Anda di halaman 1dari 15

A.

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Op Hisprung


B. Konsep Dasar
1. Pengertian
Penyakit hisprung merupakan kelainan perkembangan komponen intrinsik pada sistem
saraf enterik yang ditandai oleh absesnya sel-sel ganglion pada pleksusmyenterik dan
submykosa di intestinaldistal. Karena sel-sel ini bertanggungjawab untuk peristaltik
normal, pasien-pasien penyakit hisprung akan mengalami obstruksi intestinal
fungsional pada level aganglion (Corputy, Elfianto D. & Harsali, 2015).

Hisprung (megakolon/aganglionic kongenital) adalah anomali kongenital yang


mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus.
Hisprung merupakan keadaan tidak ada atau kecilnya sel saraf ganglion parasimpatik
pada fleksus meinterikus dari kolon distalis. Daerah yang terkena dikenal sebagai
segmen aganglion (Sodikin, 2011).

Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus ke arah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan”usus besar
dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang
usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.

2. Etiologi
1) Penyebab penyakit hisprung belum diketahui. Namun, kemungkinan ada
keterlibatan faktor genetik. Anak laki-laki lebih banyak terkena penyakit hisprung
dibandingkan anak perempuan (Sodikin, 2011)
2) Mungkin karena kegagalan sel-sel krista naturalis untuk bermigrasi ke dalam
dinding usus suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum.
Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut, sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen
terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon
di bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis
tergantung panjang usus yang mengalami aganglion.

3. Klasifikasi
Hirschpung dibedakan berdasarkan panjang segmen yang terkena, hirschprung
dibedakan menjadi dua tipe berikut :
1) Segmen pendek
Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, merupakan 70%
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidenya 5 kali
lebih besar pada laki-laki dibanding wanita dan kesempatan bagi saudara laki-laki
dari penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dalam 20
2) Segmen panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat menyerang
seluruh kolon atau sampai usus halus. Anak laki-laki dan perempuan memiliki
peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin
(Sodikin, 2011).

4. Tanda dan Gejala


Konstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada hirshprung, dan bayi baru lahir
dapat merupakan gejala obstruksi akut. Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan
Mekonium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi
cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen.

Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar
(>24jam), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinan
ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih
mungkin menandkan terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen progresif dan
muntah; sedangkan pada anak lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan adanya
diare atau anterokolitis kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda obstipasi.
Terjadinya diare yang berganti ganti dengan konstipasi merupakan hal yang tidak laim.
Apabila disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak akan mengeluarkan feses yang
bear dan mengandung darah serta sangat bau, dan terdapat peristaltic dan bising usus
yang nyata.

Sebagaian besar dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sedangkan yang
lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan yang
meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur anak. pada anak yang lebih tua biasanya
terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan. (Sodikin,
2011)

Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit
Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir
dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi.
Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi
abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada colok dubur merupakan
tanda yang khas.
Gejala Penyakit Hirshprung menurut Cecily Lynn Betz, 2009 :
1) Masa neonatal (baru lahir-11bulan)
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 - 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Enggan minum (Menyusu)
d. Distensi abdomen
2) Masa Bayi dan anak - anak (1-3 tahun)
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita dan berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
f. Gagal tumbuh
g. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia.

5. Patofisiologi
Istilah kongenital aganglion megakolon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa colon distal. Segmen
aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan ke abnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus konstan serta spinkter rektum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada megakolon. (Cecily Lynn Betz, 2009)

Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan
feses terkumpul didaerah tersebut menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang
proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian
kolon tersebut melebar.

6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme
anus. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan
memiliki gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang
saksama dapat membedakan keduanya. Pada anak yang lebih besar, distensi
abdomen yang disebabkan adanya ketidakmampuan melepaskan flatus jarang
ditemukan Differensial.
2) Pemeriksaan Colok Dubur
Pada penderita Hirschsprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk
dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen
rektum yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium (Feses) yang menyemprot. (Sodikin, 2011)
3) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanaan cairan dan elektrolit
b) Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan
platelet preoperatif
c) Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
4) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah
b. Dengan pemeriksaan Barium Enema akan ditemukan :
a) Terdapat daerah transisi
b) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c) Enterokolitis pada segmen yang melebar
d) Adanya penyumbatan pada kolon
e) Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam (Padila, 2012).
5) Pemeriksaan lain-lain
a. Biopsi rektal dilakukan dengan anestesi umum, hal ini melibatkan
diperolehnya sampel lapisan otot rektum untuk pemeriksaan adanya sel
ganglion dari pleksus Aurbach (Biopsi) yang lebih superfisial untuk
memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
(Sodikin, 2011)
b. Biopsi otot rektum. Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik,
menunjukan aganglionosis otot rektum. Caranya adalah dengan mengambil
lapisan otot rektum, yang dilakukan di bawah narkose. (Ngastiyah, 2010)
c. Biopsi isap, caranya adalah dengan mengambil mukosa dan submukosa
dengan alat pengisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
(Ngastiyah,2010)
d. Manometri anorektal merupakan uji dengan suatu balon yang ditempatkan
dalam rektum dan dikembangkan. Secara normal, dikembangkannya balon
akan menghambat sfingter ani interna. Efek inhibisi pada penyakit
hirschsprung tidak ada dan jika balon berada di dalam usus aganglionik,
dapat diidentifikasi gelombang rektal yang abnormal. Uji ini efektif
dilakukan pada masa neonatus karena dapat diperoleh hasil baik positif
palsu ataupun negatif palsu. (Sodikin,2011)
e. Pemeriksaan aktivitas enzim Asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap. bila
ditemukan peningkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase, maka berarti
khas penyakit hirsprung. (Ngastiyah, 2010)
f. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus. (Ngastiyah,
2010).
7. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan terapeutik
Penatalaksanaan pembedahan bertujuan untuk :
a. Memperbaiki bagian yang aganglionik diusus besar
b. Membebaskan dari obstruksi
c. Mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal
d. Mengembalikan fungsi spinkter ani internal
Penatalaksanaan pembedahan tersebut terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Ostomi/kolostomi sementara (temporaryostomy), yang dibuat dekat dengan
segmen anganglionik yang bertujuan untuk melepaskan obstruksi dan secara
normal melemah dan usus besar dilatasi untuk mengembalikan ke ukuran
normal
b. Pembedahan koreksi atau perbaikan dilakukan kembali, biasanya pada
waktu berat bayi atau anak telah mencapai 9kg atau sekitar setelah operasi
pertama.
Beberapa prosedur pembedahan terhadap penyakit hirsprung adalah Swenson,
Duhamel, Boley, dan Soave. Namun prosedur Soave adalah prosedur
pembedahan untuk penyakit hirsprung yang paling sering digunakan. Prinsipnya
yaitu dengan penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa
anganglionik telah diubah.
a. Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannyadibelakang usus aganglionik
b. Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis endtoend pada kolon
berganglion dengan saluran anal yang dibatasi
c. Prosedur soave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh.
Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
2. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum ini terutama ditujukan pada orang tua yang memiliki bayi
dengan penyakit hirsprung, Dimana tindakan yang dilakukan sebagai bidan atau
perawat adalah :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital penyakit
hirsprung pada bayinya secara dini
b. Membantu ikatan kasih sayang antara orang tua dan bayi
(Bondingattechment)
c. Mempersiapkan orang tua terhadap adanya tindakan pembedahan pada
bayinya
d. Mengajarkan orang tua cara perawatan kolostomi yang benar
e. Memperhatikan status nutrisi bayinya.
3. Penatalaksanaan medis
Hanya dengan operasi. Bila belum dapat dilakukan operasi, biasaanya
(merupakan tindakan sementara) dipasang pipa rektum, dengan atau tanpa
dilakukan pembilasan dengan air garam fisiologis secara teratur. (Ngastiyah,
2010).
8. Komplikasi
a. Obstruksi usus
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektolit
c. Konstipasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakn bedah penyakit hisprung dapat
digolongkan atas :
a) Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua tepi
sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terljadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai
dari abses rongga pelvic, abses intra abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian
b) Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan
bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi dapat
berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga vistula perianal
c) Enterokoliti
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan
kematian. Tindakan yang dapat dilakukan dengan penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan wash out dengan cairan
fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic yang tepat
d) Gangguan fungsi spingter

C. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid
bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan.
a. Informasi identitas/data dasar : Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Keluhan utama : Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias
yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah
muntah dan diare.
c. Riwayat kesehatan sekarang : Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium
keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan masa lalu : Apakah sebelumnya klien pernah melakukan
operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
e. Riwayat Nutrisi meliputi : Masukan diet anak dan pola makan anak.
f. Riwayat kesehatan keluarga : Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota
keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
g. Riwayat tumbuh kembang : Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan
sudah BAB.
h. Riwayat kebiasaan sehari-hari : Kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum
dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti berbau busuk.
b. Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bising usus.
c. Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.
e. Sistem integument : Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, warna
kulit, ada tidaknya edema kulit, dan elastisitas kulit.
f. Sistem respirasi : Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
g. Sistem kardiovaskuler : Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop),
irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
h. Sistem penglihatan : Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata.
i. Sistem Gastrointestinal : Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri,
auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen,
muntah (frekuensi dan karakteristik muntah).
3. Diagnosa keperawatan utama (minimal 3 diagnosa lengkap)
1) Nyeri akut (D.0077)
a. Tanda dan gejala Mayor
a) Subjektif
- Mengeluh nyeri
b) Objektif
- Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi meningkat
- Sulit tidur
b. Tanda dan gejala Minor
a) Subjektif
- tidak tersedia
b) Objektif
- Tekanan darah meningkat
- Pola nafas berubah
- Nafsu makan berubah
- Proses berfikir terganggu
- Menarik diri
- Berfokus pada diri sendiri
- Diaforesis
2) Resiko Infeksi
a. Faktor resiko
- Penyakit kronis (mis. DM)
- Efek prosedur invasif
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
- Ketidakadekuatan pretahanan tubuh primer
 Gangguan peristaltik
 Kerusakan integritas kulit
 Perubahan sekresi pH
 Penurunan kerja siliaris
 Ketuban pecah lama
 Ketuban pecah sebelum waktunya
 Merokok
 Statis cairan tubuh
- Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
 Penurunan hemoglobin
 Imununosupresi
 Leukopenia
 Supresi respon imflamasi
 Vaksinasi tidak adekuat
3) Gangguan rasa nyaman
1) Tanda dan gejala mayor
a. Subjektif
- Mengeluh tidak nyaman
b. Objektif
- Gelisah
2) Tanda dan gejala minor
a. Subjektif
- Mengeluh sulit tidur
- Tidak mampu rileks
- Mengeluh kedinginan/kepanasan
- Merasa gatal
- Mengeluh mual
- Mengeluh lelah
b. Objektif
- Menunjukan gejala distres
- Tampak merintih/menangis
- Pola eliminasi berubah
- Postur tubuh berubah
- Iritabilitas
4. Perencanaan keperawatan
1) Nyeri akut
 Kriteria dan hasil
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
nyeri akut pada pasien teratasi, dengan kriteria hasil:
Tingkat nyeri :
- Keluhan nyeri dari meningkat (1) menjadi menurun (5)
- Meringis dari meningkat (1) menjadi menurun (5)
- Gelisah dari meningkat (1) menjadi menurun (5)
 Intervensi
Pemberian analgesik
Observasi
- Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi, durasi)
- Identifikasi riwayat alergi obat
- Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non narkotika, atau
NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
Teraupetik
- Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal,
jika perlu
- Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
- Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
2) Resiko Infeksi
 Kriteria dan hasil
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
resiko infeksi pada pasien tidak terjaadi, dengan kriteria hasil:
Tingkat infeksi
- Kebersihan tangan dari cukup menurun (2) menjadi meningkat (5)
- Kebersihan badan dari cukup menurun (2) menjadi meningkat (5)
- Nyeri dari meningkat (1) menjadi menurun (5)
- Kultur area luka dari memburuk (1) menjadi membaik (5)
- Kultur feses dari memburuk (1) menjadi membaik (5)
 Intervensi
Pencegahan infeksi
Observasi
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Teraupetik
- Batasi jumlah pengunjung
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
3) Gangguan rasa nyaman
 Kriteria dan hasil
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
gangguan rasa nyaman pada pasien teratasi, dengan kriteria hasil:
Status kenyamanan
- Dukungan sosial dari keluarga dari menurun (1) menjadi meningkat (5)
- Perawatan sesuai kebutuhan dari menurun (1) menjadi meningkat (5)
- Keluhan tidak nyaman dari menurun (5) menjadi meningkat (1)
- Gelisah dari menurun (5) menjadi meningkat (1)
 Intervensi
Edukasi perawatan stoma
Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Teraupetik
- Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
- Jelaskan pentingnya teknik aseptik selama merawat stoma
- Jelaskan pentingnya stoma bebas dari sabun
- Anjurkan area stoma agar tidak terkena pakaian
- Anjurkan melapor jika ditemukan herniasi, atropi, atau pemburukan dari
stoma
- Ajarkan cara monitor stoma (mis. Karakteristik stoma, tanda dan gejala
komplikasi, karakteristik feses)
- Ajarkan cara perawatan stoma
- Ajarkan penggunaan pasta atau powder sesuai kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA

Corputty, Elfianto dkk. 2015. Gambaran Pasien Hirschprung Di Rsup Prof. Dr. R. Kandou
Manado Periode Januari 2010-September 2014. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado. Jurnal e-Clinic (eCI), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015.
Herdman, T.Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan dengan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2010. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal & Hepatobilier.
Jakarta : Salemba Medika
Taylor, Cynthia. M dan Ralph, Sheila, Aparks. 2013. Diagnosa Keperawatan: Dengan Rencana
Asuhan Keeprawatan, Edisi 10. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Ed. 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai