Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

HIRSCHSPRUNG PADA ANAK


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Keperawatan Anak
Dosen Pengampu: Ns. Fiki Wijayanti, S.Kep,, M.Kep.

Disusun oleh:
Sonia Risma Safitri (0712231012)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2023
A. DEFINISI
Penyakit hirschsprung adalah penyakit yang paling sering menyebabkan
obstruksi usus pada bayi (Lee, Sheksherdimian, & Dubois, 2009). Hal ini
disebabkan oleh kurangnya sel ganglion di usus, yang menyebabkan
ketidakadekuatan motilitas pada bagian usus. Sel ganglion ini mungkin saja
tidak ditemukan dari kolon retrosigmoid ke usus kecil (Kyle Terri, 2012).
Penyakit hirschsprung atau megacolon anganglionik (suatu anomaly
kongenital) terjadi saat tidakk ada atau kekurangan sel ganglion parasimpatis
otonom pada pleksus submukosa (Meisner dan pleksus mientrik (Aurebach))
di segmen dinding usus. Bagian anganglionik menyebabkan tidak adanya
peristalsis yang menyebabkan akumulasi materi feses dan obstruksi usus
mekanis (Axton Sharon, 2009).
Penyakit hirschsprung merupakan kelainan perkembangan komponen
intrinsic pada sistem saraf enteric yang ditandai oleh absennya sel-sel
ganglion pada pleksus myenteric dan submukosa di intestinal distal. Karena
sel-sel ini bertanggung jawab untuk peristaltik normal, pasien-pasien
penyakit hirschsprung akan mengalami obstruksi intestinal fungsional pada
level anganglion (Corputy, Elfianto D. & Harsali, 2015).
Penyakit ini merupakan suatu kelainan bawaan berupa anganglionik usus
yang dimulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum atau juga dikatakann
sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapat sel ganglion
parasimpatik dari pleksus auerbach di kolon. Dimana keadaan abnormal
tersebut dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah
keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isis usus
terdorong ke bagian segmen yang tidak ada ganglion dan akhirnya feses
dapat berkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan diare
usus proksimal (Hidayat, A.ALimul, 2008).
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit hirschsprung yang paling umum terjadi adalah:
1. Kurangnya atau tidak adanya sel ganglion di usus yang menyebabkan
tidak adanya peristaltis dan mengakibatkan terjadinya akumulasi materi
feses dan obstruksi usus.
2. Akibat sfingter rektal yang tidak mampu untuk relaksasi sehingga
mencegah evakuasi benda padat, cairan atau gas dan menyebabkan
obstruksi (penyempitan usus).
3. Kelainan perkembangan komponen intrinsic pada sistem saraf enteric
ditandai oleh absennya sel-sel ganglion pada pleksus myenteric dan
submucosa di intestinal distal yang akan menyebabkan obstruksi intestinal
fungsional pada level anganglion.

C. GEJALA KLINIS
Keparahan keterlibatan usus menentukan gambaran klinis yang muncul.
Tanda dan gejala utama pada bayi baru lahir adalah:
1. Kegagalan mengeluarkan meconium dalam 24-48 jam setelah
kelahiran
2. Berkurangnya keinginan bayi untuk minum
3. Distensi abdomen (menumpuknya cairan atau feses) sehingga perut
menjadi buncit
4. Bisa juga terjadi mual muntah yang bercampur empedu atau muntah
hijau

Untuk bayi yang lebih tua bisa mengalami gagal tumbuh, konstipasi, diare
yang berlebih, muntah dan distensi abdomen. Jika pada saat penyakit tidak
terdiagnosis hingga masa kanak-kanak, gejalanya meliputi malnutrisi, letargi
(penurunan kesadaran), atrofi otot, abdomen yang membesar, konstipasi
kronis, dan keluarnya feses berbentuk seperti pita (Axton Sharon, 2009).

Penyakit hirschsprung biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan


dengan manifestasi klinis yang khas yaitu pengeluaran meconium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Terlambatnya pengeluaran
meconium merupakan tanda yang signifikan. Distensi abdomen dan muntah
hijau merupakan gejala penting lainnya. Pada beberapa bayi yang baru lahir
dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis dengan gejala
berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam. Pada
anak gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk
(failure to thrive) (Corputy, Elfianto D. H& harsali, 2015).

D. PATOFISIOLOGI
Penyakit hirschsprung atau megacolon aganglionik terjadi saat tidak ada
atau kekurangan sel ganglion parasimpatis otonom pada pleksus submukosa
dan pleksus mientrik di segmen dinding usus. Bagian aganglionik
menyebabkan tidak adanya peristaltis, yang menyebabkan akumulasi materi
feses dan obstruksi usus mekanis. Istilah megacolon berasal dari distensi usus
yang dekat dengan defek karena feses yang terjebak di dalam kolon. Selain
itu, sfingter rektal tidak mampu untuk relaksasi sehingga mencegah evakuasi
benda padat, cairan atau gas dan menyebabkan obstruksi dan pengeluaran
feses terhambat. Penumpukan sisa pencernaan yang semakin banyak
merupakan media utama berkembangnya bakteri. Iskemia saluran cerna
berhubungan dengan peristaltik yang abnormal mempermudah infeksi kuman
ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis (peradangan pada lapisan dalam
usus). Panjang segmen aganglionik pada usus dapat bervariasi, mulai dari
area yang kecil (seperti area sfingter ani eksternal) sampai pada seluruh
kolon. Pada sebagian besar anak yang mengalami penyakit hirschsprung
(sekitar 80%), segmen aganglionik hanya mencakup kolon rektosigmoid.
Keparahan keterlibatan usus menentukan gambaran klinis yang muncul.
Tanda dan gejala utama pada bayi baru lahir adalah kegagalan mengeluarkan
meconium dalam 24-48 jam setelah kelahiran, berkurangnya keinginan bayi
untuk minum, distensi abdomen (menumpuknya cairan atau feses), bisa juga
terjadi muntah yang bercampur empedu atau muntah hijau. Untuk banyi yang
lebih tua bisa mengalami gagal tumbuh, konstipasi, daire yang berlebih,
muntah dan distensi abdomen (Axton Sharon, 2009).
E. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan pembedahan pada kasus yang parah atau bayi yang
sakit biasanya meliputi kolostomi, sementara pada bagian usus yang
memiliki inervasi normal dan pengangkatan usus aganglionik.
Pembedahan korektif definitif (prosedur penyembuhan) dilakukan 3-6
bulan kemudian dan kolostomi ditutup. Pada bayi yang mengalami
penyakit hirschprung sebagai penyakit kronis, perawatan
pembedahan, medis dan psikososial yang dilakukan seumur hidup
mungkin diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup. (Axton
Sharon, 2009)
b. Pembedahan Korelatif
1) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson dalam
penanganan penyakit hirschprung. Pemilihan prosedur Duhamel
pada penanganan hirschprung karena dianggap lebih aman dan
komplikasi pasca operasi lebih minimal. Prosedur Duhamel
dilakukan pada penyakit hirschprung tipe klasih atau tipe
rektosigmoid, prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon
proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior
rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum
yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose
end to side (bagian kolon yang mengalami gangguan diangkat dan
dua bagian yang sehat akan disambungkan kembali) sfingter ani
internus. Anastomosis dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem
Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah
terjadi. Stenosis dapat terjadi karena pemotongan septum yang
tidak sempurna. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya sering terjasi stenosis (penyempitan),
inkontinensia dan pembentukan fekaloma (struktur menyerupai
batu) di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. (Holschneider & Langer, 2005)
2) Prosedur Swenson (Pull Trought)
Orvar Swenson dan Bill (1948) adalah orang yang
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-trought) sebagai
tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschprung. Pada
dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm
rektum distal dari linea dentata. Yang sebenarnya adalah
meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan
pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode
operasinya (1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior,
yaitu hanya dengan menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan
0,5-1 cm rektum posterior.
3) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end (bagian kolon yang
mengalami gangguan diangkat dan dua bagian yang sehat akan
disambungkan kembali) antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge)
menggunakan jahitan 1 lapis. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi (melakukan patensi lubang anus setelah
operasi pembuatan lubang) secara rutin guna mencegah stenosis
(penyempitan).
4) Bowel Training
Bowel Training adalah pelatihan usus untuk membangun
kembali gerakan usus normal pada orang yang mengalami
sembelit, diare, dan inkontinensia tidak teratur. Bowel Training
adalah kegiatan mambantu pasien untuk melatih bowel secara
rutin pada pasien yang mengalami masalah eliminasi bowel
(feses) tidak teratur. Langkah-langkah bowel training :
