Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN KELOMPOK 5.

TUTORIAL KEPERAWATAN ANAK

SKENARIO 3

Tutor : P. Indah puspitasari, S.Kep.,

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SURYA GLOBAL

YOGYAKARTA

2018
PENYUSUN

1. YANTI SUSILAWATI 04.16.4389 KETUA


2. SIPA MAULANI 04.16.4381 NOTULEN

ANGGOTA
3. SITI MAR’ATI SOLIHA 04.16.4382
4. SYAFITRI 04.16.4384
5. SOFIA 04.16.4383
6. WAHIDA NURKOMALASARI 04.16.4386
7. NANI YULIANI 04.15.4192
BAB I

PENDAHULUAN

A. Penulisan Kasus

“KENAPA PERUT BAYIKU BESAR BEGINI ?”

Bayi laki-laki usia 5 hari, dibawa orangtua ke IGD RS dengan keluhan utama
perut membesar dan belum BAB. Riwayat perinatal : lahir spontan dibantu oleh
bidan, 3 hari belum keluar mekoniumran CM, rewel, BB: 2900 g, nadi: 110
x/menit, RR: 30x/menit, suhu: 36,8 C, prut kembung, muntah, bising usus
meningkat, lubang anus paten. Hasil foto colon in loop: tampak bayangan gas
usus yang prominen, mega olon short segment. Diagnosis medis hisprung dan
rencana terapinya adalah kolostomi, orangtua tampak cemas dan mengatakan
khawatir jika terjadi apa-apa pada bayinya saat operasinya nanti.

B. Daftar Kata Sulit


1. Hisprung
2. Mekonium
3. Mega colon short segmen
4. Prominen
5. Kolostomi

C. Daftar Pertanyaan
1. Penyebab bayi mengalami hisprung ?
2. Penyebab perut membesar ?
3. Peran perawat pada kasus ?
4. Mengapa pasien mengalami muntah dan bising usus meningkat ?
5. Ciri ciri yang bisa kita lihat anak yg memiliki penyakit hisprung ?
6. Rencana terapi lain, apakah bisa menggunakan obat ?
7. Bagaimana cara pencegahan penyakit hisprung ?
8. Apa dampak pada psien jika tidak segera dioperasi ?
9. Apakah dalam menangani hisprung adakah skalanya sebelum dilakukan
tindakan operasi ?

D. LO
1. IRK hisprung ?
2. Definisi hisprung ?
3. Etiologi hisprung ?
4. Fatofisiologi hisprung ?
5. Manifestasi hisprung ?
6. Komplikasi hisprung ?
7. Pemeriksaan penunjang dari hisprung ?
8. Penatalaksanaan hisprung ?
9. Askep hisprung ?
10. Discharge planning pasien hisprung ?
11. Upaya promotif dan preventif pada anak dan keluarga pada pasien
hisprung ?
12. Masalah keluarga yang muncul pada keluarga pasien yang terkena
hisprung ?
13. EBN mengenai hisprung?
BAB II

HASIL

A. Klarifikasi Istilah

1. Hisprung
Feses terjebak dalam usus besar, karena usus tidak mempunyai saraf
sehingga usus melemah dan menyebabkan konstifasi dan pembengkakkan
dalam perut
2. Mekonium
Merupakan kotoran atau feses bayi selama dalam rahim
3. Mega colon short segmen
Mega kolon yang pendek salah satu macam macam penyakit hisprung
4. Prominen
Menonjol atau nampak
5. Kolostomi
Pelubangan pada bagian dinding perut untuk mengeluarkan feses

B. Daftar Pertanyaan
1. Penyebab bayi mengalami hisprung ?
Jawab :
- genetik
- Tidak ada saraf pada bagian kolonnya
- Pada proses dalam kandungan pembentukan organ bayi tdk sempurna
- Makanan
2. Penyebab perut membesar ?
Jawab :
Karena si bayi tidak memiliki sistem persyarafan sehingga tidak bisa
mengeluarkan tinja
3. Peran perawat pada kasus ?
Jawab :
Melakukan pendekatan pada keluarganya supaya tidak khawatir
Melakukan pengkajian contoh TTV, berkolaborasi dengan dokter,memberi
info kepada orangtua.
4. Mengapa pasien mengalami muntah dan bising usus meningkat ?
Jawab :
Karena asam lambung meningkat sehingga px mengalami mual dan kerja
usus meninggkat
5. Ciri ciri yang bisa kita lihat anak yg memiliki penyakit hisprung ?
Jawab :
- Perut membesar
- Muntah (berwarna hijau)
- Keadaan pasien lemah
- Pasien tidak mau makan
6. Rencana terapi lain, apakah bisa menggunakan obat ?
Jawab :
Tidak ada, karena feses sudah menumpuk dan ditakutkan terjadi infeksi
Anak yang terkena hisprung harus dilakukan operasi (kolostomi, ususnya
di potong yang tidak mempunyai saraf lalu di sambungkan langsung
dengan usus)
7. Bagaimana cara pencegahan penyakit hisprung ?
Jawab :
Apabila penhebabnya bukan karena genetik bisa di cegah dengan pola
asuh ibu kepa bayinya
8. Apa dampak pada psien jika tidak segera dioperasi ?
Jawab :
Dampaknya anak bisa meninggal dunia, bissing usus semakin meningkat,
terjadinya insfesi, rewel.
9. Apakah dalam menangani hisprung adakah skalanya sebelum dilakukan
tindakan operasi ?
Jawab :
Hisprung mega pendek dan panjang tetap akan dilakukan tindakan operasi
C. LO
1. IRK hisprung ?
Jawab :
 Al baqarah : 155-157 (penyakit sebagai ujian)
 HR. Bukhori dan Muslim (menggurkan dosanya)
 Al-Isra : 82 (segala penyakit pasti ada penawarnya)
2. Definisi hisprung ?
Jawab :
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus.
(Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus.
(Donna L. Wong, 2003 : 507).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling
sering dialami oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus
Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat
terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M, 2007).
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus,
dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus
secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit
Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot
pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat
terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).
3. Etiologi hisprung ?
Jawab :
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus
Auerbach di kolon.Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai
rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, 1985 : 1134)
Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”. Kegagalan sel
neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus. (Suriadi,
2001 : 242).
4. Fatofisiologi hisprung ?
Jawab :
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub
mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum
dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik )
dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran
cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon
( Betz, Cecily & Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk
kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus
mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,
menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah
itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut
melebar ( Price, S & Wilson ).
5. Manifestasi hisprung ?
Jawab :
 Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
 Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat
tinja seperti pita.
 Obstruksi usus dalam periode neonatal.
 Nyeri abdomen dan distensi.
 Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi
abdomen. Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit
Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam
pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah
24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat
dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang
mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan
karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan
mudah (Kessman, 2008)
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada
beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga
usia kanak-kanak (Lakhsmi, 2008).
Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus
dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi
fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang
komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut
yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi
(Kessman, 2008).
TANDA
1) Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2) Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi
kotoran.
3) Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4) Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal
yang padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot
keluar dengan bau feses dan gas yang busuk.
5) Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah
terdapat komplikasi peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)
6. Komplikasi hisprung ?
Jawab :
 Obstruksi usus
 Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
 Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)
 Gawat pernapasan (akut)
 Enterokolitis (akut)
 Striktura ani (pasca bedah)
 Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)
7. Pemeriksaan penunjang dari hisprung ?
Jawab :
Pemeriksaan Diagnostik
 Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
 Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan
dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
 Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada
penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin
enterase.
 Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139)
 Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
 Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
 Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
 Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna
dan eksterna.
(Betz, 2002 : 197).
8. Penatalaksanaan hisprung ?
Jawab :
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan
kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang
dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4
bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
 Prosedur Duhamel:Penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
 Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon
berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.
 Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap
utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
 Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang
mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik
pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua
atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi.
Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
 Persiapan prabedah
Lavase kolon
Antibiotika
Infuse intravena
Tuba nasogastrik
 Perawatan prabedah rutin
 Pelaksanaan pasca bedah
 Perawatan luka kolostomi
 Perawatan kolostomi
Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan
suhu.
 Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk
diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan
suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana
membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.

(Betz, 2002 : 198)

9. Askep hisprung ?
Jawab :
I. Pengkajian
Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin,
agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
 Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB,
distensi abdomen, kembung, muntah.
 Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam
setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan
bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
 Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
 Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
 Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada
perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang
menderita Hirschsprung.
 Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
 Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
 Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
v Pemeriksaan Fisik
 Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat
dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
 Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
 Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi
apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
 Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
 Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus,
adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah
(frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
II. Diagnosa Keperawatan
 Pre operasi
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis
usus dan tidak adanya daya dorong.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang inadekuat.
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi
abdomen.
 Post operasi
1) Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan
pembedahan
2) Nyeri b/d insisi pembedahan
3) Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan
perawatan kolostomi.
III. Intervensi Keperawatan
v Pre operasi
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus
dan tidak adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria
defekasi normal, tidak distensi abdomen.
Intervensi : Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan
rencana selanjutnya
 Pantau jumlah cairan kolostomi
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk
penggantian cairan
 Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi
terganggu.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi
diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.
Intervensi :
 Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
 Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400
kalori
 Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan

 Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.


Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak
mengalami dehidrasi, turgor kulit normal.

Intervensi :

 Monitor tanda-tanda dehidrasi.


Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya

 Monitor cairan yang masuk dan keluar.


Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh

 Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.


Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi

Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.


Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri

Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.


Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem
saraf pusat

v Post operasi
1) Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
Tujuan :memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
 Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
 Oleskan krim jika perlu.
2) Nyeri b/d insisi pembedahan
Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
 Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung
dansentuhan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
 Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem
saraf pusat
3) Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan
perawatan kolostomi.
Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan
irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.
Intervensi :

 Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di


rumah dan pengobatan.
 Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan
dan perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
 Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
 Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi
misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
 Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan
supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.
Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung
 Pola eliminasi berfungsi normal
 Kebutuhan nutrisi terpenuhi
 Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
 Nyeri pada abdomen teratasi
 Post operasi Hirschsprung
 Integritas kulit lebih baik
 Nyeri berkurang atau hilang
 Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama
pembedahan kolon
10. Discharge planning pasien hisprung ?
Jawab :
1) Mempelajari gejala
2) Selalu menjaga
3) Konsultasi
4) Pelajari perwatan kolostomi
5) Diet yang harus dijalani
6) Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan
dan perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
7) Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
8) Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi
misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
9) Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan
supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.
11. Upaya promotif dan preventif pada anak dan keluarga pada pasien
hisprung ?
Jawab :
Edukasi kepada orang tua : memberikaan intervensi pada org tua
12. Masalah keluarga yang muncul pada keluarga pasien yang terkena
hisprung ?
Jawab :
 Cemas
 Defisit pengetahuan
 Gagguan koping keluarga
 Ekonomi
13. EBN mengenai hisprung?
Jawab :
 ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HIRSCHSPRUNG DI RUMAH SAKIT PROF. DR. MARGONO
SOEKARJO PURWOKERTO
Kesimpulan dari jurnal tersebut bahwa :
a. Sebagian besar responden dengan penyakit hirschsprung pada
kelompok umur ibu reproduksi sehat yaitu 64,3%.
b. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 63,1%.
c. Umur ibu tidak mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung
(ρ-value: 0,642)
d. Jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung (ρ-
value: 0,042)
BAB III

BAGAN/PETA KONSEP
DAFTAR PUSTAKA

Artathi Eka Suryandari, dkk. ISBN 978-602-50798-0-1. Jurnal 2017. ANALISIS


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIRSCHSPRUNG DI RUMAH
SAKIT PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO. Hasil-Hasil
Penelitian Pengabdian Masyarakat : Purwokerto

Putu Ayu Ines Lassiyani Surya,Made Dharmajaya. 2017. Jurnal GEJALA DAN
DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG. Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian/SMF Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah: Denpasar

Prakash, M. 2011. Hirschsprung’s Disease Scientific Update. SQU Medical


Journal; 11: 138-145

Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of Hirschsprung’s


Disease-A Clinicopathological Experience. Biomedica;

Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center;


44-46

Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6- year


course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran. Iranian
Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31

Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.


American Family Physician; 74: 1319-1322

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih


(Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 .
Jakarta : FKUI .
FORMAT PENILAIAN LAPORAN/PAPER

Nama kelompok / kelas : 5B/B/KP/V

Hari / tanggal : Selasa , Oktober 2018

Nama mahasiswa : Mata kuliah: Tutorial

1. Sipa Maulani 4. Syafitri


2. Siti Mar’ati Soliha 5. Wahida Nurkomalasari
3. Sofia 6. Yanti Susilawati.
4. Nani Yuliani

No ITEM PENILAIAN 5 4 3 2 1
1 Penulisan laporan sesuai format yang diberikan
2 Menjelaskan kelengkapan data terkait topic
3 Kesesuaian topic dengan data penunjang
4 Menjelaskan isi topic secara jelas dan rinci
5 Menampilkan data terbaru
6 Menampilkan critical analisis terhadap topic
7 Memberikan literature atau referensi yang adekuat
berdasarkan evidence
8 Menyimpulkan topic secara jelas dan rinci
9 Menggunakan penulisan yang benar ( EYD ) dan
kesalahan penulisan
10 Menampilkan konsistensi penulisan ( topic, tujuan, dan
evaluasi )
Total Skor
Nilai Akhir
Keterangan Angka :
5 : Excellent 2 : Below Average
4 : Good 1 : Unsatisfied
3 : Average Comments :
………………………………………………………………………………………………
…………………………………................……………………………................................
INSTRUKTUR
LAMPIRAN REFERENSI
1. Askep Hisprung

( Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung )

1) Pengertian

Hisprung Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab


gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali
oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan
bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion
parasimpatis. Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik
megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak
mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar
(mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion),
maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang
terkena berbeda-beda untuk setiap individu.

Hisprung
2) Etiologi Penyakit Hisprung

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan


dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas
di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat
mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik
sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada
masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada
myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

3) Gejala Penyakit Hisprung

Akibat dari kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja
tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja
pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang
menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak
dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat
menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi
tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan.

4) Patofisiologi Penyakit Hisprung

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan


primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon
distal. Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya
evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal
sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.

Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah


tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap
daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut
melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141)

5) Pemeriksaan Tambahan pada Penyakit Hisprung

Pemeriksaan colok dubur untuk menilai adanya pengenduran otot dubur.


Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah roentgen perut,
barium enema, dan biopsi rektum. Roentgen perut bertujuan untuk melihat
apakah ada pembesaran/pelebaran usus yang terisi oleh tinja atau gas. Barium
enema, yaitu dengan memasukkan suatu cairan zat radioaktif melalui anus,
sehingga nantinya dapat terlihat jelas di roentgen sampai sejauh manakah usus
besar yang terkena penyakit ini. Biopsi (pengambilan contoh jaringan usus
besar dengan jarum) melalui anus dapat menunjukkan secara pasti tidak
adanya persarafan pada usus besar. Biopsi ini biasanya dilakukan jika usus
besar yang terkena penyakit ini cukup panjang atau pemeriksaan barium
enema kurang dapat menggambarkan sejauh mana usus besar yang terkena.

6) Komplikasi Penyakit Hisprung


Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi dan
septikemia.
7) Penatalaksanaan klien dengan Hisprung
a) Konservatif. Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta
pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
b) Tindakan bedah sementara. Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis,
enterokolitis berat dan keadaan umum buruk.
c) Tindakan bedah defenitif. Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan
membuat anastomosis.

Asuhan Keperawatan pada klien dengan Hisprung


A. Pengkajian.
1) Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan
dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai
sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh
kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan (Ngastiyah, 1997).
2) Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama. Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru
lahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat
keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah
berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang. Merupakan kelainan bawaan yaitu
obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah,
distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare
berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu. Tidak ada penyakit terdahulu yang
mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga. Tidak ada keluarga yang menderita
penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e. Riwayat kesehatan lingkungan. Tidak ada hubungan dengan kesehatan
lingkungan.
f. Imunisasi. Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit
Hirschsprung.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
h. Nutrisi.
3) Pemeriksaan fisik.
a) Sistem kardiovaskuler. Tidak ada kelainan.
b) Sistem pernapasan. Sesak napas, distres pernapasan.
c) Sistem pencernaan. Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang,
muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare
kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot.
d) Sistem genitourinarius.
e) Sistem saraf. Tidak ada kelainan.
f) Sistem lokomotor/muskuloskeletal. Gangguan rasa nyaman.
g) Sistem endokrin. Tidak ada kelainan.
h) Sistem integumen. Akral hangat
i) Sistem pendengaran. Tidak ada kelainan.
4) Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi,
gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit,
enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium
setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat
peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
B. Masalah pemenuhan kebutuhan dasar (pohon masalah).
Pohon Masalah Askep Hisprung
C. Diagnosa Keperawatan pada Askep Hisprung
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan
tidak adanya daya dorong.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang inadekuat.
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status
kesehatan anak.
D. Perencanaan Keperawatan pada Askep Hisprung
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan
tidak adanya daya dorong.
 Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria
defekasi normal, tidak distensi abdomen.
 Intervensi : Monitor cairan yang keluar dari kolostomi. Rasional :
Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana
selanjutnya Pantau jumlah cairan kolostomi. Rasional : Jumlah cairan
yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan Pantau
pengaruh diet terhadap pola defekasi. Rasional : Untuk mengetahui
diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang inadekuat.
 Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat
mentoleransi diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.
 Intervensi : Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan. Rasional :
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan Pantau pemasukan makanan
selama perawatan. Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai
kebutuhan 1300-3400 kalori Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
 Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak
mengalami dehidrasi, turgor kulit normal.
 Intervensi : Monitor tanda-tanda dehidrasi. Rasional : Mengetahui
kondisi dan menentukan langkah selanjutnya Monitor cairan yang
masuk dan keluar. Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan
tubuh Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
 Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang,
tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur. Intervensi : Kaji
terhadap tanda nyeri.
 Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah
selanjutnya Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara
halus, ketenangan.
 Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
Berikan obat analgesik sesuai program.
 Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada
sistem saraf pusat

Daftar Pustaka
Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto,
cetakan III, EGC, Jakarta.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius,
Jakarta. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Lampiran 2
2. Definisi Hisprung

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini


merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah
atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan”
usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar
(megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap
individu.

Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion


parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah,
1997 : 138).

Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi


mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong,
2003 : 507).

Macam-macam Penyakit Hirschprung

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :

Penyakit Hirschprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.

Penyakit Hirschprung segmen panjang

Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah,
1997 : 138)
3. Etiologi Hisprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang


berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan
submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.

Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon.

Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah
kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.

(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)

Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.

Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.

(Suriadi, 2001 : 242).

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala setelah bayi lahir

Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)

Muntah berwarna hijau

Distensi abdomen, konstipasi.

Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja /


pengeluaran gas yang banyak.

Gejala pada anak yang lebih besar  karena gejala tidak jelas pada waktu lahir.

Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir

Distensi abdomen bertambah


Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling

Terganggu tumbang karena sering diare.

Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.

Perut besar dan membuncit.

4. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan


primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada
usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan
serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses
secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon
( Betz, Cecily & Sowden).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).

5. Manifestasi Klinis

Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.

Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti
pita.

Obstruksi usus dalam periode neonatal.

Nyeri abdomen dan distensi.


Gangguan pertumbuhan.

(Suriadi, 2001 : 242)

Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai
mekonium.

Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik


secara spontan maupun dengan edema.

Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut.

Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam.


Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.

Gejala hanya konstipasi ringan. (Mansjoer, 2000 : 380)

Masa Neonatal :

Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.

Muntah berisi empedu.

Enggan minum.

Distensi abdomen.

Masa bayi dan anak-anak :

Konstipasi

Diare berulang

Tinja seperti pita, berbau busuk

Distensi abdomen

Gagal tumbuh(Betz, 2002 : 197)


6. Komplikasi

Gawat pernapasan (akut)

Enterokolitis (akut)

Striktura ani (pasca bedah)

Inkontinensia (jangka panjang)

(Betz, 2002 : 197)

Obstruksi usus

Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

Konstipasi

(Suriadi, 2001 : 241)

Pemeriksaan Diagnostik

Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.

Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah
narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.

Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini
klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.

Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah, 1997 :


139)

Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.


Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan


eksterna.

(Betz, 2002 : 197).

Penatalaksanaan

Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi


loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan
hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan
dengan 1 dari 3 prosedur berikut :

Prosedur Duhamel :Penarikan kolon normal kearah bawah dan


menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.

Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon


berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.

Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon
yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.

Intervensi bedah

Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami
obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat
dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto
sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur
kedua.

Persiapan prabedah

Lavase kolon

Antibiotika

Infuse intravena
Tuba nasogastrik

Perawatan prabedah rutin

Pelaksanaan pasca bedah

Perawatan luka kolostomi

Perawatan kolostomi

Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu.

Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua


harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa
yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana
memakaikan kantong kolostomi.(Betz, 2002 : 198)

B. ASUHAN KEPERAWATAN HIRSPRUNG

I. Pengkajian

Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi.

Keluhan utama

Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.

Riwayat kesehatan sekarang

Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir,
distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.

Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.
Riwayat kesehatan masa lalu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,


persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.

Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.

Riwayat psikologis

Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.

Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.

Riwayat social

Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam


mempertahankan hubungan dengan orang lain.

Riwayat tumbuh kembang

Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.

Riwayat kebiasaan sehari-hari

Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

v Pemeriksaan Fisik

Sistem integument

Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.

Sistem respirasi

Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan


Sistem kardiovaskuler

Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.

Sistem penglihatan

Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata

Sistem Gastrointestinal

Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.

II. Diagnosa Keperawatan

Pre operasi

Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.

Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

Post operasi

Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

Nyeri b/d insisi pembedahan

Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan


kolostomi.

III. Intervensi Keperawatan


v Pre operasi

1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus


dan tidak adanya daya dorong.

Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi


normal, tidak distensi abdomen.

Intervensi :

Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.

Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana


selanjutnya

Pantau jumlah cairan kolostomi.

Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian


cairan

Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.

Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang inadekuat.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet


sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.

Intervensi :

Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.

Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan

Pantau pemasukan makanan selama perawatan.

Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori


Pantau atau timbang berat badan.

Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan

3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami


dehidrasi, turgor kulit normal.

Intervensi :

Monitor tanda-tanda dehidrasi.

Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya

Monitor cairan yang masuk dan keluar.

Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh

Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.

Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi

Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak


menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.

Intervensi :

Kaji terhadap tanda nyeri.

Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya

Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.

Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri

Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.


Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf
pusat

v Post operasi

1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

Tujuan :memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi kaji


insisi pembedahan, bengkak dan drainage.

Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.

Oleskan krim jika perlu.

2. Nyeri b/d insisi pembedahan

Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.

Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.

Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya

Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.

Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.

Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf
pusat

3. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan


kolostomi.

Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi,


pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.

Intervensi :
Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan
pengobatan.

Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan


perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.

Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.

Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya


bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.

Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat
orang tua melakukan perawatan ostomi.

Evaluasi

Pre operasi Hirschsprung

Pola eliminasi berfungsi normal

Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kebutuhan cairan dapat terpenuhi

Nyeri pada abdomen teratasi

Post operasi Hirschsprung

Integritas kulit lebih baik

Nyeri berkurang atau hilang

Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan


kolon
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik


masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan
buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar
dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan
benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya
tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam
mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

SARAN

Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang


penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.


Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih
(Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U


Pendit. Jakarta : EGC.

Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^.


Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 .
Jakarta : FKUI .

Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media
Aesulapius FKUI

Lampiran 3
2.1 PENGERTIAN

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit


ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah
atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan”
usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar
(megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap
individu.

