunia.
Di Indonesia, berdasarkan global TB Report 2013, diperkirakan 680.000 kasus
TB (diantaranya 460.000 adalah kasus baru) atau sekitar 272 kasus
Tb/100.000 penduduk (diantaranya 183 kasus TB/100.000 penduduk) dan
masih tingginya angka kematian akibat TB yaitu 64.000 sebanding dengan
25/100.000 sebanding dengan 25/100.000 penduduk.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada
laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang
terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki
lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh
partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok. Berdasarkan Survei Prevalensi
Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis
di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan
prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15
tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan
durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.
Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang
menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC
B. Diabetes Melitus
Estimasi terakhir IDF (International Diabetes Federation), terdapat 382 juta
orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang.
Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya belum
terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa
disadari. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia yang dilakukan
oleh pusat-pusat diabetes, sekitar tahun 1980-an prevalensi diabetes melitus
pada penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 1,5-2,3% dengan prevalensi
di daerah rural lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 mendapatkan prevalensi diabetes
melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%.
Secara epidemiologi juga, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care,
2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-
54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan
daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Saat ini jumlah penderita DM diseluruh dunia diperkirakan sebanyak 285 juta
orang, dan jumlah ini akan terus mengalami peningkatan hingga paling
sedikit mencapai 438 juta orang pada tahun 2030. Menurut hasil survei kesehatan
nasional 2013 dan International Diabetes Foundation (IDF) 2015,
diperkirakan jumlah penderita DM di Indonesia sebanyak sekitar 9,1 juta orang.
Kasus DM di Indonesia sendiri pada tahun 2030 diperkirakan akan
mencapai angka 21,3 juta orang.
Diabetes melitus merupakan faktor resiko penting untuk perkembangan TB
aktif. Hampir 90% pasien TB-DM adalah penyandang DM tipe 2. Sebanyak
lebih dari 10% penderita TB merupakan penderita DM, sehingga dengan
semakin meningkatnya jumlah penderita DM, jumlah penderita TB juga akan
mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Mengingat tingginya prevalensi TB
di Indonesia, yaitu 660 per 100.000 orang menurut hasil Survei Prevalensi
TB 2013, berbagai strategi dan upaya telah diakukan untuk menurunkan
prevalensi tersebut. Hasil survei register TB-DM oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan tahun 2014 di 7 rumah sakit di Indonesia, dari 740
kasus TB terdapat 110 penyandanng DM (14,9%). Hasil pemeriksaan
mikrobiologi dari 110 pasien TB-DM menunjukkan hasil BTA positif
82,7% pasien TB non DM 49,2%.
1.4 Etiologi
A. Tuberkulosis Paru
Menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung, kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis
Tuberkulosis paru BTA negatif
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto toraks abnormal
menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya
Kasus baru
Pasein yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan
Kasus kambuh (relaps)
Pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh tetapi kambuh kembali
Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif
Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok
ini termasuk kasus kronin, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
B. Diabetes Melitus (DM)
Klasifikasi penyakit DM, yaitu :
a. Diabetes Melitus tipe 1
Merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan
oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. b. Diabetes
Melitus tipe 2 Merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai
dengan kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin), terutama pada
dewasa dan lansia.
c. Diabetes Melitus tipe lain
Merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan kadar
gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi,
sebab imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM.
d. Diabetes Melitus Gestasional
Merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat (TGT, GDPT, DM) yang
terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang
berlangsung.
1.6 Patofisiologi
A. Tuberculosis Paru
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M. Tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan nafas menuju alveoli lalu berkembang biak
dan terlihat bertumpuk. Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran
darah ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang dan korteks serebri dan area
lain dari paru-paru.
Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan
reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan
bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan)
basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia.
Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar
bakteri.
Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk sebuah jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma
selanjutnya berubah bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Materi yang terdiri
atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk
materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing coseosa). Hal ini akan
menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri
menjadi non aktif.
Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit
akan menjadi lebih parah. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
mengakibatkan terbentuknya bronkopneuomonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang
biak didalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan respon
berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
dikelililingi oleh tuberkel.
B. Diabetes Melitus (DM)
a. DM tipe 1
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun.
Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam
keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan
terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi
penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah
jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh
untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada
penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.
b. DM tipe 2
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin
banyak terjadi sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang
gerak (sedentary), dan penuaan. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin
dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah
stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar
glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen.