a) Dapat menggunakan stimulasi digital untuk memicu buang air
besar
b) Masukkan jari pelumas kedalam anus dan membuat gerakan
melingkar sampai spinkter berelaksasi. Proses ini
membutuhkan waktu beberapa menit
c) Setelah melakukan rangsangan, duduk dalam posisi normal
untuk buang air besar. Jika terbatas pada tempat tidur dan
tidak atau belum dapat berjalan, gunakan pispot untuk latihan
d) Jika rangsangan digital tidak menghasilkan buang air besar
dalam waktu 20 menit, ulangi prosedur
e) Lakukan stimulasi digital setiap hari sampai membangun pola
buang air besar teratur
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan mencakup memberikan asuhan pasca
operasi, melaksanakan perawatan kolostomi, dan memberikan edukasi
kepada anak dan keluarga.
a. Penatalaksanaan Prapembedahan
Penatalaksanaan prapembedahan pada klien hirschprung adalah
sebagai berikut :
1) Memantau fungsi usus (peristaltik) dan karakteristik feses
2) Memberikan spooling dengan air garam fisiologis bila tidak ada
kontraindikasi
3) Penatalaksanaan medis dalam rencana pembedahan
4) Pengukuran abdomen untuk mengkaji distensi abdomen
5) Pemberian enema untuk mencari penyempitan usus yang terjadi
(Hidayat, A. Alimul, 2008)
b. Penatalaksanaan Perawatan Pascaoperasi dan Ostomi
Berikan perawatan pascaoperasi rutin dan observasi untuk melihat
kemungkinan komplikasi enterokolitis. Anak yang menderita penyakit
hirschprung dapat memiliki kolostomi, bergantung pada derajat
penyakit di usus. Ukur haluaran urine secara akurat untuk mengkaji
status volume cairan anak dan observasi tanda dan gejala enterokolitis
(peradangan pada lapisan dalam usus) berikut :
1) Demam
2) Distensi
3) Diare kronik
4) Feses eksplosit
5) Perdarahan rektum
6) Mengejan
Jika salah satu gejala diatas ditemukan, segera beritahu dokter atau
Perawat praktisi, istirahatkan usus, dan berikan cairan intravena dan
antiobiotik untuk mencegah terjadinya syok dan kemungkinan
kematian. (Kyle Terri, 2012).
Penatalaksanaan pascapembedahan (Hidayat, A. Alimul, 2008) :
1) Melakukan observasi atau pemantauan tanda nyeri
2) Melakukan teknik pengurangan nyeri
3) Memantau tempat insisi
4) Melakukan perawatan luka ostomi
5) Melakukan perawatan pada kolostomi
6) Mengganti kantong kolostomi
7) Kolaborasi pemberian antibiotik untuk pengobatan
mikroorganisme
8) Memantau adanya tanda komplikasi seperti obstruksi usus karena
pelengketan, sepsis, enterokolitis, konstipasi, perdarahan, dll
9) Memantau peristaltik usus
10) Memantau tanda vital adan adaya distensi abdomen
c. Melakukan Edukasi kepada Anak dan Keluarga
Keluarga biasanya mengalami kecemasan dan takut mengenai
pembedahan yang akan dilakukan dan komplikasinya. Untuk
merdakan ansietas pada keluarga kita dapat memberikan informasi
mengenaik diagnosis dan prosedur diagnosis bedah yang akan dijalani
anak
Melakukan penyuluhan pascaoperasi untuk mengedukasi orang tua
mengenai asuhan stoma yang tepat dan juga manajemen medikasi
(untuk mencegah dehidrasi, sebagian besar anak yang mengalami
hirschprung akan diprogramkan medikasi yang bertujuan untuk
memperlambat haluaran feses)
Mengatur jadwal agar keluarga dapat berkonsultasi dengan perawat
yang melakukan perawatan luka untuk membantu mereka mengatasi
ansietas dan merawat stoma yang baru dipasang. Berikan edukasi
mengenai kemungkinan masalah pascapembedahan, tekankan
pentingnya terapi medikasi yang cepat dan tepat untuk tanda
enterokolitis (Kyle Terri, 2012)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik umum diprogramkan untuk
pengkajian penyakit hirschprung antara lain :
a. Enema barium atau radiografi abdomen : Untuk mencari penyempitan
usus dan kolon proksimal dengan rektum yang kosong dan tidak
membesar
b. Biopsi Pengisapan Rekal : Untuk menunjukkan tidak adanya sel ganglion
c. Manometri anorekal : Dilakukan dengan distensi balon yang diletakkan di
dalam ampula rektum. Balon akan mengalami penurunan tekanan di
dalam sfingter ani interna pada pasien yang normal. Sedagkan pada
pasien yang megacolon akan mengalami tekanan yang luar biasa
d. Pemeriksaan colok anus: Pada pemeriksaan ini, jari akan merasakan
jepitan dan pada waktu tinja menyemprot. Pemeriksaan ini untuk
mengetahui bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada
usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan
e. Foto rontgen abdomen : Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara
kolon proksimal yang melebar normal dan colon distal tersumbat dengan
diameter yang lebih kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak
berelaksasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen akan ditemukan usus
melebar/ gambaran obstruksi usus letak rendah. (Kyle Terri, 2012)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIRSCHPRUNG PADA ANAK

A. MELAKUKAN PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan pada anak yang mengalami hirschprung mencakup
identitas pasien, riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang
1. Identitas pasien yang meliputi :
a. Nama :
b. Umur dan tanggal lahir :
c. Jenis Kelamin :
d. Nama orang tua
Ayah :
Ibu :
e. Alamat :
2. Riwayat Kesehatan
Yaitu mengkaji keterangan tentang penyakit dan keluhan utama saat
ini. Kaji apakah bayi baru lahir mengeluarkan feses mekonium, sebagian
besar anak yang menderita penyakit hirschprung tidak mengeluarkan
feses mekonium dalm 24 hingga 48 jam pertama setelah kelahiran. Bayi
baru lahir juga memerlukan stimulasi rektum untuk mengeluarkan feses
mekonium pertamanya atau bayi yang mengeluarkan sumbatan mekonium
harus dievaluasi untuk penyakit hirschprung.
Gali riwayat medis anak saat ini dan sebelumnya untuk menemukan
faktor resiko, seperti riwayat penyakit kelaurga hirschprung atau atresia
usus (tidak memiliki lubang normal)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Dengan melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi abdomen,
abdomen biasanya mengalami distensi dan sering kali masa feses dapat
dipalpasi di abdomen
b. Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar
abdomen semakin besar seiring dengan pertambahan besarnya distensi
abdomen
c. Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan tanda vital mempengaruhi
keadaan umum klien
d. Melakukan pemeriksaan rektal, untuk mengkaji tonus rektal dan
adanya feses di rektum. Sering kali pada kasus penyakit hirschprung
tidak ada feses di rektum. Akan tetapi di akhir pemeriksaan rektal,
ketika jari ditarik anak yang menderita hirschprung dapat
mengeluarkan materi feses dengan dorongan yang kuat. (Kyle Terri,
2012)
4. Pemeriksaan Diagnostik
Penyakit hirschprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal
biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan
terapeutik yaitu dengan pembedahan dan kolostomi.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Axton, Sharon. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta: ECG.

Kyle, Terri & Susan Carman. 2012. Buku Ajar Keperawatan Perdiatrik. Jakarta:
ECG

Corputty, Elfianto dkk. 2015. Gambaran Pasien Hirschprung Di Rsup Prof. Dr. R
D. Kandou Manado Periode Januari 2010- September 2014. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal e-Clinic (eCI),
volume 3, Nomer 1, Januari-April 2015

Anda mungkin juga menyukai