Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KONSEP TEORI
A. Pengertian
Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionic megacolon. Penyakit
ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionic). Jadi, Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kea rah
atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan”
usus besar dalam menjalankan fungsiny sebagai usus menjadi membesar
(megakolon). Panjang usus besar yang terkenal berbeda-beda untuk setiap
individu.
Hisprung (megakolon/aganglionik congenital) adalah anomaly congenital
yang mengakibatkan ostruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas
sebagian usus.
Hisprung merupakan keadaan tidak ada atau kecilnya sel sarafganglion
parasimpatik pada pleksus meinterikus dari kolon distalis (saccharin, 1986).
Penyakit hisprung adalah suatu kelainan adanya sel ganglion parassimpatis
pada usus, dapat dari kolon sampai usus halus. (Ngastiah, 1997)
Penyakit hisprung adalah anomaly congenital yang mengakibatkan obstruksi
mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. wong,
2003).
Penyakit hisprung atau megakolon adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasasse usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi
aterm dengan berat 3 kg, lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. (Arif
MAnsjooer).

B. Anatomi dan fisiologi


Sistem pencernaan merupakan suatu sistem yang memperoses mengubah
makanan dan menyerap sari makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan
oleh tubuh.

3
Proses pencernaan manuasiadimulai dari masuknya makanan ke dalam mulut.
Mulut adalah pintu masuk ke sistem pencernaan manusia. Gigi mengunyah
makana, memecahnya secara mekanis, sementara tiga kelenjar ludah melepaskan
air liur yang mengandung enzim amylase, yang memecah pati dan lemaksecara
kimia.saliva membuat makanan lebih mudah ditelan sehingga mencegah erosi
email gigi.
Setelah masuk ke bagian belakang tenggorokan makanan bergerak kebawah
kerongkongan yang diangkot dengan menggunakan kontraksi otot. Setelah
bergerak melalui bagian kerongkongan dari sistem pencernaan, makanan dan
minuman mencapai perut, dimana makanan dipecah menajdi bagian yang mudah
dicerna. Ini terjadi didalam labung.
Setelah dihancurkan makanan masuk kedalam usus halus. Pada bagian ini
terjadi absorbsi nutrisi. Kemudian sisa makanan masuk ke usus besar .pada
bagian ini terjadi penyerapan air dalam sari makanan. Setelah itu ampas
makanan siap dikeluarkan melalui anus.
Pada pasien dengan hisprung, sisa makanan yang sudah dicerna ini tidak dapat
dikeluarkan melalui anus karena saraf yang terdapat pada kolon tidak berfungsi
sehingga tidak adanya daya dorong.

C. Etiologi Hisprung
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai
penyebab tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista
neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian
bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis
(aganglion) di daerah tersebut. sehingga menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat
menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian
proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung

4
panjang usus yang mengalami aganglion. (Jurnal: I Putu Trinawan diakses
tanggal 26 desember 2014).

1. Kemungkinan kerusakan sel-sel “neural Crest” ambrional yang berimigrassi


kedalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukosa
untuk berkembang kearah kranio kaudal didalam dinding usus.
2. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach
dikolon.
3. Sebagian besar segmenyang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah
kolon sigmoid dan terjeadi hipertrofiserta distensi yang berlebihan pada kolon
(Ilmu kesehatan anak FKUI, 1985)
4. Sering terjadi pada anak dengan down sydrom
5. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kranoikaudal pada nyentrik dan submukosa dinsing pleksus
( suriadi, 2001)

Sedangkan menurut Budi (2010), hiprung disebabkan oleh aganglionosis


meissner dan aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus
kearah proksimal, 70% terbatas didaerah rektosigmoid, 10% sampai selurub
kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus. Hisprng
diduga terjadi karena factor genetic yang terjadi pada anak dengan down sydrom,
kegagaln sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kraniokaudal pada myentrik dan submukosa dinding pleksus.
Sedangkan menurut Sodikin (2011), penyakit ini belum diketahui.
Kemungkinan melibatkan factor genetic. Terdapat hubungan peningkatan resiko
familial dari penyakit ini, dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan.

5
D. Tipe Hisprung
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996), hisprung dibedakan
sesuai dengan panjang segmen yang terkena. Hisprung dibedakan menjadi dua
tipe berikut:
1. Penyakit hisprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, ini merupakan 70%
dari kasus penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan.

2. Penyakit hisprung segmen panjang


Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atu
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki maupun perempuan.

E. Manifestasi Klinis
Penyakit hisprung ebagian bear diitemukan pada bayi akibat dari kelumpuhan
usus besar dalam menjalankan fungsinya, sehingga feses tidak dapat keluar.
Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan feses pertamanya (mekonium) dalam
24 jam pertama. Namun, pada bayi yang menderita hisprung feses bayi akan
keluar terlambat atau bahkan tidak ada sama sekali.
Selain itu juga perut bayi akan terlihat menggembung disertai muntah. Jika
dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan terjadi gangguan
pertumbuhan (Budi, 2010)
Menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang baru lahir
adalah :
1. Malas makan
2. Muntah berwarna hijau
3. Pembesaran perut (perut membuncit)
4. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
(Betz: 2002)

6
Pada masa pertumbuhan (usia 1-3 tahun), gajala yang ditemukan antara laian :

1. Tidak meningkat berat badan


2. Konstpasi (sembelit)
3. Pembesaran perut (perut membuncit)
4. Diare cair yang keluar seperti disemprot
5. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan
dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.

Pada anak diatas 3 tahun, gejala yang ditemukan adalah :


1. Konstipasi (sembelit)
2. Kotoran seperti pita
3. Berbau busuk
4. Pembesaran perut
5. Pergerakan usus dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
6. Menunjukkan gejala kurang gizi dan anemia.

Pada bayi yang baru lahir manifestasi penyakit hisprung yang khas biasanya
terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium
pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah hijau atau
fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalamm usia
24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus penyakit hisprung mekonium
keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit
lengket dan dalam jumlah cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting
lainnya, yang merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak
keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang
signifikan mengarah pada diagnosis penyakit hisprung. Pada beberapa bayi yang
baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis.

7
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. penyakit
hisprung dapat juga
5 menunjukkan gejala lain seperti adanya fekal impaction, demam, diare yang
menunjukkan adanya tanda-tanda enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh
kembang. 1,4 Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu
atau bulan pertama kehidupan.
Beberapa anak yang lebih besar mengalami konstipasi menetap,
mengalami perubahan pada pola makan dari ASI menjadi susu pengganti atau
makanan padat. Pasien didiagnosis dengan penyakit hisprung karena adanya
riwayat konstipasi, distensi abdomen dan gelombang peristaltik dapat terlihat,
sering dengan enterokolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur spenyakit hisprungincter ani teraba hipertonus dan
rektum biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khusus di
sekitar umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis.
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hisprung yang
berumur kurang dari 3
bulan. Bila ditemukan harus dipikirkan gejala enterokolitis yang merupakan
komplikasi serius dari aganglionosis.2 Enterokolitis terjadi pada 12-58% pada
pasien dengan penyakit hisprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan
iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai perubahan
komponen musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin,
meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau
Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala
walaupun telah dilakukan kolostomy. Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic

8
megacolon yang mengancam jiwa. Enterokolitis ditandai dengan demam, muntah
berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok.
Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat
mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua
anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien
dengan penyakit hisprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang
aganglion dengan perforasi.
Diagnosis dini penyakit hisprung dan penanganan yang tepat sebelum
terjadinya komplikasi merupakan hal yang penting dalam mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.

F. Patofisiologis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
spenyakit hisprungincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.
Dasar patofisiologi dari penyakit hirschprung adalah tidak adanya gelombang
propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari spenyakit hisprungincter
anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus yang terkena.
Tidak terdapatnya ganglion (aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik
usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang
menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian
proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi
dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut, atau
kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang
disertai iritasi feses sehingga menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya
dapat terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi

9
kolon. Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat.
Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan kehilangan cairan rubuh yang
berlebihan.

PATHWAYS

G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus.

10
Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung
pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini,
disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang
diperlukan untuk penegakkan diagnosis.
a. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
b. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
c. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
d. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan
eksterna.
(Betz: 2002).

2. Pemeriksaan Histopatologi
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang
dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon
yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik
(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH
didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut.
Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf
(parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila
menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim
yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin.
Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan
asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi
gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan adanya
zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis PH. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi
anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Disamping

11
memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase
spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-
antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis penyakit
hisprung.
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi
dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan
gambaran pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan
sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan
pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif
selanjurnya. Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi
seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi.
Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan
menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-
mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini
dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum
serta akurasi pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut sebuah
penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung
pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang
diperiksa dan keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria
tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk
pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis
ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan
serabut saraf. Apabila hasil biopsy isap meragukan, barulah dilakukan biopsi
eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hisprung dilakukan dalam dua tahap, yaitu dilakukan
kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus dilatasi dan

12
hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu
dilanjutkan dengan 1-3 prosedur berikut:
1. Prosedur Duhamel, yaitu penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
2. Prosedur swenson, yatu dilakukan anastomosis end to end pada kolon
bergangliondengan saluran anal yang dibatasi.
3. Prosedur saave, yaitu dinding otot dari segemen rectum dibiarkan tetap
utuh, kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
4. Intervensi bedah, terdiri dari pengangkatan ari segmen usus
aganglionik yang mengalamiobstruksi. Pembedahan rekto-
sigmoidektomi dilakukan tehnik pull-through dapat dicapai dengan
proedur tahap ppertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi
didahului oleh kolostomi. Kolostomi ditutup oleh prosedur kedua

I. Komplikasi
Menurut suriadi (2001), komplikasi yang terjadi berupa :
1. Obtruksi usus
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
3. Konstipasi

Sedangkan menurut Betz (2002), komplikasi penyakit hisprung antara lain:


1. Gagal pernapasan akut
2. Enterokolitis
3. Striktura ani (pasca bedah)
4. Inkontinensia (jangka panjang)

13

Anda mungkin juga menyukai