Anda di halaman 1dari 16

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

(STIKes PERTAMEDIKA)
VIVI DWI AFRILIANI
21118081/Akt. VIII/2018
Program Profesi Keperawatan

LAPORAN PENDAHULUAN HISPRUNG

A. Definisi
Hirschprung (megakolon / aganglionic congenital) adalah anomali kongenital
yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas
sebagian usus. Hisprung merupakan keadaan tidak ada atau kecilnya sel saraf
ganglion parasimpatik pada pleksus meinterikus dari kolon distalis. Daerah yang
terkena dikenal sebagai segmen aganglionik (Sodikin, 2011).

Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali


kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan
motilitas sebagian usus. Penyakit Hirschprung merupakan ketiadaan (atau, jika
ada, kecil) saraf ganglion parasimpatik pada pleksus meinterikus kolon distal.
Daerah yang terkena dikenal sebagai segmen aganglionik (Sodikin, 2011).

Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus
kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu.

Vivi Dwi Afriliani Page 1


B. Etiologi
1. Penyebab penyakit hisprung belum diketahui. Namun, kemungkinan ada
keterlibatan faktor genetik. Anak laki-laki lebih banyak terkena penyakit
hisprung dibandingkan anak perempuan (4:1). (Sodikin, 2011)
2. Mungkin karena kegagalan sel-sel krista naturalis untuk bermigrasi ke dalam
dinding usus suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan
rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah
tersebut, sehingga menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga
profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya
distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul
gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang
mengalami aganglion.

C. Klasifikasi
Hirschpung dibedakan berdasarkan panjang segmen yang terkena, hirschprung
dibedakan menjadi dua tipe berikut :
1. Segmen pendek
Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, merupakan
70% kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum,
insidenya 5 kali lebih besar pada laki-laki dibanding wanita dan kesempatan
bagi saudara laki-laki dari penderita anak untuk mengalami penyakit ini
adalah 1 dalam 20
2. Segmen panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat
menyerang seluruh kolon atau sampai usus halus. Anak laki-laki dan
perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa
membedakan jenis kelamin (Sodikin, 2011).

Vivi Dwi Afriliani Page 2


D. Tanda dan Gejala
Konstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada hirshprung, dan bayi baru
lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Bayi baru lahir tidak bisa
mengeluarkan Mekonium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak
malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan
distensi abdomen.

Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat
keluar (>24jam), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus,
kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau
bahkan lebih mungkin menandkan terdapat obstruksi rektum dengan distensi
abdomen progresif dan muntah; sedangkan pada anak lebih besar kadang-kadang
ditemukan keluhan adanya diare atau anterokolitis kronik yang lebih menonjol
daripada tanda-tanda obstipasi.

Terjadinya diare yang berganti ganti dengan konstipasi merupakan hal yang tidak
laim. Apabila disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak akan mengeluarkan
feses yang bear dan mengandung darah serta sangat bau, dan terdapat peristaltic
dan bising usus yang nyata.

Sebagaian besar dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sedangkan


yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan
yang meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur anak. pada anak yang lebih
tua biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan
pertumbuhan. (Sodikin, 2011)

Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi
total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi
mekonium. Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi,

Vivi Dwi Afriliani Page 3


muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu
atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis
dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot
pada colok dubur merupakan tanda yang khas.
Gejala Penyakit Hirshprung menurut Cecily Lynn Betz, 2009 :
1. Masa neonatal (baru lahir-11bulan)
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 - 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Enggan minum (Menyusu)
d. Distensi abdomen
2. Masa Bayi dan anak - anak (1-3 tahun)
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita dan berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
f. Gagal tumbuh
g. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia.

E. Patofisiologi
Istilah kongenital aganglion megakolon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa colon distal.
Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada
usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan ke abnormalan atau tidak adanya
gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus konstan
serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses
secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada
megakolon. (Cecily Lynn Betz, 2009)

Vivi Dwi Afriliani Page 4


Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian kolon tersebut melebar

F. Pathway

Vivi Dwi Afriliani Page 5


G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme
anus. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan
memiliki gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik
yang saksama dapat membedakan keduanya. Pada anak yang lebih besar,
distensi abdomen yang disebabkan adanya ketidakmampuan melepaskan
flatus jarang ditemukan Differensial.
2. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada penderita Hirschsprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk
dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen
rektum yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara
dan mekonium (Feses) yang menyemprot. (Sodikin, 2011)
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang
sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan
pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit
b. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit
dan platelet preoperatif
c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi
dilakukan.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah
b. Dengan pemeriksaan Barium Enema akan ditemukan :
1) Terdapat daerah transisi