Hisprung atau megakolon kongenital adalah penyakit bawan kibat tisak


tercapainya pertumbuhan chepalocaudal Sel-sel parasimpatis myantericus pada
segmen usus bagian distl, terbanyak di rektosigmid. Sehingga tidak ad peristaltic
pada usus yang terkena dan menyebabkan fases tidak bias keluar sehingga terjadi
obstruksi, dilatasi kolon bgian proksimal dan hipertropi dingding ototnya sehingga
terbentuk megakolon.

Penyakit Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Dilihat


dari namanya penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak
mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar
(mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka
terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus
menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda
untuk setiap individu.

Hisprung merupakan keadan tidak ada atau sedikitnya saraf ganglion


parasimpatis pada plasma mianterkus dan kolon distalis, sehingga tidak ada
peristaltic pada area yang terkena, usus mengallami heperteroid dan dilatasi serta
menimbulkan distensi dan obstruksi abdomen

1.2 Macam-macam Penyakit Hirschprung

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :

1. Penyakit Hirschprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.

2. Penyakit Hirschprung segmen panjang


Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah,
1997 : 138)

1.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala setelah bayi lahir

1. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)

2. Muntah berwarna hijau

3. Distensi abdomen, konstipasi.

4. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja /


pengeluaran gas yang banyak.

Gejala pada anak yang lebih besar karena gejala tidak jelas pada waktu lahir.

1. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir

2. Distensi abdomen bertambah

3. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling

4. Terganggu tumbang karena sering diare.

5. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.

6. Perut besar dan membuncit.

2.4 Etiologi Hisprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang


berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan
submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon.

Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah
kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.

(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)

Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.

Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.

(Suriadi, 2001 : 242).

2.5 Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan


primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada
usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan
serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses
secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon
( Betz, Cecily & Sowden).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).

2.6 Manifestasi Klinis


1. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.

2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja
seperti pita.

3. Obstruksi usus dalam periode neonatal.

4. Nyeri abdomen dan distensi.

5. Gangguan pertumbuhan.

(Suriadi, 2001 : 242)

1) Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan
evaluai mekonium.

2) Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik


secara spontan maupun dengan edema.

3) Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut.

4) Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam.


Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.

5) Gejala hanya konstipasi ringan.

(Mansjoer, 2000 : 380

Ø Masa Neonatal :

1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.

2. Muntah berisi empedu.

3. Enggan minum.

4. Distensi abdomen

Ø Masa bayi dan anak-anak :


1. Konstipasi

2. Diare berulang

3. Tinja seperti pita, berbau busuk

4. Distensi abdomen

5. Gagal tumbuh(Betz, 2002 : 197)

2.7 Komplikasi

A. Gawat pernapasan (akut)

B. Enterokolitis (akut)

C. Striktura ani (pasca bedah)

D. Inkontinensia (jangka panjang)

(Betz, 2002 : 197)

1. Obstruksi usus

2. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

3. Konstipasi

(Suriadi, 2001 : 241)

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat


penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.

2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan


dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.

3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada


penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.

(Ngatsiyah, 1997 : 139)

1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan


eksterna.

(Betz, 2002 : 197).

2.9 Penatalaksanaan

Ø Medis

Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion


aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan
motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.

Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :

a) Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk


melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar
untuk mengembalikan ukuran normalnya.

b) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat


anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi
pertama.

Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,


Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling
sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir
dimana mukosa aganglionik telah diubah.

Ø Perawatan

Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara
lain :

a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada


anak secara dini

b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak

c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )

d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak –


anak dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status
fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik
seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi
protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

Ø Pengobatan

Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera


dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada
dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian
usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan
pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih.

Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan


antibiotik.
PADA KASUS “HIRSPRUNG”

3.1 Pengkajian

Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi.

Antara lain :

1. Anamnesis

Identitas klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.Masalah yang dirasakan klien yang sangat
mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya,
sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.

a. Keluhan utama Klien

Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir,
distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.

Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.

c. Riwayat kesehatan masa lalu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,


persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
d. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.

e. Riwayat psikologis

Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.

f. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.

g. Riwayat social

Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam


mempertahankan hubungan dengan orang lain.

h. Riwayat tumbuh kembang

Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.

i. Riwayat kebiasaan sehari-hari

Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Sistem integument

Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.

b. Sistem respirasi

Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan

c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.

d. Sistem penglihatan

Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata

e. Sistem Gastrointestinal

Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.

3.2 Diagnosa Keperawatan

Pre operasi

1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan


tidak adanya daya dorong.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake


yang inadekuat.

3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

Post operasi

1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

2. Nyeri b/d insisi pembedahan


3. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan
kolostomi.

3.3 Intervensi Keperawatan

Pre operasi

1. Konstipasi berhubungan dengan mekanik : megakollon

BAB lancar, dengan

kriteria :

- Faeses lunak

- Anak tidak kesakitan saat BAB.

- Tindakan operasi colostomi

1. Bowel management

- Catat BAB terakhir

- Monitor tanda konstipasi

- Anjurkan keluarga untuk mencatat warna, jumlah, frekuensi BAB.

- Berikan supositoria jika perlu.

2. Bowel irrigation

- Jelaskan tujuan dari irigasi rektum.

- Check order terapi.

- Jelaskan prosedur pada orangtua pasien.

- Berikan posisi yang sesuai.


- Cek suhu cairan sesuai suhu tubuh.

- Berikan jelly sebelum rektal dimasukkan.

- Monitor effect dari irigasi.

3. Persiapan preoperatif

- Jelaskan persiapan yang harus dilakukan.

- lakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, elektrolit, AGD.

- transfusi darah bila perlu.

2. Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan anak

Cemas keluarga pasien tertangani dengan kriteria:

- Ibu terlihat lebih tenang

- Ibu dapat bertoleransi dengan keadaan anak.

1. Anxiety reduction

- jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan.

- kaji pemahaman orangtua terhadap kondisi anak, tindakan yang akan dilakukan
pada anak.

- anjurkan orang tua untuk berada dekat dengan anak.

- bantu pasien mengungkapkan ketegangan dan kecemasan.

3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal dengan sumber


informasi

Orang tua tahu mengenai perawatan anak dengan kriteria:

- Mampu menjelaskan penyakit, prosedur operasi


- mampu menyebutkan tindakan keperawatan yang harus dilakukan.

- Mampu menyebutkan cara perawatan.

1. teaching: proses penyakit

- Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit.

- Jelaskan tentang penyakit, prosedur tindakan dan cara perawatan bersama


dengan dokter.

- Informasikan jadwal rencana operasi: waktu, tanggal, dan tempat operasi, lama
operasi.

- Jelaskan kegiatan praoperasi : anestesi, diet, pemeriksaan lab, pemasangan


infus, tempat tunggu keluarga.

- Jelaskan medikasi yang diberikan sebelum operasi: tujuan, efek samping.

2. health education:

- jelaskan tindakan keperawatan yang akan dilakukan.

- Jelaskan mengenai penyakit,prosedur tindakandancara perawatan dengan


dokter.

- Lakukan diskusi dengan keluarga pasien dengan penyakit yang sama.

- Jelaskan cara perawatan post operatif.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan penurunan absorbsi usus.

Status nutrisi baik, dengan kriteria:

- Diet seimbang, intake adekuat.

- BB normal.

- Nilai lab darah normal: HB, Albumin, GDR.


- Kaji nafsu makan, lakukanpemeriksaan abdomen,adanya distensi,
hipoperistaltik.

- Ukur intake dan output, berikan per oral / cairan intravenasesuai program
(hidrasi adalah masalah yang paling penting selama masa anak-anak).

- Sajikan makanan favorit anak, dan berikan sedikit tapi sering.

- Atur anak pada posisi yang nyaman (fowler)

- Timbang BB tiap hari pada skala yang sama.

5. Gangguan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasional,


ancaman fungsi peran, perubahan lingkungan.

Meknisme koping keluarga efektif, dengan kriteria:

- Keluarga menunjukkan bisa menyesuaikan dengan lingkungan rumah sakit.

- Anggota keluarga aktif bertanya.

- Kenalkan keluarga untuk mengenal staf/perawat yang merawat

- Gambarkan kegiatan rutin di RS yang mempengaruhi anak.

- Anjurkan keluarga untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru dan


asing.

- Informasikan tentang area di luar unit yang mungkinmereka perlukan.

- Ciptakan kondisi yang mendukunguntuk bertanya, mengungkapkan


kekecewaan dan perasaannya.

- Hadirkan keluarga terdekat dengan pasien.

- Jaga privasi, awasi tanda-tanda ketegangan keluarga.

6. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume caian secara aktif

Status hidrasi:
Kriteria:

- menunjukkan urine output normal

- menunjukkan TD, nadi dan suhu dbn

- turgor kulit, kelembaban mukosa dbn.

- Mampu menjelaskan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kehilangan cairan

1. manajemen cairan

 timbang berat badan tiap hari

 kelola catatan intake dan output

 monitor status hidrasi (membran mukosa, nadi adekuat, ortostatik TD)

 monitor hasil laboratorium yang menunjukkan retensi cairan

 monitor keadaan hemodinamik

 monitor vital sign

 monitor tanda-tanda kelebihan atau kekurangan volume cairan

 administrasi terapi Intra vena

 monitor status nutrisi

 berikan cairan dan intake oral.

2. monitor cairan

- kaji jumlah dan jenis intake cairan dan kebiasaan eliminasi

- kaji faktor resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan

- monitor intake dan output


- monitor serum, dan elektrolit

- jaga keakurtan pencatatan intake dan output

- administrasi pemberian cairan

3. managemen hipovolemi

- monitor status cairan termasuk intake dan output

- jaga kepatenan terpi intra vena

- monitor kehilangan cairan

- monitor hasil laboratorium

- hitung kebutuhan cairan

- administrasi pemberian cairan hipotonik/isotonik

- observasi indikasi dehidrasi

- kelola pemberian intake oral

- monitor tanda dan gejala over hidration

Post Op.

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik

Level nyeri berkurang dengan kriteria :

- anak tidak rewel

- ekspresi wajah dan sikap tubuh rileks

- tanda vital dbn


1. Management nyeri

- Kaji nyeri meliputi karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor
presipitasi.

- Observasi ketidaknyamanan non verbal

- Berikan posisi yang nyaman

- Anjurkan ortu untuk memberikan pelukan agar anak merasa nyaman dan
tenang.

- Tingkatkan istirahat

2 Teaching

- Jelaskan pada ortu tentang proses terjadinya nyeri

- Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit

- Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan

- Perhatikan lokasi nyeri.

3. Administrasi analgetik

- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian


obat.

- Cek program medis tentang jenis obat, dosis dan frekuensi pemberian

- Ikuti 5 benar sebelum memberikan obat

- Cek riwayat alergi

- Monitor tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat

- Dokumentasikan pemberian obat


2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Resiko infeksi terkontrol dengan kriteria :

- bebas dari tanda-tanda infeksi

- tanda vital dalam batas normal

- hasil lab dbn

1. Infektion control

- Terapkan kewaspadaan universal cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan


tindakan keperawatan.

- Gunakan sarung tangan setiap melakukan tindakan.

- Berikan personal hygiene yang baik.

2. Proteksi infeksi

- monitor tanda-tanda infeksi lokal maupun sistemik.

- Monitor hasil lab: wbc, granulosit dan hasi lab yang lain.

- Batasi pengunjung

- Inspeksi kondisi luka insisi operasi.

3. Ostomy care

- bantu dan ajarkan keluarga pasien untuk melakukan perawatan kolostomi

- Monitor insisi stoma.

- Pantau dan dampinggi keluarga saat merawat kolostomi

- Irigasi stoma sesuai indikasi.

- Monitor produk stoma


- Ganti kantong kolostomi setiap kotor.

4. Medikasi terapi

- Beri antibiotik sesuai program

- Tingkatkan nutrisi

- Monitor keefektifan terapi.

5. Health education

o Ajarkan pada orang tua tentang tanda-tanda infeksi.

o Ajarkan cara mencegah infeksi.

o Ajarkan cara perawatan colostomi

3.

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume caian secara aktif

Status hidrasi:

Kriteria:

- menunjukkan urine output normal

- menunjukkan TD, nadi dan suhu dbn

- turgor kulit, kelembaban mukosa dbn.

- Mampu menjelaskan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kehilangan cairan

manajemen cairan

 timbang berat badan tiap hari

 kelola catatan intake dan output

 monitor status hidrasi (membran mukosa, nadi adekuat, ortostatik TD)


 monitor hasil laboratorium yang menunjukkan retensi cairan

 monitor keadaan hemodinamik

 monitor vital sign

 monitor tanda-tanda kelebihan atau kekurangan volume cairan

 administrasi terapi Intra vena

 monitor status nutrisi

 berikan cairan dan intake oral.

5. monitor cairan

- kaji jumlah dan jenis intake cairan dan kebiasaan eliminasi

- kaji faktor resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan

- monitor intake dan output

- monitor serum, dan elektrolit

- jaga keakurtan pencatatan intake dan output

- administrasi pemberian cairan

6. managemen hipovolemi

- monitor status cairan termasuk intake dan output

- jaga kepatenan terpi intra vena

- monitor kehilangan cairan

- monitor hasil laboratorium

- hitung kebutuhan cairan


- administrasi pemberian cairan hipotonik/isotonik

- observasi indikasi dehidrasi

- kelola pemberian intake oral

- monitor tanda dan gejala over hidration

3.4 Implementaasi

3.5 Evaluasi

Pre operasi Hirschsprung

1. Pola eliminasi berfungsi normal

2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi

3. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi

4. Nyeri pada abdomen teratasi

Post operasi Hirschsprung

1. Integritas kulit lebih baik

2. Nyeri berkurang atau hilang

3. Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama


pembedahan kolon

BAB IV

PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan


masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah
pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak
pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa
buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi
bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus
difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga.
Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang
baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam
mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

4.2 SARAN

Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan


mengetahui tentang penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

AL-Quran dan terjemahan

Herdman, T. Heather. 2015-2018. Diagnosa Keperawatan Edisi ke 10. Jakarta :


EGC,2015
Betz, Sowden, 2002, Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Carpenito, 1998, Diagnosis Keperawatan, Editor Yasmin Asih, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih


(Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U


Pendit. Jakarta : EGC.

Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^.


Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 .
Jakarta : FKUI .

Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media
Aesulapius FKUI

Lampiran 4
8 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian
Pengabdian Masyarakat
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIRSCHSPRUNG
DI RUMAH SAKIT PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
Artathi Eka Suryandari
Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto
Email: artathi.ylpp@gmail.com
ABSTRACT
Hirschsprung is a complex genetic disease with a low, sex-dependent penetrance
and is the most common cause of neonatal obstruction of the colon. The incidence
1 : 4400 to 1 : 7000 live birth. The male/female ratio in patient with classic
hirschsprung’s disease is generally reported as 4 : 1. The purpose of this study is
to analyze the factors that affect the incidence of hirschsprung disease in Prof.
Hospital. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. The research method used is with
case control design. The population in this study were patients with hirschsprung
disease and patients who were not diagnosed with hirschsprung disease. The
sample of this study amounted to 42 cases and 42 controls. Univariate data were
analyzed descriptively while for bivariate data was analyzed by chi square. The
results showed that maternal age did not affect the occurrence of hirschsprung (ρ-
value: 0.649) and sex influenced the occurrence of hirschsprung (ρ-value: 0,042).
Keywords: hirschsprung, age, gender

PENDAHULUAN
Penyakit Hisprung atau Hirschsprung Disease adalah suatu kondisi langka yang
menyebabkan feses menjadi terjebak di dalam usus besar. Bayi baru lahir yang
memiliki Megacolon congenital, nama lain penyakit Hirschsprung, akan
mengalami kesulitan buang air besar, tinja banyak tertahan dalam usus besar
sehingga terlihat perutnya membuncit. Insiden penyakit hirschsprung di dunia
adalah 1 : 5000 kelahiran hidup dengan angka kematian berkisar antara 1 – 10%.
Sedangkan menurut Ryan (1995) insiden penyakit hirschsprung adalah 1 : 4400
sampai dengan 1 : 7000 kelahiran hidup dengan rasio 4 : 1 pada pasien laki-laki
dibandingkan perempuan. Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali
dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru
mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon
kongenital pada tahun 1863. (Kartono, 1993) Penyakit hirschsprung diakibatkan
oleh kegagalan migrasi kraniokaudal prekursor sel ganglion di sepanjang saluran
cerna selama minggu ke-5 hingga ke-12 masa gestasi. Invervasi parasimpatis yang
tidak lengkap pada segmen aganglionik menyebabkan peristaltik abnormal,
konstipasi, dan obstruksi usus fungsional. Anak yang menderita penyakit
hirschsprung sering mengalami keterlambatan pasase mekonium. Pada bayi
normal, 94% akan mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama kehidupannya,
dibandingkan dengan hanya 6% bayi yang menderita penyakit hirschsprung.
Penyakit hirschsprung, penyebab tersering obstruksi kolon pada neonatus, dapat
muncul pada periode neonatus dengan muntah, anoreksia, dan kegagalan
mengeluarkan feses. Anak-anak ini dapat mengalami diare yang terjadi sekunder
akibat peningkatan sekresi cairan ke dalam proksimal usus hingga obstruksi
parsial. Diare akan berlanjut menjadi enterokolitis, menyebabkan dehidrasi hebat
dan gangguan elektrolit. Enterokolitis cenderung berulang dan dapat fatal.
Sebagian besar penyakit hirschsprung tidak dikenali hingga akhir tahun pertama
kehidupan saat anak mengalami kosntipasi kronis. Feses yang keluar berukuran
kecil dan seperti pita, sehingga pada akhirnya memiliki riwayat kegagalan
pertumbuhan. (Schwartz, 2005)
Diagnosis penyakit hirschsprung dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan fisik pada anak dengan
hirschsprung ditemukan abdomen sering mengalami distensi dengan feses yang
teraba di kolon kiri. Pada neonatus penderita enterokolitis dan peritonitis
mekoneum dapat terlihat nyeri lepas dan tanda-tanda peritoneum. Ampula rekti
kecil dan kosong. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
radografi abdomen maupun pemeriksaan barium enema tanpa persiapan.
(Schwartz, 2005).
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta
mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan
adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum,
10 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian
Pengabdian Masyarakat pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi. (Kartono, 2010).
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara
dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah
terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. (Langer, 2005).
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung antara lain
prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein,
prosedur transanal dan bedah laparoskopik. Saat ini prosedur transanal satu tahap
telah berkembang dan dikerjakan pada saat penderita masih neonatus (Pratap et
al., 2007).
Tahap pre operasi yang harus dilakukan pada bayi adalah 1) berhenti menyusu
dan menggantikan nutrisi dengan cairan langsung melalui pemasangan infus, 2)
pemasangan pipa berupa tabung elastis melalui hidung dengan tujuan untuk
menguras cairan dan udara yang ada di lambung, 3) pembersihan feses secara
teratur melalui tabung tipis yang dimasukkan ke anus menggunakan air garam
hangat untuk melunakkan dan membersihkan feses, 4) pemberian antibiotik
apabila terjadi enterokolitis. Teknik operasi “pull-through” dimana bagian usus
yang terkena dibuang dan bagian usus yang sehat disambungkan merupakan
teknik operasi yang paling sering dilakukan pada bayi. Operasi pada bayi biasanya
dilakukan pada saat bayi berusia sekitar tiga bulan. Apabila kondisi bayi tidak
memungkinkan, maka operasi dilakukan dalam du tahap. Tahap pertama dengan
melakukan kolostomi, dilakukan beberapa hari setelah lahir dengan pembuatan
lubang sementara (stoma) buatan di perut oleh dokter bedah sehingga kotoran
akan melewati lubang tersebut sampai kondisi bayi cukup baik untuk menjalani
operasi tahap kedua yang biasanya dilakukan di sekitar usia tiga bulan, yaitu
untuk mengambil bagian usus yang terkena, menutup lubang dan menggabungkan
usus yang sehat bersama-sama. (Muhlisin, 2016).
Angka mortalitas penyakit Hirschsprung pada neonatus yang tidak ditangani
masih sangat tinggi yaitu mencapai 80%, sedang kematian pada kasuskasus yang
telah ditangani 30% disebabkan oleh karena enterokolitis. (Lee, 2002).
Teknik operasi baru yaitu Posterior Sagittal Neurektomi Repair for Hirschsprung
Desease (PSNRHD) tealh ditemukan oleh Rochadi di Rumah Sakit Dr. Sardjito
Yogyakarta sejak tahun 2005. Sedangkan prosedur yang lain meliputi: prosedur
Duhamel, prosedur Soave modifikasi, prosedur transanal dan prosedur
miomektomi rektal. Setiap tahun penderita Penyakit Hirschsprung tercatat rata-
rata 50 pasien. Tehnik Posterior Sagittal Neurektomi Repair for Hirschsprung
Desease, dilakukan dengan irisan intergluteal untuk mencapai derah rektum, satu
tahap tanpa kolostomi dan tanpa dilakukan proses pull through atau tarik terobos
endorektal (Rochadi, 2007).
Jumlah kasus penyakit hirschsprung di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto mencapai 307 kasus selama kurun waktu 2010 – 2016. Dengan
demikian rata-rata kejadian penyakit hirschsprung di Purwokerto mencapai 44
kasus setiap tahun. Hal ini berarti insiden penyakit hirschsprung di Purwokerto
termasuk tinggi dimana kejadian di Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo
sebagai pusat rujukan adalah 40-60 pasien setiap tahun. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian hirschsprung di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat analitik, dengan menggunakan desain case-control.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2017.
Populasi penelitian adalah bayi yang menderita hirschsprung yang tercatat di
rekam medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto tahun 2013 sampai
dengan tahun 2016 sebanyak 170 anak. Sedangkan sampel dalam penelitian ini
adalah 42 anak yang menderita hirschsprung sebagai sampel kasus dan 42 anak
yang tidak menderita hirschsprung sebagai sampel kontrol. Kriteria inklusi adalah
anak yang menderita 12 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-
Hasil Penelitian Pengabdian Masyarakat hirschsprung dan dirawat di Rumah Sakit
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan
data yang tidak lengkap. Data penelitian ini adalah data sekunder, meliputi
kejadian hirschsprung, umur ibu, dan jenis kelamin anak. Data univariat dianalisis
secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisis dengan uji Chi-Square dengan
tingkat kemaknaan ρ-value 0,005. Data diolah dengan program SPSS for window
17.0 (Sopiyudin, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Distribusi responden berdasarkan umur ibu
Gambar 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur Ibu Sumber: Rekam Medis
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (2017)
Berdasarkan Gambar 1. di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur ibu reproduksi
sehat 20-35 tahun lebih banyak yaitu 54 responden dibandingkan kelompok umur
ibu yang berisiko < 20 tahun dan > 35 tahun yaitu 30 responden.
b. Distribusi frekuensi jenis kelamin
Gambar 2. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (2017)
Series1; 20- 35tahun; 54; 64% Series1; <20 tahun dan > 35 thun; 30; 36% 20-
35tahun <20 tahun dan > 35 thun Series1; laki-laki; 53; 63% Series1; Perempua n;
31; 37% laki-laki perempuan
Berdasarkan Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa responden dengan jenis
kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 53 responden dibandingkan responden
dengan jenis kelamin perempuan yaitu 31 responden.
c. Umur Ibu Mempengaruhi Hirschsprung
Tabel 1. Pengaruh Umur Ibu terhadap Kejadian Hirschsprung
Hirsprung
Total ρ – value OR Tidak Ya Umur Ibu 20-35 tahun Count 28 26 54 ,649 1,231
% within Hirsprung 66,7% 61,9% 64,3% <20 tahun dan >35 tahun Count 14 16
30 % within Hirsprung 33,3% 38,1% 35,7% Total Count 42 42 84 % within
Hirsprung 100% 100% 100%
Berdasarkan Tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa proporsi umur ibu lebih banyak
pada kelompok umur reproduksi sehat yaitu 20 – 35 tahun yaitu 64,3%
dibandingkan kelompok umur < 20 tahun atau > 35 tahun (35,7%). Hasil uji
chisquaremenunjukkan ρ-value 0,649 > 0,05, artinya tidak ada pengaruh antara
umur ibu dengan kejadian penyakit hirschsprung. Dengan nilai Odds Ratio 1, 231
artinya pada kelompok umur reproduksi sehat memiliki risiko 1,231 kali lebih
banyak anaknya mengalami hirschsprung.
Penyebab terjadinya penyakit hirschsprung sebenarnya dimulai sejak masa
kehamilan dimana sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube
yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk membentuk
bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang
kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah jantung.
Sel-sel yang membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista
neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil
sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf
dan sel-sel glial pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista
neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel
diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok
14 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian
Pengabdian Masyarakat membentuk agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini
disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan sel
bodi saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin
pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut
pleksus submukosus Meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus
Auerbach (Fonkalsrud,1997).
Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju
saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal.
Pada minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus,
pada minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada
minggu ke dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus
Auerbachi dan selanjutnya menuju ke dalam pleksus submukosa Meissneri.
Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan
menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit
Hirschsprung. (Fonkalsrud,1997).
Pada tahun 1994 ditemukan dua gen yang berhubungan dengan kejadian penyakit
Hirschsprung yaitu RET (receptor tyrosin kinase) dan EDNRB (endothelin
receptor B). RET ditemukan pada 20% dari kasus penyakit Hirschsprung dan 50%
dari kasus tersebut bersifat familial, sedang EDNRB dijumpai pada 5 sampai 10%
dari semua kasus penyakit Hirschsprung. Interaksi antara EDN-3 dan EDNRB
sangat penting untuk perkembangan normal sel ganglion usus. Pentingnya
interaksi EDN-3 dan EDNRB didalam memacu perkembangan normal sel-sel
krista neuralis telah dibuktikan dengan jelas. Baik EDN-3 maupun EDNRB
keduanya ditemukan pada sel mesenkim usus dan sel neuron usus, dan ini
memperkuat dugaan bahwa EDN-3 dan EDNRB dapat mengatur regulasi antara
krista neuralis dan sel mesenkim usus yang diperlukan untuk proses migrasi
normal (Duan, 2003). Genom lain yang berperan sebagai penyebab terjadinya
penyakit Hirschsprung adalah Glial cell line Derived Neurothrophic Factor
(GDNF) Neurturin (NTN), Endotelin Converting Enzym 1, SOX 10 dan SIP 1
(Amiel, et al, 2008).
Dengan demikian kemungkinan terjadinya penyakit hirschsprung karena faktor
lainnya sangat besar sehingga perlu penelitian lebih lanjut.

d. Jenis Kelamin Mempengaruhi Hirschsprung


Tabel 2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Penyakit Hirschsprung
Hirsprung
Total ρ- value OR Tidak Ya Jenis kelamin Perempuan Count 20 11 31 0,042
2,562 % within Hirschsprung ,6% 26,2% 36,9% Laki-laki Count 22 31 53 %
within Hirschsprung 52,4% 73,8% 63,1% Total Count 42 42 84 % within
Hirschsprung 100% 100% 100%
Berdasarkan Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin responden
sebagian besar adalah laki-laki yaitu 63,1%, sedangkan responden dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 36,9%. Hasil uji chi-square menunjukkan ρ-value
0,042 < 0,05 berarti jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit
hirschsprung. Odds Ratio menunjukkan 2,562 berarti bahwa jenis kelamin lakilaki
mempunyai risiko 2,562 kali dibandingkan jenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Corputty,
Lampus dan Monoarfa pada tahun 2015 dengan judul Gambaran Pasien
Hirschsprung di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari 2010 –
September 2014 yang menyebutkan bahwa penyakit hirschsprung lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dari perempuan dengan rasio 1,3:1. Demikian juga hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Verawati, Muda dan
Hiswani pada tahun 2013 dengan judul Karakteristik Bayi yang Menderita
Penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Kota Medan Tahun 2010-2012
yang menyebutkan bahwa proporsi jenis kelamin laki-laki dari perempuan adalah
2,7:1. 16 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian
Pengabdian Masyarakat
Penyakit Hirschprung lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki daripada
perempuan dengan rasio perbandingan 4:1. Namun pada kasus segmen usu yang
mengalami aganglionosis lebih panjang maka insidensi pada perempuan lebih
besar daripada laki-laki. Serabut saraf intrinsik yang berfungsi mengatur motilitas
normal saluran cerna terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan pleksus
mukosa kecil. Ganglia ini berfungsi kontraksi dan relaksasi otot halus (lebih
dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat dalam semua kerja
usus meliputi absorpsi, sekresi dan motilitas. Serabut saraf ekstrinsik terdiri dari
serabut kolinergik dan adrenergik. Serabut kolinergik berperan dalam enghambat
kontraksi usus, sedangkan serabut adrenergik berperan dalam menghambat
kontraksi usus.
Apabila inervasi serabut ekstrinsik hilang, namun fungsi usus tetap adekuat
karena yang lebih berperan dalam mengatur fungsi usus adalah serabut saraf
intrinsik. Pada penyakit Hirschprung terdapat absensi ganglion Meissner dan
Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi, 70-80% terbatas di daerah rectosigmoid, 10%
sampai seluruh kolon dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai
pylorus. Aganglionosis mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja
normal. Peristaltik usus tidak mempunyai daya dorong dan tidak propulsif,
sehingga usus tidak ikut dalam evakuasi feses ataupun udara. Obstruksi yang
terjadi secara kronis akan menampilkan gejala klinis berupa gangguan pasase
usus. Tiga tanda yang khas adalah mekonium keluar >24 jam, muntah hijau dan
distensi abdomen.
Penampilan makroskopik yaitu bagian kolon yang aganglionik terlihat spastik,
lumen kolon kecil, kolon tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan
defekasi terganggu. Gangguan defekasi ini berakibat kolon proksimal yang
normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megacolon.
SIMPULAN
a. Sebagian besar responden dengan penyakit hirschsprung pada kelompok umur
ibu reproduksi sehat yaitu 64,3%.
b. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 63,1%.
c. Umur ibu tidak mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung (ρ-value:
0,642)
d. Jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung (ρ-value: 0,042)

REFERENSI
Amiel J., Emison E., Barcello G., Lantieri F., Bursynsky G., Bornego S., et al.
(2008).
Hirschsprung disease, associated syndromes and genetics: a Review for the
Hirschsprung Disease Consortium. J. Med. Genet. 2008;45;1-14.
Corputty E.D., Lampus H.F., Monoarfa A. (2015). Gambaran Penyakit
Hirschsprung di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari 2010 –
September 2014. Jurnal e-Clinic (eCI), Vol. 3. No: 1, Januari-April 2015; hal:
229-236.
Fonkalsrud. (2012). Hirschsprung ‘s Disease. In: Zinner M.J., Schwartz S.I., Ellis
H. editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice Hall
Intl.inc. p.2097-105
Kartono D. (1993). Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi Pascasarjana FK UI Jakarta.
Kartono D. (2010). Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto.
Langer J. C. (2005). Hirschprung’s Disease in Principles and Practice of Pediatric
Surgery. Lippincott William & Wilkin, Philadelphia. pp 1347-1364.
Muhlisin A. (2016). Penyakit Hirschsprung pada Bayi. url:
https://mediskus.com/penyakit/penyakit-hirschsprung-pada-bayi diunduh 21 Juli
2017.
Nanny V. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Pratap A, Gupta DK, Tiwari A, Sinha AK, Bhatta N, Singh SN, et al. (2007).
Application of a plain abdominal radiograph transition zone (PARTZ) in
Hirschsprung's disease. BMC Pediatric 2007;7:5.
Rochadi. (2007). Faktor Prognostik Kesembuhan Penyakit Sagittal Repair .
Usulan Penelitian untuk Disertasi. Yogyakarta: FK UGM 18 PROSIDING:
Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian Pengabdian Masyarakat
Stafrace, S., Blickman, J.G. (2016). Radiological Imaging of The Digestive Tract
in Infants and Children 2nd Ed. Switzerland: Springer International Publishing.
Schwartz M.W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Sopiyudin D.M. (2009). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Tambayong, J. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Verawati S., Muda S., Hiswani. (2013). Karakteristik Bayi yang Menderita
Penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Kota medan Tahun 2010-2012.
Skripsi. USU Medan.
Lampiran 5
1
GEJALA DAN DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG 1Putu Ayu
Ines Lassiyani Surya, 2I Made Dharmajaya Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian/SMF Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Penyakit Hirschsprung merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem
pencernaan manusia, terutama menyerang usus besar (colon). Pada penyakit ini,
dijumpai pembesaran usus besar (megacolon), akibat absennya sel ganglion pada
bagian distal usus. Penyakit Hirschsprung sering menyerang neonatus bahkan
anak-anak, yang sering ditandai dengan keterlambatan pengeluaran mekonium
pertama, muntah bilious, distensi abdomen. Metode diagnois yang dapat
dilakukan untuk menkonfirmasi penyakit Hirschsprung adalah dengan melakukan
biopsy, barium enema atau contrast enema, dan anorectal manometry. Diagnosis
dini sangat penting untuk melakukan treatment yang cepat dan tepat serta untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Kata kunci : penyakit Hirschsprung, gejala,
diagnosa SYMPTOMS AND DIAGNOSIS OF HIRSCHSPRUNG’S DISEASE
ABSTRACT Hirschsprung disease is a disease that attacks the human digestive
system, mainly in the large intestine (colon). In this disease, found enlargement of
the colon (megacolon), due to the absence of ganglion cells in the distal intestine.
Hirschsprung disease often affects neonates and even children, are often
characterized by delays in spending the first meconium, bilious vomiting,
abdominal distension. Methods diagnois do for Hirschsprung's disease was
confirmed by biopsy, barium enema or contrast enema, and anorectal manometry.
Early diagnosis is crucial to conduct rapid and appropriate treatment and to
prevent complications. Keywords: Hirschprung disease, symptoms, diagnose
PENDAHULUAN
Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus besar
merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang terdiri dari
sekum, kolon, dan rectum. Dimana diameter usus besar lebih besar daripada usus
kecil. Semakin ke bawah menuju rectum, diameternya akan semakin kecil (Izadi
M, 2007). Secara fisiologis, usus besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan
elektrolit. Selain itu, usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan
mendorongnya keluar. Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom.
Inervasi usus besar sangat berkaitan dengan sel ganglion pada 2
submukosa (Meissner’s) dan pleksus myenteric (Aurbach’s) pada usus besar
bagian distal. Apabila sel ganglion tersebut tidak ada, maka akan timbul penyakit
yang disebut Hirschsprung’s Disease (Izadi M, 2007). Penyakit Hirschsprung
merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling sering pada usus besar
(colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses hingga ke
rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk
mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses
tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011). Pada
tahun 1886, Harold Hirschsprung menemukan penyakit ini untuk pertama kalinya.
Ia menyimpulkan bahwa penyakit Hirschsprung dapat mengakibatkan nyeri
abdomen dan konstipasi pada bayi atau anak-anak, namun hal ini belum diketahui
patofisiologinya secara pasti. Hingga tahun1993, dimana Robertson dan
Kermohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik di bagian distal akibat defisiensi sel
ganglion pada organ usus (colon) (Hidayat M, 2009).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering dialami
oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung terdiagnosis pada
bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau
dewasa muda (Izadi M, 2007). Terdapat kecenderungan bahwa penyakit
Hirschsprung dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu.
Angka kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000
kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan
mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan
4:1. Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat
lahir ≥ 3kg yang terlambat mengeluarkan tinja, hal ini juga dapat dialami oleh
bayi yang lahir kurang bulan. Penyakit Hirschsprung dapat berkembang menjadi
buruk dan dapat mengancam jiwa pasien, apabila terjadinya keterlambatan dalam
mendiagnosis penyakit ini (Lorijn,2006). Penegakan diagnosis dini merupakan hal
yang sangat penting, agar dapat lebih cepat merujuk pasien ke dokter spesialis,
sehingga pasien memperoleh penanganan yang lebih baik. Maka dari itu, paper ini
dibuat untuk mengulas gejala-gejala serta tanda yang sering timbul dan khas pada
penyakit Hirschsprung, dan membahas hal-hal yang diperlukan dalam
mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Sehingga kami yang nantinya akan menjadi
dokter umum, mampu mendiagnosis penyakit Hirschsprung dengan lebih dini,
yang nantinya dapat memperkecil angka morbiditas maupun mortalitas dari
penyakit ini.
GEJALA Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonatus

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih kasus
bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak 3
dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious
(hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat
dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami
konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena tingginya kadar laktosa
pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan
dengan mudah (Kessman, 2008)
b. Periode anak-anak

Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa kasus
dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi,
2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis,
gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada
dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi (Kessman, 2008). TANDA
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses
akan langsung menyemprot keluar dengan bau feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus,
punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)

DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan pengeluaran


mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam; adanya muntah bilious
(berwarna hijau); perut kembung; gangguan defekasi/ konstipasi kronis;
konsistensi feses yg encer; gagal tumbuh (pada anak-anak); berat badan tidak
berubah; bahkan cenderung menurun; nafsu makan menurun; ibu mengalami
polyhidramnion; adanya riwayat keluarga. (Hidayat M,2009; Lorijn,2006).
2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang.


Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding
abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah
atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula
dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan
sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool (Izadi,2007; Lorijn,2006;
Schulten,2011). 4
Gambar 1. Pasien penyakit Hirschsprung dengan distensi abdomen.
3. Pemeriksaan Biopsi

Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi, merupakan


langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada beberapa
teknik, yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil
yang didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan ditemukan sel
ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung dieksklusi. Namun pelaksanaan
biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di pilih teknik lain yang kurang
invasive, seperti Barium enema dan anorektal manometri, untuk menunjang
diagnosis(Lorijn,2006;Schulten,201 1).
4. Pemeriksaan Radiologi

Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda obstruksi
usus (Lakhsmi, 2008) Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk
menentukan diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema.
Pada bayi dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal
yang tidak dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total aganglionsis
colon, penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu penegakan
diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak tampak.
Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara lain; terdapat
penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang bervariasi; terdapat
zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone) sampai ke daerah
dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian proksimal zona transisi
(Schulten,2011).
5. Pemeriksaan Anorectal Manometry

Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi


sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam
laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal
manometry. 5
Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter anal.
Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter anal,
tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti
distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada bayi
baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%
(Schulten,2011). DAFTAR PUSTAKA Henna, N et all. 2011. Children With
clinical Presentations of Hirschsprung’s Disease-A Clinicopathological
Experience. Biomedica; 27: 1-4 Hidayat,M et all. 2009. Anorectal Function of
Hirschsprung’s Patient after Definitive Surgery. The Indonesian Journal of
Medical Science; 2: 77-85 Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of
Hirschsprung’s disease: A 6- year course review on admitted patients in Guilan,
North Province of Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322 Lakshmi, P; James, W. 2008.
Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center; 44-46 Prakash, M. 2011.
Hirschsprung’s Disease Scientific Update. SQU Medical Journal; 11: 138-145
Puri, P; Shinkai, T. 2004. Pathogenesis of Hirschsprung’s Disease and It’s Variant
: Recent Progress.University College Dublin; 13: 18-24

Anda mungkin juga menyukai