1.7 Manifestasi Klinis
Wang, dkk di Taiwan (2009) menyatakan bahwa pasien TB dengan
Dm menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam hal gejala demam dan
hemoptisis, sputum basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi, kavitas dan
keterlibatan lapangan paru bawah. Penelitian Alisjahbana, dkk (2007) di
Indonesia menemukan beberapa perbedaan manifestasi klinis. Tuberkulosis
yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan meningkatkan
resiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif, dan
malnutrisi menstimulasi hormon stress seperti epinefrin, glukagon, kortisol dan
hormon pertumbuhan yang secaa sinergis bekerja meningkatkan kadar gula
dalam darah hingga lebih dari 200 mg/d. Kadar IL-1 dan TNF plasma
juga meningkat dan menstimulasi hormon anti-insulin, sehingga memperburuk
keadaan infeksinya.
A. Tuberkulosis Paru
Namun ada pendapat lain yang mengemukakan gejala tuberkulosis yakni dibagi
pada beberapa gejala :
- Gejala respiratorik, gejalanya yakni batuk lebih dari 2 minggu, batuk
darah, sesak nafas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi
tergantung dari luar lesi
- Gejala sistemik, gejalanya seperti demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, dan berat badan menurun
- Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misal
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening
B. Diabetes Melitus (DM)
Pada diabetes melitus dapat menimbulkan gejala yakni :
a. Gejala akut
Banyak makan (polifagi)
Banyak minum (polidipsi)
Banyak kencing (poliuri)
Berat badan turun drastis
Mudah lelah
b. Gejala kronik
Kesemutan
Kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum
Rasa tebal dikulit sehingga jika berjalan seperti diatas kasur
Kram
Mudah mengantuk
Penglihatan kabur
Gatal diarea kemaluan, terutama wanita
Gigi mudah goyah dan mudah lepas
Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten
Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau bayi lahir dengan berat lebih dari 4kg
Dan pada tuberkulosis juga ada gejala yang ditimbulkan yakni sebagai berikut :
a. Batuk dengan dahak yang kental dan kekuningan, kadang disertai
dengan bercak-bercak perdarahan
b. Perasaan lelah dan turunnya berat badan
c. Keringat dingin pada malam hari dan demam
d. Detak jantun menjadi lebih cepat
e. Adanya pembengkakan kelenjar getah bening f. Sesak nafas dan sakit dada
1.8 Pemeriksaan Penunjang
A. Tuberculosis Paru
Deteksi dan diagnosis TB dicapai dengan tes objektif dan temuan pengkajian
subjektif. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus terus
mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap TB bagi kelompok
yang beresiko tinggi. Infeksi Tb primer sering tidak dikenali karena biasanya
infeksi ini asimptomatis. Lesi pengapuran dan tes kulit postif sering kali
merupakan satu-satunya indikasi infeksi TB primer telah terjadi.
a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan ini, sering didaptkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan
kelainan pada paru. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah
bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak
jelas. Pemeriksaan rontgen thoraks berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri
tuberkel terhadap obat antituberkulosi.
b. Pemeriksaan CT-Scan
Dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang dtunjukkan
dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal,
kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas
brokhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit tuberkulosis diperoleh dengan
pemeriksaan mikrobiologi melalu isolasi bakteri. Bahan pemeriksaan untuk
isolasi Mycobacterium tuberculosis berupa:
Sputum klien, diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar
Urin, yang diambil pada pagi hari dan merupakan urin pertama
Cairan kumbah lambung, umumnya digunakan jika anak-anak atau klien
tidak dapat mengeluarkan sputum. Bahannya diambil pada pagi hari sebelum
sarapan
Bahan-bahan lainnya seperti pus, cairas serebropsinal (sumsum tulang
belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses dan swab tenggorok
B. Diabetes Melitus (DM)
Menurut Smeltzer dan Bare (2008) adapun pemeriksaan penunjang untuk
penderita DM antara lain :
a. Pemeriksaan Vaskuler
Pemeriksaan Radiologi
Meliputi gas subkutan, adanya benda asing dan osteomelietus
Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah yang meliputi GDS (Gula Darah Sewaktu), GDP (Gula
Darah Puasa)
b) Pemeriksaan urin, dilakukan dengan menggunakan cara benedict
(reduksi). Setelah pemeriksaan selesai hasil dapat dilihat dari perubahan
warna yang ada yaitu hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah
bata (++++)
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
(mg/dl)
Intoleransi aktivitas
Tujuan : Setelah dilakukan o Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
Ketidakseimbangan
asuhan keperawatan mengakibatkan kelelahan
antara suplai dan ...x24jam diharapkan pasien
kebutuhan oksigen, o Monitor pola dan jam tidur
mampu merespn fisiologi
Tirah baring, terhadap aktivitas yang o Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama
Klemahan, membutuhkan tenaga melakukan aktifitas
Imobilitas, Gaya
KH : o Lakukan Latihan rentang gerak pasif dan atau
hidup monoton.
• Saturnasi oksigen aktif
meningkat
o Berikan aktifitas diktrasi yang menenangkan
• Dispnea saat o Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
aktivitas menurun
dapat berpindah atau berjalan
• Dispnea setelah
aktivitas meurun
• Frekuensi napas
membaik
Perfusi Perifer Tujuan : Setelah dilakukan
asuhan keperawatan o Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadiperifer, edema,
Tidak Efektif
...x24jam diharapkan pasien pengisian kapiler, warna, suhu, Ankle-brachial
Penurunan sirkulasi memiliki keadekuatan aliran
darah pembuluh darah distal index)
darah pada level
untuk mempertahankan o Identifikasi factor risiko gangguan sirkulasi (mis.
kapiler yang dapat
jaringan
mengganggu Diabetes, perokok, orang tua, hipertensi dan kadar
metabolism tubuh KH : kolestrol tinggi)
• Denyut nadi perifer o Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak
meningkat
pada extermitas terapeutik
• Edema perifer o Lakukan pencegahan infeksi
menurun
• Nyeri ekstremitas
menurun
• Pengisian kapiler
akral membaik
Gangguan Pola
Tujuan : Setelah dilakukan
tidur
asuhan keperawatan o Identifikasi pola aktivitas dan tidur
Gangguan kualitas ...x24jam diharapkan pasien
memiliki keadekuatan o Identifikasi factor pengganggu tidur (fisik
dan kuantitas waktu
kualitas dan kuantitas tidur dan/atau psikologis)
tidur akibat faktor
KH : o Modifikasi lingkungan (mis. Pencahyaan,
eksternal
• Keluhan sulit tidur kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
menurun o Batasi waktu tidur siang, jika perlu
• Keluhan sering
terjaga menurun
• Keluhan istrahat
tidak cukup
menurun
Gangguan
integritas
kulit/jaringan Tujuan : Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
mengalami ...x24jam diharapkan pasien
kerusakan kulit memiliki keutuhan kulit o Identifikasi penyebab gangguan integritas
atau jaringan
(dermis, dan/atau kulit(mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status
KH :
epidermis) atau nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan
jaringan (membrane • Kerusakan jaringan ekstrim, penurunan mobilitas)
menurun
mukosa, kornea, o Ubah posisitiap 2 jam jika tirah baring
fasia, otot, tendon, • Kerusakan lapisan
o Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak
kulit menurun
tulang, kartilago, pada kulit kering
kapsul sendi o Gunakan produk berbahan ringan\alami dan pipoa
dan/atau ligamen)
Risiko infeksi
Berisiko mengalami Tujuan : Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
peningkatan ...x24jam diharapkan pasien
terserang organisme memiliki derajat infeksi
bedasarkan obsevasi atau o Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
patogenik
sumber informasi
sistemik
KH :
o Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
• Kemerahan
pasien
menurun
o Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
• Nyeri menurun
tinggi
• Bengkak menurun o Ajarkan etika batuk
• Sputum berwarna o Jelaskan tanda dan gejala infeksi
hijau menurun
2.1 Implementasi
Pada tahap implementasi, tindakan keperawatan dilaksanakan sesuai dengan
rencana keperawatan yang timbul dan disesuaikan dengan kondisi pasien. Tetapi
pada tahap implementasi tidak seluruhnya intervensi dapat direalisasikan karena
menyesuaikan kondisi pasien.
2.1 Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil perkembangan dengan berpedoman kepada hasil dan
tujuan yang hendak dicapai. Semua tindakan yang dilakukan diharapkan
memberikan hasil. Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana tindakan
keperawatan tercapai atau tidaak. Sesuai dengan rencana tindakan yang diberikan,
dilakukan penilaian untuk melihat keberhasilan. Bila tidak/belum berhasil perlu
disusun rencana rencana baru yang sesuai.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP secara operasional :
S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien
setelah tindakan diberikan.
O (Objective) : adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setalah tindakan
dilakukan.
A (Analisis) : adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective
dengan tujuan dan criteria hasil, kemudian diambil kesimpulan
bahwa masalah teratasi , teratasi sebagian, atau tidak teratasi.
P (Planning) : adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
berdasarkan hasil analisa.
Press, Airlangga University. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
UAP