Vivi Dwi Afriliani Page 6


2) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
3) Enterokolitis pada segmen yang melebar
4) Adanya penyumbatan pada kolon
5) Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam (Padila, 2012).
5. Pemeriksaan lain-lain
a. Biopsi rektal dilakukan dengan anestesi umum, hal ini melibatkan
diperolehnya sampel lapisan otot rektum untuk pemeriksaan adanya sel
ganglion dari pleksus Aurbach (Biopsi) yang lebih superfisial untuk
memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
(Sodikin, 2011)
b. Biopsi otot rektum. Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat
traumatik, menunjukan aganglionosis otot rektum. Caranya adalah
dengan mengambil lapisan otot rektum, yang dilakukan di bawah
narkose. (Ngastiyah, 2010)
c. Biopsi isap, caranya adalah dengan mengambil mukosa dan submukosa
dengan alat pengisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
(Ngastiyah,2010)
d. Manometri anorektal merupakan uji dengan suatu balon yang
ditempatkan dalam rektum dan dikembangkan. Secara normal,
dikembangkannya balon akan menghambat sfingter ani interna. Efek
inhibisi pada penyakit hirschsprung tidak ada dan jika balon berada di
dalam usus aganglionik, dapat diidentifikasi gelombang rektal yang
abnormal. Uji ini efektif dilakukan pada masa neonatus karena dapat
diperoleh hasil baik positif palsu ataupun negatif palsu. (Sodikin,2011)
e. Pemeriksaan aktivitas enzim Asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap.
bila ditemukan peningkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase, maka
berarti khas penyakit hirsprung. (Ngastiyah, 2010)
f. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus. (Ngastiyah,
2010).

Vivi Dwi Afriliani Page 7


H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan terapeutik
Penatalaksanaan pembedahan bertujuan untuk :
a. Memperbaiki bagian yang aganglionik diusus besar
b. Membebaskan dari obstruksi
c. Mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal
d. Mengembalikan fungsi spinkter ani internal
Penatalaksanaan pembedahan tersebut terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Ostomi/kolostomi sementara (temporaryostomy), yang dibuat dekat
dengan segmen anganglionik yang bertujuan untuk melepaskan obstruksi
dan secara normal melemah dan usus besar dilatasi untuk mengembalikan
ke ukuran normal
b. Pembedahan koreksi atau perbaikan dilakukan kembali, biasanya pada
waktu berat bayi atau anak telah mencapai 9kg atau sekitar setelah
operasi pertama.
Beberapa prosedur pembedahan terhadap penyakit hirsprung adalah
Swenson, Duhamel, Boley, dan Soave. Namun prosedur Soave adalah
prosedur pembedahan untuk penyakit hirsprung yang paling sering
digunakan. Prinsipnya yaitu dengan penarikan usus besar yang normal bagian
akhir dimana mukosa anganglionik telah diubah.
a. Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannyadibelakang usus aganglionik
b. Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis endtoend pada kolon
berganglion dengan saluran anal yang dibatasi
c. Prosedur soave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh.
Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
2. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum ini terutama ditujukan pada orang tua yang memiliki
bayi dengan penyakit hirsprung, Dimana tindakan yang dilakukan sebagai
bidan atau perawat adalah :

Vivi Dwi Afriliani Page 8


a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital
penyakit hirsprung pada bayinya secara dini
b. Membantu ikatan kasih sayang antara orang tua dan bayi
(Bondingattechment)
c. Mempersiapkan orang tua terhadap adanya tindakan pembedahan pada
bayinya
d. Mengajarkan orang tua cara perawatan kolostomi yang benar
e. Memperhatikan status nutrisi bayinya.
3. Penatalaksanaan medis
Hanya dengan operasi. Bila belum dapat dilakukan operasi, biasaanya
(merupakan tindakan sementara) dipasang pipa rektum, dengan atau tanpa
dilakukan pembilasan dengan air garam fisiologis secara teratur. (Ngastiyah,
2010).

I. Komplikasi
1. Obstruksi usus
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektolit
3. Konstipasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakn bedah penyakit hisprung dapat
digolongkan atas :
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma
colok dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak
hati-hati. Manifestasi klinis yang terljadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam, mulai dari abses rongga pelvic, abses intra abdomen, peritonisis,
sepsis dan kematian

Vivi Dwi Afriliani Page 9


2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur
Soave. Manifestasi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis
hingga vistula perianal
3. Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan
kematian. Tindakan yang dapat dilakukan dengan penderita dengan tanda-
tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan wash out dengan
cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic yang tepat
4. Gangguan fungsi spingter.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan
bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih
sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh
kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan.
a. Informasi identitas/data dasar : Nama, umur, jenis kelamin, agama,
alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Keluhan utama : Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru
lahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar

Vivi Dwi Afriliani Page 10


(lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna
hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
c. Riwayat kesehatan sekarang : Yang diperhatikan adanya keluhan
mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan
muntah hijau atau fekal. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan
pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan masa lalu : Apakah sebelumnya klien pernah
melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat
alergi, imunisasi.
e. Riwayat Nutrisi meliputi : Masukan diet anak dan pola makan anak.
f. Riwayat kesehatan keluarga : Tanyakan pada orang tua apakah ada
anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
g. Riwayat tumbuh kembang : Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien
merasakan sudah BAB.
h. Riwayat kebiasaan sehari-hari : Kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti berbau
busuk.
b. Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
c. Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.
e. Sistem integument : Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh,
warna kulit, ada tidaknya edema kulit, dan elastisitas kulit.
f. Sistem respirasi : Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi
pernapasan
g. Sistem kardiovaskuler : Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur,
gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
h. Sistem penglihatan : Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata.

Vivi Dwi Afriliani Page 11


i. Sistem Gastrointestinal : Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri,
auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi
abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah).
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar
atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
2) Barium Enema ditemukan :
a) Terdapat daerah transisi
b) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c) Enterokolitis pada segmen yang melebar
d) Ada penyumbatan pada kolon
e) Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam
b. Pemeriksaan colok dubur
Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen rektum
yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium (Feses) yang menyemprot dan feses berbau busuk.
1) Biopsi isap
Ditemukan peningkatan aktivitas enzim asetilkolinenterase,
merupakan tanda khas penyakit hirsprung
2) Biopsi rectal
Tidak terdapat sel-sel ganglion

K. Dagnosa Keperawatan
Post Operasi :
1. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya insisi
3. Cemas keluarga berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga
mengenai pengobatan dan perawatan post operasi

Vivi Dwi Afriliani Page 12


L. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
1. Nyeri akut b.d insisi Tujuan : Pain Management
pembedahan Setelah dilakukan 1. Kaji secara komprehensif
tindakan keperawatan tentang nyeri meliputi :
3 x 24 jam nyeri lokasi, karakteristik dan
berangsur teratasi onset, durasi, frekuensi,
NOC : kualitas, intensitas atau
Pain Level beratnya nyeri dan faktor-
faktor presipitasi
Kriteria Hasil : 2. Observasi isyarat-isyarat
1. Mengenali faktor non verbal dari
dan penyebab ketidaknyamanan,
nyeri khususnya dalam
2. Menggunakan ketidakmampuan untuk
metode komunikasi secara efektif
pencegahan nyeri 3. Gunakan komunikasi
3. Mengenali gejala terapeutik agar pasien
nyeri dapat mengekspresikan
nyeri
4. Kontrol faktor – faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex :
temperatur ruangan,
penyinaran)
5. Ajarkan penggunaan
teknik nonfarmakologi
(misalnya : relaksasi,
guided imagery, distraksi,
terapi bermain, terapi
aktivitas).

Analgetik Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan

Vivi Dwi Afriliani Page 13


derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis
dan frekuensi
3. Pilih analgetik yang
diperlukan / kombinasi
dari analgetik ketika
pemberian lebih dari satu.
4. Tentukan pilihan analgetik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri.
2. Resiko infeksi b.d insisi Tujuan : Infection Protection
luka post operasi dan Setelah dilakukan 1. Monitor tanda gejala
imunitas menurun tindakan keperawatan infeksi sistemik dan lokal
selama 2 x 24 jam 2. Monitor kerentanan
resiko infeksi dapat terhadap infeksi
teratasi dan luka 3. Inspeksi kulit dan
sembuh sempurna membran mukosa terhadap
NOC : kemerahan, panas dan
Imune Status drainase
4. Inspeksi kondisi luka /
Kriteria Hasil : insisi bedah
1. Pasien bebas dari 5. Dorong masukan nutrisi
gejala infeksi yang cukup
2. Mengetahui 6. Anjurkan banyak istirahat
proses penularan
penyakit
3. Menunjukan
kemampuan
untuk mencegah
timbulnya infeksi
4. Menunjukan
perilaku hidup
sehat

Vivi Dwi Afriliani Page 14


3. Cemas b.d kurang Tujuan : 1. Bina hubungan saling
pengetahuan keluarga setelah dilakukan percaya
mengenai pengobatan tindakan keperawatan 2. Berikan kesempatan
dan perawatan luka 1 x 24 jam, kecemsan keluarga klien untuk
keluarga berkurang mengungkapkan keinginan
dan harapan
Kriteria Hasil : 3. Pertahankan kondisi
1. Keluarga klien senyaman mungkin
mampu 4. Berikan penjelasan
mengungkapkan mengenai prosedur
kecemasan pengobatan, perawatan
2. Keluarga klien 5. Berikan penjelasan,
mengungkapkan pelatihan bagaimana
keinginan belajar perawatan klien dirumah
ikut merawat dari perawatan kolostomi,
klien menjaga kebersihan, dan
3. Keluarga klien Diit tepat pada anak.
memahami tujuan
pengobatan dan
perawatan klien
4. Keluarga klien
mampu
melakukan
perawatan
dirumah.

Vivi Dwi Afriliani Page 15


DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan dengan Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2010. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal &
Hepatobilier. Jakarta : Salemba Medika
Taylor, Cynthia. M dan Ralph, Sheila, Aparks. 2013. Diagnosa Keperawatan:
Dengan Rencana Asuhan Keeprawatan, Edisi 10. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria
Hasil NOC. Ed. 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai