Anda di halaman 1dari 18

(Patofisiologi Kelaninan Kongenital pada Digestive dan

Asuhan Keperawatan pada anak: Hirschprung)


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Anak II

Dosen Pengajar :
Ns. Helena Golang, S.Kep., M.Kep.,Sp.

Disusun Oleh :
Dhea Dela Pratiwi (1032191012)
Zuhriyana Nilam Sari (1032191051)
Riska Alya Alawiyah (1032191054)

Progam Studi S-1 Keperawatan


Fakultas Kesehatan
Universitas MH Thamrin
T.A 2021-2022
Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Patofisiologi Kelaninan Kongenital pada Digestive dan Asuhan Keperawatan
pada anak: Hirschprung”.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Ns. Helena Golang, S.Kep., M.Kep.,Sp.pada mata kuliah Keperawatan Anak II.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang asuhan
keperawatan Hirschprung bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ns. Helena Golang, S.Kep., M.Kep.,Sp. selaku
dosen mata kuliah Keperawatan Anak III yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 22 September 2021


Daftar Isi
Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan.............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hirschprung ..........................................................................
2.2 Klasifikasi Hirschprung ......................................................................
2.3 Etiologi Hirschprung .........................................................................
2.4 Patoflodiagram Hirschprung...............................................................
2.5 Manifestasi klinis Hirschprung............................................................
2.6 Pemeriksaan penunjang atau diagnostic Hirschprung.........................
2.7 Penatalaksanaan medis Hirschprung...................................................
2.8 Komplikasi Hirschprung.....................................................................
2.9 Asuhan keperawatan Hirschprung.......................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan..........................................................................................
3.2 Saran....................................................................................................
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan kongenital adalah kelainan pada tubuh yang muncul sejak
dari periode konsepsi sel telur. Pada umumnya bayi dengan kelainan
kon-genital dilahirkan dengan berat badan lahir rendah dan dapat meninggal
dalam minggu pertama kehidupannya bila kelainannya berat.

Menurut World Health Organization (WHO), kelainan kongenital adalah


suatu keadaan yang umum. Dengan keberhasilan penanggulangan penyakit
akibat infeksi dan gangguan gizi, masalah yang akan muncul ke permukaan
adalah masalah genetik (termasuk di dalamnya kelainan bawaan). WHO
memperkirakan 260.000 kematian (7% dari seluruh ke-matian neonatus) yang
disebabkan oleh kelainan kongenital di tahun 2004. Di negara maju, 30% dari
seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri dari penderita dengan
kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya. Kelainan kongenital dapat
terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah sistem digestive (sistem
pencernaan manu-sia). Beberapa diantaranya hirschprung, atresia ani, dan
atresia ductus hepaticus. Penyakit hirschprung merupakan penyakit yang terjadi
pada usus, dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus
secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit hirschprung
saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak
ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong seperti fungsi
fisiologis seharusnya (Henna N, 2011). Pada ta- hun 1886, Harold Hirschprung
menemukan penyakit ini untuk pertama kalinya. Ia menyimpulkan bahwa
penyakit hirschprung dapat mengakibatkan nyeri abdomen dan konstipasi pada
bayi atau anak-anak, namun hal ini belum diketahui secara pasti. Maka dengan itu
pada penjelasan ini kami akan memaparkan materi tentang hirschprung.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa saja konsep teori dari penyakit hirschprung?
1.2.2 Bagaimana dengan asuhan keperawatan dari penyakit hirschprung?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan
hirschprung
BAB II
Pembahasan

2.1 Definisi

Penyakit hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus,


dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara
ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit hirschsprung,
saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak
ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi
fisiologis seharusnya (henna n, 2011).

Penyakit hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering


dialami oleh neonatus (bayi baru lahir 28 hari pertama kehidupan). Demikian
pula, kebanyakan kasus hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa
kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (izadi m,
2007). Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan
berat lahir ≥ 3kg yang terlambat mengeluarkan tin-ja, hal ini juga dapat
dialami oleh bayi yang lahir kurang bulan (premature).

2.2 Klasifikasi

Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, sel ganglion


Auerbach dan Meissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut
otot hipertofik. Aganglionosis ini mulai dari anus ke oral.

Penyakit Hirchprung dapat di klasifikasikan dalam 4 kategori:


a. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD Klasik (75%) segmen
aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki disbanding dengan anak perempuan.
b. Penyakit Hirschsprung segmen panjang (20%) daerah agonglionosis
dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan
sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan.
c. Total colonic aganglionosis (3-12%) bila segmen aganglionok
mengenai seluruh (5-11%)
d. Kolon Aganglionik Universal, bila segmen aganglionik meliputi
seluruh usus sampai pylorus (5%)

2.3 Etiologi

Penyakit Hirschsprung terjadi ketika saraf di usus besar tidak terbentuk


dengan sempurna. Saraf ini berfungsi untuk mengontrol pergerakan usus
besar. Oleh karena itu, jika saraf usus besar tidak terbentuk dengan sempurna,
usus besar tidak dapat mendorong feses keluar. Akibatnya, feses akan menumpuk
di usus

besar.

Penyebab masalah pada saraf tersebut belum diketahui secara pasti.


Pada beberapa kasus, penyakit Hirschsprung diduga terkait dengan faktor
keturunan atau genetika. Selain itu, bayi laki-laki juga ditemukan lebih berisiko
terhadap penyakit Hirschsprung dibandingkan bayi perempuan.

2.4 Patflodiagram
Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada
perkembangan esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan
mengalami migrasi ke arah craniocaudal kemudian memasuki fase
perkembangan usus pada usia gestasi minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel,
et al., 2001; Georgeson, et al., 2010). Abnormalitas seluler dan molekuler dalam
perkembangan enteric nervous system, yaitu tidak sempurnanya migrasi
neural crest cells adalah penyebab utama Hirschsprung’s disease. Fenotif
Hirschsprung disebabkan oleh besarnya kemungkinan abnormalitas selama
perkembangan enteric nervous system dan menahan migrasi neural crest-
derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest tertahan, maka akan semakin
panjang segmen usus yang tidak memiliki sel ganglion (aganglionosis). Faktor
lain yang juga dicurigai sebagai penyebab berkembangnya Hirschsprung’s
disease antara lain berubahnya matriks 9 ekstraselular, abnormalitas faktor
neutrophic, dan neural cell adhesion molecules (George-son, 2010).

Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa


faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease , yaitu
kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang
menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam
patofisiologi Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap
berkaitan dengan dua hal utama, genetik dan microenvironmental,
dalam mempengaruhi perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu,
beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain
hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum,
imperforated anal, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism,
Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015)

2.5 Manifestasi Klinis

a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam kehidupan

b. Konstipasi kronik terlihat pada bulan pertama kehidupan dengan terlihat


seperti pita

c. Obstruksi usus pada periode neonatal

d. Nyeri abdomen dan distensi


e. Gangguan pertumbuhan

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan radiologi
d. Pemeriksaan anorectal manometry
e. Biopsy yaitu dengan mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
pengisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
f. Biopsy otot rectum yaitu dengan pengambilan otot rectum, dilakukan
dibawah narkos. Pemeriksaan bersifat traumatic.
g. Pemeriksaan aktifitas neropinefrin dari jaringan biopsy usus.
h. Foto abdomen untuk mengetahui adanya penyumbatan kolon

2.7 Penatalaksanaan Medis

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat,


maka kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah
komplikasi yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze,
et al., 2011). Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan
merupakan terapi definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013).
Tujuan di-lakukannya pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus
(aganglionic) dan menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa
mempengaruhi kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum
dilakukan pembedahan, penderita harus mendapatkan beberapa
tindakan,antara lain pemberian cairan dan elektrolit, antibiotic serta irigasi
menggunakan salin hangat melalui rektal secara berkala untuk mengurangi
tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan mencegah enterokolitis (Wang,et
al., 2009; Moore, 2010). Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma pada
saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal. Kemudian Rehbein
memperkenalkan Teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic colon sampai di
atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan dilatasi adekuat
pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan bahwa
konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang
radikal digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan


pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli
bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada
neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada
coloanal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy
secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode
laparotomi (Jona,2005; Thomson, et al., 2015).

2.8 Komplikasi

a. Obstruksi usus
b. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
c. Konstipasi
d. Entrokolitis
e. Struktur anal dan inkontinensia (post operasi)
f. Sepsis
g. Defisiensi gizi

2.9 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

a. Identitas

Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan
dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus
sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon
atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
(Ngastiyah, 1997).

b. Riwayat Kesehatan

- Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang
sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain
adalah muntah dan diare.

 Riwayat Kesehatan sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi


total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi
mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau
busuk dapat terjadi.

 Riwayat Kesehatan dahulu

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit


hirschprung
 Riwayat Kesehatan keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.

c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis.


Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan
hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan
gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan
pada kondisi syok atau sepsis. Pada pemeriksaan fisik fokus area pada
abdomen, lipatan pada, dan rectum akan didapatkan:

1) Inspeksi: tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal.


Pemeriksaan rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan
feses seperti pita dan berbau busuk.
2) Auskultasi: pada fase awal didapatkan penurunan bisisng usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
3) Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami kembung.
4) Palpasi: teraba dilatasi kolon abdominal.

 Sistem kardiovaskuler: Takikardia.


 Sistem pernafasan: Sesak napas, distress pernapasan.
 Sistem pencernaan: Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang,
muntah bewarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare
kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot.
 Sistem saraf: Tidak ada kelainan.
 Sistem lokomotor/ musculoskeletal: Gangguan rasa nyaman: nyeri.
 Sistem endokrin: Tidak ada kelainan.
 Sistem integument: Akral hangat, hipertermi.
 Sistem pendengaran: Tidak ada kelainan
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
No SDKI SLKI SIKI
1. Resiko Konstipasi Eliminasi Fekal Manajemen eliminasi fekeal
Definisi: beresiko Kriteria hasil: 1. Monitor buang air besar
mengalami penurunan 1. Keluhan defeksi (warna, frekuensi,
frekuensi normal lama dan sulit konsistensi, volume)
defekasi disertai 54321 2. Monitor tanda dan gejala
kesulitan dan 2. Distensi abdomen diare, konstipasi
pengeluaran feses tidak 54321 3. Berikan air hangat setelah
lengkap. 3. Konsistensi feses makan
Factor resiko: 54321 4. Sediakan makanan tinggi
 Penurunan mobilitas serat
ganstrointestinal 5. Edukasi dengan
 Ketidakcukupan menjelaskan jenis
asupan serat makanan yang dapat
 Ketidakcukupan membantu meningkatkan
asupan cairan keteraturan peristaltic usus
 Kelemahan otot 6. Anjurkan mengkonsusmsi
abdomen makanan yang
mengandung tinggi serat
7. Anjurkan menignkatkan
asupan cairan, jika tidak
ada kontraindikasi
2. Resiko Keseimbangan Cairan Pemantauan Cairan
ketidakseimbangan Kriteria Hasil: 1. Monitor berat badan
cairan tubuh  Turgor kulit 2. Monitor elastisitas atau
Definisi: beresiko 54321 turgor kulit
mengalami penurunan,  Membran Mukosa 3. Monitor jumlah, warna
peningkatan atau 54321 dan berat jenis urine
percepatan perpindahan 4. Monitor hasil pemeriksaan
cairan dari serum seperti osmolaritas
intravaskuler, serum, hematokrit,
interstisial atau natrium, kalium
intraselular 5. Monitor intake dan output
cairan
6. Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
7. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan

3. Defisit Nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


Gejala tanda mayor: Kriteria Hasil: 1. Identifikasi status nutrisi
 Subjektif: - 1. Verbelisasi 2. Monitor asupan makanan
 Objektif: keinginan untuk 3. Monitor berat badan
 Berat badan meningkatkan 4. Monitor hasil pemeriksaan
menurun nutrisi laboratorium
minimal 10% 54321 5. Berikan makanan tinggi
dibawah rentang 2. Nyeri abdomen serat untuk mencegah
ideal. 54321 konstipasi
Gejala tanda minor: 3. Diare 6. Berikan makanan tinggi
 Subjektif: 54321 kalori dan protein jika
 Kram/nyeri 4. Frekuensi makan perlu
abdomen 54321 7. Anjurkan posisi duduk
 Nafsu makan jika mampu
menurun 8. Kolabirasi pemberian
 Objektif: medikasi sebelum makan
 Bising usus seperti Pereda nyeri
hiperaktif 9. Kolaborasi dengan ahli

 Diare gizi untuk menentukan


jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan
jika perlu

3. Implementasi

Implementasi yang dimaksud merupakanpengolahan dari


perwujudan rencana tindakan yang meliputi kegiatan, yaitu: validasi, recana
keperawatan,mendokumentasikan rencana keperawatan,memberikan
asuhan keperawatan dalam menyimpulkandata serta melaksanakan advis (saran
atau nasehat)dokter dan ketentuan rumah sakit.

4. Evaluasi

Merupakan tahap akhir dari suatu proseskeperawatan yang


merupakan perbandingan yangsistematis dan terencana kesehatan pasien
dengantujuan yang telah ditetapkan dilakukan dengan caramelibat pasien
dan sesama tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Amiel, J., & Lyonnet, S. (2001). Hirschprung disease, associated syndromes, and
genetics: a review. Journal of medical genetics. 38(11), 729-739

Carpenito, Lynda Juall. (2003). Buku saku diagnosis keperawatan. Jakarta: ECG

Izadi. M., Mansour-Ghanaei, F., Jafarshad, R., Joukar, F., Bagherzadeh, A.H., &
Tareh, F. (2007). Clinical manifestations of hirasprung disease: a 6-year
course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran.
Iranian Cardiovascular Research Journal. 1(1),25-31.

Kessmann, J. (2006). Hirsprung disease: diagnosis and management. American


family phycisian. 74(8), 1319-1322

Lakshmi, P., James.W. (2008). Hiraschprung disease. Hershey medical center.


44-46

PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai