Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

“HIRSCPRUNG PADA ANAK”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan anak

Pengampu: Endang Zulaicha S., S.Kp

Oleh Kelompok 12:

1. Yuni Eka Cahyani (J210150114)


2. Yessi Nur Bahtari M (J210150115)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah Keperawatan Anak dengan baik, yang berjudul
“Hirscphrung Pada Anak”. Makalah ini disusun untuk mememuhi tugas dan
diajukan untuk memenuhi standar proses pembelajaran pada Mata Kuliah
Keperawatan Anak.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih


kepada:

1. Ibu Dosen Endang Zulaicha S., S.Kp selaku dosen pengajar Mata Kuliah
Keperawatan Anak yang telah memberi bimbingan ilmu kepada kami
2. Teman-teman angkatan 2015 terutama kelas C dalam rangka mendukung
serta mensuport kami untuk menyelesaikan makalah ini
3. Prodi Keperawatan S1 Universitas Muhamadiyah Surakarta dan pihak lain
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukunganya,
ssemoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang lebih baik

Meskipun kami telah berusaha segenap kemampuan, namun kami sebagai


penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami sangat mengaharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi
memperbaiki agar menjadi lebih baik dikemudian hari. Akhir kata kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran dalam
dunia Keperawatan.

Surakarta, 28 Maret 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus
besar merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 meter yang
terdiri dari sekum, kolon, dan rectum. Dimana diameter usus besar lebih
besar dari pada usus kecil. Semakin ke bawah menuju rectum, diameternya
akan semakin kecil (Izadi M, 2007). Secara fisiologis, usus besar berfungsi
untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain itu, usus besar juga
berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya keluar. Inervasi
usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi usus besar sangat
berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa (Meissner’s) dan pleksus
myenteric (Aurbach’s) pada usus besar bagian distal. Apabila sel ganglion
tersebut tidak ada, maka akan timbul penyakit yang disebut
Hirschsprung’s Disease (Izadi M, 2007).
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus,
dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus
secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit
Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot
pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat
terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).
Pada tahun 1886, Harold Hirschsprung menemukan penyakit ini untuk
pertama kalinya. Ia menyimpulkan bahwa penyakit Hirschsprung dapat
mengakibatkan nyeri abdomen dan konstipasi pada bayi atau anak-anak,
namun hal ini belum diketahui patofisiologinya secara pasti. Hingga tahun
1993, dimana Robertson dan Kermohan menyatakan bahwa megakolon
yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik di
bagian distal akibat defisiensi sel ganglion pada organ usus (Hidayat M,
2009).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling
sering dialami oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus
Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat
terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M, 2007).
Terdapat kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung dipengaruhi oleh
riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian penyakit
Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup,
dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan
mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan
perbandingan 4:1.
Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir ≥ 3kg yang terlambat mengeluarkan tinja, hal ini juga
dapat dialami oleh bayi yang lahir kurang bulan. Penyakit Hirschsprung
dapat berkembang menjadi buruk dan dapat mengancam jiwa pasien,
apabila terjadinya keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini
(Lorijn,2006). Penegakan diagnosis dini merupakan hal yang sangat
penting, agar dapat lebih cepat merujuk pasien ke dokter spesialis,
sehingga pasien memperoleh penanganan yang lebih baik. Maka dari itu,
makalah ini disusun untuk membahas mengenai gejala serta tanda yang
sering timbul dan khas pada penyakit Hirschsprung, dan membahas hal-hal
yang diperlukan dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung agar dapat
menerapkan tindakan keperawatan secara tepat dan benar serta mampu
mendiagnosis lebih dini, yang nantinya dapat memperkecil angka
morbiditas maupun mortalitas dari penyakit ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari hirschsprung?
2. Apa etiologi dari hirschsprung?
3. Apa tanda dan gejala terjadinya hirschsprung?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya hirschsprung?
5. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan dari hirschsprung?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada penyakit
hirschsprung?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang hirschsprung?
8. Bagaimana asuhan keperawatan untuk penyakit hirschsprung?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari hirschsprung
2. Untuk mengetahui etiologi dari hirschsprung
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala terjadinya hirschsprung
4. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya hirschsprung
5. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari hirschsprung
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan pada saat
hirschsprung
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hirschsprung
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang tepat untuk penyakit
hirschsprung
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Penyakit Hirschprung disebut juga kongenital aganglionik
megacolon. Penyakit Hirschsprung adalah suatu kondisi yang
mempengaruhi usus besar (kolon) dan menyebabkan masalah terkait
dengan proses pembuangan kotoran. Penyakit Hirschsprung hadir ketika
bayi lahir (kongenital) dan diakibatkan oleh sel-sel saraf yang hilang pada
otot sebagian usus bayi. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung
seringkali mengalami sembelit. Dalam kasus penyakit Hirschsprung yang
parah, anak yang baru lahir mengalami penghambatan pada usus dan
menghambat pergerakan usus.
Kelainan bawaan berupa tidak adanya sel ganglion parasimpatis
pada kolon
(Taufan Nugraha, 2011).

B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach
dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus kearah
proksimal, 70 % terbatas didaerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh
kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus dan pilorus.
Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon
kongenital adalah diduga karena terjadi faktor genetik dan lingkungan
sering terjadi pada anak dengan Down syndrome.
Kegagalan sel neural chestembrional yang bermigrasi kedalam
usus atau kegagalan peksus mesentrikus dan submukosa untuk
berkembang ke kraniokaudal dan submukosa untuk berkembang
kraniokaudal di dinding usus. (Taufan Nugraha, 2011)
Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa
berjalan disepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot
yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltiik).
Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion
yang terletak dibawah lapisan otot.
`

A. DEFINISI HIRSCHSPRUNG
Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan, malformasi
kongenital yang dikarakteristikkan oleh tidak adanya sel ganglion intrinsik
parasimpatis dari plexus myentericus dan submukosa sepanjang saluran
pencernaan. Aganglionosis menandakan kegagalan enteric nervous system
(ENS), dimana sel-sel neural crest gagal menginervasi saluran
gastrointestinal selama perkembangan embrionik (Amiel & Lyonnet,
2001; Miao et al., 2009).
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan
paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara
ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung,
saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus
tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong,
seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering
dialami oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung
terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis
hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M, 2007). Terdapat
kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung dipengaruhi oleh riwayat
atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian penyakit
Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup,
dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan
mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan
perbandingan 4:1.
Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat
lahir ≥ 3kg yang terlambat mengeluarkan tinja, hal ini juga dapat dialami
oleh bayi yang lahir kurang bulan. Penyakit Hirschsprung dapat
berkembang menjadi buruk dan dapat mengancam jiwa pasien, apabila
terjadinya keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini (Lorijn,2006).

B. ETIOLOGI
Hirschprung atau mega colon merupakan kelainan kongenital,
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor genetik,
lingkungan dan interaksi keduanya (Effendi & Indrasanto, 2006 dalam
Kosim, dkk., 2012). Faktor genetik dikelompokkan menjadi tiga jenis
meliputi kelainan mutasi gen tunggal, aberasi kromosom dan
multifaktorial (gabungan genetik dan pengaruh lingkungan) sering
terjadi pada anak dengan Down syndrome.. Sementara faktor non-
genetik/lingkungan terdiri dari penggunaan obat-obatan selama hamil
terutama pada trimester pertama (teratogen), paparan bahan kimia dan
asap rokok, infeksi dan penyakit ibu yang berpengaruh pada janin
sehingga menyebabkan kelainan bentuk dan fungsi pada bayi yang
dilahirkan.
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach
dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus kearah
proksimal, 70 % terbatas didaerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh
kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus dan pilorus.
Kegagalan sel neural chestembrional yang bermigrasi kedalam
usus atau kegagalan peksus mesentrikus dan submukosa untuk
berkembang ke kraniokaudal dan submukosa untuk berkembang
kraniokaudal di dinding usus. (Taufan Nugraha, 2011)
Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa
berjalan disepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot
yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltiik).
Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion
yang terletak dibawah lapisan otot.
`
C. TANDA DAN GEJALA
 GEJALA Berdasarkan usia penderita gejala penyakit
Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat
90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak 3 dapat
mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah
bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila
mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih
jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena
tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses
jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman, 2008)
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni,
konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik
usus dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi
fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang
komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut yang
dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman, 2008).
 TANDA
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal
yang padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar
dengan bau feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)

D. PATOFISIOLOGI
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal
dan
sphincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian
yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga
bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.1Dasar
patofisiologi
dari penyakit hirschprung adalah tidak adanya gelombang propulsif dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada
usus yang
terkena.2,3

E. KOMPLIKASI
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat
pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose
serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan
terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu
tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat
terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan
kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.

2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang
dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus
halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus
makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi.
Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik.
Enterokolitis terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama
jika segmen usus yang terkena panjang
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan
berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling
parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada
megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut
tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus
tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan
sering.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


(Ashwill & James, 2007; Hockenberry & Wilson, 2007).
1. Wash out
Pemasangan selang kateter kemudian diisi dengan NaCl 0,9% hangat,
untuk merangsang peristaltik, mengurangi distensi, mengeluarkan feces
dan persiapan operasi.
2. Colostomy
Pengangkatan segmen aganglionik diikuti dengan anastomose dengan cara
mengeluarkan kolon ke permukaan abdomen untuk mengalihkan arus
feces sementara dilakukan pada usia < 12 bulan.
3. Pull-Through
Prosedur operasi dengan menarik usus melalui anus, pada neonatus
setelah dikolostomi dapat di operasi lagi bila BB 9-10 kg. Pada bayi dan
anak yang lebih besar yang terlambat didiagnosa, setelah kolostomi baru
di operasi lagi 3-6 bulan kemudian.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising
usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari
terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka
feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
kembung pada perut menghilang untuk sementara.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada
foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,
meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
– Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
– Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi.
– Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
b. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum
c. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
d. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
( Darmawan K, 2004 : 17 )
e. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat
penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa
(Mansjoer,dkk 2000 hal 380 )
f. Pemeriksaan colok anus, Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan
jepitan dan kadang disertai tinja yang menyemprot.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin,
agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB,
distensi abdomen, kembung, muntah.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam
setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan
bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
e. Riwayat Nutrisi meliputi (masukan diet anak dan pola makan
anak).
f. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada
perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang
menderita Hirschsprung.
h. Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
i. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
j. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
k. Pemeriksaan fisik
1. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat
dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
2. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
3. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi
apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
4. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
5. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus,
adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah
(frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
2. Diagnosa
Pre operasi:
1. Konstipasi b.d berkurangnya fungsi usus; peristaltik tidak adekuat
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d berkurangnya
fungsi usus
Post operasi:
1. Kerusakan integritas kulit b.d kolostomi dan pembedahan
2. Risiko infeksi b.d pembedahan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
pembedahan gastrointestinal
4. Nyeri akut b.d insisi bedah
5. Kurang pengetahuan orang tua b.d kurangnya informasi tentang
kebutuhan pembedahan, irigai atau perawatan ostomi
6. Perubahan pola eliminasi fekal

3. intervensi
Asuhan keperawatan pada anak dengan Hirschprung terdiri dari asuhan
keperawatan pre dan post operasi.
1. Asuhan keperawatan pre operasi.
Pillitteri (2011) menyebutkan asuhan keperawatan pre operasi meliputi:
a) Pengkajian
Data yang dapat ditemukan pada pengkajian meliputi riwayat
keterlambatan pengeluaran mekonium dalam 48 jam pertama setelah lahir,
muntah berwarna empedu, adanya konstipasi, distensi abdomen, nafsu
makan berkurang atau anak tidak mau minum ASI, tidak adanya sel
ganglia pada pemeriksaan biposi rectal, pemeriksaan barium enema
menunjukkan hasil adanya zona transisi diantara zona dilatasi normal dan
segmen aganglionik, dapat disertai enterokolitis.
b) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada pre operasi antara lain:
1. Konstipasi b.d berkurangnya fungsi usus; peristaltik tidak adekuat
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d berkurangnya
fungsi usus
c) Rencana Tindakan Keperawatan
Dx I: Konstipasi
Hasil yang diharapkan: anak dapat buang air besar normal melalui
kolostomi atau enema.
Intervensi:
1. Kaji adanya konstipasi: durasi, pemahaman orang tua tentang
konstipasi, konsistensi feses, adakah penyakit lain
2. Auskultasi bising usus secara periodic
3. Pantau adanya distensi abdomen
4. Kolaborasi untuk pemasangan nasogastrik tube, rectal tube dan enema
5. Kolaborasi untuk pemberian pelunak feses
Dx II: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Hasil yang diharapkan: berat badan anak dapat dipertahankan pada kurva
persentil di grow chart
Intervensi:
1. Kaji status nutrisi anak
2. Timbang berat badan secara periodic, misalnya 3 hari sekali
3. Pantau hasil laboratrium sesuai indikasi
4. Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral

2. Asuhan keperawatan post operasi


a) Pengkajian
Integritas dan fungsi stoma meliputi warna stoma; kolaps atau retraksi,
adakah perubahan; laserasi stoma; perdarahan, jika iya dimana dan berapa
jumlahnya; kondisi kulit periostoma; jumlah, warna dan konsistensi cairan
stoma.
b) Diagnosa Keperawatan
Ashwill dan James (2007) menyampaikan diagnosa keperawatan pada post
op kolostomi antara lain:
1. Kerusakan integritas kulit b.d kolostomi dan pembedahan
2. Risiko infeksi b.d pembedahan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
pembedahan gastrointestinal
4. Nyeri akut b.d insisi bedah
5. Kurang pengetahuan orang tua b.d kurangnya informasi tentang
kebutuhan pembedahan, irigai atau perawatan ostomi
6. Perubahan pola eliminasi fekal
c) Rencana Tindakan Keperawatan
Dx I: Kerusakan integritas kulit
Hasil yang diharapkan: daerah kolostomi bersih dan bebas dari eksudat,
kemerahan atau drainase; daerah kolostomi utuh tanpa perdarahan atau
iritasi kulit (Doenges, Moorhouse, & Geissler 2000).
Intervensi:
1. Observasi daerah stoma
2. Ukur stoma secara periodik
3. Observasi adanya komplikasi seperti prolaps, sianosis & nekrosis
4. Beri pelindung kulit yang efektif seperti stomahesiv
5. Kosongkan, irigasi dan bersihkan kantong ostomi secara rutin dengan
alat yang tepat
6. Lakukan penggantian kantong sesuai indikasi
7. Evaluasi produk perekat dan kecocokan kantong ostomi

Dx II: Risiko infeksi


Hasil yang diharapkan: anak tidak febris, tanpa tanda-tanda infeksi
Intervensi:
1. Kaji tanda-tanda infeksi daerah ostomi dan sistemik
2. Obervasi tanda vital terutama suhu tubuh
3. Berikan kompres air hangat jika anak demam
4. Pantau hasil laboratorium sesuai indikasi, seperti darah lengkap
5. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik dan antipiretik
Dx III: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Hasil yang diharapkan: anak dapat mentoleransi diit yang diberikan, bising
usus normal, feses keluar melalui ostomi.
Intervensi:
1. Kaji status nutrisi
2. Auskultasi bising usus
3. Timbang BB setiap 3 hari sekali
4. Berikan diit bertahap sesuai indikasi
5. Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral maupun enteral
Dx IV: Nyeri akut
Hasil yang diharapkan: anak bebas dari nyeri dan dapat berpartisipasi
dalam aktifitas sehari-hari seperti biasa
Intervensi:
1. Lakukan pengkajian nyeri (PQRST)
2. Berikan tindakan kenyamanan seperti mengubah posisi
3. Ajarkan tehnik relaksasi sesuai tingkat usia anak
4. Kolaborasi untuk pemberian analgetik

Dx V: Kurang pengetahuan orang tua


Hasil yang diharapkan: orang tua menyebutkan tujuann irigasi,
bertanggungjawab terhadap perawatan ostoma.
Intervensi:
1. Kaji pengetahuan orang tua tentang perawatan stoma
2. Ajarkan pada orang tua tentang perawatan stoma
3. Libatkan orang tua secara langsung dalam perawatan stoma
4. Ajarkan orang tua memilih pakaian yang sesuai
5. Evaluasi kemampuan orang tua melakukan perawatan stoma baik
kognitif maupun psikomotor

Dx VI. Perubahan pola eliminasi fekal


Kriteria hasil: eliminasi fekal sesuai dengan kondisi post op kolostomi
Intervensi:
1. Monitor pengeluaran feses meliputi frekuensi, konsistensi, bentuk,
volume dan warna
2. Auskultasi bising usus
3. Laporkan jika ada bising usus abnormal
4. Evaluasi adanya inkontinensia fekal maupun konstipasi
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN PENUTUP

SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of


Hirschsprung’s Disease-A Clinicopathological Experience. Biomedica; 27:
1-4
Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A
6-year course review on admitted patients in Guilan, North Province of
Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical
Center; 44-46
De Lorijn F, Reitsma JB, Voskuijl WP, Aronson DC, Ten Kate FJ,
Smets AM, Taminiau JA, Benninga MA. Diagnosis of Hirschsprung's
disease: a prospective, comparative accuracy study of common tests. J
Pediatr. 2005 Jun;146(6):787-92.
Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322
Amiel, J. & Lyonnet, S. (2001). Hirschprung disease, associated
syndromes, and genetics: a review. Journal Med Genet. p.729-730.
(www.jmedgenet.com). Downloaded from jmg.bmj.com on July 4, 2013
Ashwill, J.W., & James, S.R. (2007). Nursing care of children. 3rd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Geissler (2000). Recana asuhan
keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Edisi 3. (Kariasa, I.M. & Sumarwati alih bahasa)
Jakarta: EGC
Pillitteri, A. (2011). Maternal & child health nursing: Care of the
childbearing & childrearing family. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins

Anda mungkin juga menyukai